Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Kohar
"Pada proses bubut, terjadi pergeseran antara benda uji dengan pahat. Akibat daripergeseran tersebut, maka pada permukaan benda uji akan mengalami panas yang cukuptinggi. Dengan demikian sifat kekerasan akan berubah. Dalam penelitian ini, benda ujiadalah baja karbon menengah yang dibubut dengan variabel kedalaman potong 0,5 mm,1,0 mm, 1,5 mm dan kedalaman potong 2 mm. Sedangkan putaran mesin dibuat konstan100 rpm. Kemudian benda uji tersebut dilanjutkan dengan proses perlakuan normalizingpada suhu 850oC yang ditahan selama 15 menit, dan dilanjutkan dengan pendinginan diudara terbuka. Hasil penelitian diperoleh bahwa, nilai kekerasan permukaan benda uji tanpaproses bubut lebih rendah dibandingkan dengan benda uji yang mengalami proses bubut.Dengan mempertebal proses penyayatan maka nilai kekerasan cenderung meningkat.Peningkatan nilai kekerasan dapat ditandai dengan perubahan warna pada geram dari warnaputih menjadi abu-abu. Ini menunjukkan bahwa energi yang diserap benda uji sangat besar.Dengan proses normalizing pada benda uji, maka kekerasannya akan mendekati kekerasanbenda uji asal yang belum diproses bubut."
Palembang: Fakultas teknik Universitas tridinanti palembang, 2014
600 JDTEK 2:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marsudiyono
"Latar belakang dalam tesis ini adalah kegagalan peralatan scrubber di Kamojang unit 5 yang merupakan peralatan penting dalam produksi penunjang listrik dari panas bumi. Tujuannya untuk mencari penyebab kegagalan scrubber, dan memberikan rekomendasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Metode yang digunakan untuk evaluasi kegagalan ini adalah pengumpulan data, inspeksi visual, uji laboratorium, dan analisis. Penentuan root cause failure analysis (RCFA) dari patahnya bottom head bejana tekan scrubber dilakukan analisa kerusakan dengan menggunakan metode diagram tulang ikan. Faktor penyebab rusaknya scrubber pada bottom head didasarkan pada tahapan analisis kegagalan yaitu kandungan uap fluida yang menyebabkan korosi dan erosi. Beberapa senyawa kimia tersebut adalah kandungan Fe yang tinggi, yang digunakan dari sumur dengan jumlah di atas 0,1 ppm, kadar Cl- di atas 0,1 ppm, dan kadar H2S yang tinggi. Selanjutnya yang kedua adalah pengaruh vortex pada area bottom head scrubber yang mengalami erosi yang dibuktikan dengan berkurangnya ketebalan di sekitar bottom head, dan tumbukkan fluida yang dilihat dari asumsi CFD (Computational Fluid Dynamics) menyebabkan terjadinya stress corrosion cracking. Adanya daerah retak dibuktikan dengan adanya garis selip pada butir material, adanya rekahan intergranular, dan juga campuran rekahan getas dan daktail tarik. Selanjutnya, kemungkinan penyebab keretakan pada bottom head scrubber adalah terjadinya tegangan sisa akibat proses cold forming dimana tidak dilakukan perlakuan panas, misalnya normalisasi. Selain itu, juga tidak dilakukan Post Weld Heat Treatment (PWHT) bagian luar dinding scrubber secara sempurna setelah pengelasan pada penyangga scrubber yang dapat menimbulkan tegangan sisa yang mempengaruhi kekuatan material terutama pada Heat Affected Zone (HAZ). Direkomendasikan untuk menghindari kegagalan scrubber dengan melakukan normalisasi perlakuan panas setelah cold forming untuk menghilangkan mikrostruktur yang tidak homogen dan mengurangi tegangan sisa, atau alternatif lain adalah penggunaan bahan yang lebih tahan korosi. Melakukan pemantauan Post Weld Heat Treatment (PWHT) secara sempurna selama proses pengelasan terkait temperatur dan waktu. Pelepasan vortex breaker akan lebih baik, menyediakan windows inspection untuk memantau ketebalan dari scrubber yang bisa dijangkau dan akses yang mudah.
......The background in this thesis is the failure of the scrubber equipment in Kamojang unit 5 which is an important piece of equipment in the production of electricity support from geothermal. The aim is to find the cause of the failure of the scrubber, and provide recommendations so that similar incidents will not happen again. The methods used for this failure evaluation are data collection, visual inspection, laboratory tests, and analysis. The determination of the root cause failure analysis (RCFA) of the bottom head break of the vessel pressure scrubber is presented using fish bone diagram techniques. The factors causing the scrubber to break at the bottom head are based on the stages of failure analysis, namely the content of fluid vapor that causes corrosion and erosion. Some of those chemical compounds are the high Fe content of the well-used, which is above 0.1 ppm, levels of Cl- above 0.1 ppm, and high levels of H2S. The second is the effect of the vortex at the bottom head scrubber area undergoing erosion as evidenced by the thickness reduction around the bottom head, and fluid collision seen from the CFD (Computational Fluid Dynamics) assumption leading to stress corrosion cracking. The presence of a cracked area is evidenced by the presence of slip lines on the material grains, the presence of intergranular fractures, and also a mixture of brittle and tensile ductile fractures. Furthermore, the possible cause of cracks in the bottom head scrubber is the built-up of residual stress due to the cold forming process where no heat treatment was carried out, for example normalizing, then the Post Weld Heat Treatment (PWHT) was not carried out after welding on the skirt scrubber which can cause residual stress that affects the strength of the material, particularly in the Heat Affected Zone (HAZ). It is recommended to avoid the failure of the scrubber by conducting normalizing heat treatment after cold forming to remove unhomogen microstructure and reduce residual stress, or another alternative is the use of more corrosion-resistant materials. Perfectly monitor Post Weld Heat Treatment (PWHT) during the welding process regarding temperature and time. Vortex breaker discharge is improved, providing windows inspection to monitor the thickness of the scrubber within reach and easy access."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adani Khairina Hakimah
"

Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mikrostruktur, ukuran butir austenit awal, dan kekerasan di bawah pengaruh proses normalisasi dengan variasi waktu tahan pada baja HSLA hasil coran sebagai upaya pencegahan delayed crack akibat transformasi fasa untuk aplikasi bucket tooth. Normalisasi dilakukan pada suhu 970oC dengan waktu tahan selama 45 menit, 60 menit, 75 menit, dan 90 menit dan laju pemanasan 10oC/menit. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa mikrostruktur yang dihasilkan berupa bainit pada matriks bainit atau daerah gelap serta struktur martensit dan martensit-austenit sisa pada daerah gelap atau transformation zone. Semakin bertambahnya waktu tahan maka akan dihasilkan ukuran butir yang semakin besar namun diikuti oleh semakin tingginya nilai kekerasan sebab ada penghalusan butir secara intragranular serta semakin besarnya persentase area transformation zone. Waktu tahan selama 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit secara berturut-turut menghasilkan ukuran butir 5.06 mm, 5.14 mm, 5.08 mm, 5.20 mm dan nilai kekerasan sebesar 355 VHN, 369 VHN, 376 VHN, dan 385 VHN. Serta didapatkan pula kenaikan persentase area transformation zone dengan nilai 8.27%, 10.222%, 10.787%, dan 11.7%.

 


This research investigated microstructures, prior austenite grain sizes, and hardness under the influence of normalizing process with various holding time parameters on high strength low alloy (HSLA) steel castings for bucket tooth excavator application in order to prevent delayed crack due to phase transformation. Normalizing process was carried out at 970oC with holding time of 45 minutes, 60 minutes, 75 minutes, and 90 minutes by heating rate of 10oC /min. The result of this research shows that the obtained microstructures consisted of bainite in bainite matrix also retained austenite and martensite-retained austenite was found in transformation zone structures. Increasing holding time produced larger grain size but followed by the higher value of hardness due to larger percentage area of transformation zone and also intergranular nucleation which caused grain refinement. The holding time of 45 minutes, 60 minutes, 75 minutes, 90 minutes respectively produced grain sizes of 5.06 mm, 5.14 mm, 5.08 mm, 5.20 mm and hardness values of 355 VHN, 369 VHN, 376 VHN, and 385 VHN. Transformation zone also increased by values of 8.27%, 10.222%, 10.787%, and 11.7%.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library