Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ignatius B. Prasetya
"Background: the risk of Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is increasing in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia has never been studied before. Data regarding the profile of fibrosis in the population has also been unknown. This study aimed to identify the difference on the profile of diabetic patients with and without NAFLD as well as the degree of fibrosis.
Methods: the study was conducted using a cross sectional method in type 2 diabetic patients who were treated at the outpatient clinic of endocrinology and metabolic division in Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done consecutively. Collected data comprised of age, duration of diabetes, body mass index (BMI), waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C levels. Abdominal ultrasonography was conducted for all patients to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD were subsequently underwent transient elastography in order to assess their degree of liver fibrosis. Chi-square or Fishers Exact tests were used for bivariate analysis and logistic regression was used for multivariate analysis.
Results: as many as 186 patients were analyzed in the study and 84 patients (45.2%) were demonstrated to have NAFLD. Transient elastography examinations were carried out in 68 patients and 17 patients (25.0%) were found with severe fibrosis. Univariate analysis showed significant differences on BMI (PR=1.878; 95%CI= 1.296 2.721; p<0.001) and waist circumference (PR=2.368; 95%CI= 1.117 5.017; p=0.018) between patients with and without NAFLD. However, the multivariate test showed that BMI was the only factor that had a significance difference between both groups (OR=2.989; 95%CI=1.625-5.499; p<0.001).
Conclusion: prevalence of NAFLD among type 2 diabetic patients in Cipto Mangunkusumo Hospital has reached 45.2% and 25.0% among them had severe fibrosis. BMI is the only factor found to be associated with the occurrence of NAFLD.

Latar belakang: risiko non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) meningkat pada pasien dengan diabetes melitus (DM) tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui. Tujuan penelitian ini mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat fibrosisnya. Metode: penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa tubuh (IMT), lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji Chi Square atau Fischer’s-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat. Hasil: sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien (45,2%) terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT (PR=1,878; 95% CI= 1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar pinggang (PR=2,368; 95% CI= 1,117-5,017; p=0,018) antara kelompok NAFLD dan tidak. Namun pada uji multivariat, IMT merupakan satu-satunya faktor yang berbeda bermakna antara kedua kelompok (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Kesimpulan: prevalensi NAFLD pada pasien DM tipe 2 di RSCM mencapai 45,2%, dengan 25,0% di antaranya mengalami fibrosis berat. IMT merupakan satu-satunya komponen dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian NAFLD
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Darmawan
"Background: non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is known to be associated with some metabolic disorders. Recent studies suggested the role of uric acid in NAFLD through oxidative stress and inflammatory process. This study is aimed to evaluate the association between serum uric acid and NAFLD. Methods: a systematic literature review was conducted using Pubmed and Cochrane library. The quality of all studies was assessed using the Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE). All data were analyzed using REVIEW MANAGER 5.3. Results: eleven studies from America and Asia involving 100,275 subjects were included. The pooled adjusted OR for NAFLD was 1.92 (95% CI: 1.66-2.23; p<0.00001). Subgroup analyses were done based on study design, gender, non-diabetic subjects, non-obese subjects. All subgroup analyses showed statistically significant adjusted OR and most of which having low to moderate heterogeneity. Two studies revealed relationship between increased serum uric acid levels and severity of NAFLD. No publication bias was observed.
Conclusion: our study demonstrated association between serum uric acid level and NAFLD. This finding brings a new insight of uric acid in clinical practice. Increased in serum uric acid levels might serve as a trigger for physician to screen for NAFLD.

Latar belakang: perlemakan hati non-alkoholik (PHNA) berhubungan dengan berbagai penyakit metabolik. Penelitian terbaru menunjukkan peranan asam urat pada PHNA melalui proses oksidatif dan inflamasi. Laporan ini bertujuan mengevaluasi hubungan antara kadar asam urat serum dengan PHNA.
Metode: tinjauan pustaka sistematik dilakukan dengan menggunakan Pubmed dan Cochrane library. Kualitas dari setiap studi dikaji dengan menggunakan the Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE). Semua data dianalisis dengan menggunakan REVIEW MANAGER 5.3.
Hasil: didapatkan 11 studi dari Amerika dan Asia yang secara keseluruhan melibatkan 100.275 subjek. Pooled adjusted OR untuk NAFLD adalah 1,92 (95% CI: 1,66-2,23; p<0,00001). Analisis subgroup dilakukan berdasarkan desain studi, gender, subjek non diabetes, subjek non obese. Semua analisa subgroup menunjukkan adjusted OR yang bermakna secara statistic dan heterogenitas yang rendah hingga sedang pada mayoritas analisis subgrup. Dua studi menunjukkan hubungan antara kenaikan serum asam urat dengan tingkat keparahan PHNA. Bias publikasi tidak ditemukan pada laporan ini.
Kesimpulan: laporan ini menunjukkan hubungan antara kadar serum asam urat dengan PHNA. Temuan ini dapat memberikan pandangan yang baru terhadap asam urat dalam praktik klinis. Peningkatan kadar serum asam urat dapat menjadi pemicu bagi dokter untuk melakukan skrining PHNA.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Nursalim
"Aim: to know the effectiveness probiotic in reducing hepatic inflammation among non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) patients.
Methods: we performed literature searching regarding the potential role of probiotic in reducing hepatic inflammation among NAFLD patients.
Results: six articles were finally critically appraised. All six studies had good validity and importance. These studies unanimously reported that probiotic is useful in reducing hepatic inflammation, and liver fat content. However, further evidence is needed to show whether or not probiotic is beneficial reducing cirrhosis progression and liver-related mortality. Conclusion: probiotic owns robust potential to treat NAFLD. Probiotic reduce hepatic inflammation, as shown by the reduction of liver aminotransferase, and inflammatory markers. Based on this evidence based report, probiotic is a promising adjunct therapy for NAFLD.

Tujuan: mengetahui efektifitas peran probiotik dalam menurunkan peradangan pada pasien perlemakan hati non-alkoholik (PHNA).
Metode: dilakukan pencarian literatur terstruktur untuk membuktikan apakah pemberian probiotik dapat mengurangi inflamasi hati pada PHNA. Hasil: enam artikel ditemukan dan ditelaah secara kritis. Semua artikel ini menyimpulkan bahwa probiotik dapat menurunkan peradangan hati, yang terlihat dalam penurunan enzim transaminase. Selain itu, probiotik juga menurunkan kandungan lemak dalam parenkim hati. Namun, apakah probiotik bermanfaat dalam menurunkan progresivitas PHNA menjadi sirosis dan menurunkan mortalitas masih perlu dipelajari oleh penelitian lanjutan. Kesimpulan: probiotik memiliki manfaat dalam penanganan PHNA. Probiotik dapat digunakan sebagai salah satu terapi pendamping pada kasus perlemakan hati non-alkoholik.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2016
610 UI-IJIM 48:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kemas Rakhmat Notariza
"Background: hypothyroidism is a common concomitant disease of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Previous studies regarding the relationship between subclinical hypothyroidism and NAFLD showed conflicting results, ranging from a strong association to not significant one. This case report aimed to investigate the risk of developing NAFLD in subclinical hypothyroidism patients. Methods: literature searching used ScienceDirect, PubMed, ProQuest, and Scopus. Filtering process of titles and abstracts by using inclusion and exclusion criteria yielded 4 eligible articles (1 systematic review, 1 prospective cohort, 1 retrospective cohort, and 1 case-control study) for answering the clinical question. Critical appraisal was conducted by using worksheets from Centre for Evidence-Based Medicine, University of Oxford. Results: the systematic review was considered invalid due to its less comprehensive search for relevant studies, inappropriate article selection to find a causal relationship between diseases, and statistical heterogeneity. The retrospective cohort was decided unimportant because it possessed a relative risk of 0.85 (95% confidence interval [CI], 0.72--1.00) which the upper limit of its CI included 1.00. The rest were valid and had important risk relative and odds ratio (1.27 [95% CI, 1.09--1.47], 3.41 [95% CI, 1.16--9.98]; respectively). The number needed to harm (5 - 17) indicated the clinically meaningful harm of the exposure since only a few patients with subclinical hypothyroidism is needed to obtain one additional NAFLD incidence. Those two articles were also suitable to be applied in our case.
Conclusion: patients with subclinical hypothyroidism, compared to euthyroid patients, are at higher risk of developing NAFLD.

Latar belakang: hipotiroidisme merupakan penyakit penyerta yang sering ditemukan pada pasien dengan penyakit perlemakan ati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease [NAFLD]). Penelitian-penelitian terdahulu mengenai hubungan antara hipotiroidisme subklinis dan NAFLD memperlihatkan hasil yang bertentangan, mulai dari hubungan kuat hingga asosiasi yang tidak signifikan. Laporan kasus ini bertujuan untuk menginvestigasi risiko berkembangnya NAFLD pada pasien hipotiroidisme subklinis.
Metode: penelusuran literatur menggunakan basis data ScienceDirect, PubMed, ProQuest, dan Scopus. Penapisan judul dan abstrak dengan kriteria inklusi dan eksklusi menghasilkan 4 artikel (1 telaah sistematis, 1 kohort prospektif, 1 kohort retrospektif, dan 1 studi kasus-kontrol) yang sesuai untuk menjawab pertanyaan klinis. Telaah kritis dilakukan dengan menggunakan lembar kerja dari Centre for Evidence-Based Medicine, University of Oxford.
Hasil: telaah sistematis dianggap tidak valid karena memiliki penelusuran yang kurang komprehensif terhadap studi-studi terkait, seleksi artikel yang kurang tepat untuk menyimpulkan hubungan kausal antarpenyakit, dan heterogenitas statistik. Kohort retrospektif dinilai tidak penting karena memiliki risiko relatif 0,85 (interval kepercayaan [IK] 95%, 0,72—1,00) yang batas atas IK-nya meliputi 1,00. Dua artikel lainnya valid serta memiliki risiko relatif dan rasio odds yang penting (1,27 [IK 95%, 1,09—1,47], 3,41 [IK 95%, 1,16—9,98]; berturut-turut). Number needed to harm (5—17) mengindikasikan bahaya yang bermakna secara klinis dari pajanan hipotiroidisme subklinis karena hanya sedikit pasien dengan hipotiroidisme subklinis yang dibutuhkan untuk memperoleh tambahan satu insidens NAFLD. Kedua artikel tersebut juga memiliki kemamputerapan yang baik untuk kasus ini. Kesimpulan: pasien dengan hipotiroid subklinis, dibandingkan dengan pasien eutiroid, berisiko lebih tinggi untuk mengalami NAFLD
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zidan Fawwaz Ausath
"Latar Belakang: Prevalensi non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) diprediksi akan terus meningkat selama beberapa tahun ke depan, dimana NAFLD dikaitkan dengan peningkatan asupan lemak dan kolesterol. Pare (Momordica charantia L.) mempunyai berbagai zat aktif yang berperan dalam proteksi hati. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran histopatologi dari tikus yang diinduksi oleh pakan tinggi lemak tinggi kolesterol beserta efek dari pemberian ekstrak pare dan simvastatin terhadap perbaikan kondisi hati tikus.
Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental in-vivo dengan menggunakan hewan coba tikus jantan Sprague-Dawley. Sebanyak 25 ekor tikus dengan berat awal 200- 250 gram dibagi secara acak menjadi 5 kelompok. Seluruh tikus diberikan pakan tinggi lemak tinggi kolesterol selama 3 bulan. Selanjutnya, kelompok kontrol positif diberikan simvastatin dengan dosis 0,9 mg/kgBB, kelompok kontrol negatif tidak diberi perlakuan, sedangkan kelompok dosis 1, dosis 2, dan dosis 3 diberikan ekstrak pare dengan dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB berturut-turut. Setelah 3 pekan, organ hati tikus diambil dan dibuat preparat histopatologi. Sediaan dinilai dengan perbesaran 1x40 sebanyak 5 lapang pandang untuk setiap tikus. Nilai steatosis, ballooning hepatocyte, dan inflamasi lobular dinilai dari setiap lapang pandang dijumlahkan sebagai NAFLD activity score dan dibandingkan antar kelompok.
Hasil: Terdapat gambaran steatosis dan inflamasi lobular pada tikus yang diinduksi pakan tinggi lemak tinggi kolesterol, tetapi belum mencapai gambaran ballooning hepatocyte. Dosis 3 (200 mg/kgBB) mempunyai mean rank NAS yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol dan dosis lainnya yaitu sebesar 9,50. Simvastatin mempunyai mean rank paling rendah dari semua kelompok yaitu sebesar 7,90. Walaupun demikian, perbedaan antar kelompok pada penelitian ini tidak mencapai nilai yang bermakna (p = 0,166).
Kesimpulan: Pemberian pare dengan dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB serta simvastatin 0,9 mg/kgBB selama 2 pekan tidak menunjukkan perbedaan perbaikan kondisi NAFLD pada tikus yang diinduksi pakan tinggi lemak dan tinggi kolesterol yang bermakna secara statistik.

Introduction: The prevalence of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is predicted to continue to increase over the next few years, where NAFLD is associated with
increased fat and cholesterol intake. Bitter gourd (Momordica charantia L.) has various active substances that play a role in liver protection. This study aims to look at the histopathological picture of mice induced by high-fat, high-cholesterol diets along with the effects of administering bitter melon extract and simvastatin on improving the liver condition of mice.
Method: This research is an in-vivo experimental study with using male Sprague-Dawley rats. A total of 25 rats with an initial weight of 200-250 grams were randomly divided into 5 groups. All rats were given a high-fat, high-cholesterol diet for 3 months. Furthermore, the positive control group was given simvastatin at a dose of 0.9 mg/kgBW, the negative control group was given no treatment, while the group dose 1, dose 2, and dose 3 were given bitter melon extract at a dose of 50 mg/kgBW, 100 mg/kgBW, and 200 mg/kgBW consecutively. After 3 weeks, the rat livers were taken and histopathological preparations were made. The preparations were assessed at 1x40 magnification for 5 visual fields for each rat. The steatosis, hepatocyte ballooning, and lobular inflammation values assessed from each visual field were summed as a NAFLD activity score and compared between groups.
Results: There was a picture of steatosis and lobular inflammation in rats induced by a high-fat, high-cholesterol diet, but it did not reach the stage of ballooning hepatocyte . Dose 3 (200 mg/kgBW) had a lower mean NAS rank compared to the control group and other doses, namely 9.50. Simvastatin had the lowest mean rank of all groups, namely 7.90. However, the difference between groups in this study did not reach a significant value (p = 0.166).
Conclusion: The administration of bitter melon at doses of 50 mg/kg body weight, 100 mg/kg body weight, and 200 mg/kg body weight, along with simvastatin at 0.9 mg/kg body weight for two weeks, did not show statistically significant differences in the improvement of NAFLD conditions in rats induced by a high-fat and high-cholesterol diet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Permata Bastian
"Latar Belakang : Disbiosis mikrobiota usus dianggap berperan pada progresifitas NAFLD. Penelitian mengenai mikrobiota usus pada pasien NAFLD masih sedikit dan menunjukkan hasil yang berbeda.
Tujuan : Mengetahui profil mikrobiota usus pada pasien NAFLD dengan derajat fibrosis hati.
Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang, dengan menggunakan sampel pasien NAFLD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, periode waktu Maret – Juli 2018. Pemeriksaan sampel feses secara konsekutif dilakukan dengan menggunakan alat isolasi DNA (Tiangen) dan quantitative real-time polymerase chain reaction (Fast 7500) untuk menghitung jumlah mikrobiota dinyatakan dalam copy number DNA/gram feses (Bacteroides, Lactobacillus and Bifidobacteria). Sedangkan pemeriksaan fibrosis hati dengan menggunakan alat transient elastography (FibroScan® 502 Touch). Analisis statistik dilakukan menggunakan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil : Dari 60 pasien NAFLD, didapatkan 35 pasien dengan fibrosis non signifikan dan 25 pasien dengan fibrosis signifikan. Kebanyakan pasien merupakan penderita diabetes melitus (85%), dislipidemia (58,3%), obesitas (58,3%), dan obesitas sentral (90%). Didapatkan jumlah Bacteroides (483.000 kopi unit DNA/gram feses) paling banyak dibandingkan dengan Lactobacillus (100.800 kopi unit DNA/gram feses) dan Bifidobacteria  (12.110 kopi unit DNA/gram feses). Dari ketiga mikrobiota tersebut terdapat peningkatan bermakna proporsi Bacteroides pada kelompok fibrosis signifikan (81%) dibandingkan dengan fibrosis non signifikan (19%). Begitupula dengan Lactobacillus yang jumlahnya lebih banyak pada fibrosis signifikan. Sedangkan pada Bifidobacteria, proporsi pada fibrosis signifikan lebih rendah dibandingkan fibrosis non signifikan.
Simpulan : Terdapat perubahan komposisi mikrobiota usus pada pasien NAFLD. Proporsi Bacteroides juga meningkat pada kelompok fibrosis signifikan.

Background: Dysbiosis of the gut microbiota has been considered to have a role in NAFLD progression. However, there is still lack of studies regarding this phenomenon.
Aim of the study: To find the difference of gut microbiota profile in NAFLD patient based on the stages of liver fibrosis.
Patients and Methods: A cross sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital which is the largest tertiary refferal center hepatobiliary outpatient’s clinic. Human fecal samples from NAFLD patients who came to outpatient clinic were collected consecutively. The stool sample examination was performed using isolation DNA kit (Tiangen) and quantitative real-time polymerase chain reaction (Fast 7500) was used to measure total bacterial counts (Bacteroides, Lactobacillus and Bifidobacteria). Clinical and laboratory data, Food Frequency Questionare (FFQ) were also collected. The stage of fibrosis were diagnosed based on transient elastography (FibroScan® 502 Touch). Statistical analysis including bivariate analysis were performed using SPSS version 20.
Results: Of 60 human fecal samples, there are 35 patients had non significant fibrosis and 25 patients had significant fibrosis and consist of 46.7% male and 53.3% female with the median age is 56 years old. Most patient have diabetes (85%) dyslipidemia (58.3%), obesity (58.3%), and central obesity (90%).  The Bacteroides count (483000) was higher when compared to Lactobacillus (100800) and Bifidobacteria (12110). Of these three microbiota, the proportion of Bacteroides was higher in significant fibrosis group when compared to non significant fibrosis group. Patient with significant fibrosis was also has a higher proportion of Lactobacillus compared to non significant fibrosis group (7000 vs 2050). In contrast, the proportion of Bifidobacteria was lower in significant fibrosis group (22) when compared to non significant fibrosis group (95).
Conclusion: There is a dysbiosis of gut microbiota in NAFLD patients. Bacteroides as a gram-negative microbiota that produces LPS is significantly increased with fibrosis stage, that may play a role in NAFLD progression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Alward Herdiman
"Resistensi insulin (IR) yang terjadi pada pasien pengidap diabetes melitus tipe 2 dapat berkembang menjadi Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Proses inflamasi, resistensi insulin, dan meningkatnya level free fatty acid (FFA) menyebabkan apoptosis pada sel hati yang diaktivasi oleh jaras c-jun terminal kinase (JNK) yang akan mengekspresikan gen Bax sebagai protein pro-apoptosis. Selama ini pengobatan NAFLD yang di induksi dari resistensi insulin menggunakan metformin, namun pengobatan dengan metformin menyebabkan efek samping pada lambung. Diketahui alpha-mangostin (α-MG) memiliki efek anti-apoptosis yang baik. Maka dari itu, penelitian ini ingin meneliti apakah efek anti-apoptosis α-MG dan metformin dapat menekan perkembangan NAFLD, khususnya pada ekspresi gen Bax. Penelitian ini dilakukan dengan cara in vivo di lab menggunakan jaringan liver dari tikus berjumlah dua puluh empat tikus Wistar jantan berusia 10-12 minggu. Group dibagi menjadi; 1) normal/kontrol, 2) kontrol dengan pemberian α-MG 200 mg/Kg BB, 3) NAFLD 4) NAFLD dengan metformin 200 mg 5) NAFLD dengan α-MG 100 mg/Kg BB 6) NAFLD dengan α-MG 200 mg/KgBB. Ekspresi gen Bax akan dibaca menggunakan qRT-PCR. Dari data yang diambil, ditemukan bahwa pemberian metformin 200 mg dan α-MG 100 mg/Kg BB dapat mengurangi ekspresi gen Bax secara signifikan (P<0.05). Namun, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada pemberian α-MG 200 mg/Kg BB dibandingkan dengan α-MG 100 mg/Kg BB pada tikus NAFLD (P>0.05). Pemberian α-MG sama baiknya dengan metformin. Hal tersebut dapat disimpulkan karena pemberian α-MG dan metformin mampu mengurangi ekspresi gen Bax secara signifikan sehingga tingkat apoptosis dapat berkurang.

Insulin resistance (IR) that occurs in type 2 Diabetes Mellitus can further develop into Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Inflammation, insulin resistance, and the increase of free fatty acid (FFA) level cause hepatocyte apoptosis by activating c-jun terminal kinase (JNK) that latter express Bax gene as pro-apoptotic protein. Metformin is utilized as NAFLD’s primary medication. However, it is known that it causes side effects such as GI disturbance. It is known that alpha-mangostin (α-MG) has shown an excellent anti-apoptotic effect. Hence, this research aims to analyze the anti-apoptotic effect of α-MG and metformin in suppressing NAFLD development, specifically in Bax genes expression. This research is an in vivo experimental laboratories research with a rats’ liver model. Twenty-four rats’ liver model of 10-12 weeks old male Wistar were grouped as; 1) Normal/control, 2) control treated with α-MG 200 mg, 3) NAFLD, 4) NAFLD treated with metformin 200 mg, 5) NAFLD treated with α-MG 100 mg/Kg BW, 6) NAFLD treated with α-MG 200 mg/Kg BW. Data will be analyzed using qRT-PCR. The result showed that giving metformin 200 mg and α-MG 100 mg/Kg BW reduce expression of the Bax gene significantly (P<0.05). However, there is no significant difference in giving α-MG 200 mg compared with α-MG 200 mg/Kg BW in NAFLD rats. Giving α-MG is as effective as metformin as both α-MG and metformin reduce Bax gene expression significantly until the rate of apoptosis is reduced."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library