Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farker, Gary
Chicago: A Division of Development Systems Corporation, 1974
574.876 FAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bowen, I.D.
London: Chapman & Hall, 1998
571.84 BOW m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anindini Winda Amalia
"ABSTRAK
Kanker colorektal merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa kedelai memiliki kemampuan kemopreventif dan anti kanker. Penelitian ini menyelidiki hambatan karsinogenesis ekstrak biji kedelai EK dan bungkil kedelai EB yang mengandung lunasin pada model kanker kolon in vivo. Pada penelitian ini menggunakan mencit jantan Swiss Webster berusia 12 minggu yang diinduksi azoxymethane AOM 10 mg/kg dan dextran natrium sulfat DSS 2 . Apoptosis, displasia, hiperplasia dan mitosis merupakan penanda terjadinya karsinogenesis kolon. Hasilnya pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai meningkatkan apoptosis p= 0,001 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK2 150 mg/ 20gr BB p= 0,009 dan EB1 75 mg/ 20gr BB p =0,436 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai menurunkan displasia 0,024 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK3 200 mg/ 20gr BB p=0,0002 dan EB3 200 mg/ 20gr BB p= 0,003 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai menurunkan hiperplasia 0,000 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK3 200 mg/ 20gr BB p=0,000 dan EB3 200 mg/ 20gr BB p= 0,002 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai menurunkan mitosis 0,008 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK3 200 mg/ 20gr BB p=0,003 dan EB1 75 mg/ 20gr BB p= 0,173 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil dapat menghambat karsinogenesis kolon ditinjau dari meningkatnya apoptosis serta berkurangnya displasia, hiperplasia, dan mitosis sel.

ABSTRACT
Colon cancer is major public health problems. Many research prove that soybeans shown chemopreventive and anti cancer effect. This study investigates the inhibition of carcinogenesis soybean seed extract EK and soybean meal extract EB containing lunasin in colon cancer models in vivo. In this study use male Swiss Webster mice aged 12 weeks induced azoxymethane AOM 10 mg kg and dextran sodium sulfate DSS 2 . Apoptosis, dysplasia, hyperplasia and mitosis is a marker of colon carcinogenesis. The result is the provision of soybean seed and soybean meal increase apoptosis p 0.001 , with the best effects shown by EK2 150 mg 20gr BB p 0.009 and EB1 75 mg 20gr BB p 0.436 . Soybean seed and soybean meal extract decrease dysplasia p 0.024 , with the best effect shown by EK3 200 mg 20gr BB p 0.0002 and EB3 200 mg 20gr BB p 0.003 . Soybean seed extract and soybean meal extract decrease hyperplasia p 0.000 , with the best effects shown by EK3 200 mg 20gr BB p 0.000 and EB3 200 mg 20gr BB p 0.002 . Soybean seed and soybean meal extract decrease mitosis p 0.008 , with the best effect shown by EK3 200 mg 20gr BB p 0.003 and EB1 75 mg 20gr BB p 0.173 . Soybean seeds and soybean meal extract can inhibit colon carcinogenesis in terms of increase apoptosis and decrease dysplasia, hyperplasia and mitosis."
2017
T47534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roro Rahayu Inggriani
"Penggunaan larutan pra-perlakuan kolkisin dan pewarna sintetis, aseto-carmin diketahui dapat memberikan dampak toksik bagi penggunanya maupun lingkungan sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai potensi bahan alam sebagai pengganti kolkisin dan pewarna aseto-carmin. Jenis bawang-bawangan seperti bawang bombay, bawang dayak, bawang merah, dan bawang putih memiliki kekerabatan ordo dengan tanaman penghasil kolkisin. Kayu secang memiliki senyawa aktif pewarna brazilin yang dapat menjadi potensi pengganti larutan kolkisin dan pewarna aceto-carmin. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian empat larutan bawang terhadap indeks mitosis dan abnormalitas pada akar bawang merah dan menentukan larutan bawang yang digunakan dalam percobaan pewarna kayu secang untuk melihat perbedaan struktur morfologi kromosom yang diwarnai kayu secang dengan pewarna sintesis, aseto-carmin. Larutan empat bawang dibuat dengan melarutkan serbuk bawang ke dalam air hingga konsentrasi 0,01% dan 0,1%, sedangkan pewarna kayu secang dibuat dengan melarutkan serbuk kayu secang pada pelarut asam-asetat 25% dan 45% yang kemudian dibedakan dengan ada tidaknya pemanasan. Metode squash digunakan untuk mendapatkan kromosom akar bawang yang telah diberikan perlakuan larutan empat jenis bawang maupun pewarna kayu secang. Berdasarkan hasil Uji ANOVA satu arah, pemberian larutan bawang bombay, bawang dayak, bawang merah dan bawang putih sebagai larutan pra-perlakuan tidak berbeda nyata (P < 0,5) dengan yang diberi perlakuan kolkisin untuk indeks mitosis, indeks metafase dan abnormalitas kromosom. Bawang bombay 0,1% dipilih menjadi larutan pengganti kolkisin pada percobaan pewarna kayu secang karena memiliki kecenderungan lebih tinggi pada indeks mitosis, mefase dan c-metafase di antara bawang yang lain. Pewarna kayu secang dapat dijadikan alternatif pewarna kromosom karena tidak mempengaruhi struktur dan morfologi kromosom dibandingkan dengan pewarna sintetis, aseto-carmin. Larutan empat bawang memiliki potensi untuk menggantikan larutan kolkisin dan pewarna kayu secang memiliki potensi untuk menggantikan pewarna sintetis, aseto-carmin.

The use of colchicine pre-treated solution and synthetic dye, aceto-carmine, is known to have a toxic impact on its users and the environment. Hence, it is necessary to research the potential of natural ingredients as a substitute for colchicine and aceto-carmine dye. Types of onions such as shallots, Dayak onions, shallots, and garlic have an order kinship with colchicine-producing plants, and Sappan wood has an active compound of brazilin dye which can be a potential substitute for colchicine solution and aceto-carmine dye. The research was conducted to determine the effect of giving four onion solutions on the mitotic index and abnormalities in shallot roots to determine the onion solution used in the sappan wood dye experiment and to find out the differences in the morphological structure of the chromosomes in the sappan wood dye compared to the synthetic dye, aceto-carmine. The four onion solutions were made by dissolving each onion powder in water to a concentration of 0.01% and 0.1%. Sappan wood dye was made by dissolving sappan wood powder in 25% and 45% acetic acid solvent, which was then distinguished by heated or not. The squash method was used to get chromosomes from onion roots treated with four types of onions and sappan wood dyes. Based on the results of the one-way ANOVA test, the administration of onion, Dayak onion, shallot, and garlic solution as a pre-treatment solution was not significantly different (P <0.5) from that given colchicine treatment for mitotic index, metaphase index, and chromosomal abnormalities. Onion 0.1% was chosen as a colchicine replacement solution in the sappan wood dye experiment because it obtained the highest scores on the mitotic, metaphase, and c-metaphase indices among the other onions. Sappan wood dye can be an alternative to chromosome dye because it does not affect the structure and morphology of chromosomes compared to the synthetic dye, aceto-carmine. The four onions solution can potentially replace the colchicine solution, and Sappan wood dye can replace the synthetic dye, aceto-carmine.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nugroho
"Latar Belakang: Melanoma konjungtiva adalah keganasan konjungtiva yang jarang dijumpai, namun berpotensi agresif. Rekurensi melanoma konjungtiva pada kasus melanoma konjungtiva mencapai 40% disertai persentase mortalitas yang tinggi (18%). Aktivitas mitosis dan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) Ki-67 sebagai penanda proliferasi memiliki potensi sebagai prediktor prognosis kondisi ini. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi pada melanoma konjungtiva yaitu lokasi tumor, invasi lokal, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), rekurensi, metastasis jauh, tipe sel, invasi limfovaskular, dan penyebaran pagetoid. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data rekam medis dan blok parafin pasien melanoma konjungtiva di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2013 – Desember 2023. Sampel dikaji ulang dan dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) serta pulasan IHK menggunakan antibodi Ki-67. Hasil hitung mitosis dan ekspresi Ki-67 selanjutnya dicek silang dengan faktor-faktor prognosis lain yang ditemukan dari rekam medis dan sampel yang diuji. Kemudian dilakukan analisis statistik untuk mengetahui hubungan keduanya. Hasil: Didapatkan 34 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi yang diuji (p>0.05). Mayoritas pasien melanoma konjungtiva pada penelitian ini memiliki aktivitas mitosis tinggi (85.3%), temuan ini melebihi persentase proporsi pada penelitian-penelitian sebelumnya. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis buruk klinis dan histopatologi pada pasien melanoma konjungtiva. Terdapat ketimpangan proporsi populasi berupa ditemukannya hampir seluruh pasien dengan aktivitas mitosis tinggi.

Background: Conjunctival melanoma is a rare but potentially aggressive conjunctival malignancy. Local recurrence of conjunctival melanoma cases reaches 40% with a high mortality rate (18%). Mitotic activity and Ki-67 immunohistochemistry (IHC) staining expression as proliferation markers can predict this condition's prognosis. This study aims to assess the association between mitotic activity and Ki-67 expression with clinical and histopathological prognostic factors in conjunctival melanoma, namely tumor location, local invasion, lymph node involvement, recurrence, distant metastasis, cell type, lymphovascular invasion, and pagetoid spread. Methods: This study was conducted using data from medical records and paraffin blocks of conjunctival melanoma patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 - December 2023. Samples were reviewed, hematoxylin-eosin (HE) stained, and IHC stained using Ki-67 antibody. The mitotic count and Ki-67 expression results were then cross-checked with established prognostic factors. Then, statistical analysis was performed to determine the association between these two. Results: 34 research samples met the inclusion and exclusion criteria. There was no statistically significant association between mitotic activity and Ki-67 expression with the clinical and histopathological prognostic factors tested (p>0.05). Most conjunctival melanoma patients in this study had high mitotic activity (85.3%); this finding exceeds the percentage proportion in previous studies.Conclusion: In conjunctival melanoma patients, there was no statistically significant association between mitotic activity and Ki-67 expression with poor clinical and histopathological prognostic factors. There was an imbalance in the population proportion in the form of almost all patients with high mitotic activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Afriani
"ABSTRAK
Kanker kolorektal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga terbanyak pada laki-laki maupun perempuan di seluruh dunia. Penelitian ekspresi HER2 pada kanker kolorektal memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0-83% dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi HER2 pada kanker kolorektal serta dihubungkan dengan parameter prognostik histopatologi berupa jumlah mitosis per 10 LPB, kedalaman invasi sel kanker, dan invasi sel kanker di limfovaskuler. Penelitian menggunakan desain retrospektif terhadap 51 sediaan blok parafin kanker kolorektal rentang tahun Januari 2011-Desember 2012. Penilaian karakteristik sampel diambil dari rekam medis dan penilaian parameter prognosis histopatologi dinilai dari sediaan HE pasien kanker kolorektal. Pulasan imunohistokimia HER2 menggunakan antibodi poliklonal anti HER2(DAKO). Rata-rata usia penderita adalah 57.8±13.54 tahun, 58.8% penderita adalah laki-laki dan 41.2% perempuan. Hitung mitosis per 10 LPB didapatkan median 11 mitosis dengan rentang 3-34 mitosis per 10 LPB. Berdasarkan grading histopatologi, ditemukan low grade sebanyak 39(76.5%) dan high grade sebanyak 12(23.5%) kasus. Invasi sel kanker di limfovaskuler ditemukan sebanyak 37(72.5%) kasus. Ekspresi HER2 positif ditemukan sebanyak 5(9.8%) kasus. Semua kasus positif terdapat pada invasi sel tumor sedalam serosa (pT3). Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara ekspresi HER2 dengan derajat diferensiasi (p=0.663), mitosis (p=0.354), kedalaman invasi (p=0.983), dan invasi limfovaskuler (p=0.790).

ABSTRACT
Kanker kolorektal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga terbanyak pada laki-laki maupun perempuan di seluruh dunia. Penelitian ekspresi HER2 pada kanker kolorektal memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0-83% dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi HER2 pada kanker kolorektal serta dihubungkan dengan parameter prognostik histopatologi berupa jumlah mitosis per 10 LPB, kedalaman invasi sel kanker, dan invasi sel kanker di limfovaskuler. Penelitian menggunakan desain retrospektif terhadap 51 sediaan blok parafin kanker kolorektal rentang tahun Januari 2011-Desember 2012. Penilaian karakteristik sampel diambil dari rekam medis dan penilaian parameter prognosis histopatologi dinilai dari sediaan HE pasien kanker kolorektal. Pulasan imunohistokimia HER2 menggunakan antibodi poliklonal anti HER2(DAKO). Rata-rata usia penderita adalah 57.8±13.54 tahun, 58.8% penderita adalah laki-laki dan 41.2% perempuan. Hitung mitosis per 10 LPB didapatkan median 11 mitosis dengan rentang 3-34 mitosis per 10 LPB. Berdasarkan grading histopatologi, ditemukan low grade sebanyak 39(76.5%) dan high grade sebanyak 12(23.5%) kasus. Invasi sel kanker di limfovaskuler ditemukan sebanyak 37(72.5%) kasus. Ekspresi HER2 positif ditemukan sebanyak 5(9.8%) kasus. Semua kasus positif terdapat pada invasi sel tumor sedalam serosa (pT3). Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara ekspresi HER2 dengan derajat diferensiasi (p=0.663), mitosis (p=0.354), kedalaman invasi (p=0.983), dan invasi limfovaskuler (p=0.790)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Setyo Yudhanto
"ABSTRAK
Latar belakang: Karsinoma urotelial kandung kemih merupakan kasus terbanyak di organ kandung kemih mencapai 90% kasus. Stadium dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu non invasif jika belum menembus lapisan muskularis dan invasif jika sudah menembus lapisan muskularis. Kesintasan 5 tahun tergantung dari derajat keganasan dan stadium. Derajat keganasan rendah dan belum invasi muskuler dapat mencapai 90 %, tetapi angka rekurensi berkisar 40-60%. Derajat keganasan tinggi dan sudah invasi hanya berkisar 10-17%. Mitosis dan invasi limfovaskuler berhubungan dengan angka rekurensi tinggi. Namun masih terdapat kontroversial terhadap ekspresi Bcl-2 pada karsinoma urotelial kandung kemih. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbedaan ekspresi Bcl-2 dengan 4 faktor yang berhubungan dengan prognosis yaitu derajat keganasan, stadium, mitosis, dan invasi limfovaskuler.
Bahan dan cara: Dilakukan penelitian deskriptif analitik secara potong lintang pada karsinoma urotelial kandung kemih tahun 2010-2014 di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM. Didapatkan 21 kasus derajat keganasan rendah dan 21 kasus derajat keganasan tinggi. Dilakukan pulasan Bcl-2 pada seluruh kasus dan dihitung persentasenya dan dilakukan skoring 0-3.
Hasil: Usia terbanyak pada dekade 5 sebanyak 27 kasus. Didapatkan 4 kasus ditemukan invasi limfovaskuler. Penelitian ini mendapatkan hubungan antara mitosis dengan derajat keganasan(p:0,000)dengan koefisien korelasi 0,512 Penelitian ini mendapatkan hampir seluruh kasus mengekspresikan Bcl-2 (39 dari 42 kasus), 1 kasus tidak mengekspresikan dan 2 kasus mengekpresikan sedikit. Tidak didapatkan perbedaan antara ekspresi Bcl-2 dengan derajat keganasan (p:0,232), stadium(p:0,455), mitosis(p:0,835), dan invasi limfovaskuler(p:0,087).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 dengan derajat keganasan, stadium, mitosis, dan invasi limfovaskuler.

ABSTRACT
Background: Urothelial carcinoma comprises of 90% of all cases in bladder. There are two groups which are non invasive depend on whether the tumor has reached muscularis mucosa. 5-Years survival rate depend on grading and staging. Low malignant grade and non invasive can reach 90% survival rate, with recurrence rate 40-60%. High malignant grade and invasive tumor has only10-17% survival rate. Mitosis and lymphovascular invasion are related with recurrency. However, there are some controvesi regarding Bcl-2 expression in bladder urothelial carcinoma. This study aimed to evaluate different expression of Bcl-2 with 4 related factors contributy to survival, which are degree of malignancy, stage, mitosis, and lymphovascular invasion.
Material and methods: A retrospective and cross sectional study of urothelial carcinoma of the bladder was conducted in 2010-2014 in the Department of Anatomical Pathology, Faculty of medicine / RSCM. In this study found 21 cases of low grade and 21 cases of high high grade. Bcl-2 staining performed in all cases and percentages are calculated and made scoring 0-3.
Results: Most case is fifth decade as many as 27 cases. Obtained 4 cases found limfovaskuler invasion. This study obtains the relationship between mitosis with grade of tumor (p: 0.000). There were no differences between the expression of Bcl-2 with the degree of malignancy stage , mitosis and lymphovascular invasion.
Conclusions: There were no associated expression of Bcl-2 with the degree of malignancy, stage, mitosis, and invasion limfovaskuler.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Apriliana Kusumawati
"Penelitian untuk mengetahui pengaruh waktu pengambilan pucuk daun terhadap fase mitosis Hibiscus rosa-sinensis L. variasi double red telah dilakukan sejak Januari 2018 hingga Mei 2018. Pembuatan preparat kromosom dilakukan menggunakan metode squashing yang terdiri dari tahap pengambilan bahan, pretreatment, fiksasi, hidrolisis, dan squashing/pemencetan. Pengambilan pucuk daun dilakukan pada lima waktu yang berbeda, yaitu pukul 08.00 WIB, 09.00 WIB, 10.00 WIB, 11.00 WIB, dan 12.00 WIB. Waktu pengambilan pucuk yang menunjukkan persentase profase akhir tertinggi dan interfase yang rendah dijadikan parameter waktu terbaik pengambilan pucuk daun H. rosa-sinensis L. variasi double red untuk studi kromosom. Morfologi dan jumlah kromosom diamati di bawah mikroskop Leica DM500 dengan perbesaran 10 x 40 dan 10 x 100, dan dihitung menggunakan aplikasi ImageJ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan sampel pukul 10.00 WIB merupakan waktu terbaik untuk observasi kromosom. Pengaruh waktu pengambilan pucuk daun terhadap fase mitosis dapat dilihat melalui fase interfase dan profase akhir. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya pengaruh waktu pengambilan pucuk daun terhadap fase interfase dan profase akhir sel pucuk daun H. rosa-sinensis L. variasi double red P < 0,05 . Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney pada kedua fase tersebut, pengambilan pucuk daun pukul 10.00 WIB tidak berbeda nyata dengan pukul 11.00 WIB. Morfologi kromosom H. rosa-sinensis L. variasi double red yang diperoleh berukuran kecil, dengan jumlah kromosom yang banyak 2n=ca. 26--46 dan bersifat miksoploidi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian terkait kromosom selanjutnya.
The study to determine the effect of leaf rsquo s shoots sampling time on mitotic phases of Hibiscus rosa sinensis L. double red flower has been carried out from January 2018 until May 2018. Preparation of chromosome slides was done using a squashing method. The method consist of sampling stage, pretreatment, fixation, hydrolysis, and squashing punching. The sampling has been done at five different times, at 08.00 a.m, 09.00 a.m, 10.00 a.m, 11.00 a.m, and 12.00 a.m. The sampling time showing the highest late prophase percentage and lowest interphase were determined as the most optimum time for H. rosa sinensis L. double red flower leaf rsquo s shoots sampling for chromosome studies. Morphology and number of chromosomes were observed under the Leica DM500 microscope with magnification 10 x 40 and 10 x 100, and calculated using the ImageJ application. The results showed that 10.00 a.m. was the most optimum time for chromosome observation. The effect of leaf rsquo s shoots sampling time on the mitotic phases can be seen through the percentage of interphase and late prophase. The result of Kruskal Wallis test showed that leaf rsquo s shoots sampling time had a significantly effect on interphase and late prophase of cell phase Hibiscus rosa sinensis double red flower leaf rsquo s shoots P 0,05 . Based on Mann Whitney test of both phases, leaf rsquo s shoots sampling time at 10.00 a.m did not significantly affect with 11.00 a.m. The chromosome of H. rosa sinensis L. double red flower obtained in this study has small size with large numbers of chromosomes 2n ca.26 46 and were mixoploid. The results of this study would be beneficial for further chromosome analysis."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Junita Intan
"Kanker serviks menjadi penyebab utama kedua kematian akibat kanker pada perempuan di seluruh dunia. Pengobatan alternatif kanker serviks yang dikembangkan saat ini yaitu metode terapeutik menggunakan ekstrak tumbuhan seperti akar wangi (Vetiveria zizanioides L.). Studi pendahuluan mengenai pengaruh konsentrasi ekstrak akar wangi terhadap pertumbuhan sel HeLa dengan analisis indeks mitosis telah dilakukan dengan konsentrasi 10, 30, dan 50 μg/mL. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa konsentrasi 10 μg/mL paling efektif dalam menekan pertumbuhan sel HeLa. Penelitian lanjutan dilakukan dengan variasi konsentrasi yang lebih spesifik, yaitu 5, 10, dan 15 μg/mL yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak akar wangi terhadap pertumbuhan sel HeLa dengan metode indeks mitosis, trypan blue, dan mikroskop fluoresens. Hasil uji independent t-test pada tingkat kepercayaan 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan nilai indeks mitosis dan viabilitas antara sampel kontrol dan perlakuan. Hasil pengamatan kualitatif dengan mikroskop fluoresens menunjukkan terdapat penurunan konfluensi dan perubahan morfologi sel HeLa pada sampel perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi 5, 10, dan 15 μg/mL ekstrak akar wangi berpengaruh terhadap aktivitas mitosis, viabilitas, dan morfologi sel HeLa. Ekstrak akar wangi dengan konsentrasi 15 μg/mL cenderung lebih mampu menurunkan nilai indeks mitosis dan viabilitas sel HeLa.

Cervical cancer is the second leading cause of cancer death in women worldwide. Alternative treatment for cervical cancer currently being developed is a therapeutic method using plant extracts such as vetiver (Vetiveria zizanioides L.). Preliminary studies on the effect of the concentration of vetiver extract on the growth of HeLa cells by mitotic index analysis have been carried out at concentrations of 10, 30, and 50 g/mL. The preliminary study results showed that the concentration of 10 g/mL was most effective in suppressing the growth of HeLa cells. Further research was carried out with more specific concentration variations, namely 5, 10, and 15 g/mL, which aimed to determine the effect of the concentration of vetiver extract on the growth of HeLa cells using the mitotic index, trypan blue, and fluorescent microscopy. The independent t-test results at a significance level of 0,05 showed a significant difference in the mitotic index and viability values between the control and treatment samples. The results of qualitative observations with fluorescent microscopy showed a decrease in confluency and changes in the morphology of HeLa cells in the treated samples. The concentrations of 5, 10, and 15 g/mL of vetiver extract affected the mitotic activity, viability, and morphology of HeLa cells. Vetiver extract with a concentration of 15 g/mL tended to lower the mitotic index and HeLa cell viability values."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafif Fasya Rizkyaldi
"Latar Belakang : Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) memiliki insidensi yang cukup tinggi di Indonesia. KSSRM memiliki faktor risiko yang sangat beragam, di antaranya konsumsi produk tembakau, kebiasaan minum minuman beralkohol, konsumsi areca nut, faktor genetik, lokasi tumor, jenis kelamin, dan usia. Biopsi dan pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan hematoxylin-eosin masih menjadi gold standard dalam diagnosis definitif KSSRM. Derajat diferensiasi KSSRM umum digunakan sebagai kriteria untuk mengklasifikasi keparahan jaringan kanker. Namun, diperlukan gambaran histopatologis lain yang dapat digunakan untuk menentukan derajat diferensiasi KSSRM. Pleomorfisme nuklear mengacu pada variasi ukuran dan bentuk inti sel. Peningkatan pleomorfisme nuklear telah diasosiasikan dengan peningkatan keganasan dan metastasis kanker. Jumlah mitosis atau jumlah sel yang sedang mengalami pembelahan, telah dihubungkan dengan keganasan, prognosis yang buruk, dan metastasis pada KSSRM. Infiltrasi limfoplasmasitik didefinisikan sebagai fenomena invasi sel-sel inflamasi seperti limfosit dan plasma pada daerah peritumoral sebagai respons imun tubuh terhadap sel kanker. Penurunan infiltrasi limfoplasmasitik telah diamati memiliki hubungan dengan terjadinya metastasis nodus limfa, rekurensi, dan prognosis yang buruk. Analisis hubungan derajat pleomorfisme nuklear, jumlah mitosis, dan tingkat infiltrasi limfoplasmasitik perlu dilakukan untuk menyusun strategi perawatan yang lebih komprehensif sesuai dengan karakteristik derajat pleomorfisme nuklear, jumlah mitosis, dan tingkat infiltrasi limfoplasmasitik pasien. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keparahan KSSRM berdasarkan derajat pleomorfisme nuklear, jumlah mitosis, dan tingkat infiltrasi limfoplasmasitiknya. Metode : Penelitian deskriptif analitik menggunakan sampel jaringan KSSRM yang diberi pewarnaan hematoxylin-eosin. Sampel tersebut diamati menggunakan mikroskop cahaya. Hasil : Derajat pleomorfisme nuklear dan jumlah mitosis memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan derajat diferensiasi KSSRM. Hasil yang berkorelasi positif terhadap derajat diferensiasi KSSRM juga teramati pada derajat pleomorfisme nuklear (r=0,584) dan jumlah mitosis (r=0,675). Belum ditemukan hubungan bermakna (p>0,05) antara tingkat infiltrasi limfoplasmasitik dan derajat diferensiasi KSSRM. Belum ditemukan pula hubungan yang bermakna antara lokasi tumor, jenis kelamin, dan usia terhadap derajat diferensiasi KSSRM. Kesimpulan : Ditemukan hubungan antara derajat pleomorfisme nuklear dan jumlah mitosis terhadap derajat diferensiasi KSSRM. Sehingga, makin tingginya derajat pleomorfisme nuklear dan jumlah mitosis akan memperburuk derajat diferensiasi KSSRM. Namun, belum ditemukan hubungan antara tingkat infiltrasi limfoplasmasitik dengan derajat diferensiasi KSSRM. Hubungan bermakna juga belum ditemukan antara lokasi tumor, jenis kelamin, dan usia terhadap derajat diferensiasi KSSRM.

Indonesia. OSCC has various risk factors, including tobacco use, alcohol consumption, areca nut use, genetic factor, tumor location, gender, and age. Biopsy and histopathological examination with hematoxylin-eosin staining remain the gold standard for diagnosing OSCC. Thus, the histopathological evaluation of OSCC is critical for determining prognosis and appropriate management. The degree of differentiation of OSCC is commonly used as a criterion for classifying the severity of cancer tissue. However, other histopathological features are needed to determine the degree of differentiation in OSCC. Nuclear pleomorphism refers to variations in the size and shape of cell nuclei. Increased nuclear pleomorphism has been associated with higher malignancy and cancer metastasis. The number of mitoses, reflecting the number of cells undergoing division, has been linked to malignancy, poor prognosis, and metastasis in OSCC cases. Lymphoplasmacytic infiltration is defined as invasion by inflammatory cells such as lymphocytes and plasma cells as part of the body's immune response to cancer cells. A decrease in lymphoplasmacytic infiltration has been observed to correlate with lymph node metastasis, recurrence, and poor prognosis. Analyzing the relationship between the degree of nuclear pleomorphism, the number of mitosis, and the level of lymphoplasmacytic infiltration is necessary to develop more comprehensive treatment strategies tailored to the characteristics of nuclear pleomorphism, mitotic count, and lymphoplasmacytic infiltration in OSCC patients. Objective: This study aims to analyze the severity of OSCC based on the degree of nuclear pleomorphism, number of mitosis, and the level of lymphoplasmacytic infiltration. Methods: A descriptive-analytical study was conducted using OSCC tissue samples stained with hematoxylin-eosin. These samples were observed under a light microscope. Results: The degree of nuclear pleomorphism and mitotic count showed a significant relationship (p<0.05) with the OSCC degree of differentiation. Positive correlations for nuclear pleomorphism (r=0.584) and mitotic count (r=0.675) with OSCC degree of differentiation. No significant relationship was found (p>0,05) between the level of lymphoplasmacytic infiltration and the OSCC degree of differentiation. Additionally, no significant associations were found between tumor location, gender, and age with the OSCC degree of differentiation. Conclusion: An association was found between the degree of nuclear pleomorphism and number of mitosis with the OSCC degree of differentiation. Thus, higher degree of nuclear pleomorphism and number of mitosis worsen the OSCC degree of differentiation. However, no significant relationship was observed between the level of lymphoplasmacytic infiltration and the OSCC degree of differentiation. Similarly, no significant associations were found between tumor location, gender, and age with the OSCC degree of differentiation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library