Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angie Shabira Permata H
Abstrak :
Latar belakang : Nefritis lupus (NL) memiliki renal outcome yang buruk meliputi, doubling serum kreatinin, atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥ 50% terhadap baseline, atau gagal ginjal terminal. Baik penyakit ginjal kronik maupun gagal ginjal terminal berdampak pada masalah kesehatan global, mortalitas, hospitalisasi, dan beban pembiayaan kesehatan. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi renal outcome yang buruk pada nefritis lupus diharapkan meningkatkan pengelolaan pasien NL dan mencegah perburukan fungsi ginjal. Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode : Studi kohort retrospektif dengan penelusuran rekam medis pasien nefritis lupus yang berobat ke RSCM periode Januari 2011-Juni 2019. Analisis bivariat dilakukan pada faktor anemia, proteinuria, fungsi ginjal, aktivitas penyakit LES baseline, rerata mean arterial pressure (MAP), obesitas, histopatologi, remisi, dan relaps terhadap renal outcome yang buruk pada nefritis lupus selama 3 hingga 5 tahun paska terdiagnosis, menggunakan metode Chi-square. Analisis multivariat dilakukan dengan metode binary regresi terhadap variabel dengan nilai p < 0,25 pada analisis bivariat. Hasil : Didapatkan subjek sebanyak 128 pasien untuk diteliti. Renal outcome yang buruk berupa doubling serum kreatinin, atau penurunan LFG ≥ 50% terhadap baseline, atau gagal ginjal terminal selama follow-up didapatkan sebesar 25% dengan status obesitas (31,6%), rerata MAP ≥ 100 mmHg (45,2%), serum kreatinin baseline ≥ 0,9 mg/dl (21,4%), proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam (38,5%), anemia baseline (23,7%), gagal remisi (78,3%), relaps (48%), aktivitas penyakit LES derajat berat (25,9%), NL proliferatif (32,1%), indeks aktivitas ≥ 12 (80%), dan indeks kronisitas ≥ 4 (45,5%). Faktor-faktor yang memengaruhi renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSCM meliputi rerata MAP ≥ 100 mmHg, proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam, dan gagal remisi dengan RR (IK 95%) masing-masing 2,241 (1,468-3,419), p < 0,001, 1,756 (1,283-2,403), p < 0,001, dan 5,438 (3,268-9,047), p < 0,001. Kesimpulan: Persentase renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSCM sebesar 25% yang dipengaruhi rerata MAP ≥ 100 mmHg, proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam, dan, gagal remisi. ......Background : Lupus nephritis (LN) is associated with poor renal outcomes, such as doubling serum creatinine, or reduced estimated glomerular filration rate (eGFR) ≥ 50% from baseline, or end-stage renal disease. Either chronic kidney disease or end-stage renal disease (ESRD) affect the global health problem, mortality, hospitalization, and medical expenses. Identification of factors that influence poor renal outcome in lupus nephritis might increase the awareness in management of patient with lupus nephritis to reduce health burden due to worsening renal outcome. This study aims to identify factors that influence poor renal outcome in patient with lupus nephritis in an Indonesian tertiary hospital. Methods: Retrospective cohort study tracing medical records in patients with lupus nephritis during January 2011-June 2019. Chi-squared bivariate analysis was conducted among influencing factors; baseline anemia, proteinuria, renal function, disease activity, the time average of mean arterial pressure (MAP), obesity, histopathology, achieving remission, and the occurence of relapse. Binary regression is used in multivariate analysis for variables with p ≤ 0,25 in bivariate analysis. Results: This study consists of 128 patients with lupus nephritis. Poor renal outcome was defined by doubling serum creatinine or reduced eGFR ≥ 50% from baseline or end-stage renal disease. During the follow-up, poor renal outcome was found 25% among obesity (31,6%), the time average of mean arterial pressure (MAP) ≥ 100 mmHg (45,2 %), baseline serum creatinine ≥ 0,9 mg/dl (21,4%), baseline proteinuria ≥ 3,5 g/24 h (38,5%), baseline anemia (23,7%), failure to achieve remission (78,3%), renal relapse (48%), severe disease activity (25,9%), proliferative histopathology (32,1%), activity index ≥ 12 (80%), and chronicity index ≥ 4 (45,5%). The time average of MAP ≥ 100 mmHg, baseline proteinuria 3,5 g/24 h, and failure to achieve remission influenced poor renal outcome in patients with LN consecutively with RR (95% CI) 2,241 (1,468-3,419), p < 0,001, 1,756 (1,283-2,403), p < 0,001, and 5,438 (3,268-9,047), p < 0,001. Conclusion: Poor renal outcome in LN patients in the Indonesian tertiary hospital was 25 % that influenced by the time average of MAP ≥ 100 mmHg, baseline proteinuria ≥ 3,5 g/24 h, and failure to achieve remission.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yaulia Yanrismet
Abstrak :
Purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan vaskulitis pembuluh darah kecil yang paling sering terjadi pada anak dengan prognosis PHS yang umunya baik, namun angka mortalitas dan morbiditas akan meningkat apabila terjadi nefritis Henoch-Schonlein (NHS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejdian dan faktor risiko terjadinya nefritis pada anak dengan PHS. Penelitian ini merupakan sebuah studi kohort retrospektif dengan rekam medis anak usia 1 bulan-18 tahun yang terdiagnosis PHS sesuai kriteria EULAR/PRINTO/PRES 2008 selama periode waktu 9 tahun di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis diikuti minimal 3 bulan untuk melihat faktor risiko terjadinya NHS berdasarkan karakter demografis, klinis, laboratorium dan terapi. Terdapat 112 pasien PHS dengan rentang usia 2-17 tahun dengan rentang usia paling sering adalah 6-12 tahun. Nefritis Henoch-Schonlein didapatkan pada 40 pasien (35,7%) yang terjadi rata-rata pada 14 minggu setelah onset pertama PHS dengan mayoritas terjadi pada 4 minggu pertama. Melalui analisis multivariat, didapatkan bahwa purpura persisten (p=0,011, OR 3,306, IK 95% 1,315-8,31) dan leukositosis pada fase akut (p=0,039, OR 2,585, IK 95% 1,047-6,385) merupakan faktor risiko yang secara bermakna meningkatkan risiko terjadinya NHS. Penggunaan kortikosteroid tidak menurunkan risiko terjadinya NHS pada anak dengan PHS. Akumulasi jumlah faktor risiko meningkatkan jumlah kejadian NHS. Berdasarkan hasi di atas, purpura persisten dan leukositosis pada fase akut merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya NHS. Oleh karena itu selain evaluasi klinis dan urinalisis perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk menilai risiko NHS. ......Henoch-Schonlein Purpura (HSP) is a small blood vessel vasculitis that most often occurs in children with generally good HSP, yet its mortality and morbidity rates will increase if Henoch-Schonlein nephritis (HSN) occurs. This study aimed to identify the proportion and risk factors of nephritis in childhood HSP. This was a retrospective cohort study reviewing medical records of children aged 1 month-18 years diagnosed with Henoch-Schonlein purpura according to EULAR / PRINTO / PRES 2008 criteria during 9 years period at Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical record data were followed for a minimum of 3 months to see risk factors for HSN based on demographic, clinical, laboratory and therapeutic parameters. There were 112 HSP patients with an age range of 2-17 years with the most frequent age range being 6-12 years. Henoch-Schonlein nephritis was found in 40 patients (35.7%) which occurred a median of 14 weeks, and within 4 weeks in the majority of cases. Through multivariate analysis, it was found that persistent purpura (p = 0.011, OR 3.306, 95% CI 1.315-8.315) and leukocytosis in the acute phase (p = 0.039, OR 2.585, 95% IK 1.047-6.3385) were significantly increased the risk of HSN. The corticosteroid use did not reduce the risk of HSN. An accumulation of risk factors increased the risk of HSN. Based on the results, persistent purpura and leukocytosis in the acute phase were significant risk factors for HSN. Therefore, in addition to clinical evaluation and urinalysis, blood tests were also needed to assess the risk of NHS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Kuswandhani Tedjojuwono
Abstrak :
ABSTRAK
"Lupus nephritis" (LN) ialah istilah keterlibatan ginjal pada penyakit otoimum "systemic lupus erythematosus" (SLE) yang gambaran histopatologinya bervariasi. Gambaran histopatologik tersebut menurut klasifikasi WHO dibagi menjadi 6 kelas yang ternyata memiliki prognosis berbeda pula. Penderita LN dengan gambaran histopatologik termasuk kelas IV dan VI memiliki prognosis buruk. Prediksi prognosis LN yang dibuat dengan mengaitkannya kepada klasifikasi gambaran histopatologik menurut WHO tidak selalu tepat, mungkin karena hanya menilai perubahan glomerulus semata. Perubahan gambaran histopatologik LN ditemukan sepanjang perjalanan penyakit. Oleh karena itu variabel patologik lain, yaitu indeks tubulo-intersisial, oleh beberapa peneliti dianggap merupakan parameter lainnya yang dapat dipakai menentukan prognosis LN. Penelitian retrospektif dilaksanakan untuk menilai kaftan indeks tubulo-intersisial dengan prognosis LN menurut klasifikasi WHO. Nilai indeks tubulointersisial diperoleh dari perhitungan skor untuk menilai indeks aktivitas dan kronisitas. Bahan penelitian yaitu sediaan patologi biopsi ginjal yang telah diperiksa di Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sejak tahun 1982 - 1992, dengan diagnosa klinik atau gambaran histopatologik LN.

Selama kurun waktu 10 tahun dijumpai 67 kasus LN, 63 perempuan dan 4 lelaki dengan perbandingan P:L = 16:1. Umur penderita termuda 10 tahun dan tertua 44 tahun (mean:25.24 tahun, s: 9.19). Pengelompokkan gambaran histopatologik 67 penderita LN menurut klasifikasi WHO sebagai berikut: 6(8.96%) penderita kelas I, 6(8.96%) penderita kelas II, 8(11.93%) penderita kelas III, 35(52.23%) penderita kelas IV, 6(8.96%) penderita kelas V, dan 6(8.96%) penderita kelas VL Penderita kelas IV dan VI merupakan kelompok terbesar 41(61.2%) yang menurut klasifikasi WHO berprognosis buruk dan sisanya penderita berprognosis baik 26(38.8%). Nilai skor indeks aktivitas kelompok penderita LN yang berprognosis buruk dan baik sesuai klasifikasi WHO berturut-turut ialah 9.8 dan 4.3. Nilai skor indeks kronisitas dikaitkan dengan hal yang sama ialah 2.8 dan 2.0, sedangkan nilainya indeks tubulo- intersisial ialah 1.6 dan 1.3. Nilai indeks aktivitas dan indeks kronisitas tersebut dengan uji statistik menunjukkan berkaitan bermakna dengan prognosis penderita LN menurut klasifikasi WHO, berturut-turut hasilnya ialah Z = 5.29 dan Z = 3.23. Berbeda dengan nilai dua indeks terdahulu, uji statistik nilai indeks tubulo-intersisial hasilnya tidak bermakna Z = 1.117. Dengan kata lain indeks tubulo-intersisial tidak dapat dipakai sebagai parameter untuk menilai prognosis LN sesuai klasifikasi WHO.

Penelitian ini memperlihatkan jumlah penderita LN lelaki yang jauh lebih sedikit (P:L = 16:1) dibanding hasil peneliti lain(P:L = 13:1). Umur rata-rata penderita LN pada penelitian ini (25 tahun) juga lebih rendah dari hasil peneliti lain (30 tahun). Disarankan untuk melaksanakan penelitian yang lebih luas dalam arti jumlah penderita dan lokasi penelitian guna menerangkan perbedaan umur dan kelamin penderita LN. Keterkaitan indeks aktivitas dan kronisitas dengan prognosis LN menurut klasifikasi WHO dapat dimengerti karena perhitungan skornya berpegang pada perubahan glomerulus. Hal tersebut berbeda dengan perhitungan skor indeks tubulo-intersisial. Penelitian untuk menilai indeks tubulo-intersisial sebagai parameter prediksi prognosis LN perlu dilanjutkan dengan mengkaitkan kepada perubahan gambaran histopatologik sepanjang perjalanan penyakitnya.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Aziza Bawazier
Abstrak :
ABSTRAK
Lupus nephritis (LN) is involvement of the kidney in patient with systemic lupus erythematosus (SLE) and one of the most common target organ in SLE. The diagnosis of LN will significantly impact the clinical outcome and therapy of the patient. Therapy regiment of LN is divided into two stages, induction and maintenance treatment. The main objective of the induction therapy is to achieve complete or partial remission as soon as possible since it is correlated with better prognosis and fewer relapse incidence. In the maintenance stage, the main aim of the therapy is to maintain the remission status and avoid future relapse. It is also important to evaluate the effectiveness of the therapy as it will affect the duration and the regiment therapy being used. Corticosteroid, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, azathrioprine, cyclosporine and tacrolimus are example of drugs used in LN therapy. Currently, studies are being conducted to evaluate and develop targeted drug therapy to further add treatment options for LN.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
610 IJIM 49:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Suryadinata
Abstrak :
Gagal ginjal terminal tergolong penyakit kronik yang mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dan rawat jalan dalam jangka waktu lama. Umumnya penderita tidak lagi dapat mengatur dirinya sendiri dan biasanya bergantung kepada para professional kesehatan. Kondisi ini menimbulkan perubahan atau ketidakseimbangan biopsikososial penderita Hal ini ditandai oleh gejala-gejala emosi yang ditampilkan seperti kuatir, takut dan cemas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami gambaran stres dan perilaku coping pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dan memakai teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data utama serta observasi sebagai metode penunjang. Subyek penelitian adalah penderita gagal ginjal terminal yang sudah menjalani hemodialisis lebih dari setahun, masih bekerja, dan pendidikan minimal SLTA. Subyek penelitian terdiri dari dua orang subyek yang menderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Untuk penelitian ini dipergunakan teori stres dan strategi coping dari Sarafino (1998). Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan analisis yang dilakukan penulis, dapat disirnpulkan bahwa stresor yang dihadapi kedua subyek berasal Bari penyakit gagal ginjal terminal itu sendiri dan upaya coping yang dilakukan adalah gabungan antara emotion focused coping dan problem focused coping. Proses hemodialisis menuntut coping emotion yang efektif dalam bentuk positive reappraisal, dimana kedua subyek berusaha menciptakan dan mencari makna yang positif dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga mampu mengatasi masalah dan situasi yang dihadapi. Proses coping efektif karena adanya dukungan sosial, berupa dukungan emosional (keluarga, teman-teman) dan dukungan instrumental (dana dan jaminan kesehatan). Gagal ginjal terminal bukan hanya membawa dampak fisiologik pada penderita, tetapi juga menghadapkan masalah psikologis dan psikososial, oleh karena itu peneliti ingin memberikan saran praktis. Kepada penderita agar mereka saling berbagi perasaan, mendengar pengalaman penderita GGT lainnya, mencari informasi dan belajar ketrampilan bare dalam mengatasi masalah, menciptakan rasa positif, dan mempertebal iman. Bagi praktisi kesehatan agar memberikan edukasi dan dukungan psikologis, menyiapkan waku cukup untuk konsultasi, dan menjalin kerjasama dengan sejawat lain. Bagi rumah sakit agar membentuk tim khusus dalam mengelola penderita GGT, menyusun program pembelajaran tentang pengetahuan dasar psikologi bagi para medis, membuat rancangan pertemuan bagi keluarga dan penderita GGTuntuk saling berinteraksi. Bagi lembaga sosial agar berkoordinasi dengan berbagai institusi dalam pengumpulan dana untuk menangani penderitapenderita GGT. Saran bagi penelitian lanjutan adalah meneliti tentang dukungan sosial pada penderita GGT, karena berperan penting dalam penyesuaian diri penderita GGT dan meneliti kehidupan spiritual pada penderita penyakit kronis lainya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library