Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syarif Iqbal
Yogyakarta: Deepublish, 2018
323.4 SYA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Wulan Priyanti
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S25819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Anthony Darmawan Mulya
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan Rezim Hukum Negara Kepulauan Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tantangan dan hambatannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian normatif. Penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan ketentuan-ketentuan yang menyangkut implementasi rezim negara kepulauan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sesuai secara keseluruhan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, sehingga perlu direvisi. disamping itu perlu pengaturan hak hak dan kewajiban kapal perang, kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan komersial (niaga) dan tujuan bukan komersial ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Lebih lanjut Pembangunan bidang hukum rezim hukum negara kepulauan Indonesia hendaknya merupakan upaya untuk mengintegrasikan kebijakan-kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut, khususnya sumber daya ikan, penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan.

This thesis is reviewing Archipelagic States Regime of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea and Its Implementation in Indonesia. This research uses a qualitative approach with normative methodology. The outcome of this research shows that he results of this study indicate that Indonesia has had legislation in accordance with the overall 1982 Law of the Sea Convention. However, some provisions in the legislation have not deal the provisions of Convention on Law of the Sea 1982, so it needs to be revised. besides that necessary arrangements rights and obligations of warships, foreign governments operated for commercial purposes (commercial) and non-commercial purposes in the legislation Indonesia. Further development of the legal regime of the Indonesian archipelagic state should be an effort to integrate policies on defense and security, management and utilization of marine resources, especially fish resources, scientific research and transfer of marine technology."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chappy Hakim
Jakarta: Red and White Publishing, 2011
355.03 CHA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrinaldi
Depok: Rajawali Press, 2023
341.44 SYA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
"Sebagai poros maritim dan negara kepulauan yang strategis dari perspektif geopolitik, Indonesia telah menetapkan tiga jalur ALKI untuk lintas damai pelajaran International, yang dijamin keberadaannya oleh hukum International. Hasil penelitian mengungkap beberapa tipe ancaman keamanan terkini yang cukup kompleks yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dan juga maritim, yang datang dari meningkatnya ketegangan dan ekkalasi konflik di laut China Selatan, serta terorisme global, intervensi asing, dan beragam kejahatan transnasional"
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, {s.a.}
324 KAJ 20:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sutadi Nugroho
"Tesis ini membahas praktik negara-negara kepulauan dalam menarik garis penutup untuk keperluan batas perairan pedalaman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 UNCLOS 1982. Penelitian ini adalah penelitian normatif, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, sehingga data yang digunakan adalah data sekunder dan teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Dalam praktek negara kepulauan terdapat negara yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 dalam peraturan nasionalnya dan telah menerapkannya contoh Antiqua dan Barbuda, dan Fiji. Terdapat negara yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 dalam ketentuan nasionalnya tetapi belum menerapkannya contoh Cape Verde dan Kepulauan Solomon. Terdapat juga negara yang tidak mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 karena mempunyai pandangan berbeda terhadap perairan pedalamannya contoh Filipina. Indonesia termasuk negara kepulauan yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 di dalam ketentuan nasionalnya tetapi belum menentukan perairan pedalamannya secara formal, perkembangan terakhir Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan Tim ahli bidang Geodesi sedang melaksanakan identifikasi dan pengkajian mengenai penetapan batas perairan pedalaman Indonesia. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu adanya koordinasi yang intensif dan kohemperensif antara kementerian dan kelembagaan yang terkait atas penetapan batas perairan pedalaman Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia perlu mendorong pembentukan pengaturan penetapan batas perairan pedalaman dalam bentuk Undang-Undang.

This thesis discusses the practice of Archipelagic State in drawing a closing line for the needs of internal water as Article 50 UNCLOS 1982. This research is normative research, the data collection tool used in this study is through the study of documents, so that the data used is secondary data and the analysis technique used is content analysis. In the practice of an archipelagic state there are countries that have accommodated Article 50 of UNCLOS 1982 in their national regulations and have implemented examples of Antiqua and Barbuda, and Fiji. There are countries that have accommodated in their national provisions but have not applied the example of Cape Verde and the Solomon Islands. There are also countries that do not accommodate Article 50 UNCLOS 1982 of example Philippine. Indonesia is an archipelago that has accommodated Article 50 of UNCLOS 1982 but has not formally determined its internal waters, recent developments of the Government of the Republic of Indonesia through the Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman in collaboration with the Badan Informasi Geospasial, the Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, and the Geodesy Team identification and assessment of the boundaries of Indonesias internal waters. As a suggestion, it is necessary to have more intensive coordination between relevant ministries and institutions on the determination of the boundaries of internal waters of Indonesia and the Government of the Republic of Indonesia needs to encourage the establishment of internal waters boundary regulation arrangements in the form of the Act.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52267
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Septiadi Arunanto
"Tesis ini mengkaji kewajiban hukum internasional yang dimiliki oleh negara kepulauan terhadap kerangka kapal perang asing yang terdampar atau tenggelam di wilayah kedaulatannya. Permasalahan ini penting mengingat kompleksitas hukum maritim dan lingkungan yang berkaitan dengan penanganan bangkai kapal perang, yang dapat memiliki implikasi politik dan lingkungan yang signifikan. Penelitian ini adalah penelitian normatif, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, sehingga data yang digunakan adalah data sekunder dan teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Pendekatan hukum internasional untuk menganalisis kewajiban negara kepulauan berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 (UNCLOS 1982) serta praktik dan kebijakan yang relevan. Selain itu, tesis ini juga mengeksplorasi kasus-kasus studi dan tinjauan literatur untuk memahami bagaimana negara-negara kepulauan menghadapi tantangan dalam mengelola kerangka kapal perang asing sesuai dengan kewajiban mereka dalam menjaga keamanan maritim dan melindungi lingkungan laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan kerangka kapal perang asing oleh negara kepulauan tidak hanya merupakan kewajiban hukum, tetapi juga berhubungan dengan aspek politik, lingkungan, dan keamanan regional. Implikasi dari kajian ini memberikan wawasan yang mendalam terhadap bagaimana negara kepulauan dapat memperkuat kerangka regulasi dan praktik yang efektif dalam menghadapi tantangan tersebut, dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban mereka dalam konteks hukum laut internasional.

This thesis examines the international legal obligations of archipelagic states concerning the remains of foreign warships that have run aground or sunk in their sovereign territory. This issue is significant due to the complexity of maritime and environmental law associated with the handling of warship wrecks, which can have substantial political and environmental implications. This research is a normative study, utilizing document study as the data collection method, which means the data used is secondary and the analytical technique employed is content analysis. The international legal approach for analyzing the obligations of archipelagic states is based on the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) and relevant practices and policies. Additionally, this thesis explores case studies and literature reviews to understand how archipelagic states address the challenges of managing foreign warship remains in line with their obligations to ensure maritime security and protect the marine environment. The research findings indicate that the handling of foreign warship remains by archipelagic states is not only a legal obligation but also relates to political, environmental, and regional security aspects. The implications of this study provide deep insights into how archipelagic states can strengthen regulatory frameworks and effective practices to address these challenges, considering their rights and obligations within the context of international maritime law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maretha Wulandini
"Pengakuan terhadap prinsip negara kepulauan Indonesia dalam UNCLOS 1982 harus dibayar dengan mengakomodir kepentingan yang sah dan hak-hak tertentu negara pengguna perairan negara kepulauan, berupa hak lintas kapal dan pesawat udara asing melalui alur laut kepulauan. Indonesia kemudian menentukan skema alur laut kepulauan, yang dikenal dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang terdiri dari ALKI I, ALKI II, dan ALKI III beserta cabangcabangnya. Namun, menurut Amerika Serikat dan Australia, penetapan tiga ALKI tersebut belum cukup mengakomodir kepentingan mereka. Menurut Amerika Serikat, Indonesia telah membatasi hak terbang diatas perairan kepulauan Indonesia dan terjadi ketidakkonsistenan penetapan hak lintas dalam UNCLOS 1982. Hasjim Djalal, pakar hukum laut interrnasional menjelaskan bahwa sehubungan dengan belum ditentukannya ALKI dari timur ke barat, maka kapalkapal asing yang melalui perairan Indonesia dari arah timur ke barat berhak menentukan sendiri jalur pelayaran mereka. Apabila Indonesia menginginkan kapal asing melintas di jalur yang dikehendaki, maka Indonesia harus secepatnya menentukan alur laut kepulauan Indonesia timur-barat. Penelitian ini akan mengkaji apakah Indonesia perlu memenuhi tuntutan dunia internasional untuk membuka ALKI Barat-Timur, dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan implikasi yang mungkin terjadi jika ALKI Barat-Timur tersebut diwujudkan.

Recognition of the principles of Indonesia archipelagic state in UNCLOS 1982, should be paid to accommodate the legitimate interests and rights of certain countries that use the waters in the archipelagic state, in the form of a right of passage of foreign ships and aircrafts through archipelagic sea lanes. Indonesia then determines the archipelagic sea lanes scheme, known as the Indonesian archipelagic sea lanes (ALKI) consisting of ALKI I, ALKI II and III and their branches. However, according to the United States and Australia, the establishment of three ALKI are not sufficient to accommodate their interests. According to the United States, Indonesia has restricted the right to navigate over the waters of Indonesia and there is an inconsistency in the determination of a right of passage based on UNCLOS 1982. Hasjim Djalal, an expert on the International Law of the Sea explained that considering the fact that the ALKI from east to west has yet to be determined, the foreign ships through Indonesian waters from east to west, has the right to determine their own shipping line. If Indonesia wants every foreign ships to pass in the desired track, then Indonesia should immediately determine the Indonesian east-west archipelagic sea lane east-west. This study will examine whether Indonesia needs to fulfill the demands of the international community to open ALKI West-East, taking into account various aspects and implications that may occur if the East-West ALKI is realized."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gumai Akasiwi
"ABSTRAK
Pengakuan terhadap rezim negara kepulauan oleh hukum internasional melalui UNCLOS 1982 menimbulkan pertentangan kepentingan antara negara maritim dan negara kepulauan. Negosiasi oleh negara-negara tersebut menghasilkan suatu pengaturan yang menimbulkan beberapa perbedaan interpretasi, termasuk perihal alur laut kepulauan yang diatur dalam Pasal 53 UNCLOS. Akibatnya berbagai permasalahan muncul dalam penerapan hukum di rezim Alur Laut Kepulauan. Indonesia yang merupakan satu-satunya negara kepulauan yang telah menetapkan Alur Laut Kepulauannya dengan sebutan ALKI, tidak lepas dari permasalahan-permasalahan tersebut. Hal ini berujung kepada dilema keberlakuan ALKI yang bersifat parsial, yang mana negara-negara maritim menuntut Indonesia untuk menetapkan rute timur-barat sebagai bagian dari ALKI. Berdasarkan penelitian yuridis normatif yang telah dilakukan, Indonesia belum siap untuk menetapkan ALKI rute timur-barat, namun memiliki kewajiban hukum untuk menetapkan alur yang demikian cepat atau lambat.

ABSTRAK
Recognition of archipelagic state regime by International Law through the UNCLOS 1982 inflicted conflict of interest between archipelagic states and maritime states. Negotiation by these countries resulted provisions that raised some differences of interpretation, including the Archipelagic Sea Lanes provisions under the Article 53 UNCLOS. As a result, various issues arised in the law enforcement within the Archipelagic Sea Lanes regime. Indonesia as the only state that had designated its Archipelagic Sea Lanes namely ALKI, is not release from such issues. This led to the enforceability dilemma of ALKI which is also partially adopted, in which martime states demanded Indonesia to establish the east-west route to be a part of ALKI. Based on normative juridicial research that has been carried out, Indonesia is not yet ready to establish the east-west as ALKI, but it has a legal obligation to designate such route sooner or later"
2016
S63668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>