Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mulyadi Cokroharjono
Abstrak :
ABSTRAK Tanah longsor sebagai gejala alam merupakan salah satu penyebab yang bisa merusak hutan lindung pada kawasan Taman Nasional gunung Gede-Pangrango (Tamnas GEPANG). Sehingga sangat relevan, suatu penelitian untuk menentukan teknik mengidentifikasi lokasi tanah longsor potensial, agar bisa diambil sikap yang tepat. Tanah longsor berkait erat dengan stabilitas lingkungan alami. Stabilitas lingkungan alami terpengaruh oleh beberapa aspek gejala atau fenomena alami. Maka untuk mengidentifikasi potensi lokasi tanah longsor, perlu diungkap lebih dahulu gejala-gejala alami yang mempengaruhi stabilitas lingkungan. Untuk itu dikembangkan konsep Potensi Kerapuhan Lingkungan Alami (PKLA), yaitu himpunan dalam kesatuan ruang dari kekuatan, sifat, dan keadaan gejala alam yang secara potensial mempunyai daya merusak terhadap lingkungan hidup. Ada empat variabel yang secara potensial mempengaruhi stabilitas lingkungan, yaitu keterjalan lereng (XI), intensitas hujan (X2), tekstur tanah (X3), dan tutupan vegetasi (X4). Da1am rangka menelaah bahwa PKLA merupakan indikator lokasi tanah longsor potensial, dilakukan dengan pendekatan ilmu lingkungan. Pendekatan yang dikembangkan dari kombinasi pendekatan ekologi dengan pendekatan geografi ini, bertumpu pada prinsip interdisiplin, prinsip spatial, serta prinsip orientasi kedepan. Prinsip interdisiplin mengakomodasikan konsep-konsep yang ada pada geografi fisik, geologi, geomorfologi, ilmu tanah, ekologi, dan klimatologi. Prinsip spatial atau prinsip ruang menghendaki digunakannya peta sebagai alat analisis. Prinsip orientasi kedepan menghendaki dilakukannya peramalan wilayah (regional forecasting). Nilai PKLA (pkla) atau nilai kumulatifnya dihitung dengan menggunakan teori himpunan (set theory), yang aplikasinya menggunakan diagram Venn. Dengan teknik tumpang tindih {super impose), nilai-nilai PKLA (pkla) secara hierarkis dikembangkan dari PKLA (pkla) berdimensi satu, menjadi PKLA (pkla) berdimensi dua, lalu meningkat menjadi PKLA (pkla) berdimensi tiga, dan terakhir menjadi PKLA (pkla) berdimensi empat. Dari proses ini akan diperoleh jumlah konstribusi PKLA (pkla) elemen dari masing-masing dimensi terhadap pembentukan PKLA universe. Di samping itu dapat pula dihitung bobot konstribusi relatif pkla masing-masing himpunan bagian (sub-das). Ternyata hanya sub-das yang mempunyai bobot konstribusi surplus yang mempunyai potensi tanah longsor. Tanmnas GEPANG yang terbentuk oleh 40 sub-das, ternyata 26 sub-das diantaranya, mempunyai potensi tanah longsor; sepuluh sub-das mempunyai potensi tanah longsor tinggi, dua belas sub-das nempunyai potensi tanah longsor menengah, empat sub-das mempunyai potensi tanah longsor rendah. Potensi tanah longsor bisa menjadi faktual atau menjadi kenyataan bila rezim hujan menunjukkan sifatnya yang ekstrim. Ini bisa terjadi pada bulan-bulan Desember atau Januari yaitu pada saat terjadi hujan maksimum. Dan lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada bulan-bulan Maret atau April yaitu pada saat hujan maksimum sekunder. Namun ada fakta lingkungan yang menarik, yaitu pada tempat-tempat di mana hujan menunjukkan peranan kuat untuk menjadikan massa tanah tidak stabil yang di satu pihak memungkinkan terjadinya longsoran,maka peranan tutupan vegetasi di tempat itu dalam menjaga kestabilan massa tanah, yang di pihak lain mencegah terjadinya longsoran juga kuat. Ini menunjukkan bahwa lingkungan alami pada hakekatnya selalu menjaga keseimbanganya sendiri. Dalam hal ini sikap mendasar yang perlu diambil adalah minimal menjaga keseimbangan yang ada. Namun lebih bijaksana bila keseirrbangan itu diubah dengan kecenderungan peranan tutupan vegetasi sebagai faktor yang menjaga kestabilan massa tanah diperkuat fungsinya. Ini berarti bahwa. wi.layah hutan lindung perlu diperluas, terutama pada sub-das - sub-das yang mempunyai potensi tanah longsor tinggi.
ABSTRACT Potential Natural Environment Fragility As An Indicator For Potential Landslide Location:The case of Mount Gede-Pangrango National ParkAs a natural phenomenon, landslide is one of the causes which is capable of damaging the protected forest in the area of Mount Gede-Pangrango National Park {Tamnas GEPANG). It is so relevant that a research should be conducted for discover a technique of identifying the potential landslide location in order to be to take correct measures. Landslide is closely related to natural environment stability. Several indicative aspects or natural phenomena influence the natural environment stability. Therefore, in order to identify potential landslide location, it is necessary to reveal the national-phenomena, which influence the environment stability. Therefore, a concept of Potential Natural Environment Fragility - (PNEF), whish is a system of power, character, and a state of natural phenomena having potentially damaging force against environment, is developed. There are four variables viz.; slope steepness (X1), rainfall intensity (X2), soil texture (X3), and vegetation covering (X4). In analyzing that PNEF is used as an indicator for potential landslide location, an approach using environmental science is conducted. The approach, which is developed from ecological a geography cal approach, is based-on interdisciplinary principles, spatial principle, and future-oriented principle. The interdisciplinary principle constitutes concepts prevailing in physical geography, geology, geomorphology, pedology, ecology and climatology. The spatial principle needs the use of maps as means of analysis. The future-oriented principle calls for regional forecasting complementation. M EE' value or its cumulative value is calculated by using a set theory whose application uses Venn's Diagram- By employing superimpose technique, the PNEF values are hierarchically developed from PNEF of one dimension to PNEF of two dimension, then increased to PNEF of three dimension, and finally to PNEF of four dimension. From this process, total contribution of elemental PNEF from respective dimension to the formation of universal PNE will be obtained. Apart from that, the relative contribution quality of PNEF from each sub catchments area can be calculated. It appears that only sub-catchments area having the surplus contribution quality- has landslide potential. GEPANG National Park comprising 40-sub catchments area, 26 out of with have landslide potential. The have high landslide potential; the other twelve have medium, and the other four low landslide potential. The landslide potential may turn into reality when rainfall shows its extreme characteristics. Under the circumstances it can hap pen in the month of December or January when the rainfall reaches its peak. And more likely, it can take place in the month of March or April at the time when the rainfall is at its secondary maxi nun. Nevertheless, there is an-interesting environmental feature, that at places where on the hand rainfall plays an important role in forming unstable mass of land, landslide is likely occur, but on the other hand the vegetation covering at the identical places keeps the stability of the mass of land and thus prevents landslide-probability. This shows that natural environment, properly speaking, always keeps its own equilibrium. For this reason, a fundamental attitude towards this particular case necessarily to be taken is at least to keep the existing equilibrium. However, it will be recommendable if the equilibrium is altered to an inclination that the role of vegetation covering as a functional factor which preserves-the land mass stability is stimulated. Consequently, it means that protected forest areas should be enlarged, especially in the catchments areas which have high landslide potential.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sodikin
Abstrak :
Masalah ini dilatarbelakangi pada masyarakat Baduy sampai sekarang dikenal mempunyai otoritas penuh dalam mengatur lingkungan alam dan adat istiadatnya. Suku bangsa Baduy ini hidupnya terletak di sekitar pegunungan di antara rimbunan potion di tanah perbukitan dan lereng gunung selama berabad-abad Iamanya. Suku Baduy mendiami tanah dan hidup di dalam adat tanpa banyak terganggu oleh derasnya modernisasi. Alain yang damai dan kesederhanaan menjadi sahabat adalah cara hidup mereka. Para penghuninya menjaga dan melindungi dengan baik lingkungan alamnya, tidak saling menggusur. Semua yang dilakukan seperti menebang, mencabut dan memotong tanaman menggunakan aturan-aturan adat Baduy. Akrab seperti menyatu dengan lingkungannya, semua tumbuh dan berkembang menurut kodrat saling berdampingan. Hal-hat yang demikian merupakan salah satu kearifan lingkungan masyarakat Baduy yang diwujudkan dengan dipaharni, dikembangkan, dipedamani dan diwariskan secara turun temurun oleh komunitas masyarakatnya dalam bentuk karuhun (hukum adat) yang dipimpin oleh Kepala Adat Baduy (Puun). Sikap dan perilaku penyimpangan dalam kearifan lingkungan dianggap penyimpangan, tidak arif, merusak, mengganggu dan lain-lain, sehingga masyarakat yang tidak mematuhi ketentuan karuhun dianggap mengganggu kelestarian lingkungan alarn sekitarnya. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana kearifan lingkungan pads masyarakat Baduy akibat dengan adanya kontak dengan masyarakat luar Baduy selama ini. Faktor-faktor yang bagaimana terjadinya perubahan kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy selama ini, bagaimana kearifan Iingkungan pada masyarakat Baduy untuk masa yang akan datang. Tujuan yang diharapkan dalam penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy yang selama ini dipedomani dan diwariskan secara turun temurun dalam melestarikan fungsi lingkungan. Hal ini, dikarenakan menjadi tujuan penelitian disebabkan bahwa kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy pada saat ini telah terjadinya kontak dengan masyarakat luar Baduy, sehingga berpengaruh pada kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy untuk masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan, ada faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy. Manfaat penelitian adalah memberi masukan bagi Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Banten, maupun Pemerintah Kabupaten Lebak dalam membantu masyarakat Baduy untuk tetap pads tradisinya dalam menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan sekitarnya sesuai dengan adat istiadat yang disebut dengan karuhun, sehingga tidak dirusak oleh masyarakat luar Baduy. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan pada masyarakat yang mempunyai sistem sosial dan budaya sendiri. Dapat dijadikan pijakan empiris untuk melakukan penelitian lanjutan tentang ekologi manusia pada masyarakat yang mempunyai sistem sosial dan budaya sendiri. Penelitian dilaksanakan di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Pelaksanaan penelitiannya dimulai tanggal 12 Juli sampai dengan 10 Agustus 2005. Mulai tanggal 12 sampai 25 Juli 2005, penulis melakukan penelitian di lapangan yaitu di pedalaman wilayah Baduy desa Kanekes untuk mendapat data empirik secara langsung dari masyarakat Baduy. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif-analitik. Maksudnya adalah menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis keadaan daerah penelitian sebagai obyek penelitian, dengan menganalisis secara kualitatif. Data yang sudah diolah, kemudian dianalisis secara cermat sesuai dengan tujuan penelitian ini. Analisis data diinterpretasikan dan membandingkan data yang satu dengan yang lain, untuk mengungkapkan dan memahami makna-makna yang muncul dibalik kegiatan yang sedang diteliti, kemudian untuk menjamin ketepatan dan peningkatan kualitas, maka temuan yang dihasilkan melalui penelitian ini dikonfirmasikan dengan pihak yang berkompeten dan bila perlu didiskusikan dengan konsultasi secara perorangan, balk dengan dosen pembimbing maupun dengan pihak yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat Baduy yang mendiami tanah atas hak ulayat seluas 5.101,85 hektar merupakan wilayah adat yang sudah menyatu sejak dahulu kala sehingga pola kehidupan mereka menyatu dengan lingkungan alam sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ketentuan adat yang dikenal dengan karuhun. Masyarakat hukum adat Baduy hidup dengan bersandar pads hukum adat yang berlandaskan pads pola hidup sederhana dan seadanya (dalam arti tidak berlebihan), dengan meyakini amanat karuhun yang terwujud dalam hukum adat dapat menimbulkan kesadaran bagi warganya akan hak dan kewajibannya sehingga pada akhirnya mampu menciptakan suatu tertib hukum. Perubahan jugs telah terjadi, bahkan telah terjadinya tank menarik antara perubahan dan yang tetap mempertahankan adat istiadat. Perubahan sebagai akibat dari kontak dengan masyarakat luar Baduy, dan perubahan hanya terjadi pada masyarakat Baduy Luar saja, tidak pada masyarakat Baduy Dalam. Perubahan-perubahan itu misalnya perubahan fungsi daerah kampung Dangka, perubahan dalam penggunaan obat-obatan, perubahan dalam jangkauan wilayah adat, perubahan dalam sikap menggunakan peralatan modem, perubahan dalam cara berpakaian. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa menjaga keseimbangan antara manusia, lingkungan alam fisik dan lingkungan transendental hingga sekarang masih merupakan nilai falsafah hidup masyarakat Baduy yang paling hakiki. Nilai tersebut tidak lepas dari sumber acuan seluruh gerak dan langkah mereka dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti sistem kepercayaan mereka yang bertumpu pada ajaran agama Sunda Wiwitan dengan karuhunnya yang diwariskan secara turun temurun. Salah satu faktor terjadinya perubahan kearifan lingkungan adalah kontak dengan budaya luar Baduy. Akan tetapi perubahan kearifan tersebut hanya berlaku pada masyarakat Baduy Luar saja, tidak pada masyarakat Baduy Dalam. Kearifan lingkungan masyarakat Baduy tersebut hingga sekarang masih dapat dipertahankan dan juga pada masa yang akan datang.
The issue presented here is based on the fact that the Baduy community up-to-date possessed full authority on the management of their natural environment as well as their traditional customs. The Baduy tribe has been living in a mountainous area amongst the forest on hills and mountain slopes for centuries. They lived here and occupied the land in traditional manners and customs without being disturbed by the advancements of modernization. The peace provided by the surrounding nature as well as their simplicity has become attached to their way of life. The inhabitants of this area take care and properly protected their natural environment, and they did not shift or moved one another to different places. All activities involving woodcut, pulling-out of as well as the cutting of plants were performed in accordance with Baduy customs. Environmentally friendly and fully united with nature, all grew and developed according to its destiny and was living side by side. Such was then one of the ecological wisdoms of the Baduy community which was implemented with full understanding, then developed, and further utilized as guidelines and inherited from generation to generation by the Baduy community in the form of what they called karuhun (traditional customary Iaws) that was guided and lead by the Baduy Traditional Chief (Puun). Any attitude and behaviour that diverted from these traditional ecological wisdom guidelines was regarded as erroneous, not wise, damaging, and disturbing and as such any person not complying with the stipulations as stipulated by the karuhun was regarded as disturbing the surrounding environment. Problems arose with these ecological wisdom guidelines of the Baduy community as a result of contacts established between this community with other members of communities outside the Baduy community. What factors influenced the changes in these ecological wisdom guidelines adhered to by the Baduys since olden days, and what will become of the Baduy ecological wisdom in the future. The purpose of this thesis research is to assess the ecological wisdom of the Baduy community that up-to-date has been utilized as guidelines and inherited from generation to generation to preserve the environment. This research purpose was taken, due to the fact that as a result of contacts being established with communities outside the Baduy region, the ecological wisdom of the Baduy tribe has been affected in the future. Again, certain factors exists that cause changes in the ecological wisdom of the Baduy community. The benefit of this research is to provide input to the Central Government, the Banten Provincial Government, as well as the Lebak District's Government regarding how to assist the Baduy community to maintain their traditions and to take care and preserve the functions of the surrounding environment in accordance with their traditional customs which they call karuhun, and to prevent this from being damaged by community members from outside the Baduy area. Enrich to the scientific horizons in particular environmental science related to the management and preservation of the environment in communities that possess their individual social and cultural system. And to utilize this as an empirical lever to perform further research on human ecology in communities possessing its own social and cultural system. The research was performed in the village of Kanekes, located in the Leuwidamar Sub district, District of Lebak, in the Banten Province. The implementation of this research started on 12 July and continued until 10 August 2005. From 12 July until 25 July 2005, the author performed field research in the interior Baduy area of the Kanekes village to obtain direct empirical data or primary data from the Baduy community. The research method utilized was the descriptive-analytical research method. The purpose of this was to provide a picture, to explain, and to perform quantitative analyses of the research area as a research object. The data that was then processed was then cautiously analysed in accordance with the objectives of this research. The analysed data interpreted and compared one against another, to expose and to comprehend the significance arising behind the activities being researched, and to further assure its accurateness and improve its quality, the findings of this research was then confirmed with other competent parties and if necessary discussed and consulted individually, with the academic mentor as well as with other parties related to the issue. Results of the study show that the Baduy traditional community inhabit land under the traditional customary law land rights, known as hak ulayat. This land, which has an area of 5,101.85 hectares, has been a holistic part of the Baduy community since olden days and as such the community's living patterns have been united to its natural environment and surroundings. This again, is proven by the various customary law stipulations known as karuhun. The traditional Baduy community living is based on this traditional law which principle is simplicity and acceptance in living patterns (meaning living not in profusion), and by trusting that the stipulations in the karuhun as accepted as the traditional law can instigate the awareness of the community regarding their rights and responsibilities and as such in the end creating a legal order. Changes have occurred, and even some arguing evolved between those that approve of change and those that want to adhere to and defend traditional customs. Such changes as a result of contact with outsiders only occur at the Outer Baduy community and not at the Inner Baduy community. These changes, for instance, include changes in the function of the Dangka village, changes in the use of medicine, changes in the reach of the customary law, changes in community's attitude towards the use of modem equipment, and changes in the way of clothing themselves. As a conclusion of this research, it could be said that taking care of the balance between humans, the physical environment and the transcendental environment are still up-to-date the essential life philosophy of the Baduy community. These values are attached to the reference source of the entire movement and as such the community steps in various living dimensions, such as their belief which is based on the Sunda Wiwitan traditional religion that include the karuhun, which has been inherited from one generation to the next generation. One factor causing change in the ecological wisdom is its contact with culture coming from outside the Baduy region. However, such changes in wisdom, only occur in the Outer Baduy community, and has not affected the Inner Baduy community. The ecological wisdom of these Inner Baduy community is up-to-date still being adhered to, and is still being maintained and is expected to sustain into the future.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmatullah Muhammad
Abstrak :
Aktifitas perekonomian dan masyarakat di Desa Banten Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh pada lingkungan alami di sekitarnya seperti Bantaran Sungai Cibanten dan Sungai Karangantu yang melintasi desa tersebut selama ini menjadi sarana pembuangan limbah cair maupun sampah. Adanya relokasi masyarakat dari bantaran sungai ke Kampung Sawah berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup di Desa Banten yang masih rendah. Untuk itu diperlukan suatu evaluasi terhadap kondisilkualitas lingkungan hidup di Desa Banten dan strategi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan pelestarian daya dukung lingkungan hidup di Desa Banten tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi kondisi/kualitas lingkungan hidup di Desa Banten; (2) mengetahui variabel-variabel kualitas lingkungan alami, lingkungan sosial maupun lingkungan fisik yang mempunyai hubungan dengan kualitas lingkungan hidup di Desa Banten; (3) mengetahui peran/upaya relokasi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Desa Banten; dan (4) merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Desa Banten. Pada penelitian ini digunakan tujuh indikator untuk menentukan kualitas lingkungan hidup yaitu kemiskinan, pengeluaran non konsumsi, Crowding Index, pendidikan, kesehatan, kenyamanan dan daya dukung lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian adalah Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah penyebaran kuesioner, observasi lapangan, data sekunder. Analisis data mengunakan analisis deskriptif dan analisis statistik. Berdasarkan hasil uji dan analisis yang dilakukan diketahui bahwa: (1) kualitas lingkungan hidup di Desa Banten masih rendah apabila mencermati kondisinya bail( dari kualitas lingkungan alami, sosial maupun fisik. Kualitas lingkungan alami kondisinya yaitu 97,8% menyatakan bahwa kualitas air permukaan di sekitar lingkungan mereka buruk, 71,7 % responden mengatakan bahwa kualitas air tanah di tempat mereka tidak layak untuk dikonsumsi dan 26,1% responden mengatakan kualitas udara sudah buruk serta 94,6% responden merasa kebutuhan air bersih dapat tercukupi. Kualitas lingkungan sosial kondisinya yaitu sebagian besar responden harus menanggung lebih dari 3 jiwa (52,2%), 96,7%-nya menyatakan pendidikan penting bagi anak-anak mereka, sebagian besar responden memiliki penghasilan diatas Rp. 300.000 per bulan (81,5%) dan 61,9% responden aktiflmemiliki hubungan yang erat dengan warga lainnya. Kualitas lingkungan fisik kondisinya yaitu sebagian responden telah memiliki jamban (73,9%), kualitas lantai rumah yang tergolong baik yaitu terbuat dari semen (58,7%) bahkan keramik (14,1%), sedangkan yang ventilasi rumahnya hanya 1 arah sebesar 67,4%, dan aloes jalan lingkungan di pemukiman respondenkondisinya sudah beraspal (56,5%), kondisi bangunan rumah responden sebagian bangunan permanen (52,2%) serta 75,0% responden melakukan pengelolaan limbah padat dengan cara di bakar. (2) variabel-variabel kualitas lingkungan alami yang berkorelasi dengan kualitas lingkungan hidup ada dua variabel yaitu kuantitas air tanah dan kualitas air tanah; kualitas lingkungan sosial yang berkorelasi dengan kualitas lingkungan hidup yaitu variabel persepsi tentang pendidikan dan variabel pendapatan; dan kualitas lingkungan fisiklbuatan yang berkorelasi dengan kualitas lingkungan hidup ada lima variabel yaitu variabel lantai rumah, kondisi bangunan, ventilasi, jalan lingkungan serta variabel pengelolaan limbah padat. Variabel-variabel tersebut baik kualitas lingkungan alami, sosial maupun fisik mempunyai nilai probabilitas (p) < 0,05 sehingga memiliki signifikansi, selain itu variabel-variabel tersebut panting untuk diidentifikasi untuk mengetahui variabel apa raja yang berhubungan dengan kualitas lingkungan hidup, sehingga dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup dapat lebih di arahkan pada variabel-variabel tersebut, sehingga strategi yang dirumuskan dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup dapat lebih tepat sasaran dan disesuaikan dengan kondisi sesungguhnya; (3) relokasi tidak mampu meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Desa Banten karma secara lingkungan sosial dan alami cenderung mengalami penurunan yang disebabkan pendapatan yang tidak meningkat, pengeluaran yang cenderung membesar dan tidak adanya program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan. Peningkatan hanya terjadi, pada lingkungan fisik yang disebabkan adanya penataan rumah dan lingkungan yang lebih tertata rapi.; (4) solusi/strategi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup antara lain: (a) penyediaan sarana air bersih; (b) pengembalian fungsi bantaran sungai; (c) peningkatan pendapatan dengan pemberdayaan masyarakat; (d) melakukan pengelolaan limbah padat; (e) pemberian pelatihan/keterampilan; (f) pemberian bantuan untuk penataan rumah; (g) mendirikan puskesmas pembantu di sekitar permukiman penduduk. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan bagi masyarakat dan Pemda serta stakeholders terkait lainnya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Desa Banten. ......Economic activity Existence and people's in Banter Village Kasemen District Serang Regency, Banten Province directly and also indirectly can have an effect on to natural environment in vicinity like of River side Cibanten and River side Karangantu getting through the countryside till now becoming supporting facilities for liquid waste disposal and also garbage. Existence of people?s relocation from river side to Kampung Sawah has an influence in with environment and public life quality in Banten Village still is low. For the purpose required an evaluation to environmental condition/quality in Banten Village and solution/strategy for increasing environmental quality and continuation of environment carrying capacity in Banten Village. This research objective to: (1) identify environmental condition/quality in Banten Village; (2) to know natural, social and physical environmental qualities variables having relationship with environmental quality in Banten Village; (3) to know relocation effort for increasing environmental quality in Banten Village; (4) formulate solution/strategy is correct to increase environmental quality in Banten Village. At this research applied seven indicators for determining environment quality that is poorness, expenditure of non consumption, crowding index, health, education, comfort and carrying capacity. This research applies quantitative approach. Research location is Banten Village Kasemen District, Serang Regency, Banten Province. Data collecting method taken are spreading of questionaire, field observation and secondary data. Data analysis using descriptive analysis and statistical analysis. Based on analysis and test result which known that: (1) environmental quality in Banten Village is low categorized if is careful of the condition either from natural environmental quality, social and also physical. Natural environmental quality of the condition that is 97,8% express that surface water quality around their environment are ugly, 71,7 % responder say that ground water quality in place they improper for consumed and 26,1% responder tell quality of air have been is ugly and also 94,6% responder feel cleanness amount of water required can be enough. Social environmental quality, the condition that is most responder have to responbilities more than 3 people (52,2%), 96,7% the express education necessary for their children, mostly responders have income of to Rp 300.000 per month (81,5%) and 61,9% responder have the relation of tightly with other citizen. Physical environmental quality have condition that is some of responders have owned latrine (73,9%), house floor that is made from cement (58,7%) even ceramic ( 14,1%), while ventilating the house only 1 direction equal to 67,4%, and access of area of in settlement of the condition responder have paved (56,5%), condition of responder house building some of permanent buildings (52,2%) and also 75,0% responder do solid waste management by the way of in burning. (2) there are two variables natural environmental qualities variables which correlations with environmental quality that is ground water quality and quantity; environmental quality of social which correlation with environmental quality that is perception concerning education variable and income variable; there are five variables of environmental quality of physical which correlation with environmental quality that is house floor variable, condition of building; ventilated, street of area and also solid waste management variable. The variables like natural environmental quality, social and also physical significant because have a probability value (p) < 0,05, the variables are important for identified to know variable any kind of related to environmental quality, so that in the effort increasing of environmental quality earn more in aiming at the variables, so that strategy which formulated in increasing of environmental quality can be reach a goal and adapted by condition in fact; (3) relocation unable to increase environment quality in Banten Village because social environmentally and natural tended to experience degradation what caused by income which don't increasing, big tending to expenditure and doesn't have a program enable ness of public for increasing income. Increasing is only happened at environmental of physical which caused existence of settlement environment and house which more natty arranged.; (4) solution/strategy for increasing environmental quality are as follow: (a) preparation supporting facilities for clean water; (b) increasing income with enable ness of public; (c) do a solid waste management; (d) giving of training for increasing skill; (e) giving of aid for making renovation house; (f) providing a local government clinic which addressed for group of target (poor people's). This research result can be made by consideration for people's and local government also stakeholders are related to increase environmental quality in Banten Village.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiana Setiawan
Abstrak :
Masyarakat di lereng barat gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, meskipun telah memeluk agama-agama resmi yang diakui pemerintah, namun masih tetap melaksanakan upacara-upacara tradisional yang dipusatkan di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti: mata air, punden, dan situs cagar budaya. Upacara-upacara tersebut, yakni: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, dan Dawuhan, Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: (1) Hal-hal apakah yang mendasari masyarakat masih melaksanakan upacara-upacara tradisional tersebut, meskipun dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka peluk? (2) Apakah penyelenggaraan upacara-upcara tradisional tersebut memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui aspek-aspek yang mendasari masyarakat tetap melaksanakan upacara tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun dan mengetahui manfaat yang dirasakan masyarakat dari penyelenggaraan upacara-upcara tradisional tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan upcara-upacara tradisional tersebut bukan ditujukan kepada makhluk-makhluk gaib yang menguasai tempat-tempat keramat, melainkan sebagai wujud interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya. Penyelenggaraan upacara tradisional juga tidak terlepas dari keberadaan tokoh-tokoh mitos yang menguasai tempat-tempat keramat. Tokoh-tokoh mitos tersebut diperlukan keberadaannya untuk memberikan makna terhadap penyelenggaraan upacara tradisional tersebut. Sesaji-sesaji yang digunakan sebagai persembahan adalah bentuk komunikasi nonverbal anatara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya. Masyarakat merasakan manfaat dengan memperoleh hasil bumi dan kebutuhan air yang berlimpah
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2017
959 PATRA 18:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Nurqamariah
Abstrak :
Indonesia adalah negara yang memiliki budaya yang beraneka ragam. Budaya ini perlu dilestarikan untuk mempertahankan identitas bangsa. Hunian etnik adalah wujud fisik kebudayaan yang juga layak dilestarikan. Namun gaya hidup telah mengalami perkembangan dan lingkungan mengalami perubahan. Hanya sedikit yang masih mau mempertahankan eksistensi hunian etnik ini, termasuk di antaranya masyarakat adat. Padahal hunian etnik adalah hunian yang dirancang dengan mengadaptasi keadaan lingkungan. Hunian ini mampu bertahan cukup lama dan memiliki kenyamanan termal yang cukup baik. Dengan menelusuri kearifan hunian etnik terhadap lingkungan alam kita dapat belajar dari masyarakat adat mengenai bagaimana mereka merancang hunian yang tanggap iklim. Faktor lingkungan alam yang mempengaruhi rancangan suatu hunian adalah kondisi iklim, kondisi tapak dan peristiwa alam. Untuk mengetahui kearifan budaya pada hunian terhadap lingkungan alam, saya menelusuri hunian etnik pada kondisi tapak berbeda. Tapak terbagi dua yaitu daratan dan perairan. Bagaimana budaya pada hunian diterapkan pada kondisi tapak berbeda. Jika dibandingkan, apa yang sama dan apa yang terlihat berbeda pada rancangan hunian berbeda tapak ini. Studi kasusnya adalah hunian etnik milik suku Melayu Petalangan di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. Dari studi kasus, saya menemukan bahwa perbedaan terdapat pada pencerminan nilai budaya pada ornamentasi dan konstruksi, sementara orientasi dan susunan ruang hampir sama. ......Indonesia is a country that has a diverse cultures. This cultures should be preserved to maintain our national identity. Ethnic house is the physical appearance of culture which also deserve to be conserved. But the lifestyle has been progressing and environment is changing. Only a few are still willing to defend the existence of these ethnic house, including indigenous peoples. Yet ethnic house is a residential dwelling that is designed by adapting environmental circumstances. This ethnic house can survive long enough and have good thermal comfort. By tracing the ethnic residential wisdom to the natural environment we can learn from indigenous peoples about how they design a shelter that responses climate. Natural environmental factors that affect the design of a shelter are climatic conditions, site conditions and natural events. To know the cultural wisdom of house for the natural environment, I trace the ethnic house at a different site conditions. Site divided into two, namely land and waters. How the culture applied to this two different site conditions. In comparison, what is the same and what looks different of the design. Case study is the ethnic house of Malays called Petalangan in Pelalawan Regency of Riau Province. From the case studies, I find that there are differences in the reflection of cultural values on ornamentation and construction, while the orientation and arrangement of space is almost the same.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52259
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library