Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Suryani
Abstrak :
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 209 K/AG/1994, jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 48/1993/PTA., JK, jo. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1107/Pdt.G/92/PA.JT., adalah salah satu contoh dari permasalahan di dalam poligami. Di dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, prinsip yang dianut dalam perkawinan adalah perkawinan monogami, artinya seorang pria (suami) hanya boleh beristeri seorang wanita. Namun, secara bersamaan undang-undang, juga memberikan memberikan kesempatan kepada seorang pria (suami) untuk menikah lagi (poligami), meskipun dengan syarat-syarat tertentu dan harus memperoleh izin dari pengadilan. Salah satu alasan yang harus dipenuhi oleh seorang pria (suami) untuk poligami, adalah isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Disamping harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu adanya persetujuan isteri/isteri-isterinya, adanya jaminan dan kepastian bahwa suami akan berlaku adil dan mampu menjamin keperluan hidup terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Hal inilah yang menimbulkan pandangan yang berbeda dari masyarakat mengenai poligami, yang memandang poligami dari segi positif poligami, yaitu dipandang sebagai solusi dari permasalahan dalam keluarga dan segi negatif poligami dapat menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga. Sehingga timbul pertanyaan, apakah dasar dan pertimbangan Pengadilan Agama memberikan izin atau menolak poligami, bagaimana apabila isteri tidak bersedia memberikan kepada suami untuk menikah lagi, dampak apa saja yang mungkin terjadi dengan diajukannya izin poligami oleh seorang suami, dan apakah peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai untuk mengatur mengenai poligami. Pembahasannya meliputi konsepsi perkawinan dan poligami menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dibandingkan dengan KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), dan tentang konsepsi poligami ditinjau dari norma agama, norma sosial, dan norma hukum, serta tata cara mengajukan izin poligami. Pengumpulan data diperoleh dengan cara studi kepustakaan dan lapangan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Sakinatul Fuad
Abstrak :
Penelitian ini mengungkapkan posisi perempuan dalam perjodohan atas dasar kafa'ah nasab (kesetaraan keturunan dalam perkawinan), dengan mengangkat pengalaman perempuan yang menerima dan menolak perjodohan. Permasalahan yang diangkat: Pertama, adanya pengaruh bias dalam menafsirkan ayat AI-Qur'an maupun Hadits yang dijadikan dasar penggunaan kafa'ah nasab tersebut. kedua, adanya perbedaan arti dalam menerima dan menolak perjodohan. Untuk menganalisis posisi perempuan digunakan dirumuskan dalam pertanyaan turunan (1) konsep perkawinan menurut agama Islam baik syarat maupun rukunnya, kemudian melihat (2) konteks sejarah kafa'ah nasab itu sendiri dan (3) arti perjodonan bagi perempuan. Ketiga pertanyaan tersebut dianalisis menggunakan metodologi pendekatan kualitatif dan analisis berperspektif perempuan dengan pengumpulan data didasarkan pada metode wawancara mendalam kepada lima orang perempuan dengan kriteria; tiga orang syarifah yang mengalami perjodohan, seorang syarifah yang memilih menikah dengan non-Arab dan seorang perempuan Masyayikh yang menikah dengan seorang laki-laki dari golongan yang sama. Kemudian alat analisis menggunakan pandangan tiga tokoh Feminis Muslim yang menyatakan bahwa Islam menjamin kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan, untuk melihat kepasrahan perempuan dalam menerima perjodohan saya menggunakan pandangan Multikulturalisme yang melihat adanya kesetaraan dalam perbedaan. Hasil penelitian menunjukan adanya kesenjangan antara Ajaran Islam dan Tradisi Arab, sehingga memposisikan perempuan syarifah dan non-syarifah berbeda bahkan antara Arab dan non-Arab. Pada akhimya saya simpulkan bahwa konsep kafa'ah nasab inl lebih dekat pada tradisi Arab yang dapat dihilangkan melihat pada konsep kesetaraan yang digunakan oleh tiga Feminis Muslim tersebut, Sikap pasrah menerima yang dialami perempuan tersebut, merupakan bentuk pengakuan pada identitas kelompok yang di tempatinya dan sikap menolak perjodohan merupakan bentuk penolakan tertiadap arogansi kesukuan, karenaMultikulturalisme tidak memandang adanya kelompok yang superior (lebih tinggi) dari kelompok lainnya.
The purpose of this research is to analyze the position of Arabic women in the system of Arab's arranged marriage, which commonly based on the system of the kafa'ah nasab (equality in family rank) based on the experience of accepting and denying women. Firstly, the aim of this research is the existence of gender bias interpretation in religius texts, which supports kafa'ah nasab. Second, the different meaning between accepting and denying arrange marriage. The position of women in this case will be analyzed by comparing the Arab's marriage system with concept of marriage in Islam, explaining the historical context of kafa'ah nasab, and showing the meaning of arranged marriage for her. All of these will be approach qualitatively from women's perspective using the theory of Multiculturalism and Moslem Feminism. The data will be gathered from in depth interview with three sharifahs (descents of Muhammad) who is still living in arrange marriage and married to non-Arab and one sharifah from masyayikh (social rank under sharifa) who married a man from the same group. The research has found out two factors. First, there's a contras between Islamic teaching and Arab culture. According to Islamic teaching, there's no different in among human being based on sexuality, gender and ethnicity, but according to the Arab culture, women is inferior to man and Arab has higher position in than any raze on the world. Then Arab man is superior to both of women and the people. Here we can see clearly that kafa'ah nasab which is applied to protect the original generation of Muhammad, is not coming from Islamic teaching but Arab culture. Second, accepting arranges marriage for women means submission to the gender and racial bias culture and denying it means denying racial arrogance and patriarchal culture.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochilla Shakina
Abstrak :
ABSTRAK
Perjanjian kawin merupakan perjanjian yang dilakukan oleh calon suami dan calon isteri sebelum melangsungkan perkawinan.Substansi dari perjanjian perkawinan salah satunya dapat berupapengaturan harta perkawinan.Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan. Permasalahan yang dibahas yaitu bagaimana ketentuan mengenai perjanjian perkawinan menurut peraturan perundang-undangan serta bagaimana penyelesaian sengketa harta benda perkawinan yang memakai nama bersama yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1358K/Pdt/2012 . Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriftif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan tidak diatur secara rinci tentang definisi dan isi mengenai perjanjian kawin. Ketentuan perundang-undangan yang berisi tentang perjanjian kawin terdapat dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam sengketa harta perkawinan yang memakai nama bersama yang berkaitan dengan perjanjian kawin tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa Saudari Budiati sebagai pihak yang berhak atas harta benda objek sengketa karena Saudari Budiati dapat menunjukkan bahwa seluruh harta benda objek sengketa adalah hasil pembeliannya. Namun seharusnya Saudara Ruddy Tri Santoso juga berhak atas seluruh harta benda objek sengketa karena nama Saudara Ruddy Tri Santoso tercantum di dalam bukti kepemilikan seluruh harta benda objek sengketa. Kata Kunci : perjanjian kawin, harta perkawinan, nama bersama.
ABSTRACT
Prenuptial agreement is an agreement made by a prospective husband and a future wife before marriage. The substance of the prenuptial agreement may be the arrangement of marriage property. The prenuptial agreement is made in writing and authorized by the Registrar. The issues discussed are how the provisions concerning prenuptial agreement under the laws and regulations on how to settle dispute on joint matrimony that use share name in connection with a prenuptial agreement analysis of Supreme Court Decision Number 1358K Pdt 2012 . This research is a normative juridical research with analytical descriptive research type. Based on the results of the study can be concluded that in the provisions of legislation is not regulated in detail about the definition and contents of the prenuptial agreement. The provisions of legislation containing the marriage agreement are contained in Article 139 of the Civil Code and Article 29 of Act Number 1 1974 regarding Marriage. In a dispute on joint matrimony that use share name in connection with a prenuptial agreement the Supreme Court of Justice of the Republic of Indonesia declares that Budiati as the party entitled to the property of the disputed object because Budiati can show that all property of the disputed object is the result of her purchase. However, Ruddy Tri Santoso should also be entitled to the entire property of the disputed object because the name of Ruddy Tri Santoso is contained in the proof of ownership of all objects of disputed property. Keywords Prenuptial agreement, joint matrimony, share name.
2018
T49699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library