Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kruszelnicki, Karl
Jakarta: Gramedia, 2005
500 KRU m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"The story of Joko Tole for people in Sumenep was convinced that it was true story. Joko Tole was convinced as forefather heroic figure of people in Sumenep, even they acknowledge he held the supreme power in kadipaten Sumenep in 1415 1465 M...."
PATRA 10 (3-4) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Miko
"ABSTRAK
Kebertahanan suatu praktek sosial dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai pencerminan kebermaknaan tindakan sosial tersebut bagi komunitasnya. Tabuik Piaman merupakan salah satu dari sejumlah khazanah ritual dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian, ia tidak menjadi kekhasan bagi masyarakat Minangkabau umumnya, melainkan hanya bagi komunitas terbatas di daerah Pariaman. Margaret Kartomi (1986) menamakan tipe ritual tabuik ini sebagai ritual ala Perso -Indian. Penamaan ini berkaitan dengan anggapan bahwa muasal tabuik di Pariaman merupakan produk difusi yang bermula dari persentuhan kultural antara kebudayaan Persia dengan India, untuk kemudian India dengan Indonesia.
Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial dapat dipandang sebagai kesatuan struktural yang terdiri dari unsur mitos, ritual dan komunitas pendukungnya. Hakikat mitos dipandang merupakan representase dari sistem pengetahuan dan keyakinan komunitas, sedangkan ritual merupakan tindakan simbolik yang memperlihatkan cara bagaimana komunitas mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai pendukung suatu kebudayaan, komunitas adalah subyek penerima, pemaham mitos serta petindak ritual. Bagaimana terbentuk signifikansi kesalingterkaitan antara cakrawala mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap unsur lain di luar sistem mitos merupakan soal yang ditelusuri. Perwujudan relasi struktural antara mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional tersebut dipandang merupakan pencerminan dari perubahan sosiokultural masyarakat.
Melalui studi kasus ritual tabuik di Pariaman, ditemukan pandangan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual, di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam suatu kekhasan, di lain pihak. Kekhasan struktur ritual itu sendiri merupakan manifestasi dari orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional yang menjadi bagian dari lingkungan sosial masyarakat. dengan kata lain, cakrawala tabuik adalah perwujudan yang khas dari perpaduan cakrawala mitos dan ritual serta sikap kultural komunitas terhadap khazanah tradisional dan suasana-suasana nasional di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldi Aditya
"Definisi klasik mengenai mitos adalah suatu cerita tentang asal-usul kosmos atau semesta yang kemudian mengiringi upacara dan ritual yang ada dalam budaya di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, mitos dipandang sebagai sebuah pemaknaan tingkat dua dari suatu sistem tanda. Sebagai suatu tipe wicara, mitos dapat pula ditemukan dalam karya-karya sastra. Dalam hubungannya dengan teks lain, mitos dapat dikukuhkan (myth of concern) atau dirombak (myth of freedom). Untuk menelaah bagaimana mengukuhkan atau merombak mitos dalam cerpen-cerpen Eka Kurniawan yang terangkum dalam Gelak Sedih, dibutuhkan suatu kerangka kerja intertekstualitas. Intertekstualitas adalah pelintasan suatu sistem tanda kepada sistem tanda lainnya. Dengan intertekstualitas, pembaca dapat menemukan makna sesungguhnya dari pembacaan cerpen-cerpen Eka Kurniawan, berkaitan dengan mitos yang telah dibicarakan.
A classic definition of myths is a story about the beginning of cosmos or universe which later accompanying rituals contained in cultures and customs in the whole world. In the next stage, myths regarded as a secondness meaning of a sign system. As a type of speech, myths could be found in literary texts. In its relation with other texts, myths could be confirmed (myth of concern) or untied (myth of freedom). For the sake of regarding the way to confirm or untie myths in Eka Kurniawan?s short stories collected in Gelak Sedih, it needs an intertextuality work concept. Intertextuality is an intersect of a sign system to another. With intertextuality, reader can find the true meaning in Eka Kurniawan?s short stories, related to myths formerly discussed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S10748
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Hamidi
"BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkenalan saya dengan nama Abdulkadir Jailani bukan suatu hal yang baru, melainkan suatu pertemuan yang sudah lama berlangsung. Sejak kecil saya telah mengenal nama tokoh ini dengan akrab. Setiap habis panen kakek saya selalu menyelenggarakan pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani yang kami sebut nadar. Peristiwa seperti ini dapat berulang lagi sebelum panen musim mendatang, jika ada peristiwa luar biasa seperti, sembuh dari sakit keras atau ada anggota keluarga yang terlepas dari musibah yang besar. Demikian juga tatkala salah seorang saudara saya ada yang menikah, sunatan anak laki-laki, atau memperingati tujuh bulan kandungan anak pertama, maka pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani kembali digelar.
Penyelenggaraan nadar ini sangat disukai anak-anak karena pada peristiwa ini biasanya banyak makanan yang enak-enak. Untuk nadar biasanya nenek saya menghidangkan makanan yang lebih banyak dan lebih khusus dari makanan yang dihidangkan dalam acara tahlilan biasa. Kesukaan lain pada acara ini adalah berkumpul bersanta teman dan tetangga dalam suasana yang menyenangkan. Sebelum acara dimulai, anak-anak dapat bergurau dengan leluasa asal saja suara kami tidak melebihi suara orang tua-tua yang juga sedang berbincang-bincang. Gurauan kami ini akan terhenti seketika, kalau acara akan dimulai.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya setelah penataran Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UI pada tahun 1987, timbul pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak terpikirkan. Mengapa nadar kali itu begitu mengakar pada masyarakat kami dengan latar belakang penyelenggaraan yang berlainan, tetapi dengan satu tata cara yang sama? Pertanyaan ini muncul karena tradisi pembacaan riwayat hidup ini bukan hanya dilaksanakan oleh tetangga-tetangga satu kampung, melainkan juga dilakukan oleh tetangga-tetangga di luar kampung kami. Pertanyaan lain yang muncul mengikuti pertanyaan pertama adalah tentang tokoh utamanya. Mengapa riwayat hidup yang dibaca itu riwayat hidup Abdulkadir Jailani dan bukan riwayat hidup Nabi Muhammad? Bukankah Nabi Muhammad merupakan tokoh ideal yang semua perilaku hidupnya harus dicentoh oleh setiap muslim?
Sebelum kedua pertanyaan ini menemukan jawaban yang tepat, tiba-tiba muncul jawaban yang lain dari Imran AM lewat bukunya Kitab Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam (1984). Seperti yang sudah tergambar dari judulnya, buku ini berisi sorotan pengarang atas kitab yang selama ini selalu dibaca di kampung saya. Secara garis besar buku ini terbagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama, membahas istilah manakiban, wali, karamah, nazar, tawasul, tabaruk, hakikat, dan syariat. Istilah-istilah ini dibahas satu persatu mulai dari pengertiannya sampai dengan penentuan hukumnya sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, dia mengartikan manakib sebagai riwayat hidup yang memiliki hubungan dengan sejarah kehidupan orang-orang besar atau tokoh-tokoh penting (Imran, 1984:3). Hukum membaca manakib menurut Imran dilarang oleh agama, jika pembacaan tersebut mempunyai niat yang berlebih-lebihan, seperti mengharap dagangan cepat laku atau untuk mengusir makhluk halus (1984:6). Bagian kedua berisi koreksi Imran terhadap isi cerita manakib Abdulkadir. Tidak kurang dari 19 bagian cerita yang dibahas serta tiap bagian dikoreksi sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, dia mengoreksi kebiasaan Abdulkadir tidak tidur, tidak makan, dan minum dalam waktu yang lama. Imran mempertanyakan kebenaran kebiasaan Abdulkadir ini. Menurutnya, ajaran seperti ini tidak ada dalam syariat Islam (1984:91). Tentu saja pembahasan seperti ini tidak diharamkan. Artinya orang bisa saja berpendapat tentang sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, pendapat tersebut bukan satu-satunya pendapat. Pandangan ini hanya?
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perdebatan dikalangan gereja dan para teolog tentang apakah alkitab itu "Firman Tuhan" atau bukan, telah berlangsung cukup satu pihak mengatakan bahwa karena alkitab itu "Firman Tuhan" maka dia tidak mengandung kekeliruan ataupun kesalahan..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gunardi Endro
"Bisnis telah lama dijangkiti berbagai mitos antara lain bisnis immoral, bisnis amoral, bisnis sebagai maksimalisasi keuntungan dan bisnis sebagai permainan. Mitos-mitos itu jelas mau memisahkan bisnis dari etika, padahal adanya bisnis tak bisa tidak sudah mengasumsikan adanya etika. Sesudah adanya banyak skandal pelanggaran moral, Baru masyarakat bangun dan menyadari pentingnya etika dalam dunia bisnis. Akhirnya, muncul bidang studi khusus etika bisnis yang kurang lebih berupaya menggabungkan etika dengan bisnis. Akan tetapi tampaknya upaya itu menemui kesulitan, karena pelaku bisnis lebih mempersepsi etika seperti itu sebagai eksternalitas yang sulit (atau enggan) diintegrasikan dengan tuntutan bisnis.
Tesis ini mengajukan argumen bahwa upaya paling tepat mengatasi persoalan diatas adalah meredefinisi bisnis sehingga bisnis merupakan tindakan yang bisa dilakukan dengan baik, dan persoalan etika diselesaikan justru dan dalam bisnis sendiri. Untuk maksud ini, diperlukan studi tentang tindakan, dan studi demikian diperoleh dari etika Aristoteles. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa anatomi dunia bisnis dengan empat masalah etikanya yaitu masalah etika bisnis mikro, kultur perusahaan, kode etik profesi dan etika bisnis makro ternyata bisa disejajari, dicakup dan diatasi etika Aristoteles dengan keutamaan individual pelaku bisnis, keutamaan perusahaan, keutamaan dunia bisnis, dan keutaniaan masyarakat. Kemampuan dukung untuk konstruksi etika bisnis seperti itu ternyata tak dimiliki teori etika normatif lain. Disinilah tampak relevansi etika keutamaan Aristoteles bagi dunia bisnis.
Dalam hal ini, bisnis yang diredefinisi sebagai tindakan yang baik mensyaratkan dua langkah argumen, yaitu pertama bisnis diperlakukan sebagai tindakan (praxis) dan kedua bisnis dilakukan sesuai dengan keutamaan (virtue). Dengan begitu, tujuan bisnis menyatu dengan tujuan etika, dan ketika keduanya tercapai - disitu pula terkandung kebahagiaan (eudainzonia). Implikasinya, selain menyelesaikan dikotomi etika dan bisnis, juga mengatasi alienasi manusia dari aktivitasnya sendiri. Disini tampak bahwa keutamaan mengandung dalam dirinya makna keunggulan, kebaikan dan kebahagiaan (eudairnonia)."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teta Muliantias
"Mitos kecantikan merupakan salah satu upaya masyarakat patriarki untuk mengendalikan kebebasan perempuan melalui bentuk standar kecantikan atau kecantikan yang ideal. Hal itu telah dikonstruksikan menjadi norma dan budaya sehingga apa yang dikatakannya menjadi kebenaran yang absolut. Penulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana iklan endorsement yang dilakukan oleh selebriti atau artis perempuan Indonesia secara tidak langsung menjadi salah satu agen yang melanggengkan mitos kecantikan terhadap perempuan. Melalui sudut pandang teori feminis radikal, hasil temuan data menunjukan adanya bentuk opresi terhadap perempuan yang terdapat dalam iklan krim pemutih wajah dan tubuh di media sosial Instagram.

The beauty myth is one of the efforts of patriarchal societies to control women`s freedom through an ideal form of beauty or beauty standards. It has been constructed into norms and culture so that what he says becomes absolute truth. This writing aims to see how endorsement advertisements conducted by Indonesian female celebrities or artists indirectly become one of the agents that perpetuate the beauty myth against women. From the point of view of radical feminist theory, the data findings show a form of oppression against women found in face and body whitening cream ads on social media Instagram."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Murti Bunanta
"ABSTRAK
Di Indonesia cukup banyak dilakukan penulisan kembali dan penerbitan cerita rakyat, baik untuk keperluan cerita anak-anak, maupun untuk kepentingan dokumentasi dan inventarisasi. Melalui pendataan yang dilakukan untuk kepentingan penelitian ini, dapat dilihat bahwa cerita rakyat untuk anak paling banyak diterbitkan dalam kurun waktu dua puluh tahun belakangan ini. Paling tidak ada enam penggunaan dari buku-buku tersebut yang dapat disebutkan di sini, yaitu: (1) sebagai bacaan penghibur (leisure reading) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, (2) sebagai teks bacaan buku pelajaran bahasa Indonesia, (3) sebagai teks bacaan buku pelajaran bahasa Belanda dan bahasa daerah, (4) sebagai teks bacaan buku pelajaran bahasa Inggris, (5) sebagai bacaan pendidikan yang berkaitan dengan budi pekerti, dan (6) sebagai bacaan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral Pancasila.
Penulisan kembali cerita rakyat untuk bahan bacaan anak mengundang berbagai argumentasi. Paling tidak ada lima masalah yang telah dilontarkan oleh para peneliti Barat. Pertama, berkaitan dengan asal cerita rakyat. Karena berasal dari tradisi Iisan, maka ada pendapat yang mengatakan bilamana cerita rakyat sudah menjadi bahan bacaan, maka tak dapat disebut lagi sebagai cerita rakyat (Shannon, 1986: 117). Kedua, berkaitan dengan kejujuran pengarang. Seseorang yang menuliskan kembali suatu cerita rakyat seyogyanya mencantumkan dalam bukunya selain data-data dari sumbernya, juga memberikan keterangan apakah cerita tersebut merupakan saduran, versi pendek, atau penceritaan kembali (lihat Ord, 1986:115). Ketiga, berkaitan dengan mutu penulisan atau ketrampilan penulis. Tidak semua pengarang menghasilkan versi yang baik; ada versi yang bersifat moralistis, ada yang sangat disederhanakan, ada yang memberikan keterangan panjang lebar dan amat membosankan pada setiap kejadian, dan ada pula yang memberikan banyak detil-detil seperti sebuah novel (lihat Nodelman, 1982: 9 dan lihat pula Smith, 1980: 18). Keempat, berkaitan dengan maksud penulisan kembali cerita tersebut. Misalnya: 1. Untuk kepentingan target pembaca, seperti yang dilakukan Charles Perrault. la mengubah beberapa bagian dongeng Cinderella supaya cocok dengan pembaca bukunya, yaitu anak-anak yang berasal dari golongan bangsawan; 2. Untuk menghilangkan hal-hal yang dianggap tabu supaya dapat dibaca anak, seperti yang dilakukan oleh Grimm bersaudara; 3. Untuk kepentingan suatu paham, yaitu feminisme yang bermaksud mengubah citra tokoh wanita dalam cerita rakyat (lihat Lurie, 1990: 16-28). Perubahan-perubahan semacam ini antara lain dianggap sebagai penyebab cerita rakyat mengalami distorsi (Nodelman, 1990: 145). Kelima, berkaitan dengan asal usul koleksi. Timbul pertanyaan, apakah cerita yang diberikan pada anak sebaiknya yang berasal dari koleksi di lapangan ataukah yang sudah dituliskan kembali (lihat Lurie, 1990: 22 dan lihat pula Smith, 1980: 18).
Sesuai dengan keadaan di Indonesia, masalah yang disoroti dalam disertasi ini adalah penulisan kembali (retelling) cerita rakyat untuk anak di Indonesia ditinjau dari penyajian cerita. Hal ini berkaitan dengan masalah ketiga di atas, yaitu kualitas penulisan. Untuk itu, dibahas 22 versi dongeng Bawang Merah Bawang Putih dari 21 pencerita kembali (untuk selanjutnya disebut pengarang). Penelitian dilaksanakan dengan membandingkan penyajian cerita 22 versi tersebut. Perlu dikemukakan, bahwa pada awalnya telah diteliti 128 cerita rakyat yang terdiri dari 8 judul cerita (tema). Kedelapan judul ini merupakan tema yang paling sering dituliskan dan diterbitkan kembali sehingga muncul dalam berbagai versi tulis. Cerita-cerita ini berjenis dongeng, legenda, dan mite. Berhubung metode kerja dan metode penelitian yang dipakai ternyata dapat diterapkan pada ketiga jenis cerita rakyat ini, maka diputuskan untuk menggunakan dan menuliskan satu contoh saja, yaitu Bawang Merah Bawang Putih.
Masalah yang ditinjau dalam mengembangkan 22 versi dongeng Bawang Merah Bawang Putih adalah sebagai berikut:
  1. Apa perbedaan dan persamaan versi-versi tersebut dan bagaimana persamaan ini membentuk suatu verisi kelompok atau versi kebudayaan
  2. Bagaimana pengarang menggarap elemen-elemen penyajian cerita
  3. Bagaimana dampak penyajian pada makna cerita
Metode penelitian yang dipakai dalam disertasi ini adalah penelitian pustaka. Secara keseluruhan, penelitian ini mengetengahkan 29 versi dongeng Bawang Merah Bawang Putih, 22 versi diantaranya akan dibahas secara mendalam dan ditabelkan, sedangkan 7 versi lainnya akan disinggung seperlunya sebagai materi pembanding (dua berasal dari buku anak Malaysia dan 5 lainnya berasal dari wawancara). Tahun penerbitan yang tertua yang dapat dilacak adalah keluaran tahun 1904 dan yang termuda keluaran tahun 1994 (sampai saat disertasi ditulis). Selain dalam bentuk buku, dongeng yang diteliti juga ditemukan dalam bentuk tulisan dalam majalah, lontar, dan dokumentasi. Mengenai bahasa yang dipakai tercatat lima versi menggunakan bahasa Belanda, satu versi bahasa Jawa aksara jawa, satu versi bahasa Bali, satu versi bahasa Inggris, dan 14 versi bahasa Indonesia. Sebagian besar buku-buku ini diterbitkan sebagai bacaan anak dan remaja. Sedangkan yang bukan dikhususkan untuk anak dan remaja tetap akan dibahas dan digunakan sebagai materi pembanding...

ABSTRACT
Folktales written for children in Indonesia have been done for more than 100 years. And in 1993 publication of folktales as children's reading was even included in the National Guidelines, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1993).
The research is aimed at finding out the problems in retelling folktales seen from the story presentation. There are two approaches applied in this research comprising children literature and folklore approaches based upon a structural theory.
As the corpus of study, 29 versions of Bawang Merah Bawang Putih were chosen, 22 versions of which were profoundly discussed while the necessary discussion of the rest 7 versions were used as comparison. The oldest publication was in 1904 and the latest in 1994. Each version was retold by different author. And the languages used in these resources are Dutch (5), Javanese in Javanese Character (1), Balinese (1), English (1), and Indonesian (14).
The research was carried out through three stages. The first stage was version analysis. The second stage was an analysis around the literary qualities such as characterization, plot, setting, theme, style and diction. Since the presentation of these elements might influence the meaning of story, the impact of presentation on meaning was then discussed in the third stage.
It could be concluded from the analysis of versions that the story published earlier seems to be the only source of reference for later works. There was no indication that the writers have tried to seek for or add other sources in order to improve the quality of their creative process.
From the analysis of presentation, it could be concluded that the literary folktales as the products of writers? creation are often didactic, moralistic, sentimental, and demonstrate moral explicitly. In treating the theme of story, the writer's attention is especially focused on the central theme (stepchild abuse) so that the values evoked on side themes seem to be ignored or deserved less consideration.
Although the tales are fantasy, but the writers' inability to sustain it and present the stories realistically caused settings in the stories do not look like to take place in a fairyland but in a real world and happen not so long ago.
Regarding the characterization, in general the protagonist appears only in a single character, kind hearted, diligent and hard working, obedience, self-surrender, not greedy, not revengeful and devoted. The result is that the story fails to present victory, recognition, and justice for the good.
The problems coming out of plots result from the numerous interpolated unconnected events which then bring about considerable sub-plots. Consequently, the story seems not to directly touch on the core of story and its conflicts. This makes the meaning of the story vague.
The language style of the folktale should be brief and simple. Nevertheless, many versions use language style with long sentences. Besides, in some version the style used does not fit the age of intended readers.
The research also shows that the interpretation of meaning is only based upon what has been explicitly presented due to the unawareness of its symbolic meaning. Besides creation and improvisation done by the authors are merely focused on the step children's sufferings and the cruelty of step mother. Consequently, events having the elements of fantasy which are potential to be developed without ruining the central theme are ignored or even forgotten.
Another thing that contributes to the problems is related to retellings which are not intended for leisure readings but as educational aids and informational readings instead. This has made the children unable to interpret the meaning of story freely as it is strictly tied to certain intended answers.
In addition to discussing the problems in retelling a folktale, the research also shows how the concept of Type-Index and Motif-Index derived from folklore study could be applied on literary study. Moreover, the research has also identified the uniqueness of Bawang Merah Bawang Putih story as having two tale-types namely "Cinderella" and "The Kind and the Unkind Girls". And unlike the most European fairytales, the main woman character is not stereotype.
To conclude, a good retelling depends upon three aspects. Firstly, to enforce creation not strictly to plots connected to the central theme alone. Secondly, the ability to sustain the fantasy and imagination contained in fairy tales. And thirdly, meaning interpretation should be considered from literal and psychological prospective. In this way the retellings will not be destructive creations, but innovative instead.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
D77
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library