Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mahar Mardjono
Abstrak :

Neurologi dalam bentuk pengetahuan kedokteran dan keilmuan di Indonesia memang belum mendapat perhatian selajaknja, baik dari para dokter maupun dari masjarakat. Untuk dapat mengerti tugas neurologi dalam rangka "nation building", hendaknja dikenal dahulu potensi neurologi. Jang mengenal tugas neurologi tanpa mempunjai pengertian tentang ilmu tersebut ialah para penderita penjakit saraf Jang seharusnja mengerti tentang tugas neurologi, akan tetapi sering tidak mengetahuinja ialah para. dokter. Kegandjilan tersebut disebabkan oleh berbagai keadaan dimasa jang lampau.

Dizaman kolonial Belanda, meskipun para gurubesar dalam mata peladjaran neurologi ialah orang kenamaan jang meninggalkan hasil karia jang sangat berharga, neurologi tidak dapat berkembang sebagaimana mestinja, Bantuan materiil, dari pimpinan sangat kurang, sedangkan para dosen dalam mata peladjaran neurologi; baik pada , Geneeskundige Hogesehool" di Djakarta (Profesor VAN WULFFTEN PALTHE) maupun pada NederIands Indische Artsen School di Surabaja (DR. VAN DER SCHAAR) ialah seorang psikiater-neurolog jang lebih memperhatikan psikiatri daripada neurologi.

Gurubesar jang kemudian diberi tugas khusus dalam neurologi, jaitu Profesor VERHAART, ialah seorang jang memang menjerahkan djiwa dan raganja kepada neurologi, akan tetapi titik berat kegiatannja diletakkan pada bidang riset, terutama pada bidang neuroanatomi, sedangkan klinik neurologi kurang diperhatikan. Pendidikan dalam neurologi untuk para mahasiswa dan dokter oleh karena itu tidak dapat menambah semangat untuk lebih memperdalam pengertian tentang neurology.

Berkat kemerdekaan bangsa kita kini dalam memperkeimbangkan neurologi maka kita dapat menentukan keinginan dan keaktifan kita sendiri.

Konfrontasi terhadap penderitaan rakjat disegala bidang telah membangkitkan semangat pada kita ,untuk ikut meringankan beban penderitaan tersebut dan menimbulkan hasrat untuk bekerdja menudju kekemakmuran bangsa Indonesia. Profesor SLAMET IMAM SANTOSO ialah gurubesar pertama dalam neurologi dan psikiatri di Indnnesia jang mempunjai pandangan luas untuk masa depan, sehingga dibawah pimpinannja neurologi dan psikiatri dipisahkan dan diserahkan kepada tenaga angkatan muda. Dibawah bimbingannja Bagian Neurolagi dapat berkembang dan mengikuti kemadjuan ilmiah dalam bidang neurologi internasional. Dibawah pimpinannja angkatan muda di Bagian Neurologi diberi kebebasan seluasnja untuk dapat mendjalankan pekerdjaan sebaik-baiknja. Berkat peladjaran dari Profesor SLAMET IMAN SANTOSO saja menjadari benar tugas neurologi dalam membentuk masjarakat Indonesia jang sehat dan makmur.

Meskipun neurologi dapat dianggap sebagai salah satu tjabang ilmu kedokteran jang termuda, namun sebenarnja telah lama neurologi dipraktekkan diberbagai tjabang ilmu kedokteran lainnja.

Djustru karena sifatnja jang universal dan berintegrasi maka neurologi lama sekali tidak dianggap sebagai tjabang ilmu kedokteran jang berdiri sendiri.

Jakarta: UI-Press, 1965
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Kanjana Hubik Thepboriruk
Abstrak :
ABSTRAK
Embodying modernity and nationality was a self-improvement task for fin de siècle Siamese monarchs. In post-1932 Siam, kingly bodies no longer wielded the semantic and social potency necessary to inhabit the whole of a nation. Siam required a corporeal reassignment to signify a new era. This study examines previously neglected propaganda materials the Phibunsongkhram regime produced in 1941 to recruit women for nation building, specifically, the texts supplementing Cultural Mandate 10 addressed to the Thai Sisters. I argue that with the Thai Sisters texts, the regime relocated modernization and nation building from male royal bodies onto the bodies of women. Moreover, these texts specified gendered roles in nation building and inserted nationalism into the private lives of women by framing nationbuilding tasks as analogous to self-improvement and the biological and emotional experiences of a mother. Vestimentary nation building prescribed by Mandate 10 turned popular magazines into patriotic battlegrounds where all Thai Sisters were gatekeepers and enforcement came in the form of photo spreads, advertisements, and beauty pageants. By weaving nation building into fashion and the private lives of women, the Phibunsongkhram regime made the (self-)policing of womens bodies-formerly restricted to elite women-not only essential but also fashionable and patriotic for all Thai Sisters.
Nakanishi Printing Company, 2019
050 SEAS 8:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Rangga Kusumah
Abstrak :
Tesis ini menganalisa mengenai status failed states negara Myanmar era pemerintahan Junta Militer (1962-2010) dengan menggunakan tiga pendekatan teori yaitu teori kenegaraan (state), teori nation building dan teori negara gagal (failed states) dibagi dalam dua bagian yaitu domestik dan hubungan luar negeri. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan bersifat eksplanatif. Kesimpulan serta analisa dari penelitian ini dijawab dengan pendekatan teori serta melihat pada konteks sejarah Myanmar mulai dari periode kolonialisme, kemerdekaan, sampai pada kudeta militer I dan II. Analisa yang didapat bahwa berdasarkan fungsi negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, dan juga keadaan Myanmar berdasarkan indikator ekonomi, politik dan keamanan serta berdasarkan embargo dan sanksi yang diberikan oleh dunia internasional maka Myanmar merupakan failed states. Namun Myanmar tetap dapat berfungsi sebagai sebuah negara (functioning states) berdasarkan legitimasi pemerintah Junta Militer, kekuatan militer dan interaksinya dengan aktor-aktor internasional seperti China dan ASEAN.
This Thesis Studies about Myanmar as a failed state on the ruling Junta era (1962-2010) using three theory to analyse it; the state theory, theory of nation building, and failed states theory, which divided into two parts, domestically and international relationship. The research method that I used is qualitative and explanative. The result of the research will be found by using the theories and historical approach starting from the colonial era, independence era to the 1st and 2nd military coup. The finding in this thesis is that by the states purpose to fulfill the need of it citizen and the country situation based on economics, politics and security indicators and also according to the embargo and sanction that been given by international community is that Myanmar is a failed states. But Myanmar is a functioning states based on the Junta's government legitimacy, military power and the interaction with international actors, such as China and ASEAN.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T28013
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manneke Budiman
Abstrak :
Baik di Indonesia maupun di Inggris, perkembangan hubungan antar etnik akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan, yang ditandai oleh berbagai kerusuhan etnik di Indonesia dan bangkitnya nasionalisme yang berbaru rasis di Inggris. Kemajemukan jatidiri budaya pada kedua bangsa tersebut secara umum masih berperan sebagai kendala bagi kelangsungan proses pembentukan bangsa, padahal kekayaan budaya diharapkan mampu menjadi aset yang menunjang proses tersebut. Faktor-faktor utama apa saja yang menyebabkannya menjadi demikian dan bagaimana kebhinnekaan yang selama ini dipandang sebagai kendala itu dapat diubah menjadi aset adalah pokok permasalahan penelitian ini. Dengan mengkaji sejumlah konsep dan pemikiran yang telah dituangkan oleh beberapa pakar dan otoritas di kedua negara serta mebandingkannya dengan alternative-alternatif konseptual yang baru, terutama yang berkaitan dengan pengertian bangsa, kebangsaan, etnisitas serta jatidiri nasional yang dikemukakan oleh beberapa pengamat budaya serta praktisi kajian budaya, penelitian ini mencoba menawarkan suatu cara pandang yang berbeda, yang menempatkan perbedaan dan kemajemukan pada posisi sentral dalam proses pembangunan jatidiri nasional dan menjadikannya sebagai kerangka acuan bagi proses nation-building yang masih sedang berlangsung di kedua negara dan yang barangkali tidak akan pernah berakhir atau mencapai suatu titik final itu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Can Bahadir Yuce
Abstrak :
After the fall of the Ottoman Empire, the Republic of Turkey was founded in 1923, and the new regime aimed to construct a national identity through a series of reforms. Among them, one statesponsored project was culturally significant: the Turkish Language Reform. Two institutions, the Turkish Historical Society and the Turkish Linguistic Society, helped to legitimize the language reform and construct a new cultural identity for the citizens of the new nationstate. The Turkish Language Reform, arguably the most radical of all reforms, has been a successful component of the republican social engineering project. This paper examines the centrality of the language issue in the nationbuilding effort and the role of the two abovementioned institutions in the process. The Turkish Language Reform remains one of the most effective state interventions on language. The present paper explores the reasons behind the reforms success and the importance of language as a marker of national identity.
Seoul : OMNES, 2019
350 OMNES 9:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Summary "In the 1950s and 1960s most African countries gained their independence. Architecture became one of the principal means by which the young nations expressed their national identity. Parliament buildings, central banks, stadiums, convention centers, universities and independence memorials were built with often heroic and daring designs. This book investigates for the first time the relationship between architecture and nation building in Ghana, Senegal, Kenya, Côte d'Ivoire and Zambia. It features around eighty buildings with descriptive texts, photographs, site plans and selected floor plans and sections. The images, commissioned especially for this book, are contributed by renowned photographers Iwan Baan and Alexia Webster.
Zurich: Park Books, 2016
725.1 AFR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Kharistiyanti
Abstrak :
Bahasa dalam proses nation-building dan dekolonisasi sebuah bangsa merupakan aspek yang sangat penting, karena bahasa dapat mempengaruhi aspek-aspek lainnya, seperti ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Tulisan ini fokus pada kajian mengenai pengaruh bahasa terhadap proses nation-building dalam kaitannya dengan dekolonisasi Timor-Leste sebagai sebuah bangsa. Kompleksitas sejarah menyebabkan masyarakat Timor-Leste terbagi menjadi beberapa kelompok generasi dengan penguasaan bahasa yang berbeda. Berangkat dari praktik berbahasa sehari-hari yang dibedakan menjadi ranah formal dan nonformal, diketahui bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam pembentukan identitas bangsa. Tuntutan untuk menguasai setidaknya empat bahasa: Tetum, Portugis, Inggris, dan Indonesia memiliki konsekuensi dan membuat bahasa kemudian menjadi tantangan bagi proses nation-building dan dekolonisasi Timor-Leste. Pendidikan selalu menjadi salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk mengonstruksi identitas masyarakatnya dan bahasa adalah alat yang mendukungnya. Namun, hal yang seringkali luput dari perhatian adalah bahwa praktik berbahasa pada ranah formal dan nonformal sama sekali berbeda. Artinya, kekuatan dan kontrol terhadap proses nation-building dan dekolonisasi juga berbeda.
Language is a crucial aspect in the process of nation-building and decolonization of a nation by means of its power to influence other aspects, such as economic, politic, culture, and education. This paper focuses on the influence of language towards the nation-building process in the decolonization of Timor-Leste as a nation. The consequences of historical complexity construct several generation groups of Timorese with distinct language proficiency. Drawing from language practice in everyday life which is distinguished to formal and nonformal sphere, known that language has a significant role in the formation of national identity. The demand to be proficient at the very least in four language: Tetum, Portuguese, English, and Indonesian leads to the consequences and language subsequently becomes the challenge for nation-building and decolonization process of Timor-Leste. Education has always been used by the state to construct national identity and language is an instrument to promote the process. However, the discrepancy between formal and nonformal sphere of practicing language usually unrecognize. By which it means, the power and control towards the process is also distinctive.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apsanti Djokosuyatno
Jakarta: UI-Press, 2003
PGB 0469
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Humaira Yasmin Darmawan
Abstrak :
Referendum kemerdekaan merupakan salah satu mekanisme yang digunakan sebuah komunitas bangsa dalam memperjuangkan pengakuan terhadap identitasnya. Dari berbagai referendum kemerdekaan yang terjadi pada abad ke-21, hampir seluruhnya memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi yang ditunjukkan dari angka voter turnout di atas mayoritas, kecuali referendum kemerdekaan Catalunya pada tahun 2017. Sejak tahun 2000-an, dinamika dan ketegangan sosial, politik, dan ekonomi antara Catalunya dengan Spanyol memunculkan tuntutan otonomi yang lebih besar, bahkan kemerdekaan. Kampanye kemerdekaan yang diorganisasi di tingkat akar rumput maupun elite akhirnya berujung pada penyelenggaraan referendum pada 1 Oktober 2017 oleh Pemerintah Otonom Catalunya. Namun, referendum tersebut hanya dihadiri oleh 43% dari seluruh pemilih sah. Penelitian ini mendalami alasan rendahnya angka turnout dalam referendum tersebut dengan menggunakan tesis Máiz tentang faktor-faktor politik dalam mobilisasi nasional dan etnis. Penelitian ini menemukan bahwa prakondisi etnis dalam gagasan tentang bangsa Catalunya digunakan oleh massa dan dimanipulasi oleh para elit yang mencari dukungan elektoral dalam berbagai pemilu tingkat regional. Hubungan dua arah yang saling mempengaruhi di antara keduanya membantu melebarkan peluang politik gerakan pro-kemerdekaan. Namun, kampanye pro-kemerdekaan tersebut hanya populer di kalangan masyarakat yang memang mendukungnya. Sebagian masyarakat lain menjadi silent majority yang tidak melihat insentif material dengan kemerdekaan Catalunya sebagaimana dikampanyekan oleh massa dan para elite politik. ......An independence referendum has become one of the mechanisms employed by a national, historic minority to achieve recognition of their identity. Since the 21st century, generally all independence referendums saw a high number of voter turnout except the peculiar case of the Catalan independence referendum in 2017. Catalonia has seen social, political, and economic tensions with the Spanish government which have escalated a greater demand for autonomy and independence since the 2000s. Independence campaigns were organized and sustained for years at the grassroot and elite level and culminated in the October 1st independence referendum by the Catalan Autonomous Government. The referendum, however, only saw the participation of 43% of the total eligible voters. Utilizing Máiz’s thesis on political factors in explaining the ethnic and national mobilization, this research seeks to explain the low turnout number of the Catalan referendum. This research found that the ethnic preconditions of the Catalan nation is used by the masses and manipulated by elites who pursued electoral support in regional elections. The two-way relationship between pro-independence masses and the political elites influenced each other and helped broaden the movement’s political opportunity. However, the pro-secession campaign was only popular among the population who support it, while the rest of the Catalan people became a silent majority who did not see the material incentive of declaring an independence as promoted by the other group and politicians.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library