Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gita Maria
"Latar belakang: Osteosarkoma merupakan tumor tulang primer ganas tersering yang ditemukan pada anak-anak dan remaja dengan prevalensi mencapai 20% dari seluruh keganasan tulang. Sejak pengenalan kemoterapi neoadjuvan, angka sintasan penderita osteosarkoma meningkat pesat menjadi 50-75%. Respons kemoterapi neoadjuvan selama ini dinilai secara histopatologik melalui operasi, dengan mengevaluasi persentase area nekrosis dibandingkan tumor. Sekuens diffusion weighted imaging (DWI) dan nilai apparent diffusion coefficient (ADC) adalah sekuens magnetic resonance imaging (MRI) untuk menilai restriksi difusi suatu jaringan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mencari korelasi nilai ADC tumor pasca kemoterapi dengan pemeriksaan histopatologik untuk mengevaluasi respons kemoterapi neoadjuvan pada pasien osteosarkoma.
Metode: Pengukuran nilai ADC tumor pada bagian mid, proksimal, dan distal pada MRI pasca kemoterapi neoadjuvan dengan menggunakan freehand range of interest (ROI) pada sekuens DWI dan ADC dengan nilai b 800. Freehand ROI diukur dengan melibatkan jaringan tumor dan nekrotik tanpa jaringan normal. Nilai ADC tersebut dikorelasikan dengan hasil persentase nekrosis dari pemeriksaan histopatologik berdasarkan lokasi sesuai potongan MRI dan laporan hasil operasi yang berupa persentase nekrosis keseluruhan. Analisis dilakukan dengan uji Pearson pada distribusi normal dan uji Spearman pada distribusi tidak normal.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 14 subyek penelitian dengan rerata nilai ADC tumor bagian proksimal sebesar 1,66±0,36x10-3 mm2/s, bagian mid 1,68±0,32x10-3 mm2/s, bagian distal 1,66±0,34x10-3 mm2/s, dan rerata ketiganya 1,67±0,32x10-3 mm2/s. Sedangkan persentase nekrosis keseluruhan sebesar 62,8±26,1%. Nilai ADC tumor bagian proksimal berkorelasi signifikan (p>0,05) dengan persentase nekrosis keseluruhan dengan nilai r sebesar 0,60. Luas penampang tumor pada bagian proksimal mempunyai ukuran yang paling kecil dibandingkan pada bagian mid dan distal.
Kesimpulan: Dari penelitian ini disimpulkan bahwa nilai ADC tumor bagian proksimal pada MRI pasca kemoterapi dan ukuran luas penampang tumor yang kecil berkorelasi dengan respons kemoterapi neoadjuvan pada pasien osteosarkoma.

Background: Osteosarcoma is the most prevalent bone malignancy in children and adolescents, approximately 20% of all bone malignancies. Since the introduction of neoadjuvant chemotherapy, prognosis of osteosarcoma have been improved drastically to 50-75%. Neoadjuvant chemotherapy response has been assessed histopathologically after tumor resection, by calculating percentage of necrotic areas compared to tumor areas. Diffusion-weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) value are magnetic resonance imaging (MRI) sequences to evaluate diffusion restriction in a tissue qualitatively and quantitatively.
Objective: The aim of this study was to seek correlation of post-chemotherapy tumor ADC value and histopathological assessment to evaluate neoadjuvant chemotherapy response in osteosarcoma patients.
Methods: ADC measurement was done in the proximal, middle, and distal part of the tumor by drawing freehand range of interest (ROI) guided by DWI sequence with b value of 800. The freehand ROI was drawn involving the tumor and necrotic area, excluding the normal ones. ADC value was correlated with necrotic percentage in each location according to MRI slices and necrotic percentage of the whole tumor based on the official report. Statistically, the data were analyzed with Pearson’s correlation (in normal distribution data) and Spearman correlation (in abnormal distribution).
Results: There were 14 subjects in this study, with ADC value of 1,66±0,36x10-3 mm2/s (proximal), 1,68±0,32x103 mm2/s (middle), 1,66±0,34x10-3 mm2/s (distal), and mean ADC value of 1,67±0,32x10-3 mm2/s. The necrotic percentage of the whole tumor was 62,8±26,1%. ADC value of proximal part of the tumor correlates significantly (p>0,05) with the necrotic percentage of the whole tumor (r = 0,60). Tumor area in the proximal part was smallest in size than other parts of the tumor.
Conclusion: From this study, it is concluded that ADC value in the proximal part of the tumor in post-chemotherapy MRI and lesser tumor size correlate to neoadjuvant chemotherapy response in osteosarcoma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karunia Ramadhan
"Latar Belakang: Edema peritumoral kerap dihubungkan dengan gejala neurologis dan progresivitas pada glioblasoma. Peran nilai Apparent Diffusion Coefficient (ADC) pada Magnetic Resonance Imaging (MRI), faktor demografi dan gejala klinis dalam memrediksi derajat edema peritumoral masih belum banyak diketahui, sehingga perlu telaah lebih lanjut.
Tujuan: Menilai hubungan nilai ADC intratumoral, faktor demografi dan gejala klinis dengan derajat edema peritumoral.
Metode: Studi crossectional dengan data sekunder di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2014-2022. Seluruh sampel memiliki hasil MRI dengan sekuens DWI-ADC. Setiap variabel bebas dan tergantung dianalisis secara bivariat menggunakan uji Chi-square; untuk variabel bebas dengan nilai p<0,25 dilakukan analisis multivariat. Derajat edema peritumoral pada MRI dibagi menjadi mayor (>1cm) dan minor (<1cm).
Hasil: 78 pasien dianalisis; didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC intratumoral dengan derajat edema peritumoral pada nilai cut off  ≤0,75 x 10-3 mm2/s (p <0,001). Tidak terdapat hubungan antara usia ≤60 tahun, jenis kelamin, sakit kepala, penurunan kesadaran dan papil edema dengan derajat edema peritumoral, sedangkan usia >60 tahun mutlak mengalami edema mayor.
Kesimpulan: Pasien dengan nilai ADC ≤0,75 x 10-3 mm2/s memiliki kemungkinan mengalami edema peritumoral mayor lebih besar.

Background: Peritumoral edema is often associated to neurological symptoms and progression in glioblastoma. The role of the Apparent Diffusion Coefficient (ADC) in Magnetic Resonance Imaging (MRI), demographic and clinical symptoms in predicting the degree of peritumoral edema not much known, so further studies are needed.
Objective: To assess the relationship between intratumoral ADC value, demographic and clinical symptoms with the degree of peritumoral edema.
Methods: Cross-sectional study with secondary data at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in 2014-2022. All samples had MRI with DWI-ADC sequence. Each independent and dependent variable was analyzed bivariately using the Chi-square test; independent variables with p <0.05, multivariate analysis was performed. Peritumoral edema on MRI are divided into major (>1cm) and minor (<1cm).
Results: 78 patients were analyzed; a significant relationship was found between intratumoral ADC value and degree of peritumoral edema at cut-off value of ≤0.75 x 10-3 mm2/s (p <0.001). There is no relationship between age ≤60, gender, headache, loss of consciousness and papilledema with the degree of peritumoral edema, whereas age >60 years has absolute major edema.
Conclusion: Patients with ADC values ≤0.75 x 10-3 mm2/s have a greater likelihood of developing major edema.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Azhima
"Latar Belakang: Nilai ADC pra terapi dari tumor dilaporkan dapat memprediksi respons terapi keganasan. Namun untuk nilai prognostik ADC pra terapi pada karsinoma nasofaring di Indonesia masih belum jelas diketahui.
Tujuan: Melakukan perbandingan nilai rerata ADC serta mendapatkan nilai titik potong ADC pra terapi antara pasien karsinoma nasofaring dengan luaran respons terapi buruk dan respons terapi baik, kemudian menyusun model prediksi respons terapi pasien karsinoma nasofaring dengan melibatkan peran nilai titik potong ADC pra terapi serta variabel lainnya.
Metode: Penelitian dilakukan dengan desain studi pendahuluan kasus kontrol tidak berpasangan menggunakan data sekunder. Jumlah subjek penelitian sebanyak 33 pasien dimana 16 pasien dengan luaran respons terapi buruk sebagai kelompok kasus dan 17 pasien dengan luaran respons terapi baik sebagai kelompok kontrol. Penentuan titik potong nilai ADC pra terapi dilakukan dengan analisis ROC dan perhitungan AUC beserta 95% interval kepercayaannya, lalu dibuat kurva sensitivitas dan spesifisitas. Kekuatan hubungan sebab-akibat diukur dengan menghitung nilai Odds Ratio dengan 95% interval kepercayaan. Penyusunan model prediksi luaran respons terapi dilakukan dengan metode analisis regresi logistik. Batas kemaknaan statistik yang dipergunakan adalah alpha 5%.
Hasil: Didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC pra terapi serta volume tumor dengan luaran respons terapi dengan nilai p 0,000. Nilai titik potong ADC yang optimal sebesar 0,801 x 10-3 mm2/s dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 88,2%. Pasien dengan nilai ADC ≥ 0,801 x 10-3 mm2/s berisiko mengalami luaran respons terapi yang buruk sebesar 52,5 kali lebih tinggi dibandingkan pasien dengan nilai ADC < 0,801 x 10-3 mm2/s. Didapatkan juga nilai titik potong volume tumor yang optimal sebesar 45,7 cm3 dengan sensitivitas 93,8% dan spesifisitas 75%. Pasien dengan volume tumor ≥ 45,7 cm3 berisiko mengalami luaran respons terapi buruk sebesar 36 kali lebih tinggi dibandingkan pasien dengan volume tumor < 45,7 cm3.
Kesimpulan: Nilai ADC pra terapi dan volume tumor dapat dijadikan prediksi luaran respons terapi karsinoma nasofaring. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah subjek yang lebih banyak lagi untuk memperkecil interval kepercayaan 95% odds ratio dan memperkuat hasil yang didapatkan.

Background: Pre-treatment ADC values ​​of tumors are reported to be able to predict the response to malignancy therapy. However, the prognostic value of pre-treatment ADC in nasopharyngeal carcinoma in Indonesia is still unclear.
Objective: To compare the average ADC value and obtain the pre-treatment ADC cut-off value between nasopharyngeal carcinoma patients with poor response and good response to therapy, then develop a prediction model for therapy response to nasopharyngeal carcinoma patients involving the role of pre-treatment ADC cut-off value and other variables.
Methods: The study was conducted with an unpaired case-control preliminary study design using secondary data. The number of study subjects was 33 patients, 16 patients with poor response to therapy served as the case group and 17 patients with good response as the control group. Determination of the cut-off value for pre-treatment ADC values ​​was carried out by ROC analysis and AUC calculations along with their 95% confidence intervals, then sensitivity and specificity curves were made. The strength of the causal relationship is measured by calculating the Odds Ratio value with a 95% confidence interval. The therapy response outcome prediction model was carried out using the logistic regression analysis method. The limit of statistical significance used is alpha 5%.
Results: There was a significant relationship between the pre-treatment ADC value and tumor volume with the therapeutic response outcome with a p value of 0.000. The optimal ADC cut-off value is 0.801 x 10-3 mm2/s with a sensitivity of 87.5% and a specificity of 88.2%. Patients with ADC values ​​≥ 0.801 x 10-3 mm2/s have a 52.5 times higher risk of experiencing a poor response to therapy than patients with ADC values < 0.801 x 10-3 mm2/s. The optimal tumor volume cut-off value of 45.7 cm3 with a sensitivity of 93.8% and a specificity of 75% was also obtained. Patients with a tumor volume ≥ 45.7 cm3 have a 36 times higher risk of having a poor response to therapy than patients with a tumor volume < 45.7 cm3.
Conclusion: Pre-treatment ADC value and tumor volume can be used as an outcome prediction for nasopharyngeal carcinoma therapy response. Further research is needed with a larger number of subjects to reduce the 95% confidence interval of odds ratio and strengthen the results obtained.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afdhal
"Latar belakang: Pemeriksaan MRI pada glioblastoma dapat membantu diagnosis dengan tingkat akurasi tinggi. Nilai ADC pada MRI bisa menjadi indikator prognosis, meskipun belum sering diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk memahami peran nilai ADC dalam meningkatkan prediksi kesintasan pasien glioblastoma.
Tujuan: Mengkaji angka kesintasan pasien glioblastoma yang mendapatkan terapi kemoradiasi serta hubungannya dengan nilai ADC dan faktor lainnya.
Metode: Angka kesintasan dan nilai ADC minimum diambil dari pemeriksaan MRI kepala post-operasi, pre-kemoradiasi pada 20 pasien dari periode 2017 hingga 2023 yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis kesintasan dilakukan dengan metode Kaplan-Meier. Uji Log Rank digunakan untuk mengevaluasi pengaruh faktor-faktor determinan termasuk nilai ADC terhadap kelangsungan hidup.
Hasil: Rerata usia sampel dalam pemelitian ini adalah 43,6 +/- 16,4 tahun. Terdapat 14 pasien laki-laki (70%), dan 6 pasien perempuan (30%). sebanyak 6 pasien (30%) memiliki nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan terdapat 14 pasien (70%) memiliki nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s. Analisis kesintasan memperlihatkan perbedaan median kesintasan hidup pada kelompok nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan < 0,8 x 10-3 mm2/s, yaitu sebesar 12 bulan dan 10 bulan dengan nilai p=0,850.
Kesimpulan: Pasien dengan nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s memiliki tren kesintasan yang lebih singkat dua bulan dibandingkan dengan pasien dengan nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s yang masing-masing median kesintasannya sebesar 10 bulan dan 12 bulan.

Background: MRI examinations for glioblastoma can aid in diagnosis with a high level of accuracy. The Apparent Diffusion Coefficient (ADC) value in MRI can serve as a prognostic indicator, although it has not been widely applied in Indonesia. This study was conducted to understand the role of ADC values in improving the prediction of survival in glioblastoma patients.
Objective: To examine the survival rates of glioblastoma patients undergoing chemoradiation therapy and its relationship with ADC values and other factors.
Methods: Survival rates and minimum ADC values were extracted from post- operative, pre-chemoradiation head MRI examinations of 20 patients meeting the study criteria from the period 2017 to 2023. Survival analysis was performed using the Kaplan-Meier method, and the Log Rank test was employed to evaluate the impact of determinants, including ADC values, on survival.
Results: The mean age of the sample in this study was 43.6 +/- 16.4 years. There were 14 male patients (70%) and 6 female patients (30%). Six patients (30%) had ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s, while 14 patients (70%) had ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s. Survival analysis revealed a median survival difference in the ADC ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s and < 0.8 x 10-3 mm2/s groups, namely, 12 months and 10 months, with a p-value of 0.850.
Conclusion: Patients with ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s had a trend of two months shorter survival compared to patients with ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s whose median survival was 10 months and 12 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Agus Setyawati
"Tujuan: Studi ini merupakan studi MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk menilai hubungan asimetrisitas volume, hiperintensitas T2WI FLAIR dan nilai ADC hippokampus hubungannya dengan lateralisasi kejang. Pemeriksaan MRI sekuens rutin ditambah prosedur khusus pemeriksaan hipokampus yaitu sekuens T2WI Inversion Recovery dan T2WI Fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) dapat menilai volume hipokampus. Sekuens DWI (Diffusion Weighted Image) dan ADC (Appearent Difusion Coeffesient) merupakan pemeriksaan kuantitatif.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder MRI kepala pasien dengan diagnosis epilepsi lobus temporal mesial. Dilakukan pengukuran volume pada potongan koronal sejajar sumbu hippokampus, mulai dari terlihat kepala hippokampus sebanyak 5 irisan. Melihat gambaran hiperintensitas T2WI FLAIR serta mengukur nilai ADC hippokampus dilakukan dengan meletakan ROI pada potongan aksial hippokampus terbesar pada ADC map. Analisis data dilakukan untuk menghitung nilai R Kappa hubungan masing masing variabel dan gabungan variabel.
Hasil: Jumlah subyek penelitian 54 orang, terdapat hubungan asosiasi yang cukup kuat (sedang) dan ipsilateral antara hiperintensitas T2WI FLAIR dan asimetrisitas volume dengan lateralisasi kejang dengan R Kappa sama sebesar + 0.52. Hubungan asosiasi yang lemah dan bersifat ipsi lateral dengan R Kappa + 0.37 antara nilai ADC dengan lateralisasi kejang. Hubungan asosiasi antara asimetrisitas volume dan asimetrisitas nilai ADC adalah kontralateral dengan hubungan asosiasi cukup kuat (sedang). Penentuan lateralisasi lesi dengan MRI pada masing masing variabel memiliki sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi. Hubungan asosiasi gabungan 2 dan 3 variabel adalah cukup kuat (sedang) dan bersifat ipsilateral, dengan nilai R Kappa, sensitifitas dan spesifisitanya yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan masing masing variabel.
Kesimpulan: MRI memiliki peranan penting menentukan lateralisasi kejang. Menilai hubungan dari gabungan 2 dan 3 variabel didapatkan secara statistik lebih besar hubungannya dengan lateralisasi kejang dibandingkan dengan menghubungkan masing masing variabel secara terpisah, sehingga penilaian MRI yang dilakukan untuk ke 3 variabel ini akan lebih menguatkan diagnosis sisi hipokampus yang mengalami kelainan.

Objective: This study is MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) to assess the relationship asymmetry volume, T2WI FLAIR hyperintensity and hippocampal ADC values its relationship with the lateralization of seizures. Routine MRI examination sequences plus a special procedure that hippocampal examination Inversion Recovery sequence T2WI and T2WI Fluid-attenuated inversion recovery ( FLAIR ) can assess hippocampal volume. Sequences DWI ( Diffusion Weighted Image ) and ADC ( Appearent Diffusion Coeffesient ) is a quantitative examination.
Methods: A cross-sectional study using secondary data MRI diagnosis of the patient's head with mesial temporal lobe epilepsy. Volume measurements performed on coronal slice axis parallel to the hippocampus, ranging from the visible head of the hippocampus as much as 5 slices. See picture T2WI FLAIR hyperintensity and measuring the ADC value hippocampus done by placing the ROI on axial cuts at the largest hippocampal ADC map. Data analysis was performed to calculate the value of R Kappa relationship each and combined variable.
Results: There is a fairly strong association relationship (medium) and ipsilateral between T2WI FLAIR hyperintensity volume and asymmetry with lateralization of seizures with R Kappa equal to + 0.52. A weak association relationship and are IPSI lateral with R Kappa + 0.37 between the ADC values with lateralization of seizures. Association relationship between volume and asymmetry value asymmetry ADC is contralateral to the association relationship is strong enough (medium). Determination of lateralization of lesions by MRI in each variable has a fairly high sensitivity and specificity. The combined association relationship 2 and 3 variables are strong enough (medium) and ipsilateral, with a value of R Kappa, sensitivity and spesifisitanya higher than the correlation of each variable.
Conclusion: MRI has an important role determining the lateralization of seizures. Assess the relationship of the combined second and third variables are statistically bigger obtained conjunction with lateralization of seizures compared to connecting each variable separately, so the MRI assessment carried out for 3 to this variable will further strengthen the diagnosis of hippocampal abnormalities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library