Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Kompas, 2006
362.293 KEL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arnowo
"Penelitian ini berfokus pada bagaimana pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu Narkotika dapat diimplementasikan sebagaimana yang telah diamatkan dalam pasal 46 UU Narkotika. Penauganan pecandu menjadi sulit, karena adanya peran ganda pada diri pecandu, di satu sisi mereka diangggap sebagai orang sakit, namun disisi lain mereka dianggap sebagai pelanggar hukum. Menurut Nitibaskara: komunitas pecandu umumnyanya menyadari, dengan meng-konsumsi Narkoba secara berlanjut merupakan perbuatan melanggar hukum, dengan kesadaran tersebut membuat mereka akan tetap bersembunyi, dan dengan kondisi seperti itu sulit bagi mereka untuk dilakukan pengobatan, kecuali inisiatif sendiri, orang tua atau keluarganya melaporkan kepada pejabat yang berwenang.
Namun ketentuann wajib lapor bagi pecandu sebagaimana diatur dalam UU Narkotika tersebut secara operasional belum dapat dilaksanakan, karena wadah/lembaga wajib Iapor sampai saat ini belum ada
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui instansi mana yang tepat untuk dliadikan wadahflembaga wajib lapor (sebagai upaya pencegahan) dan hagaimana mekanisme Serta prosedur pelaksanaanya. Selanjutnya bagaimana penanganannya agar mereka dapat dilakukan pendataan, rehabilitasi dan pengawasannya, dengan melibatkan instansi terkait lainnya. Desain penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif studi kasus instrumental, dari hasil wawancara, pengamatan langsung, lokakarya dan penyebaran kuesioner dapat disimpulkan bahwa : 1) masih adanya permasalahan hukum bagi pecandu dalam penanganannya, dan belum ada jaminan hukum bagi pecandu yang melaporkan diri secara sukarela ; 2) lembaga wajib lapor yang tepat yaitu BNN di tingkat Pusat, BNP di tingkat Propinsi dan BNKab/Kota di tingkat Kabupaten/Kota ; 3) Iembaga tersebut mempunyai lugas mengkoordinasikan instansi terkait ( pusat/daerah), mernberikan dukungan teknis dan operasional dalam penanganan pecandu; 4) pembentukan lembaga, tata cara pelaporan dan penanganan pecandu akan diatur dengan Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah ; 5) mekanisme pelaporan agar disinergikan dengan program harus reductions dengan mengedepankan puskesmas sebagai ujung tombak tempat pelaporan.
Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi penulis adalah : mendifinisikan kriteria pecandu, yaitu siapa-siapa yang diwajibkan untuk melakukan pelaporan, apakah mereka yang secam phisik, psikhis mengalami sakit yang sangat kronis? Atau setiap orang yang menggunakan Narkoba dan sedang mengalami ketergantungan?

This study focuses on how the implementation of compulsory reporting for drug abusers can be implemented as in article 46 of the Law on Narcotics. Handling the drug abusers is difficult, became ofthe multiple roles in them self; in one hand in their considerans as sick people, but on the other they are considered as violators of the law. Nitibaskara?s says : generally that community of the drug abusers are aware, to the consmnption of drugs is a continuing illegal act, with the awareness they will remain concealed, and with such conditions difficult for them to be applied, except for they initiative, the parents or their families reporting to / institutions which is have authority
However, provisions for the compulsory for reporting drug abusers as stipulated in the Law on Narcotics are not operational can be implemented, because the container /institutions required to report at this time is not yet available
Objectives of this research is to know where the appropriate institutions for obliged to report (as prevention efforts) and how the mechanisms and procedures handling. Next to them how the handling of the data collection can be done, rehabilitation and monitored, involved with other related institutions. Design of this research using qualitative research studies instrumental cases, the results of the interviews, direct observation, workshops and the distribution of the questionnaire can be concluded that: l) there is still legal problems in the handling of drugs abusers, and there is no legal guarantee for the drugs abusers to report themselves voluntarily 2 ) Institutions are obliged to report the exact level at BNN Center, BNP levels in the province and BNKab / City in the district / city; 3) of these institutions have the task of coordinating the relevant agencies (central / local), to provide technical and operational support in the handling of dmgs abusers; 4) the establishment of institutions, ways of reporting and handling of drugs abusers will be regulated by Regulation President or government regulation; 5) reporting mechanism to disinergikan with the program Harm reductions with the health center as the spearhead of the places reporting.
While the constraints faced by the authors is: mendifinisikan dope criteria, namely who is required to do the reporting, whether they are physical, psychological experience, which is chronic pain? Or any person using the drug and are experiencing dependence?
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25476
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Supramono
Jakarta: Djambatan, 2007
362.29 GAT h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
616.863 2 KON
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
H. Hadiman
Jakarta: Bersama, 1999
613 HAD n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhamad Romdoni
"

Kondisi saat ini, kejahatan penyalahgunaan narkotika pada umumnya bersifat lintas negara, mengingat produsen, kurir, dan korban bisa berasal dari negara yang berbeda-beda. Perangkat hukum tentang narkotika yang ada telah cukup memadai untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun tindak pidana narkotika tidak pernah surut, bahkan cenderung mengalami kenaikan. Salah satu daerah di wilayah hukum Provinsi Banten yang masuk dalam zona merah darurat narkotika adalah Kota Tangerang. Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, ditemukan 20 putusan Hakim dengan pelanggaran yang sama namun menjatuhkan putusan yang berbeda-benda (disparitas). Pada dasarnya disparitas dimungkinkan terjadi apabila adanya alasan yang jelas. Disparitas putusan tidak bisa dilepaskan dari adanya diskresi hakim dalam menjatuhkan hukuman, namun terjadinya disparitas putusan yang tidak dapat dihindarkan bertentangan dengan konstitusi, sebab berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penerapan hukumnya.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui disparitas yang terjadi dalam putusan terhadap penyalahguna narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, faktor penyebab hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang umumnya menjatuhkan pidana penjara terhadap para penyalahguna narkotika, dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang. Tipe penelitian menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan penelitian terdiri dari bahan hukum primer, dan  sekunder dengan teknik pengumpulan melalui wawancara dan studi kepustakaan yang dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terjadi disparitas putusan pada 20 kasus putusan yang dijadikan sampel penelitian. Pertama, Hakim sama-sama menjatuhkan pidana minimal dengan barang bukti shabu pada takaran yang berbeda. Kedua, faktor penyalahguna dipidana penjara diakibatkan karena dalam setiap dakwaan tidak terdapat tuntutan Terdakwa untuk direhabilitasi, Ketiga, pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan tindakan rehabilitasi tidak jelas, sebab dengan telah terbuktinya Terdakwa melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika dengan kondisi fakta dipersidangan yang tidak jauh berbeda, ada yang dipidana penjara, ada pula yang direhabilitasi, padahal secara umum syarat Terdakwa untuk dapat menjalani tindakan rehabilitasi sesuai SEMA tidak terpenuhi.

 

Kata Kunci : Disparitas, Putusan Hakim, Penyalahgunaan Narkotika


It is prevalent today that illicit narcotic abuse is a transnational crime as the producers, couriers and victims can be from a variety of countries.  Laws related to narcotics have been sufficient to combat narcotic abuse, that is, Law No. 35 of 2009 on Narcotics. However, narcotic-related-crime rate has never reduced; in fact, it tends to rise.

One of regions under the authority of Province Banten which is categorized as red zone for acute narcotic abuse is Tangerang city. During the process of narcotic law enforcement in district court of Tangerang, 20 similar offences are found to be dropped with different verdicts (disparity). Basically, a disparity can occur for the legitimate reason. The disparity in the judicial verdict is strongly related to judicial discretion in sentencing. However, the disparity cannot contravene legal constitution since it potentially leads to inequality and legal insecurity in its application.

This study aims to analyze the disparities occurring in judicial verdicts against narcotic abuses in district court of Tangerang, the factors of judges’ verdicts, most of which are imprisonment for the defendants, and legal reasonings to decide on rehabilitation for the defendants. This study uses normative jurisprudence with the approach to laws and cases; research data are comprised of primary and secondary law sources, collected by interview and literature review analyzed using qualitative-descriptive approach.

This study reveals that disparities occurr to 20 verdicts, all the research samples. First, judge pronounced minimum sentence based on evidence of different dose of shabu/ extacy. Secondly, the defendants were sentenced to prison since there was no indictment for narcotic rehabilitation for the defendant. Lastly, judge’s legal consideration was not certain owing to the evidence that defendant’s action was in violation of Narcotics Act Article 127 verse (1) letter a jo. in essentially similar legal facts in courts in which ones were sentenced and ones were rehabilitated whereas generally the requirement for rehabilitation based on SEMA was not complied with.

"
2020
T54841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riky Novarizala
"Sesuai dengan konsep sistem pemasyarakatan bertujuan menjadikan narapidana sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab agar dapat kembali kemasyarakat dan melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh narapidana, serta merupakan penerapan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan, khususnya Pasal 14 mengenai hakhak narapidana, merupakan dasar bahwasanya narapidana harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.
Sehingga peneliti ingin melihat bagaimana petugas Lapas Kelas IIA Pekanbaru memperlakukan narapidana narkotika dalam konsep pembinaan tersebut, dengan kondisi jumlah narapidana kasus narkotika mendominasi di Lapas Kelas IIA Pekanbaru baik itu dengan kategori bandar dan pengedar narkotika yang perlu ada penanganan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam melakukan penelitian peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, sumber data utama berasal dari informan narapidana narkotika yang sedang menjalani massa pidana di Lapas Kelas IIA Pekanbaru, untuk mengumpulkan data menggunakan teknik observasi, studi pustaka, dan wawancara mendalam. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian mencakup beberapa hal yaitu: pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Hasil penelitian peneliti menemukan Perlakuan terhadap narapidana narkotika dengan kategori bandar dan pengedar di perlakukan sama dengan narapidana kasus kejahatan lainnya baik didalam penempatan dan perlakuan lainnya, tetapi juga dilakukan berbeda pada perawatan kesehatan dimana saat narapidana kategori bandar dan pengedar tersebut mengalami reaksi sakau atau ketagihan di dalam Lapas Kelas IIA Pekanbaru yang merupakan Lapas umum. Narapidana narkotika dengan kategori bandar dan pengedar mengetahui adanya aturan khusus tentang perlakuan narapidana narkotika resiko tinggi meskipun tidak terlaksana di Lapas umum Pekanbaru Riau, sehingga karena itu perilaku narapidana narkotika kategori bandar dan pengedar melakukan kesepakatan-kesepakatan informal dengan petugas Lapas Kelas IIA Pekanbaru dalam mengatasi pemenuhan kebutuhan mereka.

In accordance with the concept of the correctional system aims to make inmates as good citizens and responsible in order to return the society and protect the public against the possibility of repeated criminal acts by inmates, as well as an application of the values contained in Pancasila. Under the provisions Undang-Undang No. 12 of 1995 Correctional neighbors, particularly pasal 14 on the rights of prisoners, is the basis that prisoners should be treated well and humanely in an integrated coaching system.
So the researchers wanted to see how the Lapas Kelas IIA Pekanbaru prison officers treat prisoners narcotics in the coaching concept, the condition number of inmates in prisons narcotics cases dominate both the Lapas Kelas IIA Pekanbaru with status as users, traffickers and drug dealers that there needs to be more comprehensive treatment and sustainable.
In conducting the study researchers used a descriptive method with qualitative approach, the primary data source is derived from narcotics informant inmate who is serving a criminal mob in Lapas Kelas IIA Pekanbaru, to collect data using observation, library research, and in-depth interviews. The method used in the study includes several things: research approach, data collection techniques, and data analysis techniques.
The results of the study researchers found treatment of inmates with drug dealers and traffickers category is treated the same as other crimes inmates both in placement and other treatments, but it is also done differently in the health care category where current inmates and drug dealers are having a reaction sakau or hooked in the Lapas Kelas IIA Pekanbaru which is common prison. Inmates with drug dealers and traffickers categories aware of any specific rules concerning the treatment of prisoners at high risk narcotics although not implemented in the general prison Pekanbaru Riau, so therefore the behavior of inmates category narcotics dealers and dealers do informal agreements with Lapas Kelas IIA Pekanbaru officers in dealing with compliance their needs."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T41917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artie Pramita Aptery
"Tesis ini membahas mengenai Konstruksi Collaborative Governance dalam Pencegahan Narkoba di Provinsi DKI Jakarta. Kolaborasi dalam Pencegahan Narkoba memiliki empat (4) sasaran lingkungan yaitu Lingkungan Pemerintah, Pendidikan, Swasta dan Masyarakat. Stakeholder yang melakukan kolaborasi dalam Pencegahan Narkoba antara lain Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta, Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, LSM dan sektor swasta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kecenderungan konstruksi Collaborative Governance dalam Pencegahan Narkoba di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan dua (2) teori Collaborative Governance yakni Emerson dan Nabatchi (2015) dan Ansel dan Gash (2011). Peneliti menggunakan pendekatan postpositivism dengan metode pengumpulan data kualitatif menggunakan menggunakan wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa Konstruksi Collaborative Governance dalam Pencegahan Narkoba di Provinsi DKI Jakarta lebih cenderung kepada teori Emerson dan Nabacthi (2015). Adanya driver dalam Pencegahan Narkoba di Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini adalah BNNP DKI Jakarta. Sistem konteks juga ada dalam proses kolaborasi ini sehingga dapat mendukung kolaborasi antara para stakeholder dalam Pencegahan Narkoba di Provinsi DKI Jakarta. Terakhir, penulis memberikan rekomendasi yang relevan dengan hasil penelitian ini.

This thesis discusses The Collaborative Governance Construction about Narcotic Prevention in Jakarta Province. This collaboration have four sectors, they are governance, education, private and society. This research aims to analyze trends in Collaborative Governance Construction about Narcotics Prevention in Jakarta Province. This research uses two theory Collaborative Governance. They are Collaborative Governance Regimes (CGR) from Emerson and Nabatchi (2015) and Collaborative Governance from Ansell and Gash (2011). Researchers uses postpositivism approach with kualitatif methode and collecting data uses interviewing and study literature. The results show that The Collaborative Governance Construction about Narcotic Prevention in The Jakarta Province more inclined to theory Collaborative Governance from Ansell and Gash (2011). In this collaboration has driver namely National Narcotics Board Jakarta Province. Collaboration Narcotics Prevention in Jakarta Province also have context system that support this collaboration running well. Finally, the authors provide recommendations that are relevant to the results of this thesis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi, 2019
T52944
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emboden, William A.
New York: Macmillan, 1972
616.863 EMB n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>