Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003
613.2 MED
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pinontoan, Rosnah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit ginjal kronis PGK merupakan penyakit yang perlu menjalani Hemodialisis HD . HD merupakan suatu prosedur yang bersifat katabolik, sehingga memerlukan asupan energi dan protein yang adekuat untuk menghindari risiko malnutrisi.Kasus: Total pasien PGK dalam serial kasus ini berjumlah empat orang, berusia 36 ndash;54 tahun, telah menjalani HD dalam rentang waktu yang berbeda. Seluruh pasien mempunyai riwayat asupan protein
ABSTRACT Introduction As one of primary treatment for end stage renal disease patients, hemodialysis HD is a catabolic procedure. Unless having adequate energy and protein intake, dialysis patients will be at risk for malnutrition. Cases Four dialysis patients in this case series, aged 36 54, have undergone HD at different timescales. All patients had high risk of malnutrition, due to protein intake
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Wiradarma
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Status nutrisi seringkali berhubungan dengan infeksi tuberkulosis TB. TB aktif menyebabkan kehilangan berat badan dan berat badan kurang merupakan faktor risiko infeksi TB, baik melalui reaktivasi TB laten maupun penyakit primer yang progresif menjadi TB ekstrapulmonar TBEP. Defisiensi makro dan mikronutrien pada pasien malnutrisi akan mempengaruhi sistem cell-mediated immunity CMI. Selain itu infeksi TB juga meningkatkan kebutuhan energi, penurunan asupan makanan, penurunan berat badan, dan malabsorpsi makro dan mikronutrien sehingga terjadi wasting. Terapi medik gizi pada pasien TB paru dengan komplikasi TBEP dan malnutrisi bertujuan untuk memperbaiki parameter ststus nutrisi, mempertahankan imbang nitrogen dan mencegah proses wasting lebih lanjut. Metode: Pasien pada laporan serial kasus ini berusia antara 8 ndash;28 tahun menderita TB paru dengan komplikasi lesi TBEP yang berbeda-beda, yaitu: 1 limfadenitis TB, skrofuloderma, dan efusi pleura, 2 spondilitis TB, 3 TB intestinal pasca laparotomi dengan fistula enterokutan, serta 4 meningoensefalitis TB dan TB milier. Status gizi keempat pasien adalah 2 pasien malnutrisi berat dan 2 pasien malnutrisi ringan, dengan hasil skrining skor >2. Terapi medik gizi yang diberikan disesuaikan dengan kondisi klinis dan kelainan yang terdapat pada pasien. Keempat pasien diberikan suplementasi mikronutrien. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subjektif, tanda vital, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, kapasitas fungsional, serta pada pasien TB intestinal dilakukan pemantauan produksi fistel serta perubahan berat badan. Hasil: Tiga pasien mengalami perbaikan kondisi klinis, asupan makanan dan kapasitas fungsional, satu pasien perburukan dan meninggal. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat pada pasien TB dengan TBEP dan malnutrisi dapat mempercepat pemulihan dan memperbaiki status nutrisi.Kata kunci: Malnutrisi, terapi medik gizi, tuberkulosis ekstrapulmonar, suplementasi mikronutrien, keluaran klinis.
ABSTRACT<>br> Objective Nutritional status and tuberculosis TB infections are frequently related. Active TB leads to weight loss and undernutrition is a risk factor for TB infection, either through the reactivation of latent TB or progressive primary disease into extrapulmonary TB EPTB. Macro and micronutrient deficiencies in malnourished patients will affect the cell mediated immunity CMI system. TB infection also increases energy demand, decreased food intake, induced weight loss, and macro and micronutrient malabsorption resulting in wasting. The aims of nutritional medical therapy in pulmonary tuberculosis patients complicated by EPTB and malnutrition are to improve the parameters of nutritional status, maintain nitrogen balance and prevent further wasting. Methods Patients age on this case series report between 8 and 28 years old, have pulmonary tuberculosis with complications of different EPTB lesions 1 TB lymphadenitis, scrofuloderma, and pleural effusion, 2 spondylitis TB, 3 post laparotomy intestinal TB with enterocutaneous fistula, and 4 TB meningoencephalitis and miliary TB. The nutritional status of all patients was 2 patient had severe malnutrition and 2 patients had mild malnutrition. All patient had screening score 2. Nutritional therapy which was given to all patients, was adjusted to the clinical conditions and abnormalities suffered by the patient. All patients received micronutrient supplementation. Monitoring included subjective complaints, vital signs, analysis and intake tolerance, laboratory examination, functional capacity, and in one patient with intestinal TB, fistel production and weight changes. Results Three patients showed improved clinical conditions, dietary intake and functional capacity, one patient suffered deteriorated and died. Conclusion Adequate medical nutrition therapy in malnourished and EPTB patients can improve recovery and improve nutritional status.Keywords Malnutrition, medical nutrition therapy, extrapulmonary tuberculosis, micronutrient supplementation, clinical outcome.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mulyantari
Abstrak :
Latar Belakang: Gagal napas merupakan suatu sindrom pada sistem pernapasan yang gagal dalam fungsi pertukaran gas, sehingga menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas sangat memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gagal napas. Terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dapat menjadi strategi terapi yang dapat mengurangi ketergantungan pada ventilator, mengurangi komplikasi, menurunkan lama rawat di ICU dan meningkatkan keluaran klinis pasien. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan gagal napas yang dirawat di ICU RSUPNCM. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada sakit kritis. Nutrisi enteral dini diberikan dalam 48 jam perawatan di ICU. Tiga pasien dapat mencapai target energi 25-30 kkal/kg BB, dan minimal protein 1,2 g/kg BB, sedangkan 1 pasien dengan obes I hanya dapat mencapai energi <70% dari kebutuhan energi total dan protein 0,6 g/kg BB. Mikronutrien diberikan dalam makanan cair. Volume makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan imbang cairan pasien setiap hari. Hasil: Pasien pada serial kasus ini berusia 44-67 tahun, semua adalah laki-laki. Satu pasien dengan status gizi malnutrisi ringan, 2 pasien berat badan normal dan 1 pasien dengan obes 1. Dua dari empat pasien termasuk gagal napas tipe I akibat gagal jantung kongestif dengan edema paru. Dua pasien lainnya termasuk gagal napas tipe II akibat fasitis nekrotikan. Seluruh pasien mendapatkan nutrisi enteral dalam 48 jam pertama perawatan. Satu pasien dengan malnutrisi ringan, dan hipoalbuminemia berat mengalami perawatan >21 hari karena sulit weaningventilator dan masuk sebagai chronically crtically ill sedangkan tiga lainnya dengan BB normal dan obes mengalami <21 hari perawatan. Kesimpulan: Status gizi memengaruhi lama pemakaian ventilator mekanik. Terapi medik gizi dapat diterapkan pada semua pasien sesuai dengan komorbid dan dapat mendukung perbaikan keluaran klinis pasien. ......Background: Respiratory failure is a respiratory system syndrome of inadequate gas exchange, resulting hypoxemia and/or hypercapnia. Respiratory failure patient needs mechanical ventilation as the main therapy. Malnutrition and respiratory failure are related. Early enteral nutrition is a therapeutic strategy that can reduce dependence on mechanical ventilation, complications, length of stay in ICU and improve clinical outcomes in critically ill respiratory failure patients. Methode: This case series report four critically ill patients with respiratory failure from the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical nutrition therapy is implemented according to the ESPEN clinical nutrition guideline in critically ill. Early enteral nutrition is given in 48 hours of ICU care. Three patients can reach the energy target of 25-30 kcal/kg ABW, and a minimum of 1.2 g/kg ABW protein, whereas 1 obese patient can only achieved <70% of estimated TEE and protein needs of 0.6 g/kg IBW. Micronutrients given within enteral formula. The volume of enteral nutrition is adjusted to patient's fluid balance every day. Result: Patients were 44-67 years old, all males. One patient was with mild malnutrition, 2 patients were in normal weight and 1 patient was obese I. Two of them were diagnosed as respiratory failure type I due to congestive heart failure with pulmonary edema. The two others were respiratory failure type II due to necrotizing fasciitis. All patients received early enteral nutrition within 48 hours. One patient with malnutrition and severe hypoalbuminemia stayed for >21 days in ICU for mechanical ventilation need, and become a chronically crtically ill while others are <21 days. Conclusion: Nutritional status affects mechanical ventilation dependence. Medical nutrition therapy can be applied to all patients according to their comorbidities and can improve clinical outcomes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55557
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisadelfa Sutanto
Abstrak :
Latar Belakang: Cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan kronis yang memengaruhi kebutuhan energi dan protein. Proses penyembuhan yang lama akibat trauma sistem saraf dan komplikasi akibat tirah baring lama berdampak pada penurunan angka harapan hidup dan kualitas hidup seseorang. Risiko malnutrisi akibat inaktivitas kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot yang juga berpengaruh pada status nutrisi. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons metabolik, mempertahankan massa bebas lemak, dan mencegah komplikasi. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan cedera tulang belakang yang memiliki karakteristik usia 29-58 tahun. Status gizi pasien saat admisi adalah berat badan BB normal. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan sakit kritis. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna dengan target capaian 30 kkal/kg BB. Mikronutrien utama yang diberikan adalah vitamin B. Hasil: Dua pasien kasus pertama dan ketiga pulang dengan pemenuhan nutrisi sesuai rekomendasi dan dapat mengkonsumsi asupan melalui jalur oral. Dua pasien yang meninggal pasien kedua dan keempat, tata laksana nutrisi tidak mencapai target. Pasien kedua memiliki penyulit berupa atelektasis paru kanan, infeksi sekunder Pseudomonas aeroginosa dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan pasien keempat memiliki penyulit berupa kontusio paru, infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien. Penyulit seperti infeksi sekunder atau komorbid lain dapat menjadi kendala keberhasilan tatalaksana nutrisi yang optimal. ...... Background: Spinal cord injury causes chronic paralysis that affects energy and protein requirement. The long-term healing process due to nervous system trauma and complications caused by prolonged bed rest impact on decreasing life expectancy and quality of life. The risk of malnutrition due to chronic inactivity can lead to loss of muscle mass, that also affects nutritional status. The aims of medical nutrition therapy are to decrease metabolic response, maintain fat-free mass, and prevent complications. Methods: This case series reported four critically ill patients with spinal cord injury aged 29-58 years. All patients had normoweight. Medical nutrition therapy was given based on nutrition guidelines for critically ill patients. Nutrition was given in accordance with clinical and gastrointestinal tolerance, increased gradually up to 30 kcal/kg body weight. Micronutrient given was vitamin B. Results: Two patients the first and the third discharged with optimal nutrient intake given orally. Other two patients the second and the fourth had right atelectasis, secondary infecton of Pseudomonas aeruginosa and Klebisella pneumoniae, the latter had pulmonary contusions and secondary infection as well. Conclusion: Adequate nutrition supports patient rsquo;s recovery. Comorbidty and infection can be obstacle to achieve optimal nutrition.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Diah Erlinawati
Abstrak :
Stroke iskemik pada pasien geriatri meningkatkan risiko malnutrisi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu disfagia, tipe stroke, masalah gastrointestinal, disabilitas fisik, penyakit komorbid dan psikologis. Tujuan utama intervensi nutrisi adalah membantu pemulihan fungsi neurokognitif dan mencegah defisit energi dan protein. Pasien pada serial kasus ini adalah pasien geriatri berusia di atas 65 tahun dengan diagnosis stroke iskemik yang dirawat di RSCM pada bulan Agustus-September 2019. Terapi medik gizi diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing pasien melalui jalur enteral. Satu pasien dapat makan melalui jalur oral di akhir perawatan. Suplementasi mikronutrien yang diberikan adalah vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, asam folat dan seng. Hasil yang didapatkan selama perawatan sebanyak tiga pasien mencapai kebutuhan energi total (KET)dan satu pasien mencapai kebutuhan 83% KET. Asupan protein mencapai target 1,2 g/kg BB atau lebih pada tiga orang pasien. Suplementasi mikronutrien mencapai nilai AKG bagi usia di atas 65 tahun. Mikronutrien belum mencapai AKG yaitu vitamin E, vitamin D, kalium, magnesium. Nutrien spesifik omega-3 dan kolin yang diperoleh dari asupan makan pada sebagian pasien belum memenuhi AKG. Lama perawatan pasien di rumah sakit 10 hingga 33 hari. Nilai severitas stroke dengan NIHSS dan kapasitas fungsional dengan FIM di akhir perawatan menunjukkan perbaikan. Keempat pasien pulang ke rumah dengan keadaan klinis perbaikan. Kesimpulan yang didapatkan yaitu terapi medik gizi yang adekuat berperan memperbaiki derajat keparahan dan kapasitas fungsional pasien geriatri dengan stroke iskemik.
The geriatric patient with ischemic stroke increased risk of malnutrition, which because various causes including dysphagia, type of stroke, gastrointestinal problems, physical disability, comorbid disease and psychological problem. The main purpose of nutrition intervention is to help restore neurocognitive function and prevent energy/protein deficits. Patients in this case series were geriatric patients aged over 65 years with a diagnosis of ischemic stroke who were treated at the Cipto Mangunkusumo General Hospital in August-September 2019. Medical nutrition therapy was given to all four patients, according to the clinical condition of each patient through the enteral route. One patient could eat by oral route at the end of treatment. Patients have given oral micronutrient supplementation consisting of vitamin B6, Vitamin B12, vitamin C, folic acid and zinc. The results obtained as many as three patients achieved total energy requirements and one patient reached 83% energy requirements. Protein intake reached the target of 1,2 g/kg body weight just in three patients. Supplementation micronutrients oral reached RDA values for people over 65 years. Micronutrients that have not yet reached the RDA were vitamin E, vitamin D, potassium, magnesium. Omega-3 and choline obtained from food intake in some patients do not meet the RDA. The length of stay in the hospital was around 10-33 days. The value of stroke severity with NIHSS and functional capacity with FIM at the end of treatment showed improvement. All four patients returned home with improvement. The conclusion obtained is that adequate nutritional medical therapy plays a role in improving the severity and functional capacity of geriatric patients with ischemic stroke.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
Abstrak :
Defisiensi vitamin D sering terjadi pada penyakit autoimun, termasuk pemfigus vulgaris (PV) dan systemic lupus erythematosus (SLE). Sementara itu, terapi nutrisi dan suplementasi vitamin D masih belum rutin dilakukan dalam tata laksana PV dan SLE. Serial kasus ini melaporkan terapi nutrisi dan suplementasi vitamin D pada empat kasus penyakit autoimun yang mengalami kekambuhan. Serial kasus terdiri atas dua pasien laki-laki PV dan dua pasien perempuan SLE dengan defisiensi vitamin D yang putus obat akibat pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19). Keempat pasien mengalami malnutrisi berat secara klinis, karena penurunan asupan makanan dan berat badan dengan berbagai komplikasi obat imunosupresan jangka panjang, yaitu meningkatnya risiko infeksi, sepsis, sarkopenia, deposisi lemak, diabetes mellitus diinduksi steroid, dislipidemia, hipertensi, dan depresi. Asupan energi secara bertahap ditingkatkan secara enteral melalui nasogatric tube (NGT) dan/atau rute oral untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein total. Kebutuhan energi total menggunakan Formula Harris-Benedict dengan faktor stres yang disesuaikan dengan profil klinis dan metabolik masing-masing pasien. Kebutuhan protein ditetapkan 1,5–2,0 g/kg BB/hari untuk pasien PV dan 0,8–1,2 g/kg BB/hari untuk pasien SLE dengan keterlibatan ginjal. Lemak dan karbohidrat (KH) disesuaikan dengan komposisi seimbang, yaitu 45–60% KH, 25 g serat, dan <5% added sugar serta 25–30% lemak dengan <7% asam lemak jenuh, ~20% asam lemak tak jenuh tunggal, dan ~ 10% asam lemak tak jenuh jamak. Dua pasien PV mengalami insufisiensi (16,4 ng/mL dan 22,1 ng/mL) dan dua pasien SLE mengalami defisiensi (6,6 ng/mL dan 9,1 ng/mL). Keempat pasien mendapatkan kolekalsiferol 6000 IU/hari selama 8 minggu berturut-turut. Setelah 1 bulan suplementasi vitamin D dan terapi nutrisi adekuat, serum vitamin D serta status nutrisi dan skor Karnofsky meningkat. Kualitas hidup yang dinilai dengan Dermatology Life Quality Index (DLQI) untuk pasien PV dan Lupus quality of life (LupusQoL) untuk pasien SLE juga meningkat. Serial kasus ini menyimpulkan bahwa tata laksana komprehensif yang menyertakan terapi nutrisi adekuat dan evaluasi serum vitamin D dapat meningkatkan kondisi klinis dan metabolik, status gizi, kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pasien autoimun kambuh. ......Vitamin D deficiency is common in autoimmune disease, including pemphigus vulgaris (PV) and systemic lupus erythematosus (SLE). Meanwhile, nutrition therapy and vitamin D supplementation are still not routines in comprehensive management of PV and SLE. In this case series, we report nutrition therapy and vitamin D supplementation of four cases of relapse autoimmune disease. This series consist of two males of PV and two females of SLE with vitamin D deficiency that dropped out of treatment due to corona virus disease 2019 (COVID-19) pandemic. Patients became clinically severe malnutrition because of reduced food intake and body weight with various long-term immunosuppressant drug complications, ie increased risk of infections, sepsis, sarcopenia, fat deposition, steroid induced diabetes mellitus, dyslipidemia, hypertension, and depression. Energy intake was gradually increased enterally via nasogatric tube (NGT) and/or oral route to meet total energy and protein requirement. Total energy requirement was calculated by Harris-Benedict Formula with stress factor adjusted by clinical and metabolic profile of each patient. Protein requirement set by 1.5–2.0 g/kg BW/day for PV and 0,8–1,2 g/kg BW/day for SLE with renal involvement. Fat and carbohydrate (CHO) were tailored by balance composition, ie 45–60% CHO, 25 g fiber, and <5% added sugar and 25–30% fat with <7% saturated fatty acid, ~20% monounsaturated fatty acid, and ~10% polyunsaturated fatty acid. Two PV patients were insufficiency (16,4 ng/mL and 22,1 ng/mL) and two SLE patients were deficiency (6,6 ng/mL and 9,1 ng/mL). Cholecalciferol 6000 IU/day was prescribed for 8 weeks. After 1 month vitamin D supplementation and an adequate nutrition therapy, serum vitamin D was increased as well as nutritional state and Karnofsky’s score. Dermatology Life Quality Index (DLQI) for PV and LupusQoL for SLE were also enhanced. Finally, comprehensive management along with an adequate nutrition therapy and vitamin D evaluation improved clinical and metabolic condition, nutritional status, functional capacity, and quality of life of relapse autoimmune patient.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Ngatidjan
Abstrak :
Kaki diabetik merupakan komplikasi pada diabetes melitus (DM) tipe 2 tersering yang menyebabkan pasien menjalankan perawatan di rumah sakit. Penyulit lain pada DM tipe 2 berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan penting dalam kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, serta perbaikan penyembuhan luka. Serial kasus ini melibatkan empat pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit yang diberikan terapi medik gizi berupa asupan energi, makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi gaya hidup. Pasien dilakukan pemantauan selama 19 hari sesuai fase proliferasi penyembuhan luka. Satu pasien dengan ketoasidosis diabetikum, satu pasien dengan hipertensi, dan dua pasien dengan diabetic kidney disease. Kontrol glikemik keempat pasien tercapai pada akhir perawatan di rumah sakit dan tidak didapatkan penurunan berat badan yang bermakna selama masa pemantauan. Penyembuhan luka berupa luka mengering, edema berkurang, dan timbulnya jaringan granulasi didapatkan pada tiga diantara empat pasien. Satu pasien tidak didapatkan penyembuhan luka yang signifikan karena adanya stenosis multipel pembuluh darah arteri di tungkai kiri. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan pada perbaikan kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, dan penyembuhan luka. ...... The most common cause of complication and hospitalization in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients are those associated with diabetic foot (DF). Complication of T2DM contribute to increasing morbidity and mortality. Medical nutrition therapy in patients with T2DM and DF with various complication plays an important role in management of glycemic control, worsening nutritional status, and repair wound healing. This case series include four patients T2DM and DF with various complication that given nutritional medical therapy consisting of energy intake, macronutrients, micronutrients, spesific nutrient, and healthy lifestyle education. Patients was monitored for 19 days according to the proliferation phase of wound healing. One patient with diabetic ketoacidosis, one patient with hypertension, and two patients with diabetic kidney disease. All patients got glycemic control during hospitalization. No significant weight loss was observed during monitoring period. Wounds in three of the four patients appeared to heal with dry wound, reduced edema, and formation of granulation tissue. One patient found insignificant wound healing due to multiple arterial stenosis in the left leg. Medical nutrition therapy with type 2 diabetes and diabetic foot with various complications plays an important role in management of glycemic control, preventing worsening nutritional status, and repair wound healing.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vikie Nouvrisia Anandaputri
Abstrak :
Latar Belakang. Pasien kanker laring dapat mengalami malnutrisi sebelum menjalani radioterapi yang ditandai dengan penurunan berat badan yang tidak disengaja akibat penurunan massa bebas lemak. Kasus serial ini bertujuan untuk mengamati kaitan asupan protein dengan perbaikan fat free mass index (FFMI). Metode. Empat pasien pada serial kasus ini didiagnosis karsinoma sel skuamosa laring pascalaringektomi total dan diseksi leher stadium III dan IV dengan status gizi malnutrisi berat dan sedang, berat badan normal, dan obes I, berusia 51-62 tahun yang dikonsulkan ke dokter Gizi Klinik pada bulan Agustus sampai November 2019 sejak awal radioterapi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan kondisi klinis melalui jalur oral. Pemantauan dilakukan pada minggu pertama radiasi, selama radiasi, minggu terakhir radiasi, dan pascaradiasi. Hasil. Kadar albumin serum keempat pasien dalam batas normal dan meningkat saat akhir radiasi pada tiga orang pasien. Pasien malnutrisi sedang mengalami penurunan FFMI dengan asupan protein <2 g/kg BB, pasien malnutrisi berat mengalami peningkatan FFMI dengan asupan protein 1,1-1,4 g/kg BB. FFMI pasien obes meningkat lalu menurun dengan asupan protein 0,8-1,7 g/kg BB. FFMI pasien BB normal meningkat dengan asupan protein 2 g/kg BB. Rentang asupan protein adalah 0,7-1,5 g/kg BB saat awal radiasi, selama radiasi 0,8-2 g/kg BB, akhir radiasi 1,1-2 g/kg BB. Kesimpulan. FFMI cenderung mengalami peningkatan sampai akhir radiasi pada asupan protein yang mencapai 2 g/kg BB pada pasien BB normal. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan asupan protein dan FFMI pada pasien KSS laring yang menjalani radioterapi.
Bacground. Laryngeal cancer patients can experience malnutrition before undergoing radiotherapy characterized by unintentional weight loss due to a reduction in fat free mass. Aim of the case series to observe protein intake with fat free mass index (FFMI) improvement. Method. Four patients were diagnosed with laryngeal squamous cell carcinoma post total laryngectomy and neck dissection with nutritional status of severe and moderate malnutrition, normal weight, and obese grade I, aged 51-62 years who were consulted to Clinical Nutrition physician in August to November 2019 which underwent radiotherapy. Medical nutrition therapy is given according to the clinical condition of each patient through oral. Monitoring was carried out in the first week, during, the end, and after radiation. Results. Serum albumin were within normal level and increased at the end of radiation in 3 patients. FFMI of malnourished patients was decreased with protein intake <2 g/kg BW. FFMI of severely malnourished patients increases with protein intake from 1.1 to 1.4 g/kg body weight. FFMI of obese patients increases then decreases with protein intake from 0.8 to 1.7 g/kg body weight. FFMI of normoweight patients increases with a protein intake of 2 g/kg BW. The range of protein intake is 0.7-1.5 g/kg BW at first week, 0.8-2 g/kg BW during, and 1.1-2 g/kg BW at the end of radiation. Conclusion. FFMI tends to increase on protein intake 2 g/kg BW in normoweight patients. Further research is needed regarding the relationship of protein intake and FFMI in laryngeal patients undergoing radiotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>