Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcel Elian Suwito
Abstrak :
Latar belakang: Histerektomi merupakan tindakan operasi non-obstetrik terbanyak dengan prevalensi menurut CDC tahun 2011-2015 sebesar 3,2% pada perempuan usia <45 tahun. Uterus berperan baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam produksi prostasiklin. Prostasiklin yang dihasilkan bersifat sebagai agen vasodilator pembuluh darah yang bersifat kardioprotektif. Prosedur histerektomi dengan atau tanpa konservasi ovarium mempengaruhi kadar konsentrasi prostasiklin secara sistemik sehingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu prosedur histerektomi khususnya pada perempuan usia <45 tahun perlu dipertimbangkan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tekanan darah sistolik, diastolik dan mean arterial pressure (MAP) pasca prosedur histerektomi. Metode: Studi ini merupakan studi kohort prospektif terhadap pasien yang dilakukan prosedur histerektomi total dengan atau tanpa konservasi ovarium di RSCM selama Juli 2018-Juli 2020. Data klinis diambil melalui rekam medis, wawancara dan pemeriksaan fisik pada pasien. Sampel kemudian dikelompokkan menjadi kelompok pasien histerektomi total (HT) atau dengan konservasi ovarium (HTSOU) dan kelompok pasien histerektomi salfingo-ooforektomi bilateral (HTSOB), dan dibagi menjadi kelompok usia <40 tahun dan 40-45 tahun. Setelah itu data karakteristik pasien disajikan dalam bentuk karakteristik, sedangkan uji bivariat dilaksanakan menggunakan uji t-tes berpasangan apabila data tersebar normal dan uji Wilcoxon apabila data tersebar secara tidak normal. Hasil: Dari jumlah sampel 80 pasien, didapatkan peningkatan bermakna dalam 12 bulan pasca tindakan pada kelompok pasien HT/HTSOU terhadap tekanan darah sistolik (p=0.012), diastolik (p=0.004), MAP (p=0.002) , sedangkan peningkatan bermakna sudah dapat dilihat dalam 6 bulan pada kelompok pasien HTSOB (sistolik p=<0.001, diastolik p=<0.001, MAP p=<0.001). Pada kelompok usia <40 tahun , didapatkan peningkatan bermakna dalam 12 bulan pasca tindakan pada kelompok pasien HT/HTSOU terhadap tekanan darah sistolik (p=0.006), diastolik (p=0.023), MAP (p=0.01) sedangkan pada kelompok HTSOB peningkatan bermakan sudah terlihat dalam 6 bulan (sistolik p=0.001, MAP p=0.032). Simpulan: Didapatkan peningkatan bermakna tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP pada kelompok pasien HTSOB dalam 6 bulan dan kelompok HT/HTSOU dalam 12 bulan. ......Background: Hysterectomy is the most common non-obstetric surgery in adult, reproductive age women. Hysterectomy with or without ovarian conservation is known to increase the risk of cardiovascular disease. However, only a few studies regarding its immediate and short-term effect on hypertension are available. This study aimed to determine changes in blood pressure after a hysterectomy procedure. Methods: This study is a prospective cohort study of patients who underwent a total hysterectomy procedure with or without ovarian conservation at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia, from July 2018 to July 2020. Samples were grouped into patients with total hysterectomy only or hysterectomy with ovarian conservation (HT/HTSOU) and bilateral salpingo-oophorectomy hysterectomy (HTSOB). Statistical analysis was done using paired t-test and Wilcoxon test. Results: There were 80 patients included in this study (40 for each group). A significant increase in all blood pressure components was observed at 12 months after the procedure in the HT/HTSOU patient group (p < 0.05), while a significant increase was already observed at 6 months after the procedure in the HTSOB group (p < 0.05). Conclusion: There was a significant increase in all blood pressure components in the HTSOB group at 6 months and the HT/HTSOU group at 12 months following hysterectomy. Keywords : diastolic, Hysterectomy, mean arterial pressure, Hypertension, systolic
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Surya Supriyana
Abstrak :
Gagal jantung adalah sindrom progresif yang menyebabkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien. Insidensi dan prevalensi gagal jantung terus meningkat. Saat ini, banyak bukti menunjukkan bahwa gagal jantung kronis dikarakteristikkan oleh aktivitas kompensasi neurohormonal yang berlebihan, termasuk overaktivitas simpatis yang kemudian menjadi landasan terapi. Diperlukan penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif meliputi modifikasi gaya hidup, diet, serta intervensi farmakologi. Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa akupunktur memiliki efek terapeutik dan modulatoris pada kondisi yang menjadi faktor risiko gagal jantung. Salah satu modalitas akupunktur adalah elektroakupunktur yang dapat menurunkan aktivitas simpatis dan menghambat respon reflek simpatoeksistoris kardiovaskuler. Penelitian ini merupakan uji klinis double blind randomized controlled trial (RCT), yang melibatkan 42 orang pasien gagal jantung dengan kriteria NYHA II-III, EF <40% terbagi dalam kelompok medikamentosa dan elektroakupunktur, medikamentosa dan elektroakupunktur sham, dan medikamentosa tanpa elektroakupunktur. Terapi dilakukan sebanyak 16 sesi selama 8 minggu. Pengukuran dilakukan pada awal terapi, pertengahan terapi, dan akhir terapi. Hasil menunjukkan pemberian elektroakupunktur pada terapi utama medikamentosa pada pasien gagal jantung mampu meningkatkan fraksi ejeksi, mean arterial pressure, dan menurunkan LVEDP lebih cepat, mempertahankan stabilitas dari heart rate variability, serta meningkatkan kualitas hidup yang diukur menggunakan uji jalan 6 menit secara signifikan. ......Heart failure is a progressive syndrome that causes poor quality of life for patients. The incidence and prevalence of heart failure continues to increase. At present, much evidence shows that chronic heart failure is characterized by excessive neurohormonal compensatory activity, including sympathetic overactivity which later became the basis of therapy. Holistic and comprehensive management is needed including lifestyle modification, diet, and pharmacological interventions. Some clinical studies show that acupuncture has a therapeutic and modulator effect on conditions that are risk factors for heart failure. This study is a double blind clinical trial randomized controlled trial (RCT), involving 42 people with heart failure patients with NYHA II-III criteria, EF <40% divided into medical and electroacupuncture, medical and electroacupuncture sham, and medical without electroacupuncture groups. Therapy was done 16 sessions for 8 weeks. Measurements of the variables were carried out at the beginning of therapy, mid-therapy, and end of therapy. The results of showed that electroacupuncture in the top of guidlines medical therapy in heart failure patients were able to increase ejection fraction, mean arterial pressure, and to decrease LVEDP faster, maintain stability of heart rate variability, and improve quality of life measured using the 6 minute road test significantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Lusi N.B.
Abstrak :
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan penanganan yang baik. Daun Apium graviolens Linn. dan daun Sonchus Arvensis Linn. telah dikenal sebagai obat herbal antihipertensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui khasiat antihipertensi dari ekstrak campuran daun Apium graviolens Linn. dan daun Sonchus arvensis Linn. Pada penelitian ini digunakan lima kelompok tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor tikus. Tikus pada kelompok uji dan kontrol hipertensi diinduksi hipertensi dengan menggunakan larutan NaCl 2% sebagai air minum selama 3 minggu. Besar dosis yang digunakan untuk uji dosis I: ekstrak seledri 0,011 g/200g bb + ekstrak tempuyung 0,057 g/200g bb; uji dosis II: ekstrak seledri 0,023g/200g bb + ekstrak tempuyung 0,114 g/200g bb; dan uji dosis III: ekstrak seledri 0,034g/200g bb + ekstrak tempuyung 0,171 g/200g bb. Pengukuran tekanan darah dengan cara langsung pada minggu keempat setelah pemberian ekstrak uji menggunakan manometer air raksa. Data dianalisa secara statistik menggunakan analisa homogenitas varians menurut Levene dan Kruskal-Walis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak campuran daun Apium graviolens Linn. dan daun Sonchus arvensis Linn dapat menurunkan tekanan darah tikus putih jantan yang dibuat hipertensi. ......Hypertension is a global health problem which needs a good treatment. Apium graviolens Linn and Sonchus arvensis Linn. have been known as antihypertension herbal drugs. The aim of this research is to know antihypertensive effect of Apium graviolens Linn and Sonchus arvensis Linn mixed extract. In this research, five groups of white male rats Sprague-Dawley strain were used, each groups contains 5 rats. The rats in the test groups and the hypertensive control induced to be hypertensive by giving 2% Sodium chloride solution as its drinking water for 3 weeks. Dose were used in this research at group I: Apium graviolens Linn. 0,011 g/200b body weights and Sonchus arvensis Linn. 0,057 g/200g body weights; group II: Apium graviolens Linn. 0,023 g/200b body weights and Sonchus arvensis Linn. 0,114 g/200g body weights; and group III: Apium graviolens Linn. 0,034 g/200b body weights and Sonchus arvensis Linn. 0,171 g/200g body weights. The measurement of blood pressure was done directly by using Hydragyrum Manometer on fourth weeks after the test extract were given. Data was analyzed statistically using analysis of variance by Levene and Kruskal-Walis methods. The result indicated that mixed extract of Apium graviolens Linn and Sonchus arvensis Linn decreased the mean arterial blood pressure of hypertensive white male rats.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Fita Yanti
Abstrak :
Preeklamsia menjadi penyebab kematian ibu hamil terbanyak kedua di Indonesia setelah pendarahan. Preeklamsia merupakan hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Faktor risiko preeklamsia dapat dilihat berdasarkan karakteristik maternal, pengukuran biofisik, dan pengukuran biokimia. Preeklamsia umumnya terjadi pada trimester ketiga kehamilan. Namun kondisi ibu hamil tetap harus diamati pada setiap titik waktu kehamilan. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah waktu kelahiran dengan kovariatnya adalah usia, Indeks Massa Tubuh (IMT), riwayat preeklamsia, Mean Arterial Pressure (MAP), dan Placental Growth Factor (PlGF). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Proportional Hazard (PH) parametrik dimana diasumsikan efek yang multiplikatif terhadap nilai hazard. Metode parametrik lainnya yang dapat digunakan adalah Accelerated Failure Time (AFT) yang mengasumsikan bahwa efek multiplikatif terhadap waktu survival.  Kedua metode tersebut merupakan metode parametrik dimana baseline hazard dari model diasumsikan mengikuti bentuk suatu distribusi tertentu. Konstruksi model terdiri dari pemilihan baseline hazard yang sesuai dengan data preeklamsia dan proses menambahkan kovariat ke dalam model. Estimasi parameter dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) yang menghasilkan persamaan kompleks dan harus diselesaikan secara numerik menggunakan bantuan software. Hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan preeklamsia adalah MAP dan PlGF. Perbandingan metode PH parametrik dan metode AFT menggunakan nilai AIC memberikan hasil bahwa model PH Gompertz memberikan fit yang lebih baik untuk data preeklamsia dengan nilai sebesar 328,2045. ......Preeclampsia is the second leading cause of death for pregnant women in Indonesia after bleeding. Preeclampsia is hypertension and proteinuria after gestational age of more than 20 weeks in women who previously had normal blood pressure. Risk factors for preeclampsia can be seen based on maternal characteristics, biophysical, and biochemical measurements. Preeclampsia generally occurs in the third trimester of pregnancy. However, the condition of pregnant women must still be observed at every point in time pregnancy. The dependent variable used in this study was the time of birth with the independent variables being age, Body Mass Index (BMI), history of preeclampsia, Mean Arterial Pressure (MAP), and Placental Growth Factor (PlGF). The method used in this research is parametric Proportional Hazard (PH) which is assumed to have a multiplicative effect on the hazard value. Another parametric method that can be used is  Accelerated Failure Time (AFT) which is assumed to have a multiplicative effect on survival time. Both methods are parametric methods where the baseline hazard of the model is assumed to follow the shape of a certain distribution. The construction of the model consists of selecting a baseline hazard that fits the preeclampsia data and the process of adding independent variables to the model. Parameter estimation is carried out using the Maximum Likelihood Estimation (MLE) method which produces complex equations and must be solved numerically using software. The results of this study obtain factors associated with preeclampsia are MAP and PlGF. Comparison of the parametric PH method and the AFT method using the AIC value gives the result that the Gompertz PH model provides a better fit for preeclampsia data with a value of 328.2045.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Maesadatu Syaharutsa
Abstrak :
Latar belakang: Preeklampsia masih menjadi penyumbang angka kesakitan dan kematian maternal dengan insidens sekitar 8,6 di Indonesia. Pola asuhan antenatal dengan melakukan penapisan awal menggunakan faktor maternal dan biofisik terhadap kejadian preeklampsia diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian maternal dan janin. Tujuan: Memperolah kalkulasi risiko dari faktor maternal dan biofisik terhadap kejadian preeklampsia. Metode: Studi ini merupakan kohort prospektif dengan melakukan consecutive sampling pada setiap ibu hamil dengan janin tunggal hidup dan tak terdapat kelainan kongenital anomali. Telah dilakukan penapisan pada 878 sampel dengan 8,7% mengalami preeklampsia. Setiap faktor maternal dan biofisik dilakukan analisis bivariat dan yang bermakna dilanjutkan dengan analisis multivariat. Variabel yang bermakna hingga analisis multivariat akan menghasilkan persamaan regresi logistik yang nantinya dapat menghitung a priori risk seorang perempuan mengalami preeklampsia. Hasil: Faktor maternal berupa riwayat hipertensi kronik dan riwayat preeklampsia di keluarga meningkatkan risiko preeklampsia. Faktor biofisik berupa indeks massa tubuh > 26 kg/m2, tekanan arteri rerata > 95 mmHg, dan indeks pulsatilitas arteri uterina yang tinggi juga meningkatkan risiko preeklampsia. AU-ROC dengan menggunakan faktor maternal dan kombinasi faktor maternal dan biofisik sebesar 63% dan 75%. Kesimpulan: Kombinasi faktor maternal dan biofisik dapat digunakan untuk menapis seorang ibu hamil untuk mengalami kejadian preeklampsia.
Background: Preeclampsia still contributes for maternal morbidity and mortality with incidence around 8,6% in Indonesia. Antenatal care with screening by using maternal and biophysical factors in predict the preeclampsia event is expected can reduce the number of maternal and fetal morbidity and mortality. Aim: Obtain the calculation risk from maternal and biophysical factors in predicting preeclampsia. Methods: We conducted a prospective cohort by performing consecutive sampling in every pregnant woman with singleton live intrauterine with no congenital anomaly. We screened 878 subjects with 8,7% became preeclampsia. Every maternal and biophysical factors were performed bivariate analysis and if statistically significant it continued to multivariate analysis of logistic regression. The equation of the logistic regression model will be performed to calculate the a priori risk of a pregnant woman becoming preeclampsia. Results: Maternal factors such as chronic hypertension and family history with preeclampsia will increase the risk of preeclampsia. Biophysical factors such as body mass index > 26 kg/m2, mean arterial pressure > 95 mmHg, and high value of pulsatility index of uterine artery will increase the risk or preeclampsia. The AU-ROC value by using maternal factor and combining maternal and biophysical factors were 63% and 75%, respectively. Conclusion: By combining the maternal and biophysical factors, it can be performed to screen a pregnant woman in preeclampsia event.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius H. Pudjiadi
Abstrak :
Panduan resusitasi anak umumnya menganjurkan pemberian cairan dalam jumlah besar. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan cairan yang agresif meningkatkan mortalitas. Penelitian pada hewan menunjukkan tekanan vena sentral yang tinggi memicu pelepasan atrial natriuretic peptide ANP , sementara penelitian invitro memperlihatkan ANP meluruhkan glycocalyx endotel vaskular dan meningkatkan permeabilitas endotel. ANP juga memicu vasodilatasi. Hemodilusi berpotensi menurunkan pasokan oksigen tubuh DO2 . Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh resusitasi cairan terhadap kadar ANP serum, peluruhan glycocalyx endotel vaskular, extravascular lung water index ELWI , mean arterial pressure MAP , kadar hemoglobin dan pasokan oksigen. Hewan model renjatan adalah 11 ekor Sus scrofa jantan, usia 6-10 minggu. Renjatan dilakukan dengan metode fixed pressure hemorrhage. Resusitasi pertama dilakukan dengan jumlah cairan sesuai darah yang dikeluarkan resusitasi normovolemik , dilanjutkan dengan 40 mL/kg resusitasi hipervolemik . Pengukuran hemodinamik dilakukan dengan PICCO. Serum ANP dan Syndecan-1, petanda peluruhan glycocalyx, dilakukan dengan teknik ELISA. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan ANP pasca resusitasi normovolemik p = 0,043 , yang kemudian menurun kembali dalam 30 menit. Peluruhan glycocalyx tidak terjadi. Perbedaan ELWI pada 60 menit pasca resusitasi secara statistik bermakna, dengan perbedaan 0,93 mL/kg 95 IK:0,19 -3,62 . Terdapat korelasi kuat antara SVRI dan CI pasca resusitasi hipervolemik r = -0,587 . Tidak ada perbedaan MAP pasca resusitasi normovolemik dan hipervolemik. Kadar hemoglobin pasca resusitasi hipervolemik lebih rendah daripada pasca resusitasi normovolemik p = 0,009 . Pasokan oksigen tubuh pasca resusitasi hipervolemik lebih tinggi daripada pasca resusitasi normovolemik p = 0,012 . Simpulan: Resusitasi cairan pada renjatan akibat perdarahan tidak mengakibatkan peluruhan glycocalyx endotel vaskular. Peningkatan ELWI amat terbatas. SVRI berkorelasi terbalik dengan CI. Tidak ada perbedaan MAP antara resusitasi normovolemik dan hipervolemik. Resusitasi hipervolemik menyebabkan hemodilusi yang diimbangi dengan peningkatan curah jantung. ...... Many pediatric guidelines recommend liberal fluid resuscitation, but recent studies showed that aggressive fluid resuscitation might increase mortality. Animal studies showed that high central venous pressure induced ANP secretion. Invitro studies showed convincing evidence that ANP induced glycocalyx shedding. ANP also induced vasodilatation through cGMP signal transduction pathways. Hemodilution due to a large amount of resuscitation fluid potentially decreasing oxygen delivery.The objectives of this study were investigating the effect of fluid resuscitation, in the animal model, with special concern on serum ANP, glycocalyx shedding indicate by serum Syndecan-1 , changes in extravascular lung water, systemic vascular resirtance and mean arterial pressure, hemoglobin level and oxygen delivery DO2 . The animal models were 11 male domestic pigs, 6 -10 weeks old. The shock was induced with fixed pressure hemorrhage method. Fluid resuscitation was done in 2 phases. On the first attempt, we replaced total numbers of blood that withdrawn normovolemic resuscitation . On the second attempt, we gave 40 mL/kg resuscitation fluids hypervolemic resuscitation . The hemodynamic measurements were done with PICCO. Serum ANP and Syndecan-1 were measure with ELISA method.We found that serum ANP increased after normovolemic resuscitation p = 0.043 and immediately back to base level in 30 minutes. Glycocalyx shedding did not occur. Extravascular lung water index minimally increased. There was a strong correlation between SVRI and CI at hypervolemic resuscitation r = -0.587 . There was no difference in mean arterial pressure between normovolemic and hypervolemic resuscitation. Hemoglobin level after hypervolemic resuscitation was lower than after normovolemic resuscitation p = 0.009 . Oxygen delivery was higher after hypervolemic resuscitation p = 0.012 .Conclusions: Hypervolemic resuscitation in this hemorrhagic shock model did not induce glycocalyx shedding, extravascular lung water index minimally increased. Systemic vascular resistance index negatively correlated to cardiac index. Fluid resuscitation may induce hemodilution, but oxygen delivery can be compensated by increasing cardiac output.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library