Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lia Savitri Eka Nur
"Filariasis yang disebarkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.7 Pemberantasan filariasis dengan menggunakan insektisida sintetis menyebabkan resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap insektisida tersebut.44 Tujuan penelitian ini untuk menganalisis toksisitas senyawa camphor terhadap larva Cx. quinquefasciatus yang terfokus pada enzim detoksifikasi dan kelainan histopatologi midgut. Larva Cx. quinquefasciatus yang digunakan merupakan larva wild strain yang diperoleh dari lapangan. Bioassay larva mengikuti protokol WHO. Larva akan dipaparkan camphor dengan konsentrasi 0,5, 1,5, 10,5, 25,5, dan 50 ppm selama 24, 48, dan 72 jam dengan 5 kali pengulangan yang memperlihatkan mortalitas yang berbeda bermakna (p<0.05). Pada 50 ppm terjadi 100% mortalitas larva Cx. quinquefasciatus selama 48 jam. Nilai LC50 2,32 ppm dan LC90 sebesar 12,40 ppm Histopatologi midgut dengan pewarnaan hematoksilin eosin terjadi kerusakan masif. Enzim detoksifikasi yang diperiksa dengan metode CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menunjukan AChE dan oksidase ialah enzim target dari camphor.

Filariasis spread by Culex quinquefasciatus mosquitoes is still a public health problem in Indonesia.7 Eradication of filariasis by using synthetic insecticides causes resistance to Cx. quinquefasciatus.44 The purpose of this study was to analyze the toxicity of camphor compounds on Cx. quinquefasciatus focused on detoxifying enzymes and midgut histopathological abnormalities. The larvae of Cx. quinquefasciatus are wild-strain larvae obtained from the field. Larval bioassays followed WHO protocol. Larvae will be exposed to camphor with concentrations of 0.5, 1.5, 10.5, 25.5, and 50 ppm for 24, 48, and 72 hours with 5 repetitions showing significantly different mortality (p<0.05). At 50 ppm, there was 100% mortality of larvae of Cx. quinquefasciatus for 48 hours. The LC50 value was 2.32 ppm and the LC90 was 12.40 ppm. Midgut histopathology with hematoxylin-eosin staining showed massive damage. The detoxification enzymes examined by the CDC (Centers for Disease Control and Prevention) method showed that AChE and oxidase were the target enzymes of camphor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Varalisa Rahmawati
"

Pendahuluan: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan masih menjadi perhatian di Indonesia. Sampai saat ini, pengendalian vektor menjadi upaya pencegahan utama karena belum adanya vaksin DBD di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada penelitian terkait aktivitas insektisida deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histologi midgut Ae.aegypti. Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas larvisidal deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histopatologi midgut larva Ae.aegypti. Metode: Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Sampel penelitian ini berupa larva instar III-IV Ae. aegypti. Aktivitas larvasidal deltametrin dan malation diketahui dengan bioassay sesuai protocol WHO selama 24 jam pada lima konsentrasi berbeda dari tiap insektisida dan lima kali ulangan. Larva yang mati akan diamati dengan mikroskop diseksi untuk mengetahui morfologinya. Selain itu, larva yang mati akan dibuat potongan sediaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Data mortalitas larva selanjutnya akan diolah dengan SPSS untuk menganalisis korelasi konsentrasi dengan mortalitas larva serta menentukan konsentrasi letal insektisida (LC50 dan LC99). Hasil: Larva pada kontrol tidak ada yang mati dan tidak ditemukan adanya perubahan morfologi maupun histologi. Persentase mortalitas larva Ae.aegypti setelah paparan deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan, 15,2-100% dan 4,8-100%. LC50 dan LC99 deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan adalah 0,007 ppm (95% Cl=0,006-0,009) dan 0,312 ppm (95% Cl=0,203-0,529); serta 0,053 ppm (95% Cl=0,045-0,062) dan 0,915 ppm (95% Cl=0,652-1,398). Deltametrin menyebabkan terjadinya kerusakan di toraks, abdomen, sifon, dan insang anal, serta terlepasnya setae, dan penipisan kutikula.   Sedangkan, malation menyebabkan terjadinya kerusakan di kepala, toraks, abdomen, sifon, insang anal, dan kutikula serta terlepasnya setae. Nekrosis sel epitel gastrointestinal adalah perubahan histopatologis midgut utama yang ditemukan pada larva Ae.aegypti baik setelah paparan deltametrin maupun malation. Kesimpulan: Deltametrin dan malation efektif membunuh larva Ae.aegypti dengan efektivitas deltametrin yang lebih tinggi dibandingkan malation. Aktivitas larvisidal deltametrin dan malation menyebabkan perubahan morfologi dan histopatologi midgut larva melalui mekanisme yang berbeda. Sasaran kerja deltametrin dan malation untuk kerusakan morfologis meliputi kutikula, setae, segmen anal, saluran pencernaan dan pernapasan. Malation juga menyebabkan kerusakan di kepala larva. Sedangkan sasaran kerusakan histopatologisnya pada struktur midgut oleh deltametrin dan malation adalah lapisan epitel gastrointestinalnya, sel epitel, dan mikrovili.

 


Introduction: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a vector-borne disease that is still a concern in Indonesia. Until now, vector control has become the main prevention effort because there is no dengue vaccine in Indonesia. However, there are no studies that discuss the insecticidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histology of Ae.aegypti midgut. Objective: This study aims to determine the larvicidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histopathology of midgut larvae of Ae.aegypti. Method: The design used in this study is experimental. The sample of this research is larvae instar III-IV Ae. aegypti. The larvicidal activity of deltamethrin and malathion was determined by the bioassay technique according to WHO protocol for 24 hours at five different concentrations of each insecticide and five replications. The dead larvae was observed under a dissecting microscope to find out their morphology. Also, the dead larvae was made into pieces of anatomical pathology with hematoxylin-eosin staining. The larval mortality data was processed with SPSS to analyze the correlation between concentration and larval mortality and to determine the lethal concentration of insecticides (LC50 and LC99). Results: None of the larvae in the control died and no morphological or histological changes were found. The mortality percentage of Ae.aegypti larvae after 24 hours of deltamethrin and malathion exposure was 15.2-100% and 4.8-100%. LC50 and LC99 deltamethrin and malathion for 24 hours, respectively 0.007 ppm (95% Cl = 0.006-0.009) and 0.312 ppm (95% Cl = 0.203-0.529); and 0.053 ppm (95% Cl = 0.045-0.062) and 0.915 ppm (95% Cl = 0.652-1.398). Deltamethrin causes damage to the thorax, abdomen, siphons, and anal gills, as well as detachment of setae, and thinning of the cuticles. Meanwhile, malathion causes damage to the head, thorax, abdomen, siphons, anal gills, and cuticles as well as detachment of the setae. Gastrointestinal epithelial cell necrosis is the main midgut histopathological change found in Ae.aegypti larvae either after exposure to deltamethrin or malathion. Conclusion: Deltamethrin and malathion were effective in killing Ae.aegypti larvae with higher effectiveness of deltamethrin than malathion. The larvicidal activities of deltamethrin and malathion cause morphological and histopathological effects in the midgut larvae through different mechanisms. The targets of action of deltamethrin and malathion for morphological damage include cuticles, setae, anal segment, gastrointestinal and respiratory tract. Malathion also causes damage to the head of the larva. Meanwhile, the targets of histopathological damage to the midgut structure by deltamethrin and malathion are the gastrointestinal epithelial layer, epithelial cells, and microvilli.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Eliza
"Buah Mahkota Dewa Phaleria macrocarpa Scheff. Boerl. mengandung metabolit sekunder yang aktif, sehingga dapat membunuh larva Ae. aegypti untuk mengendalikan vektor DBD tanpa resistensi. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi aktivitas ekstrak metanol buah Mahkota Dewa dan mekanisme kerja ekstrak tersebut sebagai larvasida terhadap larva Ae.aegypti . Penelitian eksperimen ini terdiri dari dua kelompok, 1 Kontrol positif saponin dan kuersetin dari Sigma Aldrich 2 Perlakuan, yaitu ekstrak metanol dan n-heksana dan fraksi etil asetat . Uji fitokimia memperlihatkan ekstrak metanol mengandung saponin dan kuersetin. Setelah 24 jam, kelompok kontrol dengan saponin ditemukan 100 mortalitas larva. Konsentrasi ekstrak metanol 0,15 -0,30 dan ekstrak n-heksana serta fraksi etil asetat 0,20 -0,30 memperlihatkan aktivitas larvasida bermakna.

Mahkota Dewa Fruit Phaleria macrocarpa Scheff. Boerl. contains active secondary metabolites, thus killing Ae.aegypti larvae to control the DHF vector without resistance. The object this study was to evaluate the activity of extract of Mahkota Dewa fruit methanol extract and the mechanism of action the extract as larvacide larvae Ae.aegypti. The study experimental consisted of two groups, 1 Positive control saponin and quercetin from Sigma Aldrich 2 Treatment, ie extract methanol and n hexane and fraction ethyl acetate . Phytochemical tests show methanol extract containing saponins and quercetin. After 24 hours, control group saponins found 100 mortality of the larvae. The concentration methanol extract 0.15 0.30 and n hexane extract and ethyl acetate fraction 0.20 0.30 showed significant larvicidal activity p."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayleen Huang
"Minyak esensi dari tanaman telah terbukti dapat membunuh larva nyamuk. Penelitian ini mengevaluasi aktivitas larvisida dari minyak esensi eugenol dan piperin terhadap larva Aedes aegypti serta mekanismenya meliputi detoksifikasi enzim dan perubahan histopatologi. Bioassay larva Ae. aegypti instar III-IV terhadap eugenol dan piperin konsentrasi 1, 5, 10, dan 30 ppm dilakukan mengikuti protokol WHO selama 72 jam dengan ulangan 5 kali. Larva yang mati diperiksa dengan pemeriksaan histopatologi HE rutin. Evaluasi aktivitas enzim detoksifikasi: AChE, GST, dan oksidase dilakukan mengikuti protokol CDC. Piperin memperlihatkan toksisitas yang lebih baik dibandingkan eugenol dengan persentase mortalitas lebih tinggi serta nilai LC50 dan LC90 lebih rendah. Piperin dan eugenol terbukti menghambat aktivitas AChE dan oksidase (p < 0.05), sedangkan pengaruhnya terhadap GST tidak bermakna. Piperin dan eugenol mengakibatkan kerusakan masif pada midgut larva meliputi kerusakan food bolus dan membran peritrofik, terputusnya lapisan epitel, serta perubahan sel epitel dan mikrovili.

Essential oils from plants were proven to kill mosquito larvae. This research evaluates larvicidal properties of essential oils piperine and eugenol against Aedes aegypti larvae with its mechanism in detoxification enzymes and histopathological changes. Bioassay of III-IV instar Ae. aegypti larvaes exposed to eugenol and piperine with concentration of 1, 5, 10, and 30 ppm was conducted according to WHO protocol for 72 hours with 5 replications. The dead larvae went through routine histopathology H&E examination. Evaluation for detoxification enzymes activity: AChE, GST, and oxidase was conducted according to CDC protocol. Piperine exhibited better toxicity compared to eugenol with higher mortality percentage and smaller LC50, LC90 values. Piperine and eugenol were proven to inhibit AChE and oxidase activity (p < 0.05), but not GST activity. Both substances caused massive destruction to larvae midgut including degradation of food bolus and peritrophic membrane, discontinuity of the epithelium layer, irregular epithelium cell and microvilli shape."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafaella Shiene Wijaya
"Rimpang jeringau / dringo (Acorus calamus L.) dengan kandungan senyawa fitokimia aktif β- asaron diketahui memiliki aktivitas neuroproteksi dan antioksidan sehingga banyak digunakan sebagai obat tradisional. Selain itu, kandungan fitokimia dalam ekstrak tanaman juga berpotensi dimanfaatkan sebagai larvisida alternatif untuk pemberantasan Ae. aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas larvisidal dari β-asaron dan ekstrak rimpang jeringau terhadap larva Ae. aegypti dengan mekanisme perubahan aktivitas enzim detoksifikasi dan histopatologi midgut. Larva Ae. aegypti instar III-IV dipajankan dengan β-asaron dan ekstrak rimpang jeringau dengan konsentrasi 0,25; 1,25; 6,25; dan 24,25 ppm. Pengamatan mortalitas dilakukan sesuai panduan WHO pada jam ke-24, 48, dan 72. Aktivitas asetilkolinesterase (AChE), glutation-S-transferase (GST), dan oksidase dianalisis dengan metode biokimia sesuai protokol CDC. Histopatologi midgut dievaluasi dengan metode pemeriksaan rutin menggunakan pewarnaan H&E. Penelitian ini membuktikan β-asaron dan ekstrak rimpang jeringau bersifat toksik dan mampu membunuh >50% larva Ae. aegypti pada konsentrasi rendah sekalipun (24,25 ppm). β-asaron memperlihatkan aktivitas larvisida yang lebih tinggi dibanding ekstrak rimpang jeringau dengan mekanisme menghambat enzim AChE dan oksidase serta mengakibatkan kerusakan masif pada midgut larva Ae. aegypti.

Sweet flag or jeringau rhizome, with β-asarone as its main phytochemical content, is known to have neuroprotective and antioxidant properties in traditional medication. In addition, phytochemical agents from plant extract are also known to have larvicidal potential. This study evaluates larvicidal activity of β-asarone and sweet flag rhizome extract against Ae. aegypti larvae with its mechanism in alternating detoxification enzymes activities and midgut histopathology. Ae. aegypti larvae instar III-IV were exposed to two different treatments, β- asarone and sweet flag rhizome extract, with concentrations of 0.25, 1.25, 6.25, and 24.25 ppm. Larval mortality was observed 24 h, 48 h, and 72 h post-treatment using WHO guideline. Acetylcholinesterase (AChE), glutathione-S-transferase (GST), dan oxidase enzyme activities were analyzed with biochemistry method using CDC guideline. Midgut histopathological changes were evaluated using H&E staining and light microscope. This study proved that both β-asarone and sweet flag rhizome extract were toxic towards Ae. aegypti larvae and were able to cause >50% larval mortality even with low concentration (24.25 ppm). β-asarone exhibited higher toxicity than sweet flag rhizome extract with mechanism of inhibiting AChE & oxidase enzymes along with causing massive injuries on larval midgut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adib Kamil Putra Kadarusman
"Latar belakang: Ekstrak daun Minth (M.piperita) memiliki senyawa bioaktif alkaloid, flavonoid, dan terpenoid yang dapat membunuh larva Culex quinquefasciatus. Mekanisme larvisida ekstrak masih belum dimengerti. Tujuan: Mengetahui kandungan senyawa fitokimia dan mengevaluasi pengaruh ekstrak kasar daun Minth M.piperita terhadap mortalitas, kelainan histologi midgut, dan imunoreaktivitas neurotransmitter (oktopamin dan tiramin) larva Cx.quinquefasciatus. Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan larva Cx.quinquefasciatus instar ke-tiga dan ke-empat dipaparkan dengan ekstrak daun Minth dengan konsentrasi yang berbeda dan pengulangan 5 kali. Histopatologi midgut larva diuji dengan metode pemeriksaan histopatologi rutin dengan pewarnaan HE. Deteksi oktopamin dan tiramin pada midgut larva menggunakan antibodi poliklonal dengan metode Imunohistokimia (IHK). Analisis kandungan fitokimia ekstrak daun minth dilakukan dengan alat GCMS.
Hasil: Analisis fitokimia dengan menggunakan GCMS menunjukkan bahwa ekstrak daun Minth yang mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, asam lemak, dan vitamin memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap Cx.quinquefasciatus dengan nilai LC50 dan LC90 sebesar 2,56 ppm dan 6,64 ppm. Terdapat perbedaan yang bermakna angka mortalitas larva setiap konsentrasi ekstrak daun Minth (p < 0,05). Uji Korelasi Spearman memperlihatkan korelasi yang kuat dan positif antara angka mortalitas larva Cx.quinquefasciatus dengan konsentrasi ekstrak daun Minth (r = 0,758, p < 0,05). Ekstrak daun Minth menyebabkan kelainan histologi midgut ; food bolus terpecah-pecah, sel epitel mengalami perubahan bentuk, lapisan epitelium rusak disertai keruskan mikrovili dan membran peritropik juga menjadi lisis. Pada konsentrasi ekstrak daun Minth yang tinggi (1 ppm) kerusakan histologi midgut semakin berat dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Setelah perlakuan dengan ekstrak daun Minth, oktopamin dan tiramin masih dapat terdeteksi pada midgut, tetapi imunoreaktivitas oktopamin dan tiramin semakin berkurang, terutama di bagian lapisan epitelium. Kesimpulan: Ekstrak daun Minth memiliki potensi sebagai insektisida alternatif yang berasal dari tanaman untuk memberantas populasi nyamuk Cx.quinquefasciatus.

Background: Mint leaf extract (M.piperita) has a bioactive compounds such as alkaloids, flavonoids, and terpenoids that can kill Culex quinquefasciatus larvae. The mechanism of larvicidal effect still not understood Purpose: To find out the phytochemicals and evaluating the effect of rough extract from Mint leaves (M.piperita) on mortality, histological abnormalities of midgut, and immunoactivity of neurotransmitters (octopamine and tyramine) Cx.quinquefasciatus larvae Method: This research use an experimental studies design using the third and fourth instar Cx.quinquefasciatus larvae presented with Mint leaf extract with different concentration and 5 times repetition. Histopathological findings of midgut is tested with routine histopathological method with HE staining. Detection of octopamine and tyramine in the midgut using polyclonal antibody with immunohistochemistry method (IHC). Phytochemical analysis of rough extract from Mint leaves conducted using GCMS. Findings: Phytochemical analysis using GCMS finds that rough extract from Mint leaves that has alkaloid, terpenoids, fatty acids, and vitamin showed larvicidal activity against Cx.quinquefasciatus larvae with LC50 and LC90 values of 2,56 ppm and 6,64 ppm. There is a significant difference on mortality number of Cx.quinquefasciatus larvae with every concentration of Mint leaf extract (p < 0,05). Spearman correlation test showed a strong and positive correlation between the number of mortality on Cx.quinquefasciatus larvae and the concentration of Mint leaf extract (r = 0,758, p < 0,05). Mint leaf extract cause the histological abnormalities in midgut such as; fragmented food bolus, changes shape of the epithelial cells, damaged on epithelium layer along with damaged on microvilli and lysis of peritropic membrane. At the highest concentration (1 ppm) histopathological damage is getting heavier compared to other concentration. After treatment with the extract, octopamine and tyramine can still be detected in the midgut, but the immunoreactivity of it reduced, especially in epithelium layer parts Conclusion: Mint leaf extract has a potential as a alternative insecticide that derived from plants to eradicate population of Cx.quinquefasciatus mosquito.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library