Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
London : Elsevier , 2005
618.920 1 ROB
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
James Thimoty
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Penggunaan peripherally inserted central catheter PICC semakin meningkat sesuai kebutuhan bayi prematur dalam pemberian nutrisi parenteral. Penggunaan radiografi standar Rontgen torako abdomen dalam menilai posisi tip PICC yang tepat merupakan baku emas. Namun demikian, radiografi standar tidak selalu akurat dalam memperkirakan posisi tip PICC, tergantung pada posisi ekstremitas dan variasi anatomi masing-masing neonatus, menyebabkan radiasi, membutuhkan biaya yang lebih tinggi, waktu yang lebih lama dan membutuhkan pemeriksaan ulangan apabila posisi tip PICC terlalu dalam masuk ke jantung. Ultrasonografi USG semakin banyak digunakan untuk diagnostik dan prosedur di neonatal intensive care unit NICU karena lebih mudah, aman, murah dan real-time.Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi penggunaan USG dalam menentukan ketepatan posisi tip PICC dibandingkan dengan radiografi standar. Metode. Penelitian ini merupakan studi diagnostik yang dilakukan pada bulan April-Mei 2017 di NICU. Pemasangan PICC menggunakan prosedur standar di NICU dan kemudian posisi tip PICC dievaluasi menggunakan USG sebelum dilakukan radiografi standar. Analisis menggunakan table 2x2 untuk menilai akurasi diagnostik USG dibandingkan radiografi standar dalam menilai posisi tip PICC.Hasil. Sebanyak 29 neonatus termasuk dalam penelitian ini dengan rerata usia gestasi 31,7 minggu 26 sampai 41 minggu dan rerata berat lahir 1618,9 g 600 sampai 3750 g . Kesesuaian antara radiografi standar dan ultrasonografi untuk posisi tip PICC terjadi pada 27 neonatus 93,1 . Sensitivitas ultrasonografi dalam menentukan tip PICC adalah 88,89 , dengan spesifisitas 95 dan ultrasonografi memiliki akurasi diagnostik 93,1 .Simpulan. USG memiliki akurasi diagnostik yang baik untuk mengindentifikasi posisi tip PICC, meminimalkan paparan radiasi dan meminimalkan manipulasi PICC di NICU.Kata kunci: USG, Radiografi, PICC, Neonatus, NICU
ABSTRACT
Background. The use of peripherally inserted central catheter PICC has became increasingly common to facilitate the administration of parenteral nutrition in preterm neonates. The use of standard radiograph X ray of the abdominal thorax in assessing the correct position of peripherally inserted central catheter PICC line tips is a gold standard. However, standard radiograph can not always be accurate depending on the position of the extremities and variations of anatomy of each neonates, cause radiation, require higher cost, longer time and repeat when position is not appropriate. Ultrasound are becoming increasingly use for diagnostic and procedure in neonatal intensive care unit NICU because more easy, safer, cheaper, and real time.Objectives. This study aims to assess the accuracy of ultrasound use in determining the accuracy of PICC tip positions compared to standard radiograph.Methods. This was a diagnostic study to examine the placement of PICC in neonates between April and May 2017 in NICU. PICC were placed using standard procedure in NICU and then position of PICC tip were evaluated using ultrasound immediately before standard radiograph is performed. A 2x2 table was constructed to compare the two modalities ability to detect tip PICC position.Results. A total of 29 neonates were included in this study with mean of gestation of 31.7 weeks 26 to 41 weeks and mean of birth weight 1618.9 g 600 to 3750 g . Concordance between standard radiograph and ultrasound for PICC tip position occurred in 27 neonates 93.1 . Sensitivity of ultrasound in determining PICC tip was 88.89 , with a specificity of 95 and ultrasound had a diagnostic accuracy 93.1 .Conclusion. Ultrasound has a good diagnostic accuracy to indentify tip position of PICC, minimizing exposure of radiation and minimize manipulation of PICC in NICU. Keywords Ultrasound, Radiograph, PICC, Neonates, NICU
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
Abstrak :
Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan. Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS. Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%. Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif. ......Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management. Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program. Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%. Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prishilla Sulupadang
Abstrak :
ABSTRAK
Menyusui masih menjadi kendala pada beberapa ibu yang memiliki neonatus sakit yang sedang mendapatkan perawatan di Rumah Sakit. Efikasi diri menyusui berhubungan dengan durasi menyusui yang berdampak pada keberhasilan ibu dalam menyusui minimal secara eksklusif. Tujuan penelitian ini yaitu teridentifikasinya faktor yang berhubungan dengan efikasi diri menyusui pada ibu dari neonatus sakit yang dirawat di ruang perawatan neonatus. Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional, pada 88 ibu yang direkrut dengan metode consecutive sampling, alat ukur kuesioner BSE-SF cronbach rsquo;s alpha 0,872 dan EPDS cronbach rsquo;s alpha 0,87 versi bahasa Indonesia serta kuesioner yang peneliti kembangkan yaitu dukungan suami cronbach rsquo;s alpha 0,815 , dukungan keluarga cronbach rsquo;s alpha 0,698 , dan dukungan teman cronbach rsquo;s alpha 0,849 . Hasil analisis Chi square menunjukkan bahwa stres merupakan faktor yang berhubungan dengan efikasi diri menyusui pada ibu dengan neonatus sakit p=
ABSTRACT
Breastfeeding remains a constraints on some mothers who have sick neonates who are on treatment at the hospitals. The breastfeeding self efficacy relates to the breastfeeding duration which influences the success of mothers in breastfeeding at least exclusively. The objective of this study is to identify factors that relate with the breastfeeding self efficacy of mothers with sick neonates who are on treatment in the neonatal care room. This study uses Cross sectional design taken from 88 mothers recruited using consecutive sampling method, BSE SF cronbach rsquo s alpha 0.815 and EPDS cronbach rsquo s alpha 0.698 questionnaire measurement tools in the Indonesian language version and questionnaire developed by researcher i.e. husband support cronbach rsquo s alpha 0.815 , family support cronbach rsquo s alpha 0.698 , as well as friend support cronbach rsquo s alpha 0.849 . The analysis result of Chi square shows that stress is a factor that can affect the breastfeeding self efficacy of mothers with ill neonates p 0.01 . Nurses or healthcare officers should watch over the psychological condition of mothers who have sick neonates who are on treatment.
2017
T48113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindita Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Sepsis menjadi masalah karena merupakan salah satu penyebab terbesar kematian bayi prematur. Terdapat beberapa risiko terhadap neonatus yang berhubungan dengan sepsis awitan dini pada neonatal prematur di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo diantaranya adalah Small Gestational Age (SGA), berat badan rendah dibawah 1500 gram, kembar, jenis kelamin, APGAR skor rendah, asfiksia, derajat prematur, intubasi dan gawat janin. Metode: Penelitian ini menggunakan rekam medis sebagai sumber data untuk dianalisis setelah mendapat persetujuan dari komite etik RSCM. Penelitian ini memiliki target untuk mengetahui hubungan bermakna antara risiko neonatus dengan sepsis awitan dini pada neonatus prematur di RSCM dengan penyajian deskriptif dan analisis menggunakan retrospective cohort. Rekam medis berasal dari neonatus yang lahir pada tahun 2020 dan masuk kedalam kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan total 101 sampel dan menggunakan SPSS sebagai software analisis. Hasil: Data deskriptif yang diperoleh mendapatkan hasil dengan neonatus yang lahir pada bulan Desember (23.7%), bertahan hidup (66.3%), hasil kultur positif (10.9%), neonatus dengan kelahiran section cesaria (80.2%), trombosit >100.000/μL (85.1%), nilai CRP <10 mg/dL (80.2%) dan leukosit 4.000 - 34.000/μL (90.1%). Faktor yang berhubungan dalam kejadian sepsis pada prematur adalah intubasi dalam 24 jam setelah bayi lahir menunjukan nilai yang signifikan dengan nilai p sebesar 0.009. Faktor risiko lain yaitu jenis kelamin, SGA, berat badan rendah, asfiksia, APGAR skor rendah, lahir kembar, derajat premature rendah dan gawat janin tidak menunjukan data yang signifikan dalam penelitian ini. Kesimpulan: Ditemukan adanya faktor signifikan yang berhubungan antara sepsis awitan dini pada neonatus prematur dengan tindakan intubasi dalam 24 jam setelah kelahiran. ......Background: Sepsis is one of the deadly causes of death in pre-term neonates has become alarming. Several risk factors towards neonates contribute to the Early Onset Sepsis (EOS) in Cipto Mangunkusumo Hospital. Those are Small Gestational Age (SGA), low birth weight (LBW), twin birth, low APGAR score, gender, birth asphyxia, premature degree category, intubation and fetal distress. Method: This research used the medical record after being approved by the ethics committee CMH. The writer aims to identify the relation between the neonates’ risk factors with EOS in pre-term neonates through this retrospective cohort study by serving the descriptive and analytical data. All the medical records are obtained from 2020 period and incorporated in the inclusion criteria. In this research, there are a total of 101 samples used. The analysis engine utilized in this research is the SPSS software. Results: The demographic data shows that the neonates were mostly born in December 2020 for (23.7%), surviving outcomes (66.3%), positive culture results (10.9%), C section delivery (80.2%), thrombocyte >100.000/μL (85.1%), CRP value <10 mg/dL (80.2%) and leukocyte level 4.000 - 34.000/μL (90.1%). The descriptive data show that intubation within 24 hours ought to be significant as it is supported by the p-value of 0.009. Meanwhile, other risk factors of gender, twin birth, low APGAR score, birth asphyxia, fetal stress, premature degree category, LBW and SGA are not showing the significant number in this research. Conclusion: There is a significant correlation between EOS in pre-term neonates and intubation within 24 hours after birth.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayah
Abstrak :
Neonatus prematur seringkali mengalami gagal napas dan gangguan ventilasi spontan akibat dari kegagalan adaptasi ekstrauterin, sehingga membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Extremely preterm, very preterm, dan kondisi klinis yang kompleks dapat mengakibatkan perlunya dukungan ventilasi mekanis yang berkepanjangan, kadangkadang membutuhkan trakeostomi. Tujuan karya ilmiah ini untuk mengaplikasikan Model Adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan pada neonatus dengan gangguan ventilasi spontan. Desain yang digunakan adalah studi kasus terhadap lima neonatus prematur yang mengalami gangguan ventilasi spontan dengan pendekatan proses keperawatan. Aplikasi Model Adaptasi Roy diimplementasikan untuk meningkatkan respons adaptif dan menurunkan respons inefektif pada empat mode adaptasi fisiologisfisik, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi. Intervensi keperawatan berdasarkan evidence-based nursing practice seperti manajemen ventilasi mekanik, pemantauan respirasi, dan perawatan rutin trakeostomi dengan menggunakan bundel TRACHE-T, serta intervensi lainnya. Pada evaluasi, dua neonatus menunjukkan respons adaptif meningkat dan gangguan ventilasi spontan teratasi. Tiga neonatus lainnya menunjukkan respons inefektif. Respons inefektif tersebut dipengaruhi oleh imaturitas dengan PMA kurang dari 28 minggu pada dua neonatus, dan satu neonatus dengan BPD berat dengan trakeostomi. Edukasi perawatan trakeostomi neonatal dengan menggunakan game terbukti efektif meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat di ruang perinatologi. ......Premature neonates often experience respiratory distress and spontaneous ventilation disorders due to the failure of extrauterine adaptation, which requires mechanical ventilation. Extremely preterm, very preterm, and medically complex infants need prolonged mechanical ventilation support, sometimes tracheostomy. This study aims to apply Roy's Adaptation Model in nursing care for neonates with impaired spontaneous ventilation. We adopted a case study of five premature neonates who experience impaired spontaneous ventilation through a nursing process approach. The application of Roy's Adaptation Model is implemented to increase adaptive responses and reduce ineffective responses there are four adaptation modes: physiological-physical mode, self-concept mode, role function mode, and interdependence mode. Nursing interventions are based on evidence-based nursing practice such as mechanical ventilation management, respiratory monitoring, and routine tracheostomy care using the TRACHE-T bundle, and other interventions. On evaluation, two neonates showed an increased adaptive response and resolved impaired spontaneous ventilation. Three neonates had ineffective responses to impaired spontaneous ventilation that have not resolved. The ineffective response was caused by immaturity at Post-menstrual Age (PMA) less than 28 weeks in two neonates, one neonate with severe BPD, and tracheostomy. Neonatal tracheostomy care education using games has been proven effective in improving the knowledge and skills of nurses in the perinatology ward.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harmon Mawardi
Abstrak :
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang penelitian

Hasil penanganan terhadap penderita dengan sindrom gangguan pernapasan (SGP) dan asfiksia neonatorum sampai saat ini masih belum memadai. Menurut catatan medik di Bagian IAA FKUI-RSCM selama periode Pebruari 1984 sampai Agustus 1987 tercatat sebanyak 265 kasus SGP (± 65 kasus pertahun), yang dirawat di bangsal Infeksi Bayi dan Unit Perawatan Intensif (ICU) neonatus. Angka kematian tercatat sebanyak 70,6% di antara jumlah kasus SGP tersebut. Kematian akibat SGP sebesar 56,86% merupakan jumlah terbesar di antara seluruh penyebab kematian neonatus di SubBagian Perinatologi IRA RSCM (Boedjang dkk., 1981). Sedangkan Karjadi dkk. (1986) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan angka kematian akibat SGP sebesar 92% pada tahun 1984, dan 59% tahun 1985.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa angka kejadian SGP pada neonatus masih tinggi, dengan angka kematian yang tinggi pula (di atas 50%).

Dahulu para ahli kurang memberi perhatian pada anoksia perinatal yang disebabkan oleh SGP atau asfiksia sebagai penyebab timbulnya gangguan fungsi ginjal (Dauber dkk., 1976). Beberapa kematian neonatus dengan SGP ternyata menderita gangguan fungsi ginjal, sehingga diperkirakan ada hubungan antara SGP dan asfiksia dengan fungsi ginjal.

Frekuensi terjadinya asfiksia neonatorum berkisar antara 10-20% (Buku Kuliah IRA, 1985), dengan angka kematian sebesar 56% (Hendarto, 1974 dikutip Kadri, 1982). Sebanyak 78% kasus SGP di ICU berusia di bawah 1 tahun, dan 60% di antaranya terdiri dari neonatus (Rezeki, 1981).

Selanjutnya Perlman dan Tack (1988) pada penelitiannya secara prospektif terhadap 120 kasus asfiksia pada neonatus cukup bulan (NCB) dan neonatus kurang bulan (NKB) mendapatkan adanya hubungan antara oliguria dan terjadinya kelainan neurologik atau kematian.

Stapleton dkk. (1987) melaporkan bahwa di ICU terdapat 8% GGA , dan sebanyak 9 di antara 15 kasus GGA pada neonatus mempunyai riwayat asfiksia perinatal.

Angka kematian GGA pada neonatus berkisar antara 14-73%.

SGP dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus (LFG), dan GGA sering terjadi setelah mengalami asfiksia berat (Dauber dkk., 1976). Autopsi pada satu kasus penyakit membran hialin ditemukan kongesti vaskular dalam ginjal (Laporan Kasus IRA, 1988). Gangguan fungsi ginjal pada asfiksia berat pada umumnya reversibel apabila pemberian oksigen, keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi secara adekuat (Olavarria dkk., 1987). Sebaliknya GGA intrinsic dapat terjadi apabila iskemia berlangsung lama (Brenner dan Rector, 1986). Di Indonesia saat ini belum ada laporan penelitian tentang pengaruh SGP dan asfiksia neonatorun terhadap fungsi ginjal?
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Amardiyanto
Abstrak :
Latar Belakang : Asfiksia neonatorum menyebabkan gangguan multiorgan, salah satunya adalah gangguan ginjal. Belum adanya kesepakatan dalam menentukan gangguan ginjal akut (acute kidney injury, AKI) pada neonatus menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis dan selanjutnya menghambat tata laksana AKI. Acute Kidney Injury Network (AKIN) merekomendasikan kriteria AKI berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan luaran urin. Tujuan : Mengetahui prevalens AKI dengan menggunakan kriteria AKIN pada asfiksia neonatorum, dan mengetahui perbedaan stadium AKI antara asfiksia sedang dan berat. Metode : Studi ini merupakan potong lintang analitik yang berlangsung selama Juli 2012 hingga Januari 2013. Subjek penelitian adalah semua bayi baru lahir usia gestasi >35 minggu dengan asfiksia yang lahir dan dirawat di Divisi Neonatologi RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja. Analisis menggunakan uji hipotesis Chi-square dengan SPSS versi 20. Hasil : Penelitian dilakukan pada 94 subjek yang terdiri atas 70 neonatus asfiksia sedang dan 24 neonatus asfiksia berat. Prevalens AKI berdasarkan kriteria AKIN pada asfiksia neonatorum adalah 63%. Prevalens bayi dengan asfiksia berat dan sedang yang mengalami AKI berturut-turut adalah 21 dari 24 subjek (88%) dan 38 subjek (54%). Prevalens bayi dengan asfiksia berat mengalami AKI stadium 3 yang terbanyak yaitu 14 dari 21 subjek (67%). Stadium AKI yang lebih berat lebih banyak dijumpai pada bayi dengan asfiksia berat dibandingkan asfiksia sedang (P<0,001). Simpulan : Prevalens AKI pada asfiksia neonatorum cukup tinggi. Makin berat derajat asfiksia neonatorum, makin berat stadium AKI. ......Background: Asphyxia neonatorum may result in multiorgan disfunction including renal disfunction. There is no consensus on the determination of acute kidney injury (AKI) in neonates making establishment of the diagnosis and its management difficult. The Acute Kidney Injury Network (AKIN) recommends AKI criteria based on increased serum creatinine level and reduced urine output. Objective: To identify the prevalence of AKI in asphyxiated neonates using the AKIN criteria and to recognize the difference of AKI stadium between moderate and severe asphyxia. Methods: The study was a cross-sectional analytical study, which was conducted between July 2012 and January 2013. The study subjects were all asphyxiated neonates with gestational age of >35 weeks who were delivered and hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital and Koja District Hospital. Analysis was performed by hypothesis Chi-square test using SPSS version 20. Results: Of 94 subjects participated in the study, there were 70 and 24 neonates with moderate and severe asphyxia, respectively. The prevalence of AKI was 63%. The prevalence of neonates with severe and moderate asphyxia who experienced AKI was 21 out of 24 subjects (88%) and 38 subjects (54%), respectively. The prevalence of AKI in neonates with severe asphyxia who had stage 3 AKI was 14 out of 21 subjects (67%). More severe AKI stage was found more common in neonates with severe asphyxia (P<0.001) Conclusions: The prevalence of AKI in neonatal asphyxia is high. The more severe stage of neonatal asphyxia, the more severe the AKI stage
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resita Sehati
Abstrak :
Latar Belakang: Gangguan pernapasan memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada neonatus. Saat ini rontgen toraks merupakan modalitas yang dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis penyakit paru pada gangguan pernapasan. Namun pemeriksaan ini mengandung radiasi yang dapat meningkatkan kejadian kanker pada neonatus di kemudian hari. Lung ultrasound (LUS) merupakan modalitas non-invasif yang terus berkembang dalam mengevaluasi kelainan paru, khusunya pada neonatus. Pemeriksaan ini tidak mengandung radiasi, mudah dioperasikan, dan hasil yang real-time. Meskipun LUS menunjukkan banyak manfaat, penggunaannya masih belum dikenal secara luas, terutama di Indonesia. Tujuan: Mengetahui gambaran LUS pada neonatus dengan gangguan pernapasan berdasarkan hasil rontgen toraks. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif yang dilakukan di Unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebanyak 69 neonatus dengan gangguan pernapasan yang didiagnosis berdasarkan klinis dan rontgen toraks dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan LUS dilakukan secara bedside menggunakan transduser linear frekuensi tinggi (5-18 MHz). Toraks dibagi menjadi 6 regio yang terdiri dari anterior atas, anterior bawah, dan lateral kanan dan kiri. Hasil: Terdapat 69 subjek yang ikut serta pada penelitian ini, terdiri dari 53 neonatus prematur dan 16 neonatus cukup bulan dengan rentang usia 2 jam hingga 38 hari. Hasil pemeriksaan rontgen toraks terdiri dari 26 subjek dengan respiratory distress syndrome (RDS), 20 subjek dengan infiltrat, 11 subjek dengan pneumonia, 6 subjek dengan transient tachypnea of the newborn (TTN), 3 subjek dengan efusi pleura, dan 2 subjek masing-masing dengan meconium aspiration syndrome (MAS), atelektasis, dan pneumotoraks. Terdapat 2 subjek dengan hasil rontgen toraks normal, namun pada LUS memperlihatkan gambaran abnormal yaitu ditemukan pleura abnormal, B-lines, double lung point, dan konsolidasi. Abnormalitas pleura dan konsolidasi ditemukan pada RDS, pneumonia, infiltrat, dan MAS. B-lines ditemukan pada RDS, TTN, pneumonia, infiltrat, dan MAS. Double lung point hanya ditemukan pada TTN. Quad sign sebagai penanda efusi pleura ditemukan pada TTN dan pneumonia. Konsolidasi yang berbatas jelas disertai air bronchogram statis dan lung pulse hanya ditemukan pada atelektasis. Absent lung sliding, lung point dan stratosphere sign hanya ditemukan pada pneumotoraks. Kesimpulan: LUS merupakan modalitas pencitraan non-invasif yang dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis gangguan pernapasan pada neonatus. .....Background: Respiratory distress has high morbidity and mortality rates in neonates. Chest X-ray is a modality considered the gold standard for diagnosing lung diseases in respiratory distress. However, this examination uses ionizing radiation that can increase the incidence of cancer in the future. Lung ultrasound (LUS) is a non-invasive modality that has rapidly developed in recent years in evaluating lung abnormalities, especially in neonates. This examination contains no radiation, easy to operate, and results are real- time. Although LUS shows many benefits, its use is still not widely known, especially in Indonesia. Objective: To determine the LUS sign in neonates with respiratory distress based on chest X-ray. Method: Descriptive cross-sectional research conducted at the Perinatology Unit of the Department of Pediatrics, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. A total of 69 neonates with respiratory distress diagnosed on a clinical and chest X-ray were included in the study. LUS were performed at bedside using a high-frequency linear transducer (5-18 MHz). The thorax is divided into 6 regions consisting of the upper anterior, lower anterior, and right and left lateral. Results: There were 69 subjects who participated in this study, consisting of 53 premature neonates and 16 full-term neonates with an age range of 2 hours to 38 days. The results of the chest X-ray consisted of 26 subjects with respiratory distress syndrome (RDS), 20 subjects with infiltrates, 11 subjects with pneumonia, 6 subjects with transient tachypnea of the newborn (TTN), 3 subjects with pleural effusion, and 2 subjects with meconium aspiration syndrome (MAS), atelectasis, and pneumothorax. There were 2 subjects with normal chest X-ray, but showed abnormal LUS sign, consisting of abnormal pleura line, B-lines, double lung point, and consolidation. Abnormal pleura line and consolidation are found in RDS, pneumonia, infiltrates, and MAS. B-lines are found in RDS, TTN, pneumonia, infiltrates, and MAS. Double lung point is only found in TTN. Quad sign as a marker of pleural effusion is found in TTN and pneumonia. Clearly bounded consolidation accompanied by static air bronchogram and lung pulse is found only in atelectasis. Absent lung sliding, lung point and stratosphere sign are found only in pneumothorax. Conclusion: LUS is a non-invasive imaging modality that can be used to help diagnose respiratory disorders in neonates.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>