Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sulistiowati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Jaringan parut fibrosis pasca infark berpotensi menyebabkan aritmia fatal, iskemia berulang, gagal jantung, dan kematian jantung mendadak. Deteksi jaringan parut akan menentukan strategi tatalaksana selanjutnya yang menguntungkan setiap pasien. Resonansi magnetik jantung (RMJ) merupakan alat diagnostik baku emas yang tidak dapat diterapkan pada semua pasien. EKG 12 sadapan dapat menjadi pilihan alternatif. Rasio initial dan terminal ventricular activation velocity (vi/vt) pada EKG membandingkan kecepatan impuls listrik pada awal (vi) dan akhir (vt) kompleks QRS. Jaringan parut akan mempunyai vi/vt yang berbeda dari jaringan normal karena kondisi iskemia mengubah aktivitas elektrik dan penjalaran impuls listrik akibat remodeling kanal ion dan proses transport ion.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang, mengikutsertakan subyek yang menjalani RMJ di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama Januari 2013-Agustus 2014 yang diambil secara konsekutif. Penilaian jaringan parut miokardium pada RMJ dilakukan dengan teknik late gadolinium enhancement yang dinilai secara kualitatif. Vi/vt diukur secara manual pada EKG 12 sadapan kemudian diambil reratanya pada tiap sadapan bersuaian.
Hasil. Sebanyak 113 subyek laki-laki dengan rerata umur 55.7±9.7 tahun diikutsertakan dalam analisis. Mayoritas subyek mempunyai jaringan parut ≥1 teritori dan melibatkan teritori yang diperdarahi arteri left anterior descending (LAD). Analisis vi/vt secara umum di tiap sadapan menunjukkan nilai vi/vt yang lebih kecil secara signifikan terhadap keberadaan jaringan parut miokardium dengan nilai p<0.001 untuk sadapan V1-V5, p=0.006 untuk sadapan I, aVL, V6 dan p=0.004 untuk sadapan II, III, aVF. Analisis secara spesifik nilai vi/vt sadapan V1-V5 bermakna terhadap teritori LAD yang isolated maupun mixed, sedangkan sadapan I, aVL, V6 dan sadapan II, III, aVF hanya bermakna terhadap jaringan parut yang mixed. Dari analisis ROC didapatkan nilai ambang batas vi/vt ≤1.35 mV di sadapan V1-V5 dengan sensitivitas 71.4% dan spesifisitas 75%. Nilai ambang batas vi/vt di sadapan II, III, aVF adalah ≤1.20 mV dengan sensitivitas 69.4% dan spesifisitas 66.7%.
Kesimpulan. Vi/vt pada EKG 12 sadapan memiliki hubungan dengan lokasi dan keberadaan jaringan parut miokardium. Nilai vi/vt 1.20-1.35 mV berhubungan dengan keberadaan jaringan parut miokardium di teritori LAD dan RCA dengan sensitivitas 69.4-71.4% dan spesifisitas 66.7-75%.

ABSTRACT
Background. Fibrotic scar tissue post infarction may potentially lead to fatal arrhythmias, recurrent ischaemia, heart failure, and sudden cardiac death (SCD). Detecting myocardial scar will guide further treatment which has the most advantages for each patient. Cardiac magnetic resonance (CMR) is still a gold standard which cannot be applied to every patient. A 12-leads ECG might be an alternative. Initial and terminal ventricular activation velocity ratio on surface ECG is comparing elecrical conduction at the beginning (vi) and at the end (vt) of the QRS complex. Myocardial scar tissue will have a different vi/vt than a normal tissue because ischaemia change cellular electrical activity and impulse propagation due to remodelling of intracellular ion channels and transport processes.
Methods. This is a cross-sectional study. A consecutive subjects who underwent CMR in National Cardiac Centre Harapan Kita during January 2013 and August 2014 were included. Myocardial scar were analyzed visually using late gadolinium enhancement CMR. Vi/vt on 12-leads ECG were measured manually on each lead and mean of each contiguous leads were included into analysis.
Results. A total of 113 male subjects with average age of 55.7±9.7 years old were enrolled. Myocardial scar were located in 1 territory or more in most of subjects and left anterior descending (LAD) territory as the most common territory. General analysis of vi/vt in each contiguous leads shows significantly smaller vi/vt value in myocardial scar presence with p value <0.001 in V1-V5 leads, p=0.006 in I, aVL, V6 leads, and p=0.004 in II, III, aVF leads. Specific analysis of vi/vt in V1-V5 leads show significant difference of vi/vt in isolated and mixed scar in LAD territory, meanwhile vi/vt in I, aVL, V6 and II, III, aVF leads show significant difference of vi/vt only in mixed scar in each territory according to contiguous leads. A cut-off value ≤1.35 mV of vi/vt in V1-V5 leads with 71.4% sensitivity and 75% specificity and a cut-off value ≤1.20 mV of vi/vt in II, III, aVF leads with 69.4% sensitivity and 66.7% specificity were obtained by ROC analysis.
Conclusion. Vi/vt on 12-leads ECG associated with myocardial scar presence and location. A value of vi/vt 1.20-1.35 mV associated with myocardial scar presence in LAD territory and RCA territory with 69.4-71.4% sensitivity and 66.7-75% specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi masalah di Indonesia bahkan di dunia. Berdasarkan patofisiologinya, PJK dibagi menjadi sindrom koroner akut (SKA) dan kronik (SKK). Salah satu tatalaksana PJK adalah revaskularisasi otot jantung. Namun sangat penting untuk mengetahui viabilitas miokardium untuk kepentingan pengembalian fungsi kontraktilitas miokardium. Saat ini, magnetic resonance imaging (MRI) jantung adalah baku emas yang digunakan untuk mengevaluasi viabilitas miokardium. Namun ketersediaan modalitas ini sangat terbatas. Dobutamine stress echocardiography (DSE) juga dapat mengevaluasi viabilitas miokardium dan memiliki ketersediaan yang lebih luas di Indonesia. Tujuan: Meta analisis ini bertujuan membandingkan sensitivitas dan spesifisitas DSE terhadap MRI kardiak pada pasien dengan SKK. Metode: Meta analisis ini mencari literatur dari empat database yaitu Pubmed, Embase, Cochrane dan Scopus. Meta analisis ini mengacu pada Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA) 2020 dan Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Diagnostic Test Accuracy. Forest plot menampilkan sensitivitas dan spesifisitas DSE dan MRI kardiak. Hasil: Terdapat tiga belas studi yang diinklusi. Dari penyusunan forest plot didapatkan DSE memiliki sensitivitas 75% (CI 0,61 – 0,86) dan spesifisitas 87% (CI 0,82 –0,91), dimana MRI kardiak memiliki sensitivitas 93% (CI 0,88 – 0,96) dan spesifisitas 77% (CI 0,61 – 0,87). Walaupun demikian, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menyebabkan overestimation pada sensitivitas dan spesifisitas DSE dan underestimation pada sensitivitas dan spesifisitas MRI kardiak. Kesimpulan: DSE memiliki sensitivitas yang lebih rendah dan spesifistas yang lebih tinggi dibandingkan MRI kardiak. Dengan mempertimbangkan overestimation dan underestimation kedua modalitas tersebut, MRI kardiak memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan DSE. Kata kunci: Sindrom koroner kronik, viabilitas miokardium, dobutamine stress echocardiography, magnetic resonance imaging kardiak.
......
Background: Coronary heart disease (CHD) still becomes a health problem in Indonesia, even in the world. Based on its pathophysiology, CHD is classified to acute coronary syndrome (ACS) and chronic coronary syndrome (CCS). One of the treatment of CHD is myocardial revascularization, however it’s important to know the myocardial viability in prior in order to reverse the contractility function of the myocardium. Nowadays, cardiac magnetic resonance imaging (MRI) is the gold standard for evaluating myocardial viability. Nevertheless, the availibility of MRI is limited. Dobutamine stress echocardiography (DSE) is also able to evaluate myocardial viaiblity and widely available across Indonesia. Purpose: This meta analysis compares the sensitivity and specificity of DSE and cardiac MRI in patients with CCS. Method: This meta analysis searches literatures from four database: Pubmed, Embase, Cochrane and Scopus. We used Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA) 2020 dan Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Diagnostic Test Accuracy as references. Forest plot is constructed to show the sensitivity and specificity of DSE and cardiac MRI. Result: Thirteen studies were included. The Forest plot shows that DSE has sensitivity of 75% (CI 0,61 – 0,86) and specificity of 87% (CI 0,82 – 0,91), while cardiac MRI has sensitivity of 93% (CI 0,88 –0,96) and specificity of 77% (CI 0,61 – 0,87). Conclusion: DSE has lower sensitivity yet higher specificity than cardiac MRI. Considering the overestimation and underestimation of these modalities, cardiac MRI has higher diagnostic accuracy than DSE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Zahara
"Edema miokardium dapat menyebabkan disfungsi miokardium. Pada operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK), proses inflamasi dan reperfusion injury menyebabkan edema miokardium. Berbagai cara telah dilakukan untuk menghambat edema miokardium namun belum ada yang terbukti efektif. Statin merupakan obat yang memiliki efek pleiotropik sebagai anti inflamasi. Penelitian pada subjek hewan menunjukkan bahwa statin dapat mengurangi edema miokardium. Sebagai respons terhadap kondisi stress, jantung mengeluarkan berbagai sitokin seperti follistatin-like 1 (FSTL1). FSTL1 berperan dalam proses edema miokardium. Untuk mengurangi edema miokardium pasien BPAK dilakukan pemberian Atorvastatin 80 mg selama 2 minggu sebelum operasi.
Penelitian dilakukan secara uji klinis tersamar ganda pada pasien berusia 40–65 tahun yang menjalani operasi BPAK. Dilakukan dari Februari 2017 hingga Maret 2018 di rumah sakit jantung dan pembukuh darah Harapan Kita. Subjek penelitian diacak ke dalam dua kelompok, kelompok Atorvastatin dosis 80 mg dan Atorvastatin dosis 10 mg. Pemeriksaan edema miokardium dilakukan dengan MRI pada hari ke-6 pascaoperasi. Pemeriksaan FSTL1, PKA, PKB dan hs-CRP diambil dari plasma darah 1 hari sebelum operasi, hari ke-1 dan hari ke-6 pasca operasi. Parameter MRI yang dinilai adalah nilai T2 relaxation time.
Sebanyak 20 pasien termasuk dalam kelompok Atorvastatin 80 mg dan 20 pasien dalam kelompok Atorvastatin 10 mg. Terdapat 7 subjek yang drop out. Pemeriksaan MRI mendapatkan nilai T2 relaxation time yang lebih rendah pada kelompok Atorvastatin 80 mg (50,11 ms vs. 59,03 ms, p = 0,01). Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara FSTL1 dengan T2 relaxation time. Pemeriksaan FSTL1, PKA dan PKB tidak berbeda secara bermakna antara kedua kelompok sedangkan kadar hs-CRP lebih rendah serta bermakna secara statitistik pada kelompok Atorvastatin 80 mg.
Simpulan: Pemberian Atorvastatin dosis 80 mg dapat menurunkan kejadian edema miokardium pasca BPAK dan menunjukkan efek antiinflamasi yang lebih baik dari pada Atorvastatin 10 mg.
......Myocardial edema can cause myocardial dysfunction in many pathological states. During coronary artery bypass surgery (CABG), there is inflammatory system activation as well as reperfusion injury which can produce myocardial edema. Many efforts has been applied in order to prevent those process but none has proven effective. Statin is a drug with many pleiotropic effects as anti inflammatory. Animal study revealed that statin can decrease myocardial edema, In response to stress conditions, heart produced many cytokines, such as follistatin-like 1 (FSTL1). FSTL1 has a principal role in reducing myocardial edema. This study tried to find the effectiveness of Atorvastatin 80 mg, also known as high dose statin, in decreasing myocardial edema after CABG surgery.
Double blinded clinical trial was performed, in patients 40–65 years of age who underwent CABG surgery. This study was conducted from February 2017 until March 2018 at National Cardiovascular Centre Harapan Kita. Subjects were randomized and divided in two groups, high dose Atorvastatin (80 mg) and low dose atorvasatin (10 mg). Myocardial edema evaluation using magnetic resonance imaging (MRI) was done in day-6 after surgery. FSTL1, PKA, PKB, and hs-CRP were evaluated before surgery, day-1 after surgery, and day-6 after surgery. T2 relaxation time was used as the MRI parameter of myocardial edema.
There were 20 patients treated with Atorvastatin 80 mg and 20 patients at Atorvastatin 10 mg. There were 7 subject who dropped out. MRI evaluation found lower T2 relaxation time in high dose group (50,11ms vs. 59,03 ms, p = 0,01). There was no significant correlation between FSTL1 and T2 relaxation time. FTSL1, PKA and PKB in both groups were not statistically different but hs-CRP value was statistically lower in high dose group.
Conclusion: Atorvastatin 80 mg can decrease the incidence of myocardial edema after CABG surgery and shows a better anti-inflammatory effect than Atorvastatin 10 mg. The correlation between statin and FSTL1 in term of myocardial edema has not been defined yet."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris
"Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium merupakan salah satu penyumbang kematian terbesar di Dunia. Evaluasi ukuran akhir infark merupakan prediktor kuat untuk menentukan prognosis pada pasien dengan infark miokardium. Saat ini belum ada penelitian infarct model pada hewan coba (babi) yang membandingkan pengukuran area infark miokardium dengan menggunakan metode MRI di Indonesia. Metode : Eksperimental 13 sampel dengan pembuatan infarct model. Pengukuran massa dan ukuran infark miokardium dilakukan setelah 6-8 minggu perlakuan dengan menggunakan metode LGE MRI dan hitung massa dengan timbangan secara manual dissection. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, kemudian ketepatan data dipertajam dengan analisis berulang secara intraclass correlation (ICC). Hasil: Massa area infark menurut MRI 4,62 gr (2,58 gr-14,08 gr) vs massa area infark menurut manual dissection 7,68 gr (2,31 gr -17,99 gr), dengan p = 0,093, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,084). Ukuran area infark menurut MRI 3,20 % (1,68 %-12,01%) vs ukuran area infark menurut manual dissection 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), dengan p = 0,721, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,17), tidak ada perbedaan bermakna pada pengukuran MRI dibandingkan dengan manual dissection pada timbangan, akan tetapi memiliki korelasi yang rendah. Simpulan: Pada penelitian ini perhitungan massa infark maupun ukuran infark antara metode MRI dan hitung massa (timbangan) secara manual dissection tidak setara. Metode manual dissection yang dilakukan pada penelitian ini tidak ideal dalam perhitungan massa maupun ukuran infark miokardium.
......Background: Myocardial infarct is one of the most prevalent causes of death worldwide. Evaluation of the resulting infarction area is a strong predictor for the prognosis of patients post myocardial infarction (MI). At the moment, there has not been a study in Indonesia that compares magnetic resonance imaging (MRI) and direct mass weighing in a porcine model. Methods: 13 samples were made using an infarct porcine model. Measurements of MI weight and infarct size were conducted 6 to 8 weeks after coronary artery ligation using both LGE MRI and direct mass weighing following manual dissections. Data were tested using Wilcoxon test, and further analyzed using intraclass correlation (ICC). Results: Infarct area weight calculation using MRI averaged 4,62 gr (2,58 gr -14,08 gr) while infarct area weight calculation using mass weighing averaged 7,68 gr (2,31 gr-17,99 gr), with p = 0,093, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,084). Infarct size area calculation using MRI averaged 3,20 % (1,68 %-12,01%) while infarct size calculation using mass weighing averaged 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), with p = 0,721, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,17) Conclusion: The results between infarct area weight and infarct size using MRI with mass weighing after manual dissection was not comparable. Manual dissection method that has been used in this study was not ideal to calculate myocardial infarct area weight and myocardial infarct size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jefferson
"Latar Belakang: Low cardiac output syndrome (LCOS) pada operasi koreksi Tetralogy Fallot (TF) adalah komplikasi yang dapat meningkatkan angka kematian akibat cedera iskemia reperfusi. Terapi definitif cedera iskemia reperfusi belum ditemukan karena masalah translasi dari penelitian pada sel dan hewan coba ke penelitian pada manusia. Hatter Cardiovascular Institute merekomendasikan multitargeted therapy yang mengatasi obstruksi pembuluh darah (OPM), proteksi kardiomiosit, dan antiinflamasi. Penelitian ini menggunakan kombinasi siklosporin dan remote ischemic preconditioning (RIPC) untuk mencapai tujuan tersebut. Telah dilakukan pemeriksaan MDA dan edema mitokondria untuk membuktikan manfaat dari kombinasi siklosporin dan RIPC. Metodologi: Penelitian ini adalah uji acak tersamar ganda label terbuka yang dilakukan di RSCM dan JHC antara 2021 hingga 2022. Pasien TF usia 1-6 tahun diacak ke dalam kelompok kontrol yang mendapat terapi standar dan perlakuan yang mendapat siklosporin oral 3-5 mg/kgBB 2 jam sebelum operasi, dan RIPC sesaat setelah induksi. Limbah jaringan otot infundibulum dan sampel darah diambil di 3 fase: praiskemia, iskemia dan pascareperfusi. Ketiga jaringan yang diperoleh dilakukan isolasi mitokondria. Pemeriksaan JC-1 dan succinate dehydrogenase (SDH) dilakukan untuk mengukur kualitas isolat mitokondria. Pemeriksaan spektrofotometri terhadap isolat mitokondria dilakukan untuk mengukur edema mitokondria. Pemeriksaan MDA dilakukan untuk menilai stres oksidatif. Hasil: Terdapat 42 subyek yang mengikuti penelitian. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna kadar MDA, uji membran potensial, uji aktivitas enzim spesifik dan derajat edema mitokondria pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol namun terdapat kecenderungan penurunan MDA dan penurunan derajat edema mitokondria. Simpulan: Kombinasi siklosporin dan RIPC tidak bermakna secara statistik menurunkan kadar MDA dan derajat edema mitokondria pada pasien TF yang menjalani operasi koreksi. Terdapat kecenderungan penurunan MDA dan derajat edema mitokondria pada pasien TF yang mendapatkan siklosporin dan RIPC.
......Background: Low cardiac output syndrome on Tetrallogy Fallot correction surgery is a complication caused by ischemic reperfusion Injury (IRI), which increases mortality rate. Definitive treatment of IRI has not been found until now. A multitargeted treatment that attenuates microvascular obstruction, cardiomyocyte protection, and antiinflammation in human is proposed by Hatter Cardiovascular Institute. Based on this recommendation, this study used combination of cyclosporine as an antiinflammation and treatment for microvascular obstruction and remote ischemic preconditioning (RIPC) as a cardiomyocyte protection measure. Outcome of this treatment will be analyzed mostly by evaluation of mitochondrial edema. Methods: This is an open label randomized controlled trial on patients with Tetralogy of Fallot (TF) underwent surgery in RSCM and JHC on 2021 until 2022. We recruited 1-6 year-old TF patient planned for surgical correction. Cyclosporine and RIPC were given as treatment. Chopped infundibular muscle prior to aortic cross clamping defined as preischemic sample, after aortic cross clamping defined as postischemic sample, and after aortic cross clamping off defined as postreperfusion sample. We performed isolation of mitochondria of each sample. JC-1 and succinate dehydrogenase (SDH) assays were performed to measure quality of mitochondrial isolation. Results: Forty two subjects were recruited in this research. Although there was no significant difference in MDA level and the severity of mitochondrial edema between control and treatment group, we found lower MDA post- reperfusion and lower trend of mitochondrial edema in treatment group. Conclusion: Treatment of TF patient with Cyclosporine-RIPC combination therapy tends to reduce MDA level and mitochondrial edema significantly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermono Superaya
"Latar belakang: Kardiomiopati iskemik merupakan gangguan sistolik ventrikel kiri yang disebabkan oleh infark miokardium (IM). Durasi infark yang terjadi sangat mempengaruhi perubahan fungsi jantung terutama dari segi histopatologi. Saat ini belum ada penelitian IM akut pada jantung yang menggunakan hewan coba babi sebagai landasan evaluasi dasar maupun terapi berbasis sel dan belum ada studi yang meneliti perbandingan ekspresi matriks ekstraselular kolagen tipe 1 dan 3 dalam segi histopatologi secara bersamaan pada kasus IM.
Metode: Pada uji klinis eksperimental acak berikut, secara operatif dilakukan tindakan ligasi cabang arteri koroner sirkumfleksa selama 60 menit terhadap 4 hewan coba babi (Sus scrofa domesticus) dan 4 hewan coba babi tanpa perlakuan sebagai kontrol. Jaringan jantung pasca perlakuan diambil dengan menggunakan pisau bedah, dilakukan perwarnaan jaringan dan immunohistokimia, dievaluasi secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan aplikasi ImageJ terhadap kolagen tipe 1, 3, α-SMA, dan α-aktinin.
Hasil: Durasi ischemia selama 60 menit telah memberikan gambaran infark miokardium. Terdapat penurunan yang signifikan (p<0,05) terhadap gambaran ekspresi kolagen tipe 1, 3, dan α-aktinin secara kuantitatif bila dibandingkan dengan gambaran jantung normal. Ekspresi ekstraselular matriks tersebut secara kualitatif berkurang ketika terjadinya infark miokardium.
Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu 60 menit pada serangan infark miokardium memberikan gambaran kerusakan dan penurunan matriks ekstraselular jantung yang signifikan secara kualitatif dan kuantitatif.
......
Background: Ischemic cardiomyopathy is a left ventricular systolic disorder caused by myocardial infarction (MI). The duration of the infarct affects changes in cardiac function, especially in terms of histopathology. Currently there are no studies of acute MI in the pig heart as the basis for basic evaluation or cell-based therapy and there are no studies that examine the comparison of the expression of type 1 and 3 extracellular matrix collagen in terms of histopathology simultaneously in IM cases.
Methods: In this randomized experimental clinical trial, circumflex coronary artery branch ligation was performed intra-operatively for 60 minutes on 4 pigs (Sus scrofa domesticus) and 4 pigs without treatment as controls. Post-operative, the heart tissue was taken using a scalpel. Then, tissue staining and immunohistochemistry were performed, evaluated qualitatively and quantitatively using the ImageJ application for collagen type 1, 3, α-SMA, and α-actinin.
Results: The duration of ischemia for 60 minutes has given a picture of myocardial infarction. There was a significant decrease (p<0.05) in quantitative expression of collagen types 1, 3, and α-actinin when compared to normal cardiac images. The expression of the extracellular matrix is qualitatively reduced in the presence of myocardial infarction.
Conclusion: This study shows that 60 minutes after a myocardial infarction attack gives a qualitative and quantitative picture of significant damage and decrease in the extracellular matrix of the heart."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Joshua Parsaoran Partogi
"Latar belakang: Cedera iskemia/reperfusi (CIR) terjadi pada situasi saat aliran darah menuju jaringan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali sehingga sel mengalami iskemia. Reperfusi berperan penting untuk kelangsungan hidup suatu jaringan dan sel. Namun ternyata proses reperfusi dapat menyebabkan cedera mikrovaskular dengan meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS). Angka kejadiannya 15/100.000 per tahun dengan angka morbiditas 30% dalam 30 hari pascainsiden dan angka kematian sebesar 18%. Salah satu terapi tata laksana cedera reperfusi adalah pemberian antioksidan yang dapat mengikat ROS yaitu selenium. Beberapa studi telah membuktikan kerusakan akibat cedera iskemia/reperfusi pada jantung, ginjal, otak dan paru dapat dicegah dengan pemberian selenium. Namun belum ada penelitian mengenai penggunaan selenium sebagai faktor proteksi jantung akibat dampak dari cedera iskemia/reperfusi tungkai akut.
Metode: Penelitian ini merupakan sebuah studi eksperimental untuk meneliti pengaruh pemberian selenium terhadap derajat kerusakan jantung yang dinilai secara histopatologis. Menggunakan rancangan post-test only control, penelitian ini menggunakan tikus Sprague-Dawley (SD). Tikus ini dibagi dalam tiga kelompok meliputi satu kelompok kontrol (KK) dan dua kelompok perlakuan (KP) Penelitian dilakukan di Animal Laboratorium Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang dinilai yaitu luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan. Data yang diperoleh diuji menggunakan uji Fisher exact.
Hasil: Terdapat 15 sampel hewan coba pada penelitian ini. Tidak ada hewan coba yang mati dan mengalami efek samping pemberian selenium selama penelitian. Tidak didapatkan hasil bermakna pada luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan.
Kesimpulan: Pemberian selenium tidak menurunkan derajat kerusakan jaringan miokardium akibat CIR tungkai pada tikus SD. Studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar, dosis dan waktu pemberian selenium yang berbeda, dan penanda kerusakan jaringan yang lebih sensitif diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi temuan kami.
......
Background: Ischemia/reperfusion injury (CIR) occurs in a situation when blood flow to a tissue is obstructed or even completely stopped causing cells to experience ischemia. Reperfusion plays an important role for the survival of tissue and cells. However, it turns out that the reperfusion process can cause microvascular injury by increasing the production of reactive oxygen species (ROS). The incidence rate is 15/100,000 per year with a morbidity rate of 30% within 30 days after incident and a mortality rate of 18%. One of the therapies for managing reperfusion injury is the administration of an antioxidant that can bind ROS, namely selenium. Several studies have proven that damage after ischemia/reperfusion injury to the heart, kidneys, brain, and lungs can be prevented by administering selenium. However, there has been no research on the use of selenium as a cardiac protective factor due to the impact of acute limb ischemia/reperfusion injury.
Methods: This research is an experimental study to examine the effect of selenium administration on the degree of heart damage assessed histopathologically. Using a post-test only control design, this study used Sprague Dawley rats (SD). These rats were divided into three groups including one control group (KK) and two treatment groups (KP). The study was conducted at the Animal Laboratory of the Educational Animal Hospital, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural Institute and Laboratory of Anatomical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The factors assessed were the area of ??change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage. The data obtained were tested using Fisher's exact test.
Results: There were 15 experimental animal samples in this study. None of the experimental animals died and experienced side effects of selenium administration during the study. There were no significant results for the area of change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage.
Conclusion: Administration of selenium did not reduce the degree of myocardial tissue damage due to leg IRI in SD rats. Further study with larger samples, different selenium dosage and administration times, and more sensitive tissue damage biomarkers is needed to confirm and clarify our findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
......Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Rynaldo
"Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium akut merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan membutuhkan diagnosis yang tepat untuk menentukan rencana tatalaksana. Modalitas diagnostik yang sering digunakan untuk menilai adanya infark adalah ekokardiografi dan MRI. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian hasil pengukuran dari ekokardiografi dan MRI dalam evaluasi infark miokardium, serta menilai perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri pascainfark.
Metode : Dilakukan ligasi LCx pada 13 jantung babi untuk mengkondisikan infark miokardium. Setelah ligasi LCx dilakukan penilaian regional wall motion abnormality dan ketebalan dinding ventrikel kiri pada pemeriksaan ekokardiografi, dan penilaian area infark serta ketebalan dinding ventrikel kiri dari pemeriksaan MRI. Temuan regional wall motion abnormality diuji kesesuaiannya dengan temuan area infark di MRI menggunakan uji Kappa. Ketebalan dinding posterior ventrikel kiri dari ekokardiografi diuji kesesuaiannya dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri yang didapatkan dari pemeriksaan MRI menggunakan uji interclass correlation. Untuk perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri diuji dengan ANOVA.
Hasil: Perubahan LVPWd praligasi dengan pascaligasi memberikan hasil p = 0,703 yang menunjukkan tidak ada perubahan bermakna. Uji kesesuaian antara area regional wall motion abnormality dengan area infark memberikan hasil κ = 0,14 – 0,27 yang menunjukkan kesesuaian antara ekokardiografi dengan MRI masih kurang. Uji korelasi ketebalan dinding ventrikel kiri dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri memberikan hasil r = 0,573 dengan p = 0,029 yang menunjukkan bahwa pemeriksaan ekokardiografi memberikan hasil yang sama dengan MRI.
Simpulan: Terdapat penurunan nilai ketebalan dinding ventrikel kiri setelah 6-8 minggu pascaligasi LCx. Penggunaan ekokardiografi terbukti dapat memberikan keyakinan bahwa akan menunjukkan hasil yang sama dengan MRI dalam menilai ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Namun, dalam evaluasi area infark, hasil pemeriksaan ekokardiografi memiliki reliabilitas yang rendah dibandingkan dengan MRI.
......Background: In Indonesia, myocardial infarction accounts for most deaths, and require immediate diagnosis to determine the treatment. The diagnostic modalities used to evaluate myocardial infarction is echocardiography and MRI. The aim of this study is to evaluate the compability between echocardiography and MRI in evaluating myocardial infarction, and to evaluate the changes of left ventricular posterior wall thickness post infarction.
Method : A total of 13 pig heart had their LCx ligated to make the infarct heart model. Echocardiography and MRI were performed after the ligation of LCx. The compability between regional wall motion abnormality found in echocardiography compared to infarct area found in MRI was tested using Kappa test. The compability between left ventricular posterior wall thickness obtained from the echocardiography and MRI was tested using interclass correlation. The changes of left ventricular posterior wall thickness was tested using ANOVA.
Result: The changes of left ventricular posterior wall thickness value showed p value = 0,703 which means that there is no significant changes in left ventricular posterior wall thickness post infarction. The compability test using Kappa in comparing the regional wall motion abnormality with infarct area showed κ = 0,14 – 0,27, which means that the level of compability is low. The correlation test between left ventricular posterior wall thickness with the left ventricular posterior wall thickness showed r = 0,573 with p value = 0,029 which means that the echocardiography gave the same result with MRI.
Conclusion: There is a decline in left ventricular posterior wall thickness value after 6-8 weeks post ligation. The use of echocardiography in evaluating myocardial infarction showed that the echocardiography gave the same result with MRI in the measurement of the left ventricular posterior wall thickness. However, echocardiography was not reliable compared to MRI in evaluating the infarct area."
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library