Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Kuntjoro
Abstrak :
Kondisi daya dukung lingkungan di sebelah utara Gunung Salak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah sumberdaya air. Sumberdaya air merupakan bagian dari sumberdaya alam yang sangat dipengaruhi oleh faktor alami (curah hujan, jenis tanah, jenis batuan dan kemiringan lereng) dan faktor antropogenik (penggunaan lahan yang aktual) Penampalan dari berbagai faktor tersebut dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan perangkat lunak Arc View 3.2 dapat memberikan informasi tentang Kemampuan Alami Sumberdaya Air dan Kondisi Daya Dukung Lingkungan Berdasarkan Kemampuan Sumberdaya Air. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan di kawasan sebelah utara Gunung Salak berdasarkan kamampuan alami sumber daya airnya dapat diklasifikasikan ke dalam tingkat sesuai dan sangat sesuai ± 28% (17,861, 978 ha) yang terletak di sebelah selatan kawasan penelitian, tingkat agak sesuai ± 55,28% (34.903,795 ha) sangat mendominasi, sedangkan kurang sesuai ± 16,424% (10.370,131 ha) dan tidak sesuai ± 5,769% (3.643 ha) terletak di utara kawasan penelitian. Hasil dari penampalan antara Peta Kemampuan Alami Sumberdaya Air dengan Peta Penggunaan Lahan dapat dihasilkan Peta Kondisi Daya Dukung Lingkungan Berdasarkan Kemampuan Sumberdaya Air. Berdasarkan kemampuan sumberdaya air, Daya Dukung Lingkungan di kawasan sebelah utara Gunung Salak dapat diklasifikasikan kedalam tingkat yang baik ± 31,212% (19,707,308 ha), normal ± 15,639% (9.874,869 ha), kurang baik ±16,694% (10.540,678 ha), tidak baik ± 28,929 % (18.265,868 ha) dan sangat tidak baik ±7,524% (4.750,803 ha), dari semua itu menunjukkan kondisi daya dukung lingkungan di kawasan penelitian masih baik, dimana 48,84% (29,582,177 ha) dari luas keseluruhan mempunyai tingkat kondisi yang baik dan normal serta penggunaan lahannya masih berupa hutan dan perkebunan. Arahan dalam penggunaan lahan di kawasan penelitian adalah dengan tetap mempertahankan kawasan dengan tingkat kondisi daya dukung lingkungan yang baik dan normal sebagai kawasan lindung sedangkan tingkatan lainnya dapat mengikuti RTRW yang ada.
Environmental Carrying Capacity Condition Based On the Capability of Water Resource (Case study on North Mount Salak, Bogor, Jawa Barat)Environmental carrying capacity in North Mount Salak is dependent on many factors; one of those is the capability of water resource. Water resource is a part of nature resources that is influenced by natural factors (rain fall, soil type, rock type and slope land) and anthropogenic factors (actual land use). Result from overlay of many factors using Geographic Information System (GIS) and Arc View 3.2.software provided information on natural capability of water resource and environmental carrying capacity based on capability of water resource. The results of this research in terms of natural capability of water resource in Northern side of Mounth Salak are classified into suitable and very suitable approximate to 28% (17861.978 ha) which are dominant in the southern side of research area, rather suitable 55,28% (34903195 ha) very dominant, low suitable 16.424% (10370.131 ha) and not suitable 5.769% (3643 ha) in the northern side of research area. Overlay between maps of natural capability of water resource and land use produced map of environmental carrying capacity based on capability of water resource. Based on the capability of water resource, environmental carrying capacity on North Mount Salak areas are classified into 5 categories, i.e. good category 31.212% (19707.308 ha), normal 15.639% (9874.869 ha), less good 16.694% (10540.678 ha), not good 28.929% (18265.868 ha) and very poor 7.524% (4750.803%), all of those parameters indicate that environmental carrying capacity in research location mostly in good condition, where 48.84% (29582.177 ha) from all areas are in good and normal levels condition. The suggestions for land use in the research in term of its carrying capacity area are to maintain good and normal level as protected areas, while for good and normal levels can follow the existing RTRW.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurwati Hodijah
Abstrak :
Fokus kajian tesis membahas variasi skema antarkomuniti dan intrakomuniti nelayan Pulau Panggang dalam penangkapan sumber daya taut. Skema yang dimaksud di sini adalah kombinasi berbagai unsur pengetahuan dan perasaan individual yang dipakai untuk memproses informasi (Strauss dan Quinn 1997:49; Winarto dan Choesin 2001:93). Pengombinasian berbagai unsur pengetahuan dan perasaan individual ini mendorong terciptanya variasi. Skema ini menentukan seorang individu ketika melakukan suatu tindakan tertentu. Adapun kajian ini menarik disimak ketika ditemukan adanya fenomena keragaman masyarakat nelayan Pulau Panggang dalam penangkapan sumber daya laut. Sebenarnya kajian variasi saat ini bukanlah hal yang baru. Kajian-kajian variasi telah dilakukan para antropolog antara lain Borofsky (1989;1994); Vayda dalam Borofsky (1994) ; Barth dalam Borofsky (1994); Barth (1989); Barth (1992) dengan memfokuskan pada dimensi keragaman individu; Sablins dalam Borofsky (1994) memfokuskan pada dimensi waktu; dan Kottak dan Carlson dalam Borofsky (1994) pada dimensi ruang. Namun fokus kajian ini menjadi panting dalam antropolagi karena dianalisa dengan model pendekatan connectionism, yang ditawarkan oleh Strauss dan Quinn. Model pendekatan ini memperlihatkan mekanisme umpan balik dua jenis struktur yang relatif stabil, yakni struktur-struktur ekstrapersonal yang bersifat sosial dan segala apa yang terjadi dalam masyarakat, dan struktur-struktur intrapersonal yang bersifat mental. Struktur-struktur ekstrapersonal ini sudah lazim menjadi pusat perhatian antropologi, sementara struktur-struktur intrapersonal sering diabaikan para antropolog umumnya. Padahal keduanya saling berinteraksi dalam mewujudkan tindakan. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memahami proses pembentukan skema seorang individu nelayan tentang penangkapan sumber daya laut dan cara tersebarnya skema nelayan Pulau Panggang yang mempengaruhi terwujudnya variasi skema di antara individu nelayan Pulau Panggang dalam penangkapan sumber daya laut, serta untuk mengetahui kepentingan-kepentingan yang mendasari variasi skema nelayan Pulau Panggang dalam penangkapan sumber daya laut. Berdasarkan hasil penelitian, cara pembentukan skema penangkapan sumber daya laut nelayan Pulau Panggang melalui mekanisme belajar yang informal, yakni (1) pengamatan dan peniruan; (2) mendengarkan dalam hubungannya untuk bertanya sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung; dan (3) pengulangan, dengan substansi ajaran yang berbeda antarkomuniti. Komuniti barat cenderung menggunakan skema penangkapan yang dikombinasikan dengan pong, sementara komuniti timur cenderung menggunakan skema penangkapan lama, yakni jaring, bubu dan panting. Namun demikian, variasi skema penangkapan antarkomuniti nelayan Pulau Panggang ini tidaklah baku, karena ternyata ditemukan pula variasi skema penangkapan sumber daya laut intrakomuniti, yang tidak mengacu pada kecenderungan skema antarkomuniti, Variasi skema intrakomuniti nelayan Pulau Panggang juga melibatkan variasi skema seorang individu nelayan Pulau Panggang. Dari analisis dengan pendekatan connectionism, nelayan Pulau Panggang melibatkan beragam unit-unit pengetahuan dalam menghadapi lingkungannya seperti preferensi, keamanan lahir dan batin, mitos, perilaku biota laut, kemampuan, keahlian, kebijakan Pemerintah, keyakinan, sistem kekerabatan dan pertemanan serta perubahan alam saling mengumpan balik dalam membentuk skema penangkapan sumber daya laut seorang diri individu. Keragaman unit-unit pengetahuan inilah yang mewujudkan variasi skema antar individu maupun seorang individu nelayan Pulau Panggang. Dengan demikian, benarlah seperti yang diungkapkan Strauss dan Quinn (1997) bahwa kebudayaan tidak bersifat homogen. Ketidakhomogenan dari kebudayaan ini menjelaskan variasi-variasi yang ada ke dalam entitas-entitas yang berdiri sendiri. Anggapan kebudayaan `X' atau kebudayaan sudah tidak memadai lagi, karena dalam kebudayaan `X' atau terdapat pengetahuan, yang dimiliki seorang individu, dan dapat membuat individu bervariasi dalam tindakan serta mampu membuat perubahan, berdasarkan situasi dikarenakan alasan kepentingan yang menguntungkan bagi dirinya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12398
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman Mamar
Abstrak :
ABSTRAk
Pembangunan masyarakat desa sudah lama menjadi bahan perbincangan para perencana pembangunan dan obyek penelitian para ilmuan, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Obyek pembahasannya biasa difokuskan pada bidang-bidang tertentu seperti: masalah kependudukan dan lingkungan hidup, masalah kesehatan, masalah pendidikan, masalah pertanian, masalah perikanan dan lain-lain yang pada dasarnya mencari jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Masalah perikanan yang tersebut terakhir termasuk salah satu diantaranya yang mendapat prioritas dan telah digalakkan pembangunannya oleh pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini sesuai dengan arah pembangunan melalui Pelita demi Pelita. Pada Pelita kelima (GBHN 1988: 67-68) antara lain disebutkan :
?? Perhatian khusus perlu diberikan kepada usaha perlindungan dan pengembangan perikanan rakyat dalam rangka meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan serta memajukan desa-desa pantai. Dalam usaha pengembangan tersebut perlu ditingkatkan peranan koperasi serta keikutsertaan usaha swasta".

Berdasarkan arah dan tujuan pembangunan perikanan rakyat dan desa-desa pantai tersebut, maka pemerintah melalui para ilmuan dan perencana pembangunan telah menggalakkan aktivitas pembangunan perikanan dengan cara mengintroduksi teknologi perikanan berupa perahu motor tempel beserta alat penangkap ikan yang canggih. Menurut hasil survey sosial ekonomi perikanan laut (Dirjen Perikanan, 1978: 10), pembangunan perikanan laut melalui introduksi perahu motor tempel telah dilakukan sejak tahun 1955 sampai tahun 1980-an. Akan tetapi hasilnya belum banyak memperlihatkan peningkatan pendapatan dan taraf hidup para nelayan didesa-desa pantai Indonesia. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan sebagai faktor penyebabnya, antara lain:
1. Masalah kemiskinan yang sampai kini masih mendominasi sebagian besar rumah tangga nelayan. Pada tahun 1982/1983 tercatat sekitar 60% rumah tangga nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan (lihat Buletin Nelayan, 1982: 1).
Karena para nelayan tergolong miskin, maka mereka tidak memiliki modal, kurang memiliki skill dan jaringan sosial yang memungkinkan mereka memiliki serta mengoperasikan peralatan modern. Dengan demikian, para nelayan tetap mempergunakan peralatan dan cara-cara tradisional dalam menangkap ikan. Menurut Soegiarto (dalam Pieris, 1998: 47), sampai sekarang ini 95% produksi ikan di Indonesia berasal dari rakyat dengan cara penangkapan tradisional.
2. Masalah mekanisasi yang bukan sekedar memperkenalkan teknologi, tetapi membawa dampak sosial budaya dan lingkungan yang tidak kecil. Misalnya terjadi ketegangan dan kerawanan sosial dikalangan para nelayan, menurunnya jumlah rumah tangga nelayan, dan terjadinya pengurusan sumber hayati ikan pada wilayah-wilayah perairan terentu (Lubin dalam Buletin Nelayan, 1982: 4), yang tidak diikuti dengan meningkatkannya kesejateraan mereka. Akibatnya dapat diperkirakan semakin meningkatnya kesenjangan antara pemilik modal dan nelayan kecil. Hal itu tercermin dalam kasus-kasus ketegangan yang teriadi dikalangan para nelayan.

Ketegangan dan kerawanan sosial yang telah terjadi sebagai konsenkuensi penerapan teknologi yang tidak dimaksudkan (Unitended concenquences) antara lain seperti kerusuhan dan pembakaran rumah serta perahu motor di Muncar Bayuwangi (lihat Emerson, 1977), Kasus kemacetan kredit perahu motor dan dikenakannya PHK buruh nelayan di Jawa Tengah (Buletin Nelayan, 1983: 9), Kasus bentrokan antara nelayan tradisonal dan nelayan pukat teri di Sumatra Utara (Wudianto dalam Buletin Nelayan, 1983: 21), dan masih banyak kasus lain yang tidak sempat dikemukan dalam bagian ini.

Sementara itu, menurunnya sumberdaya ikan di wilayah perairan tertentu terutama disebabkan oleh adanya pemusatan pengoperasian alat penangkap ikan yang canggih yang dilakukan oleh dilakukan oleh investor asing. Misalnya, di perairan Selat Malaka, selat Sulawesi, pantai utara Jawa, perairan Riau dan lain telah terjadi overfishing (Lubis dalam Buletin Nelayan, 1984, Mubyarto, 1988). Bahkan di perairan Jepara pada tahun 1973 sampai dengan 1977, setiap, nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan sebesar 58% (Plubyarto, 1984: 1B). Peta tingkat pemanfaatan ikan di?.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library