Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmad Mintarja
"Maraknya tindak pidana terorisme di dunia dan khususnya di Indonesia membutuhkan Cara penanganan tersendiri dalam pemberantasan tindak pidana tersebut. Pemerintah Indonesia telah membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror untuk menangkap para pelaku tindak pidana terorisme dan mengeluarkan W Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Banyaknya pelaku tindak pidana terorisme yang tertangkap kemudian menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan menjadi dilema tersendiri bagi para petugas Lapas dalam memberikan program pembinaan bagi mereka.
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana terorisme di Indonesia saat ini dan apa sajakah kendala yang dihadapi serta bagaimanakah model yang sebaiknya dilaksanakan dalam pembinaan narapidana tindak pidana terorisme di Indonesia.
Dan basil penelitian yang dilakukan didapatkan data bahwa pembinaan yang diberikan kepada para narapidana tindak pidana terorisme adalah diberlakukan secara umum seperti halnya narapidana kasus lain. Pembinaan terhadap para narapidana tindak pidana terorisme tidak berjalan optimal karena adanya kendala minimnya sarana dan prasarana yang ada, pasifnya narapidana itu sendiri serta rendahnya kualitas SDM petugas yang ada.
Dori analis terhadap hasil penelitian, disimpulkan bahwa : 1) pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana tindak pidana terorisme tidak mencapai basil yang optimal karena diberlakukannya pembinaan yang sama seperti halnya terhadap narapidana kasus lain; 2) diperlukannya model khusus program pembinaan bagi narapidana tindak pidana terorisme.
Hasil penelitian menyarankan agar dibuat model khusus bagi pembinaan narapidana tindak pidana terorisme dengan menitikberatkan pads perubahan pemahaman atau ideologi mereka. Pembinaan tersebut hams lebih banyak melibatkan unsur Sinergi Segitiga Pemasyarakatan yaitu petugas, narapidana, dan masyarakat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Holdeno Putra Aqhsal
"Tindak terorisme sebagai tindakan yang dapat merugikan masyarakat dan negara merupakan masalah yang harus dihadapi oleh seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui lembaga-lembaga negara sudah berusaha melakukan tahapan penanganan tindak terorisme baik secara preventif maupun kuratif, salah satunya ialah melalui program deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan pembinaan yang dilakukan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan). Namun, penanganan yang dilakukan juga belum dapat dikatakan sempurna serta tidak jarang mengesampingkan aspek kesejahteraan para narapidana terorisme (Napiter) seperti pembinaan yang tidak berjalan, perlakuan petugas yang tidak merata, dan pelayanan yang tidak maksimal. Napiter harus mengalami kondisi tidak berfungsi secara sosial selama menjalani masa tahanannya seperti tidak mampu menjalani perannya di masyarakat, tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, dan juga ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah. Ketidakberfungsian tersebut diperparah dengan adanya stigma yang harus mereka hadapi ketika masa tahanannya selesai. Kondisi tersebut memicu Yayasan Ruang Damai melalui program Aksi Damai untuk berusaha menjaga dan mengupayakan kesejahteraan dari para narapidana terorisme melalui pemberian pendampingan sosial yang dirancang berdasarkan kebutuhan dan kondisi para Napiter binaan dengan harapan dapat memberikan dampak yang maksimal. Kondisi ketidakberfungsian yang dihadapi oleh Napiter dan adanya upaya pendampingan tersebut mendasari dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini dijalankan pada rentang waktu februari-juni 2024 di Yayasan Ruang Damai dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gunung Sindur. Penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif yang bertujuan untuk melihat dan mendeskripsikan peran Ruang Damai dalam memberikan pendampingan sosial bagi para narapidana terorisme yang sedang menjalani proses deradikalisasi. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pembinaan yang dilakukan membawa manfaat bagi Napiter. Namun, masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan sosial Napiter. Pembinaan yang dilakukan pun belum mencakup kehidupan pasca penahanan dan hanya berfokus pada paham agama dari Napiter. Ruang Damai melalui pendampingan sosial Aksi Damai berusaha memenuhi kebutuhan yang belum dapat dipenuhi oleh pihak Lapas dan berusaha memberikan dampak di ranah pemahaman serta kemampuan dari Napiter untuk dapat berfungsi secara sosial ketika kembali ke masyarakat. Pendampingan sosial yang dilakukan mendapatkan tanggapan positif dari Napiter dan juga dirasa mampu membantu mereka dalam mencapai kesejahteraannya terutama di ranah psikologis dan sosial.

Terrorism, as an act that can harm society and the state, is a problem faced by all countries in the world, including Indonesia. The Indonesian government, through its state institutions, has made efforts to handle terrorism both preventively and curatively. One of these efforts is the deradicalization program implemented by BNPT (National Counterterrorism Agency) and rehabilitation conducted by penitentiaries (Lapas). However, the handling measures are still imperfect and often neglect the welfare of terrorist inmates (Napiter), such as ineffective rehabilitation, unequal treatment by officers, and inadequate services. Terrorist inmates often experience social dysfunction during their imprisonment, including the inability to fulfill their roles in society, meet their basic needs, and solve problems. This dysfunction is exacerbated by the stigma they face upon release. These conditions have prompted the Ruang Damai Foundation, through its Aksi Damai program, to strive to maintain and promote the welfare of terrorist inmates by providing social assistance tailored to their needs and conditions, aiming for maximal impact. The dysfunction faced by the inmates and the assistance efforts form the basis of this study. Conducted from February to June 2024 at the Ruang Damai Foundation and Gunung Sindur Class IIA Penitentiary, this qualitative research aims to examine and describe the role of Ruang Damai in providing social assistance to terrorist inmates undergoing deradicalization. The study found that the rehabilitation efforts benefit the inmates but still fail to meet their basic needs and social welfare comprehensively. The rehabilitation focuses mainly on the religious beliefs of the inmates, without addressing their post-imprisonment life. Ruang Damai, through its Aksi Damai social assistance, strives to fulfill the unmet needs by the penitentiary and aims to impact the inmates' understanding and ability to function socially when they return to society. The social assistance has received positive feedback from the inmates and is perceived as helpful in achieving their welfare, especially in psychological and social aspects."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aysha Rizki Ramadhyas
"ABSTRAK
Fenomena perempuan dalam terorisme diibaratkan seperti dua sisi koin mata uang. Di satu sisi, perempuan dapat berperan secara aktif sebagai pendukung hingga pelaku aksi terorisme. Namun, di sisi lain dapat berperan sebagai pencegah atau membantu melunakkan ideologi kekerasan yang dimiliki oleh suaminya. Penelitian ini menggunakan teori pemberdayaan perempuan dan beberapa konsep seperti terorisme, deradikalisasi serta kapital sosial sebagai dasar analisis. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1). menganalisis program pemberdayaan istri mantan narapidana terorisme yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Institute for Society Empowerment Program (INSEP) dan Pusat Riset Ilmu Kepolisian-Kajian Terorisme (PRIK-KT), Universitas Indonesia). 2). menguraikan upaya yang dilakukan oleh istri mantan narapidana terorisme proses deradikalisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur, studi literatur dan dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1). Keberadaan program pemberdayaan istri mantan narapidana terorisme yang diselenggarakan oleh BNPT, INSEP dan PRIK-KT UI dapat menjadi modal sosial dalam memutus rantai radikalisme di keluarga. 2). Istri yang telah mengikuti program pemberdayaan dapat hidup mandiri dan berperan dalam proses deradikalisasi di keluarga seperti mengedukasi anak dan suami. 3). Pelibatan masyarakat dapat meningkatkan kelekatan sosial para istri dengan lembaga-lembaga pemberdayaan sehingga istri dapat berperan secara maksimal dalam proses deradikalisasi.

ABSTRACT
Women-related phenomenons in the realm of terrorism can be understood from two different point of views. Women can definitely be supporters of terrorism. On the other hand, they can also be the agents of deradicalization by preventing the ideology of violence possessed by their husbands from spreading even further. This study uses the theory of women's empowerment and several concepts such as terrorism, deradicalization and social capital as the basis for analysis. The main purposes of this study are 1). to analyze the empowerment program of ex-convicted terrorism wives carried out by the National Counter Terrorism Agency (BNPT), the Institute for Society Empowerment Program (INSEP) and the Research Center for Police Science-Terrorism Studies (PRIK- KT), University of Indonesia). 2). to describe the efforts initiated by the wives of former terrorists in promoting deradicalization. This research uses a qualitative method with a case study approach. Data were collected from multiple sources such as; unstructured interviews, literature studies and documents. The results of this study indicate that; 1). the existence of the empowerment program for the wives of former terrorists organized by BNPT, INSEP and PRIK-KT UI can be a modal capital in countering radicalization in the family. 2). Wives who have participated in an empowerment program can live independently and supporting the process of deradicalization in the family such as to educate their children and husband. 3). Community involvement can increase the social bond between wives, BNPT, INSEP dan PRIK-KT UI so that the wives can play a maximum role in the deradicalization process."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Putera Anggana
"Aksi terorisme di Indonesia merupakan suatu bentuk extra-ordinary crime yang masih terus terjadi meskipun telah berusaha ditangani menggunakan berbagai upaya. Lembaga Pemasyarakatan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana yang tidak lepas dari usaha untuk menangani tindak pidana terorisme. Salah satu cara yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan adalah melakukan pendataan yang mendetail terhadap narapidana terorisme yang berada dalam sistem mereka. Tulisan ini berisikan analisis terhadap data napidana terorisme oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2018. Analisis menggunakan tabulasi silang antara motivasi narapidana terorisme dan cara mereka masuk jaringan dengan containment theory. Hasil dari tulisan ini menunjukkan bahwa inner dan outer containment seseorang sangat memengaruhi bagaimana mereka bisa terlibat dalam tindak pidana terorisme. Dari temuan data dan analisis diatas dapat diketahui bahwa kondisi outer dan inner yang lemah cenderung lebih mudah untuk terlibat dalam aksi terorisme.

Acts of terrorism in Indonesia are a form of extra-ordinary crime that continues to occur despite efforts to be dealt with using various efforts. Correctional Institutions become part of the criminal justice system that can not be separated from efforts to deal with criminal acts of terrorism. One of the methods carried out by the Correntional Institution is to conduct detailed data collection on terrorism prisoners who are in their system. This paper contains an analysis of data on terrorism convicts by the Directorate General of Corrections in 2018. The analysis uses a cross-tabulation between the motivations of terrorism prisoners and how they enter the network with containment theory. The results of this paper indicate that the inner and outer containment of a person greatly influences how they can be involved in criminal acts of terrorism. From the data findings and analysis above it can be seen that weak outer and inner conditions tend to be easier to engage in acts of terrorism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Sari
"ABSTRAK
Terorisme menjadi isu yang menarik saat ini. Aktivitas dari terorisme dilakukan melalui provokasi doktrin ideologi dengan proses hegemoni. Terorisme memanfaatkan rasa frustasi dan kekecewaan pada sebagain masyarakat sebagai sasarannya. Terorisme sebagai sebuah diskursus masih berfokus pada upaya penegakan hukum, kerjasama antar lembaga pertahanan, analisis kebijaka hukum, dan definisi-definisi tentang terorisme. Ironisnya, perempuan khususnya istri menjadi sosok yang terekslusi dalam proses dialog dan respon mengenai terorisme. Padahal istri merupakan sosok yang penting dalam kehidupan para pelaku aksi terrisme. Penelitian ini menekankan pada pengalaman dan suara dari para istri mantan narapidana terorisme. Tulisan ini mengupas proses pergolakan, negosiasi, sekaligus penerimaan proses dari narasi ekstremis yang terdapat pada logika berfikir, sebagai sebuah perjuangan dalam konteks penerimaan dan otonomi diri. Penelitian ini menggunakan studi kasus sebagai jenis penelitian, dengan perspektif feminis, dan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data. Pemikiran dari teori Konstruktivisme, pandangan Feminis tentang Otonomi Relasional dan Politik Kesalehan dipilih sebagai kerangka teori untuk menganalisis data hasil temuan. Hasil penelitian menunjukkan adanya doktrinasi dari suami tentang ajaran ekstremisme, istri mengalami pergulatan untuk menginternalisasi ajaran tersebut. Di sisi lain, ada pula temuan yang menunjukkan bahwa para istri juga melakukan negosiasi kepada sang suami dalam mengaplikasikan narasi yang telah berusaha diinternalisasikan. Seluruh upaya refleksi dan perjuangan berkelindan dalam pemikiran istri, untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun, adanya negosiasi pada berbagai sisi relasi yang dimunculkan oleh sang istri memiliki respon yang beragam dalam usahanya dalam proses penerimaan maupun pergolakan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sosok istri mengalami sebuah proses konstruktivisme dan otonomi relasional dalam proses pergulatan dan negosiasinya selama ini. Rekomendasi dari penelitian ini dapat berkontribusi bahwa istri juga dapat dilihat sebagai agen untuk menangkal ekstremisme dan terorisme di masa mendatang.

ABSTRACT
Terrorism has become an important issue today. Activities of terrorism are undertaken through provocation to ideological doctrine with hegemonic process. Terrorism teaching exploits the frustration or disappointment of common people. Up to date, terrorism as a discourse issue still focuses predominantly on law enforcement, inter state cooperation, law analysis, and terrorism definition. Unfortunately, women especially wives become excluded in the process, dialogue, and response on this issue. Whereas, wives are the most important figures in the lives of the perpetrators of terrorism. This paper highlights the experiences and voices of the wives of terrorist prisoners. It examines the rebellion and acceptance process of extremism narrative that is going on within the wives rsquo minds a struggle of balancing acceptance and self autonomy. This paper also explores those experiences using case study as a research type feminist perspective and observation and in depth interview as data collection method. The thought of Feminism in Relational Autonomy and Politics of Piety is used as the theoretical analysis tool. The finding of this paper is that through indoctrination by their husbands, the wives were always encountered with ideas that they had to struggle to accept. However, on the other hand, it was also found that they eventually had to negotiate and came into compromise when applying those ideas in real life. The whole compromise reflects the struggle that was going on in their mind as they attempted to translate the doctrines into their practical life. However, at the same time, despite the negotiation they made in certain aspects of the doctrine, they seemed to still willingly and obediently accept certain other parts of the doctrine. This paper concludes that wives have certain degree of self autonomy in dealing with i.e. negotiating to accept or reject the indoctrination by their husbands. The conclusion is followed by some recommendations on what can possibly be contributed by the wives to counter terrorism narrative in the future. "
2018
T51308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Haryono
"Tahap akhir dari deradikalisasi yaitu reintegrasi sosial. Rentegrasi sosial bertujuan untuk membantu mantan narapidana terorisme untuk kembali ke masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi masyarakat Bekasi dalam menerima mantan narapidana terorisme serta untuk memberikan rekomendasi bagi instansi terkait terorisme serta masyarakat terkait pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung program reintegrasi sosial bagi mantan narapidana terorisme. Kota Bekasi dipilih karena banyak mantan narapidana terorisme yang bebas dari lapas khusus kelas IIB Sentul pulang ke Bekasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah mixed methods. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama yang berada di tiga kelurahan di Kota/Kabupaten Bekasi. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada 100 responden yang berada di Kota Bekasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme dapat terhambat dikarenakan masih adanya pelabelan dan penolakan dari masyarakat terhadap mantan narapidana terorisme. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat guna mendukung program reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme dapat dilakukan dengan membuat pelabelan lanjutan yang positif berdasarkan teori pelabelan, meningkatkan pertahanan diri dari dalam dan pertahanan diri dari luar mantan narapidana terorisme berdasarkan teori pertahanan dan melakukan penguatan terhadap ikatan sosial antara mantan narapidana terorisme baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat berdasarkan teori ikatan sosial atau kontrol sosial.
.....The final stage of deradicalization is social reintegration. Social reintegrasion aims to helps former terrorism convicts to return to society. The purpose of this research is to analyze the perception of Bekasi society in accepting former terrorism convicts and to provide recommendations for terrorism-related agencies and the community regarding the importance of increasing public awareness in supporting social reintegration programs for former terrorism convicts. Bekasi was chosen because many former terrorism convicts who were released from Sentul Class IIB Special Prison returned there. This study is used by mixed methods. The qualitative method was carried out through interviews with community leaders and religious leaders in 3 sub-districts in Bekasi City/Regency. The quantitative method was carried out by distributing questionnaires to 100 respondents in Bekasi City. The results of this study show that the social reintegration of former terrorism convicts can be hampered because there is still labeling and rejection from society of former terrorism convicts. Therefore, to increase public awareness to support the social reintegration program of former terrorism convicts can be done by creating new positive labeling based on labeling theory, strengthening inner containment and outer containment of former terrorism convicts based on containment theory and strengthening social bond between former terrorism convicts both with their families and the society based on the theory of social bond.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nidia Masithoh
"Reintegrasi mantan narapidana terorisme harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari intervensi pembinaan dan pemberdayaan dalam Lapas dengan inisiatif program paska-rilis. Keterlibatan inisiatif mantan narapidana teror dalam reintegrasi luar Lapas mendapat atensi cukup besar beberapa tahun terakhir. Pelibatan yayasan mantan narapidana teror dalam skema asistensi dan supervisi dilakukan untuk membangun ruang dukungan sosial sebagai upaya pencegahan residivisme. Umumnya mantan narapidana teror mengalami risiko dan tantangan paska-rilis yang melekat seperti stigmatisasi, ketidakpercayaan dan ekslusi terhadap akses sosioekonomi. Mengingat hal ini, periode transisi menjadi masa krusial dalam menentukan keberhasilan program pencegahan. Yayasan mantan narapidana teror menginisiasi program pendampingan dan pengawasan berbasis komunitas dengan mendorong kemandirian finansial, mengubah cara pandang ke arah moderat melalui kajian dan dialog serta memastikan penerimaan komunitas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan intervensi yayasan mantan narapidana teror dalam skema reintegrasi lanjutan dengan menekankan pada risiko krusial periode transisi sebagai urgensi keterlibatan inisiatif yayasan. Teori Ikatan Sosial digunakan untuk mengetahui unsur pencegah kembalinya binaan melakukan kejahatan teror. Penelitian ini menemukan bahwa Yayasan Lingkar Perdamaian memberikan bantuan moril dan materil sebagai bentuk dukungan sosial bagi mantan narapidana teror yang menjalani masa Cuti Menjelang Bebas. Yayasan Lingkar Perdamaian juga memastikan penerimaan komunitas terhadap reintegrasi mantan narapidan teror di wilayahnya.

Ex-terrorist reintegration must be carried out in an integrated way from in-prison empowerments with post-release program initiatives. The involvement of formers in reintegration has received considerable attention in recent years. The involvement of formers foundations in the assistance and supervision is to build a social support to prevent recidivism. Usually, ex-terrorist experience inherent post-release risks and challenges such as stigmatization, mistrust and socioeconomic exclusions. Transition period is a crucial in determining the success of prevention program. Formers foundation initiates community-based assistance and supervision by encouraging financial independence, changing perspectives towards moderation through discussion and dialogue and ensuring community acceptance in the first place. This study uses a descriptive qualitative method to describe the intervention of formers foundation in reintegration scheme by emphasizing the crucial risks of the transition period. Social Bond Theory is used to find out the elements of preventing ex-terrorist from re-committing terrorism. This research found that Yayasan Lingkar Perdamaian as formers foundation provides assistance on moral and material for ex-terrorist on their conditional release. Yayasan Lingkar Perdamaian also ensures acceptance of community for ex-terrorist reintegration in their area."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library