Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vidya Marta Fitriana
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi rehabilitasi pada program asimilasi kerja sosial bagi narapidana korupsi. Asimilasi kerja sosial merupakan kegiatan membaurkan narapidana dengan masyarakat atau disebut community based - correction. Dalam implementasinya, program yang menjadi kewajiban narapidana korupsi untuk mendapatkan hak asimilasi ini sulit dilakukan. Balai Pemasyarakatan sebagai instansi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan asimilasi berperan ganda dalam mengawasi sekaligus merehabilitasi. Pengawasan adalah seluruh aktivitas mengamati pelaksanaan asimilasi kerja sosial mulai dari proses pengusulan hingga asimilasi selesai dilakukan, sementara rehabilitasi merupakan upaya memulihkan hubungan pelaku dengan masyarakat. Berdasarkan kedua hal tersebut, rehabilitasi sebagai tujuan utama dalam penyelenggaraan asimilasi kerja sosial perlu didukung dengan adanya fungsi pengawasan yang optimal.

ABSTRAK
This research discusses about implementation of the monitoring function and the rehabilitation function of community service for convicted of corruption. An offender under a community service order performs labor for the community or called community based - correction. A recognition of the fact that the implementation of assimilation is difficult. Balai Pemasyarakatan as the agency that has the authority to implementation of assimilation as serving a double purpose. It functions to monitoring and rehabilitate. Monitoring is a form of supervisory the implementation of assimilation from began to the end, while rehabilitation is an attempt to alter the attitudes of offender to support the prisoner?s reintegration. Based on these, rehabilitation as the main purpose in assimilation must be supported by monitoring function."
2016
S64977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Julianto Salomo Parluhutan
"ABSTRAK
Di era reformasi, pemilihan umum (pemilu) adalah wujud nyata demokrasi yang memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih dan terkhusus untuk dipilih sebagai hak konstitusional warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dalam setiap pemilu hak seseorang untuk dipilih tersebut harus memenuhi persyaratan aturan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukumnya. Hal yang  menjadi perhatian adalah syarat yang ditetapkan tersebut seringkali dipersoalkan konstitusionalitasnya maupun kekuatan mengikatnya akibat bertolak belakang substansi peraturannya secara hierarki perundang-undangan. Permasalahan yang menjadi kajian penulis adalah bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif atau pejabat publik yang dipilih pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan bagaimanakah akibat hukum peraturan yang melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara serta melarang mantan narapidana korupsi untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum sebagai calon legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum terkait dengan hak asasi manusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstitusionalitas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara hierarki melanggar ketentuan yang diatur Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai peraturan yang lebih tinggi. PKPU sebagai aturan pelaksana tidak dapat mengatur ketentuan yang bertentangan daripada yang telah diatur oleh undang-undang. Kekuatan mengikat pasal yang mengatur pembatasan mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum tetap berlaku, namun harus dimaknai sesuai syarat yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian menunjukkan bahwa alasan mengapa persyaratan mengenai hak mantan narapidana untuk dipilih dalam pemilu senantiasa berulang dilakukan judicial review ialah karena pembentuk undang-undang tidak tegas memasukkan 4 (empat) alasan inkonstitusional bersyarat yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk diatur dalam norma undang-undang, dan pembentuk undang-undang hanya mencantumkan sebagian dari yang dipersyaratkan Mahkamah Konstitusi ke dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga pengujian undang-undang terhadap syarat mantan narapidana untuk ikut serta dalam pemilihan umum akan selalu terulang setiap hendak ada pemilihan umum. Penulis merekomendasikan agar pembentuk undang-undang tegas memasukkan seluruh ketentuan inkonstitusional bersyarat yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan menitikberatkan kepada penelitian kepustakaan.

ABSTRACT
In the era of electoral reform is a sign of democracy that is realized with the right of a person to choose and specifically to be chosen as a constitutional right of citizens to participate in government. However, in each election, the right of a person to be elected must fulfill the rule requirements based on legislation as their legal basis. However, the stipulated conditions are often questioned in terms of their constitutionality and binding power due to the contrary of the hierarchical substance of the rules of legislation. The problem that the author studies is What are the legal consequences of PKPU No. 20 of 2018 after the Decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 and how is the constitutionality of the right of former corruption inmates to participate in general elections. The results showed that PKPU No. 20 of 2018 in a hierarchy violates the provisions regulated by law no. 7 of 2017 as a higher regulation. PKPU as an implementing rule cannot regulate contradictory provisions rather than those regulated by law. The constitutionality of the rights of ex-prisoners of corruption, none of the laws and regulations can prevent it considering that the decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 has permitted it. Research shows that the reason why the requirements regarding the rights of ex-prisoners to be elected in elections are repeated in a judicial review because the legislators do not explicitly include 4 conditional unconstitutional reasons given by the Constitutional Court to regulate the law and the legislators only list part of the norm based on the rules given by the Constitutional Court so that when the requirements of the Constitutional Court are only partially included in the norm or in the explanatory section of the law, testing of the law against the conditions of ex-prisoners to participate in general elections will always repeat every period of a large election democracy. This study uses a normative juridical method with a statutory approach and focuses on library research."
2020
T55038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library