Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Trisni Untari Dewi
"ABSTRAK
Latar belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan penting yang dapat menyebabkan insidens kematian sampai 50% pada pasien dengan sepsis berat. Antibiotik aminoglikosida
terutama amikasin semakin banyak digunakan untuk mengobati infeksi kuman Gram negatif pada pasien sepsis di ICU, meskipun penggunaan obat tersebut pada dosis
terapi dapat meningkatkan risiko kerusakan ginjal sekitar 10-25%. Pemantauan kadar lembah amikasin serta biomarker dini diperlukan untuk mencegah kerusakan ginjal pada pasien sepsis yang dirawat di ICU. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar lembah amikasin pada pasien ICU dewasa yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang diberikan amikasin 1000 mg/hari dengan
peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin yang merupakan biomarker dini nefrotoksisitas.
Metode:
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 12 pasien sepsis dewasa yang dirawat di ICU RSCM dan diberikan amikasin 1000 mg/hari pada bulan Mei-September 2015. Kadar lembah amikasin dosis ketiga dihubungkan dengan peningkatan kadar KIM-1 normalisasi yang diukur melalui urin 24 jam setelah pemberian amikasin dosis pertama/kedua dan dosis ketiga.
Hasil:
Dari 12 subyek penelitian, didapatkan 3 subyek penelitian dengan kadar lembah amikasin di atas 10 g/mL, sedangkan 9 subyek penelitian kadar lembahnya ada dalam batas aman (di bawah 10 g/mL). Delapan dari 12 subyek penelitian (66,7%) mengalami peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin hari ketiga dibandingkan hari pertama. Tidak ada hubungan antara kadar lembah amikasin dengan peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin (p=0,16; r=0,43).
Kesimpulan:
Pasien sepsis yang mendapat amikasin 1000 mg/hari di ICU RSCM selama 3 hari memperlihatkan kadar lembah amikasin plasma dalam batas aman untuk ginjal.

ABSTRACT
Background: Sepsis is a common caused of mortality which may account for up to 50% death rate in patients with severe sepsis. Aminoglycoside antibiotics, especially amikacin, are the most commonly used antibiotics in the septic patients with Gram-negative bacterial infections, despite these drugs may induce nephrotoxicity in 10-25%
patients. Hence, it is essential to monitor amikacin trough plasma concentration and to detect nephrotoxicity as early as possible. The aim of this study is to find out the correlation between amikacin trough plasma concentration with normalized KIM-1 concentration in the urine as a sensitive and specific biomarker.
Methods:
This is a pilot study conducted in 12 septic patients treated with amikacin 1000 mg/day from May, 2015 to September, 2015. The correlation between amikacin
trough plasma concentrations measured at the third doses with the elevation of urine normalized KIM-1 concentrations measured at the first/second and the third doses were evaluated.
Results:
We observed 3 patients with amikacin trough plasma concentration above the safe level (>10 g/mL), while 9 patients had amikacin concentrations within the safe
plasma level (<10 g/mL). Furthermore, we observed 8 out of 12 patients with higher normalized KIM-1 concentrations measured at third doses compared to normalized KIM-1 concentrations measured at first/second doses. There was no correlation between amikacin trough concentration with elevated urine normalized KIM-1
concentration (p=0,16; r=0,43).
Conclusion:
Septic patients treated with amikacin 1000 mg/day hospitalized in ICU RSCM for 3 days have amikacin safe trough plasma concentration.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bashar Adi Wahyu Pandhita
"Latar Belakang: Cisplatin adalah obat antineoplastik berbasis platinum yang dipakai untuk berbagai jenis kanker. Walaupun memiliki efikasi yang tinggi, cisplatin memiliki efek samping yang berbahaya, yaitu gagal ginjal akut yang disebabkan oleh stres oksidatif dan inflamasi. Kurkumin diketahui memiliki efek antioksidatif dan antiinflamasi pada gagal ginjal akut yang disebabkan oleh cisplatin, walaupun memiliki bioavailabilitas yang rendah. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan nanokurkumin. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas kurkumin dan nanokurkumin dalam melindungi ginjal akibat pemberian dosis tunggal cisplatin, terutama pada ekspresi Nrf2 dan Keap1: Tikus Sprague-dawley jantan (n=25) dikelompokkan menjadi 5 kelompok (Kontrol, cisplatin, cisplatin + curcumin, cisplatin + nanokurkumin 50 mg/kgBB/hari, cisplatin + nanokurkumin 100mg/kgBB/hari, dan dikorbankan 9 hari setelah perlakuan. Sampel ginjal diambil dan dilakukan RT-PCR untuk Nrf2 dan Keap1 Hasil: Pemeriksaan ekspresi gen Nrf2 ditemukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antarkelompok (p>0.05). Namun, pada pemeriksaan ekspresi gen Keap1, terlihat ekspresinya lebih tinggi pada tikus yang mendapatkan cisplatin dibandingkan kelompok normal dan ekspresi gen Keap1 juga terlihat lebih tinggi pada kelompok dengan 100mg nanokurkuminKesimpulan Nanokurkumin dapat meningkatkan ekpresi Keap1, walaupun tidak signifikan secara statistik. Hal ini dapat disebabkan oleh karena peningkatan aktivasi Nrf2 yang menyebabkan umpan balik negatif sehingga menurunkan ekspresi Keap1
Background: Cisplatin is a platinum-based drug that is used for various type of cancer. Despite its high efficacy, cisplatin has a very destructive side effect, which is acute kidney failure due to oxidative stress and inflammation. Curcumin has been shown to possess anti-oxidative and anti-inflammatory effect in cisplatin-induced AKI, despite its poor bioavailability, which can be managed by administering nanocurcumin. This study aims to compare the effectivity of curcumin and nanocurcumin in protecting kidney doe to single-dose cisplatin administration, especially in the antioxidative gene Nrf2 and its inhibitor Keap1 Method: Male Sprague-Dawley rat (n=25) are divided into 5 groups (Control, Cisplatin, Cisplatin + Curcumin, Cisplatin + Nanocurcumin 50mg/kgBW, Cisplatin + Nanocurcumin 100mg/kgBW) and sacrificed 9 days after treatment. Kidney sample is taken and RT-PCR for Nrf2 and Keap1 is done.Results: Result of RT-PCR shows no statistical significance in Nrf2 expression across the group (p>0.05). However, Keap1 level was increased in rats treated with 100mg Nanocurcumin. Conculsion: that nanocurcumin can increase Keap1 level but not significantly. This might be caused by increased Nrf2 activation which induce negative feedback thus increasing Keap1 transcription level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Susalit
"Penderita gagal ginjal kronik progresif yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif akan mengalami gagal ginjal tahap akhir. Untuk kelangsungan hidupnya, penderita gagal ginjal tahap akhir memerlukan terapi pengganti yang dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal.
Penanggulangan gagal ginjal di Indonesia belum mencapai hasil yang diinginkan, walaupun sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, karena sarana yang ada sekarang masih terbatas (3). Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanggulangan gagal ginjal tahap akhir yang ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal (3). Selain itu, transplantasi organ tubuh menipakan prosedur klinik yang sudah diterima di seluruh dunia.
CycIosporine-A (siklosporin) merupakan obat imunosupresif pilihan pada transplantasi organ karena sudah berhasil meningkatkan angka ketahanan hidup (survival) organ, tanpa menimbulkan supresi sumsum tulang. Meskipun pada transplantasi ginjal siklosporin telah dapat meningkatkan angka ketahanan hidup ginjal dan penderita secara dramatis, obat ini mempunyai beberapa efek samping, antara lain yang terpenting adalah efek nefrotoksisitas.
Efek nefrotoksisitas siklosporin dalam klinik dapat terjadi secara akut dan kronik. Faktor yang berperan pada tipe akut adalah penurunan aliran darah ginjal sebagai akibat vasokonstriksi arterial aferen glomerulus, sedangkan pada tipe kronik disebabkan oleh iskemia kumulatif sebagai akibat vasokonstriksi arleriol aferen glomerulus pada fase akut dan lesi iskemik vaskuler yang berupa arteriolopati sebagai akibat pengaktifan trombosit lokal. Efek nefrotoksisitas sebagai akibat penggunaan siklosporin jangka panjang yang berupa arteriolopati sukar dihambat, sedangkan efek vasokonstriksi akin siklosporin masih mungkin dikurangi; misalnya dengan penambahan obat seperti antagonis kalsium yang dapat menghambat efek vasokonsriksi tersebut.
Antagonis kalsium dikenal sejak tiga dekade yang lalu. Namun, baru pada dekade terakhir manfaat golongan obat ini terhadap fungsi ginjal diselidiki secara lebih mendalam. Antagonis kalsium termasuk kedalam golongan obat antihipertensi dan pemakaiannya semakin banyak di Indonesia.
Beberapa penelitian sudah dilakukan dengan mencoba memberikan antagonis kalsium bersama siklosporin, baik pada hewan percobaan maupun dalam penelitian klinik. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa antagonis kalsium verapamil dan diltiazem agaknya bermanfaat mengurangi nefrotoksisitas yang disebabkan oleh siklosporin, walaupun faktor yang berperan belum diketahui secara pasti. Antagonis kalsium verapamil dan diltiazem dilaporkan dapat meninggikan kadar siklosporin dalam darah resipien, yang disebabkan oleh metabolisme kompetitif obat tersebut dan siklosporin pada sistem enzim sitokrom P-450 dalam hepar. Antagonis kalsium golongan dihidropiridin, kecuali nikardipin, dilaporkan tidak mengganggu metabolisme siklosporin karena golongan obat ini tidak terlalu lerkonsentrasi dalam hepar.
Amlodipin yang termasuk kedalam golongan dihidropiridin generasi terbaru, mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kelebihan tersebut di anlaranya adalah mempunyai rasio selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serla tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia, dan takikardia. Selain itu. efek samping seperti sakit kepala, pusing, dan edema lebih ringan dan lebih jarang terjadi. Amlodipin dengan dosis 5-10 mg sekali sehari sudah dibuktikan dapat menaikkan laju filtrasi glomerulus 13% dan aliran plasma ginjal efektif 19%, serla mcnurunkan resislensi vaskuler ginjal 25% pada penderita hipertensi esensial (18). Seperti diketahui, laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal efektif menggambarkan fungsi glomerulus dan tubulus. Secara keseluruhan kedua fungsi tersebut dapat menggambarkan fungsi ginjal..."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D369
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini
"ABSTRAK
Keracunan Pb merupakan masalah kesehatan dunia dan environmental disease utama. Untuk mengatasi akumulasi Pb dalam tubuh, pengurangan nefrotoksisitas Pb sangat penting dilakukan.
Penelitian ini bertujuan mempelajari kemungkinan penggunaan bawang putih rancangan acak lengkap, terhadap 20 ekor tikus putih jantan, galur Wistar. Digunakan bawang merah (Allium ascalonicum) sebagai pembanding. Kelompok kontrol (I). diberi 1 mL aquades/100 g BB/hari selama 31 hari; Kelompok II diberi air dengan jumlah yang sama selama 15 hari, dan pada hari ke 16 diberi Pb asetat 20 mg/100 g BB/hari selama 16 hari. Kelompok II dan IV, masing-masing diberi sari bawang merah dan sari bawang putih, 1 g/100 g BB/hari selama 15 hari, dan pada hari ke 16, 30 menit sesudahnya diberi Pb asetat 20 mg/100 g BB/hari selama 16. Kadar ureum dan kreatinin plasma sebagai parameter fungsi ginjal.
Kadar ureun plasma antar kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna (p>0,05). Sebaliknya, kadar kreatinin plasma keompok II meningkat bermakna (P<0,05), kelompok III dan IV menurun bermakna (p<0,05). Dengan demikian, bawang merah dan bawang putih berpotensi mengurangi nefrotoksisi Pb.
Pada nefrotoksisin Pb, Pb ginjal meningkat dan terjadi stres oksidatif. Bawang putih digunakan secara luas sebagai bahan alam dan berkhasiat obat, sehingga dipelajari potensi dan mekanisme proteksinya terhadap nefrotksisitas Pb. Desain penelitian, jumlah, dan jenis tikus sama.
Kelompok kontrol (I), diberi 0,1 mg CMC/100 g BB/hari, selama 31 hari. Kelompok II, diberi CMC dengan jumlah yang sama selama 15 hari, dan pada hari ke 16 diberi Pb asetat 20 mg/100 g BB / hari selama 16 hari. kelompok III dan IV, masing-masing diberi sari bawang putih dalam fraksi semi polar dna polar, 1 g/100 g BB/hari, selama 15 hari, dan pada hari ke 16, 30 menit sebelumnya diberi Pb asesat 20 mg/100 g BB/hari selama 16.
Mekanisme proteksi bawang putih diteliti dengan mengukur kandungan Pb, senyawa bergugus SH, MDA dan OH jaringan ginjal.

Pada kelompok II, kandungan Pb meningkat bermakna (p<0,05) mengakibatkan penurunan kadar senyawa bergugus SH bermakna (p<0,05). Sementara itu, kadar OH dan MDA meningkat bermakna (p<0,05). Sebaliknya kelompok III dan IV, kadar Pb menurun bermakna (p< 0,05) dan kadar senyawa bergugus SH meningkat bermakna (p<0,05). Sementara itu, kadar OH dan MDA menurun bermakna (p<0,05). Pengurangan nefrotoksisitas Pb terlihat dari penurunan bermakna kadar kreatinin plasa (p<0,05). Hasil uji in vitro, daya khelat senyawa bergugus SH sari bawang putih sebanding dengan kadar senyawa bergugus SH.
Dengan demikian, terbukti potensi antioksidan fraksi sei polar dan polar sari bawang putih mengurangi nefrotoksisitas PB."
2006
D639
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini
"ABSTRAK
Keracunan Pb merupakan masalah kesehatan dunia dan environmental disease utama. Untuk mengatasi akumulasi Pb dalam tubuh, pengurangan nefrotoksisitas Pb sangat penting dilakukan.
"
2006
D771
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deliana Nur Ihsani Rahmi
"

Latar Belakang: Nefrotoksisitas adalah salah satu faktor pembatas utama pengobatan menggunakan cisplatin, dengan basis patofisiologi berupa kematian sel tubulus ginjal pada paparan cisplatin. Efek samping ini cukup umum, yakni terjadi pada satu dari tiga pasien yang menjalani pengobatan dengan cisplatin. Sebuah proses penting yang memperantarai akumulasi cisplatin didalam sel tubulus ginjal adalah transporter-mediated uptake. Dua transporter membran yang telah diketahui terlibat didalam akumulasi aktif cisplatin ke dalam sel tubulus ginjal adalah CTR1 dan OCT2. Kurkumin adalah zat yang dinyatakan memiliki efek renoprotektif.  Studi ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan antara efek dari kurkumin dan nanokurkumin dalam mencegah nefrotoksisitas diinduksi cisplatin melalui analisis dari transkripsi level OCT2 pada jaringan ginjal tikus dan untuk menentukan apakah mekanisme renoprotektif dari kurkumin melibatkan CTR1.

Metode: Tikus-tikus jantan Sprague Dawley dibagi menjadi 5 kelompok secara acak: (1) control; (2) cisplatin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p); (3) cisplatin + kurkumin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p + 100 mg/kg/hari); (4) cisplatin + 50 mg nanocurcumin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p + 50 mg/kg/hari); (5) cisplatin + 100 mg nanocurcumin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p + 100 mg/kg/hari). qRT-PCR kemudian dilakukan untuk menghitung ekspresi relatif gen CTR1 dan OCT2 pada ginjal tikus-tikus tersebut.

Hasil: Pemberian 100 mg nanokurkumin meningkatkan ekspresi OCT2 pada tikus yang diberi perlakuan cisplatin, akan tetapi peningkatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan level ekspresi normal. Sementara itu, ekspresi CTR1 tidak memiliki asosiasi dengan pemberian kurkumin dan nanokurkumin, maka dari itu CTR1 tidak terlibat dalam mekanisme renoprotektif dari kurkumin.

Konklusi: Nanokurkumin memiliki efek renoprotektif yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin sebagaimana didemonstrasikan oleh peningkatan ekspresi OCT2 pada tikus yang mendapat perlakuan cisplatin dan diberikan zat tersebut.

 

 


Background: Nephrotoxicity is one major limiting factor of cisplatin treatment, with pathophysiological basis of renal tubular cell death upon exposure to cisplatin. This side effect is prevalent, occurring in about one-third of patient undergoing cisplatin treatment.  An important process mediating cellular accumulation of cisplatin inside the renal tubular cell is the transporter-mediated uptake. Two identified membrane transporters involved in the active accumulation of cisplatin into the renal tubular cell are CTR1 and OCT2. Curcumin is a substance which was reported to have renoprotective effects. This study aimed to know the difference between the effects of curcumin and nanocurcumin in preventing cisplatin-induced nephrotoxicity through the analysis of OCT2 transcription level in the rats kidney tissue and to determine whether curcumin renoprotective mechanism involves CTR1.

Method: Male Sprague Dawley Rats were divided into 5 groups in random: (1) control; (2) cisplatin (7 mg/kg – single dose, i.p); (3) cisplatin + curcumin (7 mg/kg – single dose, i.p + 100 mg/kg/day); (4) cisplatin + 50 mg nanocurcumin (7 mg/kg – single dose, i.p + 50 mg/kg/day); (5) cisplatin + 100 mg nanocurcumin (7 mg/kg – single dose, i.p + 100 mg/kg/day). qRT-PCR was then conducted to calculate the relative expression of CTR1 and OCT2 genes in the rats’ kidney.

Results: Administration of 100 mg nanocurcumin increases OCT2 expression in rats treated with cisplatin, but the increase was higher compared to normal expression levels. Whereas CTR1 expression has no association to the administration of curcumin and nanocurcumin, thus is not involved in curcumin’s renoprotective mechanism.

Conclusion: Nanocurcumin has better renoprotective effect compared to curcumin as suggested by the increased OCT2 expression upon its administration in cisplatin-treated rats.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library