Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Merdu Silta Wenti
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis pemberdayaan masyarakat adat di era desentralisasi dengan studi kasus pemberdayaan komunitas adat terpencil terhadap Suku Anak Dalam di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2004-2006. Penelitian ini beragumen, bahwa desentralisasi mengakomodasi masyarakat adat melalui ketentuan legal di dalam UU No.32 Tahun 2004, namun desentralisasi belum mempengaruhi dalam aspek pembuatan program pemberdayaan komunitas adat terpencil. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori multikulturalisme yang berasal dari Kymlicka, Raz, dan Parekh. Serta, konsep desentralisasi politik, pemberdayaan masyarakat, dan masyarakat adat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai data primer, dan data sekunder seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan studi pustaka lainnya. Penelitian ini menemukan beberapa hasil, diantaranya; Pertama¸ pemerintah daerah tidak membuat program pemberdayaan komunitas adat terpencil dengan mekanisme bottom up, melainkan dengan pandangan subjektif terhadap Suku Anak Dalam yang harus di modernisasi. Kedua¸ program pemberdayaan terhadap Suku Anak Dalam tidak sesuai dengan kondisi budaya dan tidak memenuhi akses pelayanan sosial. Ketiga¸ pemerintah daerah masih bergantung terhadap mekanisme pemberdayaan dan anggaran pemberdayaan yang diberikan pemerintah pusat.
This research analyzes the empowerment of indigenous community in decentralization era with the case study of the empowerment of remote indigenous community towards Suku Anak Dalam in Kabupaten Muaro Jambi, Jambi Province in 2004-2006. This research argues that decentralization accommodates indigenous community within legal provision in UU No.32 Tahun 2004, but decentralization is not yet to take effect on affecting the manufacture of remote indigenous community programs. This research uses the multiculturalism theory from Kymlicka, Raz, and Parekh. In addition, the researcher is also using political decentralizations concept, the concept of community empowerment, and indigenous community concept. This research employment qualitative methods with in-depth interviewing technique as the primary source of data, and legal provisions like law, government regulations, and other literature study, as the secondary sources. This research find out that, First, the local government does not make the remote indigenous community empowerment program with a bottom up mechanism, rather with a subjective view towards Suku Anak Dalam that needs to be modernized. Second, the empowerment program for Suku Anak Dalam does not match the cultural condition. Third, the local government still depends on the empowerment mechanism and the empowerment budget that is given by the central government.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S64370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lomax, Louis E.
New York : Harper & Brothers, 1960.
960.3 LOM r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Ministry of Information, Republic of Indonesia, 1959
959.82 IND o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: INSIST Press, 2016
305.8 ORA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Faradika Darman
Ambon: Kantor Bahasa Maluku Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2017
392 FAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rahjanto
Abstrak :
ABSTRAK
Masyarakat adat nusantara mengalami peminggiran dan penghancuran secara sistematis oleh intervensi pihak-pihak luar masyarakat adat. Pemaksaan nilai, penaklukan, kolonisasi dan eksploitasi oleh penguasa politik bersama pemilik modal yang memonopoli makna kebenaran secara sepihak masih berlangsung dan merupakan sumber penderitaan bagi masyarakat adat di seluruh Nusantara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berbentuk aliansi yang merupakan persekutuan darn komunitas-komunitas Masyarakat Adat se nusantara. Pasal 7, butir 3, Anger ran Dasar AMAN menyebutkan mini organisasi adalah "mengembalikan kedaulatan Masyarakat Adat Nusantara untuk mempertahankan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan bernegara". Masalah internal organisasi AMAN yang terjadi pada Sekretariat Pelaksana AMAN antara lain berkaitan dengan inisiatif pada awal pembentukan organisasi datang bukan darn masyarakat adat itu sendiri, aspek keuangan dan pembiayaan kegiatan organisasi, komunikasi dan informasi internal organisasi, serta intervensi darn pihak luar organisasi. Tujuan penelitian mengungkapkan penanganan masalah internal organisasi pada Sekretariat Pelaksana AMAN serta mendeskripsikan perjuangan revitalisasi hakhak masyarakat adat nusantara. Penelitian menggunakan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah internal organisasi menjadi suatu hal yang mendesak untuk dicarikan jalan kelua rya secara bijaksana, terutama berkaitan dengan aspek keuangan dan pembiayaan kegiatan organisasi serta komunikasi dan informasi internal organisasi. Kedua hal tersebut merupakan 'darah' bagi berlangsungnya suatu organisasi seperti AMAN agar dapat mewujudkan visi dan misi organisasi. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui eksistensi masyarakat adat serta hak kepemilikannya alas tanah ulayat. Namun dalam undang-undang sektoral yang menindaklanjuti konstitusi tersebut terjadi banyak penyimpangan, yang efektif menegasikan hak masyarakat adat terhadap tanah ulayatnya. Rekomendasi: diperlukan upaya internal menggali kemandirian keuangan berdasarkan potensi ekonomi anggota AMAN; program komunikasi organisasi menjangkau setiap anggota AMAN secara efektif; konsolidasi memperkuat kedudukan organisasi secara politis. Selain itu, perjuangan yang dilakukan AMAN memerlukan langkah-langkah politis memperoleh akses pads pihak eksekutif maupun pihak legislatif.
ABSTRACT
'Masyarakat adat nusantara' have been marginalized and destructed by systematic intervention from the outsider of masyarakat adat. Coersion of values, conquest, colonization and exploitation by rezim with capitalist that monopolized the truth meaning by one side still going on and become the source of sufferring to all masyarakat adat in nusantara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) is alliance which union base on communities of Masyarakat Adat se nusantara. Article 7, point 3, AMAN's Statutes and Rules of Association stated about mission of organization which is, "take back the sovereignty of Masyarakat Adat Nusantara to maintain the economical, social, cultural and national life". AMAN's The internal organization problem of AMAN which happened in the Executive Secretary AMAN as follow: the initiative of AMAN formulation doesn't appears from the masyarakat adat themselves, financial aspect and organization activities expense, communication and internal information of organization, and intervension from the outsider. Research aims to show the handling of internal organization problem at the Executive Secretary AMAN and to describe revitalization struggling of masyarakat adat nusantara's rights. The research uses case study. Result of the research shows that the internal organization problems become urgent to be solved wisely, particulary concern with financial aspect and organization activities expenses. Besides, communication and internal information of organization. Both of them are 'the blood' in sustaining of an organization, like AMAN. Constitution of 1945 recognized existences of masyarakat hukum adat and their rights of hak ulayat. However, there are several deviancy on the sectoral law that effective to negation of masyarakat adat rights. Recommendation: it needs the internal effort in financial independent based on economic potential from the member of AMAN; organization communication program should reach members of AMAN effectively; enforcing consolidation for organization status politically. Moreover, AMAN's struggling needs political steps in achieving legislative and executive access.
2007
T20775
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arasy Pradana A Azis
Abstrak :
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 memuat setidaknya empat elemen pengakuan masyarakat adat, di mana dua diantaranya berkaitan dengan masyarakat adat itu sendiri dan prinsip NKRI sebagai prasyarat pengakuan. Keduanya sejatinya mengandung bias paradigmatik kepada kebudayaan agraris. Konsep masyarakat adat sejak semula diidentikkan dengan hak ulayat atas tanah. Sementara prinsip NKRI mengalami proses ideologisasi oleh Angkatan Darat dan berkontribusi pada penyeragaman masyarakat adat. Oleh karenanya, orientasi maritim ditawarkan untuk mendekonstruksi bias-bias terrestrial tersebut. Penelitian ini kemudian disusun sebagai penelitian normatif, dengan pendekatan sosio-legal, perundang-undangan, konseptual, sejarah, dan perbandingan. Dekonstruksi diajukan sebagai metode interpretasi utama, selain historis, sosiologis, dan sistematis. Diperoleh simpulan bahwa: 1) terdapat tiga model umum dalam pengakuan konstitusional masyarakat adat di Indonesia: implisit-terbatas (UUD 1945), pengakuan melalui pranata-pranata adat (Konstitusi RIS dan UUD 1950), dan eksplisit-terbatas (UUD NRI 1945); 2) bias terrestrial dalam konsep masyarakat adat berakar dari kelahiran konsep masyarakat adat itu sendiri, dan dipertahankan dalam proses pembentukan UUD NRI 1945. Perlu diingat bahwa terdapat masyarakat adat yang juga hidup di laut. Selain itu, terdapat pula masyarakat adat yang tidak mengenal konsep hak ulayat dan perlu dilindungi hak-hak lainnya; 3) untuk memecah ideologisasi NKRI, negara perlu (1) mengakui kemajemukan sebagai dasar pembentukan bangsa Indonesia, (2) mengakui subyektivitas konstitusional masyarakat adat secara gamblang, (3) mengafirmasi kecakapan masyarakat adat untuk bertindak selayaknya sebuah subyek hukum, dan (4)  menjabarkan kategori-kategori hak yang disandang masyarakat adat di Indonesia, termasuk skema perlindungan atas keberlanjutannya.
Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution of Indonesia contains at least four elements of recognition of indigenous peoples, while two of it (indigenous people concept and NKRI principle) contain paradigmatic bias towards agrarian culture. The concept of indigenous peoples was originally identified with customary rights to land (hak ulayat). While the principles of the NKRI experienced an ideologization process by the Army and contributed to the uniformity of indigenous peoples. Therefore, a maritime orientation is offered to deconstruct those terrestrial biases. This research was then compiled as a normative study, with a socio-legal, legislative, conceptual, historical, and comparative approach. Deconstruction is proposed as the main method of interpretation, besides historical, sociological, and systematic interpretations. The conclusion is that: 1) there are three general models in the constitutional recognition of indigenous peoples in Indonesia: implicit-limited (UUD 1945), recognition through customary institutions (RIS Constitution and 1950 Constitution), and explicit-limited (1945 Constitution NRI); 2) terrestrial bias in the concept of indigenous peoples is rooted in the birth of the concept of indigenous peoples themselves, and is maintained in the process of establishing the 1945 Constitution of the Indonesia. It is important to remember that there are indigenous people who also live within the sea. In addition, there are also indigenous people who do not recognize the concept of customary rights and need to be protected by their other categories of rights; 3) to break down the ideology of the NKRI, the state needs to (1) acknowledge pluralism as the basis for the formation of the Indonesian nation, (2) recognize the constitutional subjectivity of indigenous peoples explicitly, (3) affirm the skills of indigenous peoples to act accordingly, the categories of rights held by indigenous peoples in Indonesia, including protection schemes for their sustainability.
2018
T52326
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurbaya
Abstrak :
Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan terhadap kerawanan pangan. Strategi bertahan mereka unik karena berkaitan dengan budaya dan kepercayaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi strategi bertahan pada keluarga tahan pangan dan keluarga rawan aman pada Masyarakat Adat Kaluppini di Sulawesi Selatan. Informan adalah ibu balita. Enam puluh satu ibu terlibat dalam penelitian ini. Semua informasi dicatat, ditranskripsi verbatim dan dianalisis menggunakan Dedoose. Strategi yang sama diterapkan seperti meminjam makanan/uang serta melakukan strategi tradisional. Keluarga rawan pangan mencari penghasilan tambahan dengan cara mencari pekerjaan tambahan di kota sedangkan keluarga tahan pangan bekerja di luar pulau atau ke negeri. ......Indigenous peoples are the most vulnerable to food insecurity. Their coping strategies were unique because related to culture and belief. This study aimed to explore coping strategies among food secure and food insecure households of Kaluppini Indigenous People in South Sulawesi. Informants were mothers of under five. Sixty one mothers involved in this study. All information was recorded, transcribed verbatim and analyzed by using Dedoose. The same strategies were applied such as borrowing food money and doing traditional coping. Food insecure households generated additional money by seeking additional job in town while food secure households migrated to the other islands or working overseas.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarsih
Abstrak :
Free, prior and informed consent FPIC merupakan salah satu prinsip yang muncul dari deklarasi dan konvensi internasional. Indonesia merupakan negara yang aktif dalam beberapa konvensi dan deklarasi tersebut. Akan tetapi dalam regulasi nasional belum terdapat pengakuan yang secara eksplisit menyerap elemen-elemen FPIC secara utuh. Di sisi lain terdapat konflik yang berkepanjangan antara masyarakat Samin dengan pemrakarsa yang diakibatkan oleh berbagai macam permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terkait FPIC dalam regulasi di Indonesia, pentingnya penerapan FPIC, dan analisis FPIC dalam pembangunan pabrik semen di masyarakat Samin. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan bahan pustaka sebagai sumber utama dan wawancara sebagai data pendukung. Hasil dari penelitian ini adalah: Pertama, FPIC pada dasarnya sudah mulai diakui dalam regulasi di tingkat pusat. Meskipun demikian pengakuan tersebut masih bersifat parsial dan implisit. Dalam regulasi di tingkat daerah beberapa elemen FPIC juga sudah mulai diserap dan diakui secara eksplisit. Hal ini ditandai dengan penyusunan pedoman umum pelaksanaan FPIC dalam bentuk Peraturan Gubernur. Kedua, FPIC merupakan suatu hal yang sangat penting dan fundamental dalam mementukan kesuksesan sebuah investasi di masyarakat adat atau lokal. Selain itu FPIC dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak baik pemrakarsa, masyarakat maupun pemerintah. Ketiga, FPIC dalam pembangunan pabrik semen belum dimaknai secara baik. Hal ini ditandai dengan proses penyampaian informasi yang hanya melibatkan masyarakat yang pro terhadap proyek dan pemrakarsa cenderung memaparkan dampak positif dari pembangunan. Selain itu saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat tidak dijadikan sebagai salah satu faktor untuk menetukan kebijakan atau keputusan terkait pendirian pabrik semen.
Free, prior and informed consent FPIC is one of the principles emerging from international declarations and conventions. Indonesia is a country which is active in several conventions and declarations. However, in national regulations there is no recognition that explicitly absorbs the elements of FPIC as a whole. On the other hand, there is a prolonged conflict between the Samin community and the project proponent caused by various problems. This research aims to analyze FPIC on regulation in Indonesia, the importance of FPIC implementation, and FPIC analysis in the construction of cement factory in Samin community. This research uses normative juridical method by using library material as main source and interview as supporting data. The results of this study are The first FPIC has basically been recognized in the regulation at the central level. However, the recognition is still partial and implicit. In regulation at the regional level, some elements of FPIC have also begun to be absorbed and acknowledged explicitly. This is marked by the making of general guidelines for the implementation of FPIC in the form of a Governor 39 s Regulation. The second, FPIC is a very important and fundamental in determining the success of an investment in indigenous or local communities. In addition FPIC can provide benefits for every party, both the the project proponent, the community and the government. The third, FPIC in the construction of a cement factory has not been well understood. This is characterized by a process of delivering information that involves only pro project communities and the project proponent tends to expose the positive impact of development. In addition, suggestions, opinions and responses from the communty are not used as one of the factors to determine the policy or decision related to the establishment of a cement factory.
2018
T51516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4   >>