Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kamm, Antony
London: Routledge, 1999
933 KAM i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hartanto
"Prasasti merupakan salah satu sumber sejarah kuno Indonesia yang menpunyai kualitas yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri lagi sehingga J.G. de Casparis menyebutnya prasasti sebagai tulang punggung sejarah kuno Indonesia. Jumlah prasasti yang telah ditemukan di Indonesia diperkirakan mencapai ribuan, tapi pada kenyataannya sejarah kuno Indonesia masih banyak masa-masa yang tidak diketahui dengan pasti.O1eh karena itu penelitian terhadap prasasti tidak hanya memusatkan perhatian pada prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru terbit dalam bentuk alih aksara sementara. kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa modern, sekaligus menelaah isinya. Dengan demikian data yang terkandung di dalam prasasti tersebut dapat digunakan sebagai sumber sejarah kuno Indonesia. Prasasti Malenga merupakan prasasti peninggalan dari masa Garasakan yang dikeluarkan pada tahun 974 S/ 1052 M) dan di salin kembali (ditulad) pada tahun 1258 S/ 1336 M. Prasasti ini terdiri dari 7 lempeng tembaga dan sekarang di simpan di Musium Nasional Jakarta dengan nomer inventaris E-81. Prasasti itu berisikan tentang penetapan sima desa Halenga oleh Hapanji Garasakan karena penduduk desa Halenga telah membantu Garasakan melawan Haji Lingga Jaya. Prasasti Malenga mempunyai huruf yang buruk, oleh karena itu pembuatan alih aksara serta membuat catatan pada alih aksara prasasti Malenga itu diharapkan dapat memberikan koreksi kesalahan penulisan oleh citralekha. Karena kesalahan dalam pembacaan dapat mengakibatkan salah penafsiran dan kesalahan dalam penafsiran dapat mengakibatkan ketidak tepatan dalau menguraikan peristiwa sejarah .yang terjadi. Diharapkan prasasti tersebut dijadikan data sejarah panting, guna mengisi masa-masa yang masih kosong."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mokhammad Lutfi Fauzi
"Kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai keseluruhan sistem ide, tindakan serta hasil dari tindakan manusia, yang saling berkait satu dengan lainnya. Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah sistem agama, baik yang kini masih hidup maupun telah punah, yang dapat diamati melalui peninggalannya. Dengan demikian, agama sebagai salah satu unsur kebudayaan, khususnya yang pernah ada pada masa lampau merupakan salah satu jelajah studi arkeologi di pandang dari sudut kebudayaan (Nurhadi Magetsari, 1995:1).
Sutjipto Wirjosuparto (1964: 6-7) menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia Kuna banyak dijiwai atau diliputi oleh suasana keagamaan. Oleh Karena itu, kiranya tepat pendapat P.J. Zoetmulder (1965:327) yang menekankan pentingnya memahami agama pada rnasa tersebut sebagai kunci untuk memahami kebudayaannya. Pendapat di atas, sesuai dengan fakta banyaknya peninggalan arkeologi dari masa Indonesia Kuna yang terbentang dari abad V hingga XVI Masehi, baik berwujud bangunan peribadatan, maupun area-area yang bernafaskan agama Hindu maupun Buddha. Wujud peninggalan tersebut seringkali dipandang sebagai `buah' dari hubungan budaya antara Indonesia dan India yang diperkirakan terjadi secara intensif sejak abad II Masehi Bosch, 1983:11. Dengan demikian, aktivitas pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu maupun Buddha yang tersimpul di dalam berbagai bentuk peninggalan pada masa Indonesia Kuno merupakan wujud dari hubungan kebudayaan antara Indonesia dan India pada masa itu.
Dalam kebudayaan India, Dewa Wisnu telah muncul sejak jaman Veda, seperti yang dinyalakan di dalam syair-syair (saiithita) Veda meskipun kedudukannya masih rendah, setara dengan kelompok Dewa Aditya. Kepercayaan terhadap sifat-sifat Dewa Wisnu pada masa tersebut tumpang tindih dengan dewa-dewa lainnya. Misalnya, Dewa Wisnu dipercayai memiliki sifat-sifat Dewa Surya dan Indra. Sifat Dewa Surya pada Dewa Wisnu dipersonifikasikan dengan energi matahari yang menyinari dunia dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia, serta mengedari dunia dengan tiga langkahnya (irivikrama). Dengan tiga langkahnya itu, Wisnu dianggap sebagai penakluk seluruh alam semesta dan dianggap sebagai dewa perang yang gagah berani berasal dari `pemberian' sifat Dewa Indra. Justru melalui kepercayaan terhadap Wisnu yang menjalankan triwikrasna menjadikannya terkenal hingga masa Hinduisme, karena dianggap melindungi manusia dari bahaya dan menaklukkan seluruh alam semesta baik di darat, air maupun angkasa.
Kedudukan Dewa Wisnu dalam konsepsi Trimurti (§iwa, Brahma serta Wisnu) dipandang sebagai perwujudan dari Brahman yang menyandang aspek pemelihara (sthiti), Dewa Siwa menyandang aspek perusak dan Dewa Brahma menyandang aspek pencipta. Di antara ketiga dewa tersebut yang seringkali dipuja sebagai dewa tertinggi oleh penganutnya adalah Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, sedangkan Dewa Brahma tidak banyak dijumpai. Fenomena pemujaan terhadap Dewa Wisnu di India telah muncul sejak abad II SM dan berpengaruh besar di India selatan pada abad XI Masehi (Gonda, 1954:228-229). Bagi penganut agama Waisnawa Dewa Wisnu ditempatkan sebagai dewa tertinggi, sedangkan keberadaan dewa-dewa lainnya dipandang sebagai aspek Nya, seperti disebutkan dalam Bhugavurlgita (X-20-41) (Basham, 1956:300-301; Gonda, 1954:238; 1970:88). Dengan demikian, penganut Wisnu tidak menolak keberadaan Dewa Sawa dan Brahma, akan tetapi kepercayaan terhadap kedua dewa tersebut dipandang sebagai aspek dari Wisnu.
Dalam agama Hindu, lazimnya Dewa Wisnu dipandang memiliki tugas khusus sebagai dewa pelindung keselamatan manusia dan alam semesta (Gonda, 1954:120). Sebagai dewa pelindung (bhatr-) seperti disebutkan di dalam beberapa kitab Purana, Wisnu terjun langsung ke dunia dalam wujud aubtara. untuk menyelamatkan kebaikan, memelibara dunia dari kebudayaannya, menghancurkan pelaku kejahatan, serta menegakkan dharma di dunia (Gonda, 1954:125). Di India yang paling menonjol adalah dasaufrtara yang berkaitan dengan tugas Wisnu menghancurkan berbagai rintangan perputaran dunia di dalam 10 macam peristiwa.
Pengarcaan Wisnu berdasarkan naskah-naskah agama Waisnauh, seperti terdapat di dalam kitab-kitab Sarihita dan Agarna, secara umum diwujudkan di dalam tiga sikap, yaitu berdiri (sthanaka-murti), duduk (asana-mirti), serta berbaring (sayana-miirti). Secara arkeologis ketiga sikap area tersebut dapat dijumpai pada beberapa kuil Wisnu di India Selatan yang memiliki tiga relung utama pada bangunan induknya, seperti kuil Vaikunthapperumal di Conjeevaram, Kudal-alagar di Madura, Tirukkottiyur dan Mannakoyil di Tinnevelly. Dari ketiga sikap area tersebut masing-masing ditempatkan pada relung bawah, tengah, serta relung atas (Rao, 1, 1968:77-79). Selain itu, dalam pengarcaan Dewa Wisnu yang di tempatkan pada kuil khusus agama Waisnawa, Wisnu didampingi oleh satu atau dua sbkti-nya, yaitu Laksmi dan atau Sri.
Kaitannya dengan salah satu kewajiban raja sebagai pelindung rakyatnya, terdapat keterkaitan erat dengan sifat-sifat Wisnu yang senantiasa melindungi manusia dari segala perilaku kejahatan. Taittiriya Brahma (1,7,4) meyebutkan bahwa Wisnu menyertai semua raja, dan penyamaan diri seorang raja dengan Wisnu dipercayai dapat menaklukkan dunia (wisnor eva bhuivenzwnl lokan abhijayati) (Gonda, 1954:164). Jalan penyamaan raja dengan sifat kedewaan Wisnu antara lain dapat dilakukan melalui upacara abhiseka- dari Dewa Wisnu."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T1762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ambarwati Kusumadewi
"Dalam sejarah Indonesia Kuna ada satu periode yang belum lengkap gambarannya, yaitu yang biasa disebut jaman Kadiri. Jaman ini dimulai sejak Airlangga membagi dua kerajaannya menjadi kerajaan Janggala di sebelah utara dan kerajaan Pangjalu di sebelah selatan. Prasasti Garaman yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan dari kerajaan Janggala ditemukan pada bulan Mei 1985. Prasasti yang berangka tahun 975 8aka (1053 Masehi) berisi anugerah dari Mapanji Garasakan kepada penduduk desa Garaman atas bantuan mereka ketika raja melawan Haji Pangjalu, musuh dan kakaknya sendiri. Prasasti ini secara jelas mendukung keberadaan kerajaan Janggala dan Pangjalu yang semula merupakan satu kerajaan di bawah pemerintahan Airlangga. Juga memberitahu bahwa antara raja Janggala dan raja Pangjalu ada hubungan kekeluargaan yaitu kakak beradik, dimana Mapanji Garasakan adalah anak laki--laki tertua Airlangga dan adik Sanggramawijaya, putri tertua Airlangga. Keduanya lahir dari permaisuri. Sedangkan Haji Pangjalu adalah anak Samarawijaya dan tutu Dharmmawangsa Teguh. Karena kedua anak laki-laki ini merasa berhak atas tahta kerajaan, maka Airlangga terpaksa membagi dua kerajaannya agar tidak ada usaha perebutan tahta. Pembagian ini terjadi pada tahun 974 Saka. Tetapi peperangan antara dua raja ini tidak terelakkan. Pada tahun itu pula terjadi peperangan antara kedua raja tersebut. Prasasti Garaman rupanya juga memperingati pecahnya perang antara Mapanji Garasakan dari Janggala dengan Haji Pangjalu dari Pangjalu."
Lengkap +
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S12003
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Agung Ayu Ratnadi
"Relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Jataka-avadhana, Lalitavastara dan karmavibhangga ada dilukiskan alat-alat upacara yang di antaranya dapat dikenali sebagai: ghanta, vajra, dhupa, dipa, pamandyangan, sangku, puspa, wanci (talam berkaki satu) lengkap dengan tutupnya dan semacam bentuk shanti. Diantara alat-alat upacara yang dilukiskan itu ada yang menyerupai alat-alat upacara perunggu hasil penemuan kepurbakalaan yang sekarang disimpa di Meseum Pusat Jakarta. Jenis alat-alat upacara perunggu itu antara lain terdiri atas: ghanta, vajra, dhupa, dipa, sivambha, berkaki tiga (tripada) yang di Bali biasanya dipergunakan oleh pedanda Siwa, svambha berkaki satu (ekapada) yang di Bali biasanya dipakai oleh pedanda Buddha dan disebut pamandyangan, tempat vija/aksata, tempat cendana/gandha, talam berkaki satu yang biasanya dipergunakan sebagai tempat alat-alat upacara atau sesajen sebagaimana masih dilakukan di Bali. Alat-alat perunggu itu diduga berasal dari abad ke-7-15 Masehi."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1975
S 11859
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Timurti Novia P.
"Prassasti Panagaran dan prasasti Sumundul adalah dua batu prasasti yang ditemukan pada halaman kompleks Candi Kedulan yang berada di usun Kedulan, Kel. Tirtomartani, Kec. Kalasan, Kec. Sleman, Prp. Yogyakarta. Prasasti berangka tahun 791 Saka (869 M0 ini adalah dua batu prasasti yang ditemukan di situs Candi Kedulan. Prassasti ini dikeluarkan oleh seorang tokoh bernama Rakyan Wiku Padan Lwar bernama Pu Manohari. Dapat diketahui pula bahwa prasasti tersebut mengandung data sejarah terkait dengan pendirian suatu bendungan (dawuhan) di desa Panangaran yang dibangun untuk mengairi tgal sekeliling bangunan suci (parhyanan). Berdasarkan angka tahun ( 791 Saka/869 Masehi) yang tercantum selaras dengan gaya aksara, dua batu prasasti ini merupakan salah satu prasasti sima yang berasal dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi Pu/Dyah Lokapala, salah seorang pengusa Mataram Kuna Jawa Tengah yang banyak mengeluarkan prasasti"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S12036
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Basaina
"Membahas mengenai perkembangan bahasa Sansekerta dengan melihatkepada prassati-prassati Melayu Kuna yang berasal dari abad ke-17-10 M. Perkembangan dapat diketahui dengan melakukan pemisahan atas seluruh kata-kata Sansekerta dan Melayu Kuna dalam suatu tabel Melalui tabel dari jumlah tiap-tiap kata diperhitungkan dalam presentasi untuk dimasukkan kedalam suatu kurva yang menunjukkan perkembanganbahasa Sansekerta. terdapat juga pembahasan morfologi dari pentukan kosa kataSansekerta mendapatkan pengaruh dari morfologi Melayu Kuna."
2010
S12059
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Yofani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang keberagaman gambaran tanaman pada relief tanaman di Jawa Timur abad 14 Masehi. Setelah diteliti, diketahui 21 jenis tanaman yang masih dapat dikenali penggambarannya. Penelitian ini juga membutuhkan data penunjang dari naskah-naskah Jawa Kuna dan Berita Cina untuk memberikan informasi mengenai relief tanaman yang paling sering dipahatkan, gambaran lokasi adegan cerita pada relief, fungsi relief tanaman sesuai konteks adegan cerita pada relief serta informasi tentang hubungan antara manusia dengan tanaman pada kehidupan masyarakat Jawa Kuno.

Abstract
The Focus of this study is the different kind of plants at relief on temple walls in East Java at 14 AD. After the research is over, there is 21 kind of plants form which still recognizable. The research of this study need supported by manuscript from old-Java and Chinese report to giving information about relief of plants who often carved, the location of story scene figure in relief, the function of plants figure who concord with scene story context, and then giving information about relationship between human and plants in daily life of old-Java."
Lengkap +
2010
S12069
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ghilman Assilmi
"Penelitian ini membahas mengenai makam dan masjid pada masa Kesultanan Banten Abad XVI –XIX Masehi, sumber data terdiri dari kompleks makam di Masjid Agung Banten Lama, Masjid Kasunyatan, dan Masjid Kanari. Penelitian terfokus kepada kajian keletakkan makam pada masjid untuk mengungkapkan cultural code masyarakat masa Kesultanan Banten yang membedakan antara yang hidup dan yang mati, profan dan sakral, tempat tinggal dan bukan tempat tinggal. Selain itu, dilakukan kajian terhadap bentuk dan ragam hias nisan-nisan Sultan Banten untuk mengetahui identitas serta keistimewaan Sultan berhubungan dengan makamnya. Hasil kajian terhadap bentuk dan ragam hias nisan menunjukkan bahwa tidak ada keistimewaan yang dimiliki sultan berdasarkan nisannya. Sedangkan hasil kajian keletakkan menunjukkan bahwa culutral code masyarakat Kesultanan Banten tidak memperlihatkan pemisahan ruang antara yang hidup dan yang mati, profan dan sakral, tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, akan tetapi masjid dianggap sebagai tempat yang paling sakral karena menjadi acuan yang hidup dan yang mati tersebut.

This research discuss about the relation between tomb and mosque in the Sultanate of Banten XIX-XVI century AD. The source data consists of the tomb in the Great Mosque of Banten Lama, Kasunyatan Mosque and Kanari Mosque. The research focused on spatial study about tomb in the mosque to express the cultural code of Banten Sultante’s society that distinguishes between the living and the dead, the sacred and the profane, living space and refuse space. In addition, researcher conducted a study of shapes and ornamen gravestones Sultan of Banten to determine the identity and privileges associated based on their gravestone. Results of the study indicate that no privilege Sultan based on their gravestone. While the spatial study results that culutral code of Banten Sultante’s society showed no separation space between the living and the dead, the profane and the sacred, living space and refuse space, but the mosque is regarded as the most sacred places as a reference the living and the dead."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
T45142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghilman Assilmi
"Penelitian ini membahas mengenai makam dan masjid pada masa Kesultanan Banten Abad XVI-XIX Masehi, sumber data terdiri dari kompleks makam di Masjid Agung Banten Lama, Masjid Kasunyatan, dan Masjid Kanari. Penelitian terfokus kepada kajian keletakkan makam pada masjid untuk mengungkapkan
cultural code masyarakat masa Kesultanan Banten yang membedakan antara yang hidup dan yang mati, profan dan sakral, tempat tinggal dan bukan tempat tinggal. Selain itu, dilakukan kajian terhadap bentuk dan ragam hias nisan-nisan Sultan Banten untuk mengetahui identitas serta keistimewaan Sultan berhubungan dengan makamnya. Hasil kajian terhadap bentuk dan ragam hias nisan menunjukkan bahwa tidak ada keistimewaan yang dimiliki sultan berdasarkan nisannya. Sedangkan hasil kajian keletakkan menunjukkan bahwa culutral code masyarakat Kesultanan Banten tidak memperlihatkan pemisahan ruang antara yang hidup dan yang mati, profan dan sakral, tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, akan tetapi masjid dianggap sebagai tempat yang paling sakral karena
menjadi acuan yang hidup dan yang mati tersebut.

This research discuss about the relation between tomb and mosque in the Sultanate of Banten XIX-XVI century AD. The source data consists of the tomb in the Great Mosque of Banten Lama, Kasunyatan Mosque and Kanari Mosque.
The research focused on spatial study about tomb in the mosque to express the cultural code of Banten Sultante's society that distinguishes between the living and the dead, the sacred and the profane, living space and refuse space. In addition, researcher conducted a study of shapes and ornamen gravestones Sultan of Banten to determine the identity and privileges associated based on their gravestone. Results of the study indicate that no privilege Sultan based on their gravestone. While the spatial study results that culutral code of Banten Sultante's society showed no separation space between the living and the dead, the profane and the sacred, living space and refuse space, but the mosque is regarded as the most sacred places as a reference the living and the dead.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>