Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dimas Xavier Junian
Abstrak :
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (RAN P4GN) merupakan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengatasi masalah narkotika yang ada di Indonesia. Pada tahun 2019, tersangka narkotika di Indonesia mencapai 52.709 orang, yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia sehingga pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No.6 Tahun 2018 tentang RAN P4GN untuk menanggulangi masalah narkotika tersebut dengan melibatkan seluruh aktor, baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Namun, partisipasi aktor secara penuh belum terlihat dalam RAN P4GN tersebut, hal ini dapat dilihat dari hasil laporan terkahir RAN P4GN yang menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang terlibat belum mencapai 50% dan belum terlihat adanya keterlibatan swasta dan masyarakat dalam laporan tersebut. Penelitian ini mencoba membahas permasalahan pelaksanaan RAN P4GN yang terjadi dari sudut pandang network governance dengan menggunakan teori karakteristik network governance dari Erik-Hans Klijn dan Joop Koppenjan serta teori efektifitas network governance dari Provan dan Milward. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa karakteristik network governance yaitu actor, interaction, institutional features dan network management telah terdapat dalam RAN P4GN tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukan adanya beberapa masalah yang menghambat pelaksanaan RAN P4GN yaitu integrasi seluruh aktor yang belum terjalin dengan baik, alat pengawasan berupa aplikasi yang kurang optimal, stabilitas sistem yang belum menjamin partisipasi aktif dari seluruh aktor dan sumber daya yang belum mencukupi, secara umum masalah ini merupakan tanggung jawab BNN sebagai leading sector dalam RAN P4GN ini.
The National Action Plan for the Prevention and Eradication of Narcotics Abuse and Illicit Trafficking (RAN P4GN) is a policy undertaken by the Government to address the narcotics problem in Indonesia. In 2019, there were 52,709 narcotics suspects in Indonesia, scattered in various regions in Indonesia so that the government issued Presidential Instruction of the Republic of Indonesia Number 6 of 2018 concerning RAN P4GN to tackle the narcotics problem by involving all actors including government, private and community. However, the full participation of actors has not been seen in the RAN P4GN, this can be seen from the results of the latest RAN P4GN report which states that the government agencies involved have not reached 50% and there is no private and community involvement in the report. This study tries to discuss the problems of implementing the RAN P4GN that occur from a network governance perspective by using the characteristics of network governance theory from Erik-Hans Klijn and Joop Koppenjan and the effectiveness of network governance from Provan and Milward. The method used in this research is a qualitative approach with qualitative data collection techniques through in-depth interviews and literature study. The results of this research indicate that the characteristics of network governance, namely actor, interaction, institutional features and network management, are contained in the RAN P4GN. In addition, the results of this research also show that there are several problems that hinder the implementation of the RAN P4GN, the integration of all actors that have not been well established, external control tools in the form of less optimal applications, system stability that has not guaranteed active participation of all actors and insufficient resources. In general, this problem is the responsibility of BNN as the leading sector in this RAN P4GN.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy Riansyah Putra
Abstrak :
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah melakukan perubahan paradigma pembangunan dariCar Oriented Development (COD) menjadi Transit Oriented Development (TOD). Pembangunan tersebut bukanlah suatu perkara mudah sehingga membutuhkan ketelibatan para pemangku kepentingan dalam network governance agar optimal. Namun dari itu, masih kerap ditemukan permasalahan dalam jaringan tata kelola tersebut seperti permasalahan mengenai fleksibilitas tata ruang, pengaturan bangunan, insentif dan disinsentif, serta kelembagaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis network governance dalam pengelolaan kawasan TOD untuk mewujudkan integrasi transportasi di Jakarta dengan menggunakan kerangka network governance dari Mu & de Jong (2016). Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 10 narasumber sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan dari penelitian terdahulu, publikasi lembaga, dan berita terkini sebagai sumber data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan network governance dalam pengelolaan kawasan TOD belum sepenuhnya terimplementasi dengan optimal sesuai kerangka network governance dari Mu & de Jong (2016), karena terdapat tiga indikator yang belum terpenuhi. Ketiga indikator tersebut adalah Kesadaran akan Pluralitas Persepsi, Kepentingan, dan Tujuan; Meta-governance, Manajemen Proses, dan Penataan Jaringan; dan Mencari Kesamaan atau Common Ground. ......The Provincial Government of DKI Jakarta is currently undergoing a paradigm shift in development from Car Oriented Development (COD) to Transit Oriented Development (TOD). This development is not an easy task and requires the involvement of stakeholders in network governance to ensure its optimization. However, issues in the network governance system persist, such as problems related to spatial flexibility, building regulations, incentives and disincentives, and institutional matters. Therefore, this research aims to analyze the network governance in managing TOD areas to achieve transportation integration in Jakarta, using the network governance framework proposed by Mu & de Jong (2016). This study adopts a post-positivist approach with qualitative data collection techniques, including in-depth interviews with 10 informants as primary data sources and literature review from previous research, institutional publications, and current news as secondary data sources. The research findings indicate that the implementation of network governance in managing TOD areas has not fully been optimally executed according to Mu & de Jong's (2016) framework, as three indicators have not been met. These indicators include Awareness of Plurality of Perceptions, Interests, and Objectives; Meta-governance, Process Management, and Network Arrangement; and Searching for Common Ground.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Angelia Putri
Abstrak :
Kebijakan sistem merit merupakan sebuah pendekatan pengelolaan kepegawaian yang berfokus pada kompetensi, kualifikasi dan kinerja. Kebijakan sistem merit memiliki proses formulasi yang dinamis sehingga tercermin dalam implementasinya sejak tahun 2014. Kebijakan Sistem Merit diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Permasalahan seperti pembagian kewenangan yang beririsan hingga distorsi kebijakan menjadi poin penting untuk menilik lebih jauh mengenai proses dalam implementasi kebijakan sistem merit. Berdasarkan implementasinya, kebijakan sistem merit tidak terlepas dari berbagai dinamika yang dikelola oleh empat aktor kelembagaan meliputi Kementerian PANRB, KASN, BKN dan LAN. Oleh karena itu, peneliti membahas implementasi kebijakan melalui proses relasi antar aktor kelembagaan dan faktor yang menentukan keberhasilan dalam menggerakan kebijakan sistem merit. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor yang menentukan keberhasilan relasi antar aktor kelembagaan dan menggambarkan bentuk jaringan dalam implementasi kebijakan sistem merit dalam perspektif network governance yang dikemukakan oleh Provan dan Kenis (2008). Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist. Data yang digunakan berasal dari wawancara mendalam serta beberapa studi kepustakaan pada data sekunder. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pada analisis faktor keberhasilan terdapat empat indikator keberhasilan dalam proses implementasi kebijakan sistem merit, yakni kepercayaan yang kuat, jumlah partisipan yang tidak kompleks, aktor memiliki kondisi yang sama untuk mencapai tujuan bersama, serta kompetensi antar aktor yang saling menguatkan dan kemampuan merespon permintaan eksternal. Selain itu, ditemukan faktor lain yang menjadi kendala yakni, kebutuhan aktor belum dapat diakomodasi dengan baik, konsensus yang belum begitu kuat, penerimaan informasi antar aktor kelembagaan yang belum terdistribusi dengan baik, persamaan persepsi yang belum kuat, kurangnya keterampilan koordinasi antar aktor kelembagaan karena perbedaan persepsi, informasi hingga perilaku ego sektoral. Dapat disimpulkan bahwa relasi aktor kelembagaan dalam proses implementasi kebijakan sistem merit memenuhi karakteristik yang dimiliki pada bentuk shared-governance. Rekomendasi yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah Kementerian PANRB, KASN, BKN dan LAN untuk meningkatkan intensitas koordinasi baik dengan internal maupun eksternal kelembagaan. Adapun kegiatan koordinasi dapat dilakukan setiap masa triwulan untuk memfasilitasi lintas aktor dalam melakukan sinkronisasi kebijakan terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dijalankan. ......Merit system policy is a management approach that focuses on competence, qualification and performance. Merit system policy has a dynamic formulation process that has been reflected in its implementation since 2014. The Merit System Policy is mandated through Law No. 1. 5 of 2014 on the State Civil Apparatus. Problems such as the distribution of authorities that range from policy distortion to policy distortion become important points for further consideration of the process in the implementation of the merit system policy. Based on its implementation, the merit system policy is independent of various dynamics managed by four institutional actors including the Ministry of PANRB, KASN, BKN and LAN. Therefore, researchers discuss policy implementation through the process of relationships between institutional actors and the factors that determine success in mobilizing merit system policies. This study aims to illustrate the factors that determine the success of the relationship between institutional actors and to illustrate the network form in the implementation of the merit system policy in the perspective of network governance proposed by Provan and Kenis (2008). This study used a post-positivist approach. The data used came from in-depth interviews as well as several library studies on secondary data. The findings of this study show that in the analysis of success factors there are four indicators of success in the process of implementing merit system policy: strong trust, non-complex number of participants, actors have the same conditions for achieving common goals, as well as competence between actors that strengthen each other and respond to external requests. In addition, there are other factors that become obstacles namely, the needs of actors cannot be properly accommodated, the consensus that is not yet so strong, the information acquisition between institutional actors that has not been well distributed, the perceptual similarities that have not been strong, lack of coordination skills between institutional actors due to differences in perceptions, information, and sectoral ego behavior. It can be concluded that the institutional actor relationship in the process of implementing the merit system policy meets the characteristics it has in the shared-government form. Recommendations that can be given in this study are the Ministry of PANRB, KASN, BKN and LAN to increase the intensity of coordination with both internal and external institutions. Coordination activities can be carried out every quarter to facilitate cross-actors in synchronizing policies related to the implementation of their duties and functions.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library