Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003
613.2 MED
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marisa
"Latar belakang: Kanker sel skuamosa (KSS) lidah adalah keganasan rongga mulut tersering dengan prognosis terburuk. Insiden KSS lidah cenderung meningkat dan semakin banyak pada usia kurang dari 45 tahun. Hampir semua pasien kanker kepala leher mengalami malnutrisi saat didiagnosis kanker. Tiga puluh satu persen pasien KSS kepala leher dengan kaheksia memiliki disease-free survival lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak kaheksia. Modalitas terapi KSS lidah seperti radioterapi, kemoterapi, pembedahan, maupun kombinasi ketiganya dapat memperburuk malnutrisi atau kaheksia yang telah terjadi jika tidak ditatalaksana dengan baik. Terapi medik gizi diperlukan pada pasien KSS lidah yang menjalani radioterapi untuk mencegah malnutrisi atau kaheksia.
Metode: Pasien KSS lidah berusia 41-53 tahun. Tiga pasien berjenis kelamin perempuan dan satu orang laki-laki. Dua pasien telah menjalani pembedahan, semua pasien menjalani radioterapi bersamaan dengan kemoterapi. Satu pasien memiliki hasil skrining MST kurang lebih 5, dan selebihnya memiliki nilai 4. Pemantauan dilakukan sebelum, saat, dan sesudah radioterapi meliputi keluhan subjektif, kondisi klinis, pemeriksaan laboratorium, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan. Keempat pasien mendapatkan edukasi nutrisi, oral nutrition support (ONS), suplementasi vitamin dan mineral serta asam lemak omega-3.
Hasil: Keempat pasien dapat meningkatkan asupan makanannya. Pasien mengalami penurunan berat badan, tiga pasien mengalami kenaikan berat badan pasca radioterapi. Dua pasien menggunakan NGT serta memiliki penyulit berupa hipertiroid subklinis dan DM tipe 2. Pasien mengalami anemia, dua di antaranya mengalami perbaikan kadar Hb. Terjadi penurunan massa otot namun terdapat perbaikan kekuatan genggaman tangan dan skor EGOG.
Kesimpulan: Terapi medik gizi dapat memperbaiki keluaran klinis, kapasitas fungsional, antropometri, dan laboratorium terutama pada pasien tanpa penyulit

Background. Squamous cell carcinoma of the tongue (SCCOT) is the most common oral cavity cancer with the worst prognosis. The incidence of SCCOT tends to increase at the age of less than 45 years old. Almost all head and neck cancer patients are malnourished at the time of diagnosis. Thirty-one percent of head and neck SCC cachexia patients have a lower disease-free survival than non cachexia. Modalities of tongue SCC therapy such as radiotherapy, chemotherapy, surgery, or a combination of all three can worsen malnutrition or cachexia that has occurred if it is not managed properly. Early medical nutrition therapy is required in SCCOT patients undergoing radiotherapy to prevent cachexia or malnutrition.
Method. Four SCCOT patients 41-53 years old. Three patients were females and one patient was male. Two patients underwent surgery, and all patients underwent concurrent radio-chemotherapy. One patient had MST score more less than 5, and the rest had a score of 4. Monitoring was carried out before, during and after radiotherapy including subjective complaints, clinical conditions, laboratory examinations, anthropometry, body composition, functional capacity and food intake analysis. Four patients received nutritional education, oral nutrition support (ONS), supplementation of vitamins and minerals and omega-3 fatty acid.
Results. All patients can increase their food intake. Patients experienced weight loss, most of them experienced weight gain after radiotherapy. Two patients used tube feeding and had complications of subclinical hyperthyroidism and type 2 diabetes. Patients had anemia, two of them had improved hemoglobin level. There was a decrease in muscle mass but there was an improvement in the strength of hand grip and EGOG score, especially after radiotherapy.
Conclusion. Medical nutrition therapy can improve clinical outcomes, functional capacity, anthropometry, and laboratory especially in patients without complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"Malnutrisi merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien luka bakar berat. Malnutrisi meningkatkan risiko infeksi, lama rawat, terhambatnya penyembuhan luka sehingga mortalitas meningkat. Glutamin merupakan nutrien spesifik yang berperan dalam penyembuhan luka. Tujuan penulisan serial kasus adalah dilaporkannya peran terapi medik gizi pada pasien luka bakar berat dengan malnutrisi yang mendapat glutamin. Empat pasien serial kasus dengan luka bakar berat, derajat II-III, 18,5-41% luas permukaan tubuh (LPT) disebabkan api dan bahan kimia dengan rentang usia 18−64 tahun. Berdasarkan rekomendasi ESPEN pada pasien dengan luka bakar >20% LPT, dosis glutamin enteral yang diberikan adalah 0,3-0,5 g/kg BB/hari. Asupan energi pasien selama perawatan 11-54 kkal/kg BB/hari, protein 0,2-2,4 g/kg BB/hari, lemak 6-28%, karbohidrat 52-70%, glutamin 0,02-0,2 g/kg BB/hari. Selama perawatan, hitung total limfosit (TLC) meningkat pada 2 dari 4 pasien dan terdapat perbaikan kapasitas fungsional pada 3 pasien. Peran glutamin pada pasien luka bakar yang mengalami malnutrisi belum dapat dinilai karena dosis yang diberikan kurang dari rekomendasi, namun tampak peningkatan TLC dan perbaikan kapasitas fungsional setelah pemberian nutrisi.

Malnutrition is the most common problem in severe burns patients. Malnutrition increases the risk of infection, length of stay, inhibits the healing process so increasing mortality. Glutamine is a specific nutrient that plays a role in wound healing. This case series was aimed to report the role of nutritional medical therapy in patients with severe burns with malnutrition who received glutamine. These case series analyzed four of 18-64 years old patients with severe fire and chemical burns, II-III degree, 18,5-41% of body surface area (BSA). According to ESPEN, the dose of enteral glutamine in burns patients >20% BSA is 0,3-0,5 g /kg BW/day. Energy intake of patients during treatment was 11-54 kcal /kg BW/day, protein 0,2-2,4 g /kg BW/day, fat 6-28%, carbohydrates 52-70%, glutamine 0,02-0,2 g /kg BW/day. During treatment, the total lymphocyte count (TLC) increased in 2 of 4 patients and there was an improvement in functional capacity in 3 patients. The role of glutamine in burn patients who have suffered malnutrition cannot yet be assessed because the dose given is less than the recommendation, but glutamine supplementation may be associated with an increase of TLC and improvement functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pinontoan, Rosnah
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit ginjal kronis PGK merupakan penyakit yang perlu menjalani Hemodialisis HD . HD merupakan suatu prosedur yang bersifat katabolik, sehingga memerlukan asupan energi dan protein yang adekuat untuk menghindari risiko malnutrisi.Kasus: Total pasien PGK dalam serial kasus ini berjumlah empat orang, berusia 36 ndash;54 tahun, telah menjalani HD dalam rentang waktu yang berbeda. Seluruh pasien mempunyai riwayat asupan protein
ABSTRACT Introduction As one of primary treatment for end stage renal disease patients, hemodialysis HD is a catabolic procedure. Unless having adequate energy and protein intake, dialysis patients will be at risk for malnutrition. Cases Four dialysis patients in this case series, aged 36 54, have undergone HD at different timescales. All patients had high risk of malnutrition, due to protein intake "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Wiradarma
"ABSTRAK
Latar Belakang: Status nutrisi seringkali berhubungan dengan infeksi tuberkulosis TB. TB aktif menyebabkan kehilangan berat badan dan berat badan kurang merupakan faktor risiko infeksi TB, baik melalui reaktivasi TB laten maupun penyakit primer yang progresif menjadi TB ekstrapulmonar TBEP. Defisiensi makro dan mikronutrien pada pasien malnutrisi akan mempengaruhi sistem cell-mediated immunity CMI. Selain itu infeksi TB juga meningkatkan kebutuhan energi, penurunan asupan makanan, penurunan berat badan, dan malabsorpsi makro dan mikronutrien sehingga terjadi wasting. Terapi medik gizi pada pasien TB paru dengan komplikasi TBEP dan malnutrisi bertujuan untuk memperbaiki parameter ststus nutrisi, mempertahankan imbang nitrogen dan mencegah proses wasting lebih lanjut. Metode: Pasien pada laporan serial kasus ini berusia antara 8 ndash;28 tahun menderita TB paru dengan komplikasi lesi TBEP yang berbeda-beda, yaitu: 1 limfadenitis TB, skrofuloderma, dan efusi pleura, 2 spondilitis TB, 3 TB intestinal pasca laparotomi dengan fistula enterokutan, serta 4 meningoensefalitis TB dan TB milier. Status gizi keempat pasien adalah 2 pasien malnutrisi berat dan 2 pasien malnutrisi ringan, dengan hasil skrining skor >2. Terapi medik gizi yang diberikan disesuaikan dengan kondisi klinis dan kelainan yang terdapat pada pasien. Keempat pasien diberikan suplementasi mikronutrien. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subjektif, tanda vital, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, kapasitas fungsional, serta pada pasien TB intestinal dilakukan pemantauan produksi fistel serta perubahan berat badan. Hasil: Tiga pasien mengalami perbaikan kondisi klinis, asupan makanan dan kapasitas fungsional, satu pasien perburukan dan meninggal. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat pada pasien TB dengan TBEP dan malnutrisi dapat mempercepat pemulihan dan memperbaiki status nutrisi.Kata kunci: Malnutrisi, terapi medik gizi, tuberkulosis ekstrapulmonar, suplementasi mikronutrien, keluaran klinis.

ABSTRACT<>br>
Objective Nutritional status and tuberculosis TB infections are frequently related. Active TB leads to weight loss and undernutrition is a risk factor for TB infection, either through the reactivation of latent TB or progressive primary disease into extrapulmonary TB EPTB. Macro and micronutrient deficiencies in malnourished patients will affect the cell mediated immunity CMI system. TB infection also increases energy demand, decreased food intake, induced weight loss, and macro and micronutrient malabsorption resulting in wasting. The aims of nutritional medical therapy in pulmonary tuberculosis patients complicated by EPTB and malnutrition are to improve the parameters of nutritional status, maintain nitrogen balance and prevent further wasting. Methods Patients age on this case series report between 8 and 28 years old, have pulmonary tuberculosis with complications of different EPTB lesions 1 TB lymphadenitis, scrofuloderma, and pleural effusion, 2 spondylitis TB, 3 post laparotomy intestinal TB with enterocutaneous fistula, and 4 TB meningoencephalitis and miliary TB. The nutritional status of all patients was 2 patient had severe malnutrition and 2 patients had mild malnutrition. All patient had screening score 2. Nutritional therapy which was given to all patients, was adjusted to the clinical conditions and abnormalities suffered by the patient. All patients received micronutrient supplementation. Monitoring included subjective complaints, vital signs, analysis and intake tolerance, laboratory examination, functional capacity, and in one patient with intestinal TB, fistel production and weight changes. Results Three patients showed improved clinical conditions, dietary intake and functional capacity, one patient suffered deteriorated and died. Conclusion Adequate medical nutrition therapy in malnourished and EPTB patients can improve recovery and improve nutritional status.Keywords Malnutrition, medical nutrition therapy, extrapulmonary tuberculosis, micronutrient supplementation, clinical outcome."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mulyantari
"Latar Belakang: Gagal napas merupakan suatu sindrom pada sistem pernapasan yang gagal dalam fungsi pertukaran gas, sehingga menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas sangat memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gagal napas. Terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dapat menjadi strategi terapi yang dapat mengurangi ketergantungan pada ventilator, mengurangi komplikasi, menurunkan lama rawat di ICU dan meningkatkan keluaran klinis pasien.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan gagal napas yang dirawat di ICU RSUPNCM. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada sakit kritis. Nutrisi enteral dini diberikan dalam 48 jam perawatan di ICU. Tiga pasien dapat mencapai target energi 25-30 kkal/kg BB, dan minimal protein 1,2 g/kg BB, sedangkan 1 pasien dengan obes I hanya dapat mencapai energi <70% dari kebutuhan energi total dan protein 0,6 g/kg BB. Mikronutrien diberikan dalam makanan cair. Volume makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan imbang cairan pasien setiap hari.
Hasil: Pasien pada serial kasus ini berusia 44-67 tahun, semua adalah laki-laki. Satu pasien dengan status gizi malnutrisi ringan, 2 pasien berat badan normal dan 1 pasien dengan obes 1. Dua dari empat pasien termasuk gagal napas tipe I akibat gagal jantung kongestif dengan edema paru. Dua pasien lainnya termasuk gagal napas tipe II akibat fasitis nekrotikan. Seluruh pasien mendapatkan nutrisi enteral dalam 48 jam pertama perawatan. Satu pasien dengan malnutrisi ringan, dan hipoalbuminemia berat mengalami perawatan >21 hari karena sulit weaningventilator dan masuk sebagai chronically crtically ill sedangkan tiga lainnya dengan BB normal dan obes mengalami <21 hari perawatan.
Kesimpulan: Status gizi memengaruhi lama pemakaian ventilator mekanik. Terapi medik gizi dapat diterapkan pada semua pasien sesuai dengan komorbid dan dapat mendukung perbaikan keluaran klinis pasien.

Background: Respiratory failure is a respiratory system syndrome of inadequate gas exchange, resulting hypoxemia and/or hypercapnia. Respiratory failure patient needs mechanical ventilation as the main therapy. Malnutrition and respiratory failure are related. Early enteral nutrition is a therapeutic strategy that can reduce dependence on mechanical ventilation, complications, length of stay in ICU and improve clinical outcomes in critically ill respiratory failure patients.
Methode: This case series report four critically ill patients with respiratory failure from the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical nutrition therapy is implemented according to the ESPEN clinical nutrition guideline in critically ill. Early enteral nutrition is given in 48 hours of ICU care. Three patients can reach the energy target of 25-30 kcal/kg ABW, and a minimum of 1.2 g/kg ABW protein, whereas 1 obese patient can only achieved <70% of estimated TEE and protein needs of 0.6 g/kg IBW. Micronutrients given within enteral formula. The volume of enteral nutrition is adjusted to patient's fluid balance every day.
Result: Patients were 44-67 years old, all males. One patient was with mild malnutrition, 2 patients were in normal weight and 1 patient was obese I. Two of them were diagnosed as respiratory failure type I due to congestive heart failure with pulmonary edema. The two others were respiratory failure type II due to necrotizing fasciitis. All patients received early enteral nutrition within 48 hours. One patient with malnutrition and severe hypoalbuminemia stayed for >21 days in ICU for mechanical ventilation need, and become a chronically crtically ill while others are <21 days.
Conclusion: Nutritional status affects mechanical ventilation dependence. Medical nutrition therapy can be applied to all patients according to their comorbidities and can improve clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55557
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Feni Nugraha
"Luka bakar berat dapat menyebabkan respons hipermetabolisme dan hiperkatabolisme persisten dan berkepanjangan. Pasien luka bakar yang dirawat di rumah sakit (RS) sering memiliki komorbid, seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2 (DMT2), dan hipertensi. Inflamasi kronik akibat obesitas dan komorbid pada luka bakar berat berperan di dalam terjadinya fenomena second hit yang dapat memperberat respons hipermetabolisme. Terapi medik gizi pada pasien luka bakar berat dengan obesitas dan penyulit metabolik bertujuan untuk mencegah penurunan berat badan, mempertahankan massa otot, mengurangi respons hipermetabolisme, menjaga kontrol glikemik dan tekanan darah, meningkatkan sistem imun, membantu penyembuhan luka, memerbaiki kapasitas fungsional, sehingga meningkatkan luaran klinis serta menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas. Empat pasien serial kasus dengan luka bakar berat, derajat II-III, 29-38% luas permukaan tubuh (LPT), disebabkan oleh api dan listrik, memiliki status obes I serta komorbid DMT2 dan hipertensi. Terapi medik gizi pada pasien diawali dengan nutrisi enteral dini dalam waktu 24 jam pertama pasca luka bakar, sesuai dengan rekomendasi The European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) serta Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Terapi medik gizi berdasarkan rekomendasi tersebut disesuaikan kondisi klinis, toleransi asupan, dan hasil laboratorium pasien. Target pemberian nutrisi menggunakan formula Xie, dengan komposisi seimbang, terdiri atas protein 1,5-2 g/kg BB ideal/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 45-65%. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin B kompleks 3x1, asam folat 1x1 mg, vitamin C 2x250 mg, dan seng 1x20 mg. Keempat pasien serial kasus mengalami perbaikan kondisi klinis, penyembuhan luka baik, tidak ada infeksi dan komplikasi selama perawatan, tekanan darah dan kontrol glikemik baik, penurunan BB<10%, perbaikan kapasitas fungsional, dan lama rawat pasien lebih singkat. Keempat pasien dipulangkan untuk rawat jalan.Terapi medik gizi yang optimal dapat memerbaiki luaran klinis serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien luka bakar berat dengan obesitas dan penyulit metabolik.

Severe burn injury can cause a persistent and prolonged hypermetabolism and hypercabolism response. Severe burn injury patients treated in hospitals generally have comorbidities, such as obesity, DMT2, and hypertension. Chronic inflammation due to obesity and comorbidities in severe burn injury contributes to a second hit phenomenon in terms of augmenting the hypermetabolic response. Medical nutrition therapy in severe burn injury patient with obesity and metabolic disease is required in order to prevent weight loss, maintain muscle mass, reduce hypermetabolism response, maintain glycemic control and blood pressure, improve the immune system, help wound healing, improve functional capacity, therefore increasing clinical outcome and reduce the risk of morbidity and mortality. The case series consists of four patients with severe burn injury, degree II−III, 29−38% total body surface area, caused by fire and electricity, nutritional status obese I with DMT2 and hypertension. Medical nutrition therapy was initiated with early enteral nutrition within the first 24 hours after burn injury, according to ESPEN, SCCM and ASPEN recommendations and also adjusted based on clinical conditions, nutritional tolerance, and laboratory results. The nutrition target was calculated using Xie formula, with a balanced composition, consists of protein 1.5−2 g/kg ideal body weight/day, fat 25−30%, and carbohydrate 45−65%. Micronutrients supplementation given to these patients includes vitamin B complex 3x1 tablets, folic acid 1x1 mg, vitamin C 2x250 mg, and zinc 1x20 mg. Four patients had improvement in clinical condition and wound healing, no infections and complications during treatment, controlled blood pressure and glycemic, decreased body weight <10%, improvement in functional capacity, and shortened length of hospital stay. All four patients were discharged for outpatient care. Optimal medical nutrition therapy can improve clinical outcomes and reduce the morbidity and mortality rates in severe burn injury patients with obesity and metabolic disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisadelfa Sutanto
"Latar Belakang: Cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan kronis yang memengaruhi kebutuhan energi dan protein. Proses penyembuhan yang lama akibat trauma sistem saraf dan komplikasi akibat tirah baring lama berdampak pada penurunan angka harapan hidup dan kualitas hidup seseorang. Risiko malnutrisi akibat inaktivitas kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot yang juga berpengaruh pada status nutrisi. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons metabolik, mempertahankan massa bebas lemak, dan mencegah komplikasi. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan cedera tulang belakang yang memiliki karakteristik usia 29-58 tahun. Status gizi pasien saat admisi adalah berat badan BB normal. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan sakit kritis. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna dengan target capaian 30 kkal/kg BB. Mikronutrien utama yang diberikan adalah vitamin B. Hasil: Dua pasien kasus pertama dan ketiga pulang dengan pemenuhan nutrisi sesuai rekomendasi dan dapat mengkonsumsi asupan melalui jalur oral. Dua pasien yang meninggal pasien kedua dan keempat, tata laksana nutrisi tidak mencapai target. Pasien kedua memiliki penyulit berupa atelektasis paru kanan, infeksi sekunder Pseudomonas aeroginosa dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan pasien keempat memiliki penyulit berupa kontusio paru, infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien. Penyulit seperti infeksi sekunder atau komorbid lain dapat menjadi kendala keberhasilan tatalaksana nutrisi yang optimal.
Background: Spinal cord injury causes chronic paralysis that affects energy and protein requirement. The long-term healing process due to nervous system trauma and complications caused by prolonged bed rest impact on decreasing life expectancy and quality of life. The risk of malnutrition due to chronic inactivity can lead to loss of muscle mass, that also affects nutritional status. The aims of medical nutrition therapy are to decrease metabolic response, maintain fat-free mass, and prevent complications. Methods: This case series reported four critically ill patients with spinal cord injury aged 29-58 years. All patients had normoweight. Medical nutrition therapy was given based on nutrition guidelines for critically ill patients. Nutrition was given in accordance with clinical and gastrointestinal tolerance, increased gradually up to 30 kcal/kg body weight. Micronutrient given was vitamin B. Results: Two patients the first and the third discharged with optimal nutrient intake given orally. Other two patients the second and the fourth had right atelectasis, secondary infecton of Pseudomonas aeruginosa and Klebisella pneumoniae, the latter had pulmonary contusions and secondary infection as well. Conclusion: Adequate nutrition supports patient rsquo;s recovery. Comorbidty and infection can be obstacle to achieve optimal nutrition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>