Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulkarnaini
"Latar Belakang Kombinasi penggunaan antikoagulan dan antiplatelet mengurangi kejadian kardiovaskular mayor pada pasien dengan sindroma konorer akut. Oleh karena itu kami membandingkan dua anti koagulan enoxaparin atau fondaparinux dalam menurunkan KKM pada pasien NSTEMI pengamatan 1 tahun. Metode Kami, meneliti secara konsekutif pada pasien NSTEMI, dari registri sindroma konorer akut januari 2008 hingga desember 2009. Sebanyak 450 pasien NSTEMI yang mendapat enoxaparin ( 60 mg, 2x sehari) atau fondaparinux (2,5 mg 1 x sehari ), dimana sebanyak 388 masuk kriteria inklusi dan dilakukan pengamatan dilakukan pengamatan sampai dengan 1 tahun. Hasil 388 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, pasien yang mendapat enoxaparin sebanyak 168 dan yang mendapat fondaparinux 220 pasien yang mengalami kejadian kardiovaskular mayor setara kedua kelompok ( 40 dengan enoxaparin (23.1%) vs 42 dengan fondaparinux (19.1%); HR 0.76 (0.49-1.19; P=0.222 ). Kesimpulan Tidak ada perbedaan dalam kejadian kardiovaskular mayor pada pasien NSTEMI yang mendapat enoxaparin atau fondaparinux pada pengamatan 1 tahun.

Background Combination use of anticoagulant and antiplatelet reduce major cardiovascular events in patients with acute coronary syndrome. Therefore, we compared two anti-coagulant enoxaparin or fondaparinux in reducing MACE in NSTEMI patients for 1 year of observation. Method We, examining consecutive NSTEMI patients from acute coronary Syndrome Registry in january 2008- December 2009. A total of 450 patients with NSTEMI who received enoxaparin (60 mg, twice daily) or fondaparinux (2.5 mg daily), where the total of 388 entered the inclusion criteria and were examined conducted observations up to 1 year. Results From 388 patients that matched the inclucion criteria, 168 patiens were given enoxaparin while 220 patients were given fondaparinux. The number of patients undergoing major cardiovascular events equivalent to-2 groups ( 40 with enoxaparin (23 .1 %) vs 42 with fondaparinux (19.1 %) ; Hazard Ratio 0.76 ( 0.49-1.19 ; P=0.222 ). Conclusion There was no difference in major cardiovascular events in patients with NSTEMI who received enoxaparin or fondaparinux on the observation of 1 year.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58344
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Arifin
"Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan subset tanpa elevasi segmen ST yang terdiri dari APTS dan NSTEMI mempunyai spektrum Minis yang luas dan memiliki prognosis serta tingkat risiko morbiditas.dan mortalitas yang sangat beragam. Subset SKA ini juga memiliki angka kejadian kardiovaskuler yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subset SKA dengan elevasi segmen ST.
Dilakukan analisa data dari INDORACE untuk mengetahui karakteristik penderita, kejadian kardiovaskuler (angina berulang, infark / infark ulang, gagal jantung, sehingga memerlukan tindakan revaskularisasi dan kematian) selama masa perawatan di rumah sakit. Melakukan skoring penderita menurut skor TIMI sehingga penderita dibagi dalam dua golongan (=kategori) dan mencari besarnya persentase kejadian kardiovaskuler pada penderita dengan kategori risiko tinggi maupun rendah.
Dari hasil analisa, diperoleh data sebagian besar penderita adalah pria 72 (77,4%). Penderita APTS 65 (69,9%) kasus dan NSTEMI 28 (30,1%) dan usia rata-rata penderita 56,55 ± 9,72 tahun. Dibandingkan dengan beberapa hasil survei di luar negeri, usia rata-rata penderita dalam penelitian ini lebih muda antara 8-10 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna antara usia rata-rata penderita pria dan wanita, sedangkan usia rata-rata penderita wanita di luar negeri lebih tua 10 tahun dibandingkan dengan laki-laki.
Untuk faktor risiko PJK berdasarkan urutan persentase tertinggi sampai terendah meliputi: hipertensi 55,9%, dislipidemia 48,4%, merokok 43%, diabetes melitus 31,2% dan faktor keluarga 20,4%. Beberapa hasil survei di luar negeri juga menunjukkan faktor risiko hipertensi adalah yang tertinggi persentasenya. Untuk faktor risiko merokok pada penderita wanita dalam penelitian ini adalah yang terendah presentasenya, sedangkan data dari luar negeri presentasenya jauh Iebih tinggi. Untuk faktor risiko diabetes melitus persentase penderita wanita mencapai > 2 kali dibaridingkan dengan penderita pria.
Persentase kejadian kardiovaskuler selama perawatan adalah sebesar 29,03%, Kejadian kardiovaskuler selama masa perawatan di rumah sakit untuk penderita dengan kategori risiko tinggi ( skor TIMI > 4) adalah 66,8%, sedangkan untuk penderita dengan risiko rendah ( skor TIMI < 4 ) sebesar 33,3%.

Acute Coronary Syndrome (ACS) with subset non-ST segment elevation consists of unstable angina pectoris and non-ST segment elevation myocardial infraction (NSTEMI). This subsets of ACS has a wide clinical spectrum, prognostic and also has heterogeneous morbidity and mortality rate. This subsets of ACS also represents higher cardiovascular events than ACS with subset ST segment elevation (STEM!).
We analyze data from INDORACE (Indonesia Registry of Acute Coronary Events) to describe the baseline characteristics of the patients and cardiovascular events (recurrent angina, reinfarction, congestive heart failure that needs revascularization and death). We use TIMI risk score to divide the patients into two categorized, the high risk and low risk, and we search the percentage of cardiovascular events in each categorized.
Result of the analyze shows that most of the patients are male 77,4%, unstable angina pectoris 66,9%, NSTEMI 30,1% and the mean age of all patients was 56,55 f 9,72 years. Compared to other studies in foreign countries mean age of patients in this study is 8-10 years younger. We found no significants differences of age between male and female in this study, but mean age in other studies represent female is 10 years older or more than male.
The percentage risk factors of coronary artery disease are: hypertension 55,9% (the highest), dyslipidemia 48,4%, smoker 43%, diabetes mellitus 31,2 % and family history 20,4%. Other studies in foreign countries show that the highest percentage is also hypertension.
This study shows that female smokers are at the lowest percentage; however, some studies show that they are at a high percentage. Female who sufferer diabetes mellitus has the percentage twice or more than male in this study.
The total cardiovascular events was 29,03%, cardiovascular events in high risk patients is 66,8% and low risk is 33,3%.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ulil Amri
"Tirah baring dan imobilisasi berkepanjangan pasca percutaneous coronary intervention (PCI) erat kaitannya dengan berbagai komplikasi dan prevalensi mortalitas yang tinggi di rumah sakit. Salah satu internvesi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi akibat tirah baring pasca PCI adalah mobilisasi dini. Studi kasus dilakukan pada perempuan usia 60 tahun dengan NSTEMI. Dalam upaya untuk mempercepat pemulihan pascabedah, penulis menerapkan intervensi mobilisasi dini pada pasien. Pola mobilisasi yang diklasifikasikan sebagai tirah baring, semi-fowler, duduk, perpindahan ke kursi, dan berdiri/berjalan didokumentasikan oleh perawat selama pemberian asuhan. Intervensi dilakukan dalam 5 hari, sejak pra-PCI hingga 2 hari pasca PCI. Penulis menganalisis terhadap proses asuhan keperawatan mencakup analisis penerapan intervensi mobilisasi dini. Hasil evaluasi setelah penerapan intervensi mobilisasi dini antara lain peningkatan skala mobilitas pasien, tidak ada sesak selama latihan mobilisasi, tidak ada peningkatan nyeri pasca PCI, tidak terjadi jatuh saat proses ambulasi, kekuatan otot dan rentang gerak pasien dipertahankan, serta tidak adanya komplikasi berat pasca PCI selama penerapan mobilisasi dini. Berdasarkan temuan tersebut, penerapan mobilisasi dini secara bertahap pasca PCI dapat meningkatkan tingkat mobilitas dan tidak menimbulkan komplikasi pada pasien.

Bed rest and prolonged immobilization after percutaneous coronary intervention (PCI) are closely related to various complications and a high prevalence of mortality in hospital. One of the disease interventions that can be done to prevent complications due to bed rest after PCI is early mobilization. The case study was conducted on a 60 year old woman with NSTEMI. In an effort to speed up postoperative recovery, the authors implemented early mobilization interventions for patients. Movement patterns classified as bed rest, semi-Fowler's, sitting, transferring to a chair, and standing/walking were documented by the nurse during care delivery. The intervention was carried out within 5 days, from pre-PCI to 2 days post-PCI. The author analyzes the maintenance process including analysis of the implementation of early mobilization interventions. Evaluation results after implementing early mobilization interventions include an increase in the patient's mobility scale, no shortness of breath during mobilization exercises, no increase in pain after PCI, no falls during the ambulation process, the patient's muscle strength and range of motion are maintained, and the absence of severe complications after PCI during early mobilization. Based on these findings, gradual application of early mobilization after PCI can increase the level of mobility and not cause complications in patients.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Bakar
"Pendahuluan: Program spesiais keperawatan medikal bedah merupakan salah satu pengingkatan kualitas pelayanan profesional. pengalaman belajar praktek klinik residensi bertujuan untuk menciptakan praktisi keperawatan yang memiliki kemampuan kognitif, afektif san psikomotor yang memadai dalam praktik residensi keperawatan medikal bedah (KMB). Sistem kardiovaskuler menjadi pilihan kepakaran penilis dalam mengikuti residensi KMB.
Pelaksanaan : residensi kardiovaskuler ditempuh selama 25 minggu ( tanggal 29-09-2009 sampai 21-05-2010). selama praktik residensi melaksanakan peran care giver, educator dan counselor, dengan memberikan asuhan keperawatan lanjut pada kasus-kasus sistem kardiovaskuler yang kompleks. kasus utama dalam laporan akhir praktik residensi adalah kasus NSTEMI dengan pendekatan teori Ida Jean Orlando tentang hubungan perawat-pasien yang dinamis. peran researcher, mengaplikasikan evidence based nursing practice (EBN) mengenai penggunaan non humidifier pada oksigen transport. peran leader, membuat inovasi, yang dijadikan laporan adalah pembuatan draf kompetensi kardiovaskuler.
Hasil : Analisis teori Orlando dirasakan lebih efektif karena dengan menjalin hubungan perawat-pasien, yang dinamis akan membuat proses keperawatan lebih jelas, ringkas dan mudah diaplikasikan. pelaksanaan EBN pada lima pasien yang memakai non humidifier oksigen transport, pemakaiannya sangat mudah dan simple, tidak memerlukan perawatan yang komplek, biayanya bisa lebih murah, dan aman. pelaksanaan inovasi yang dilakukan dengan penyususnan draf dapat diterima oleh ruang ICCU RSUP dt. Cipto Mangunkusumo.
Kesimpulan : teori Orlando diterapkan pada reisdensi kardiovaskuler di ruang intensive care sangat efektif. EBN yang dilakukan sangat bermanfaat bagi pasien, ruang perawatan, dan diketahui tidak menimbulkan efek negatif. draf kompetensi kardiovaskuler dapat diterima ruangan sebagai salah satu peningkatan pelayanan keperawatan di ruangan.
Saran : praktik reisdensi ini dapat digunakan sebagai peningkatan pelayanan keperawatan dan reevaluasi pelaksanaan residensi selanjutnya oleh pendidikan keperawatan.

Introduction : program specialist medical surgical nursing is one of the increasing quality of professional service. experience learning residence clinical practice have purpose to create nursing practical that have adequate cognitive, afective, and psycomotor in residence practice of medical surgical nursing. cardovascular system being enthusiasm writer in following residence of medical surgical nursing.
Execution : cardiovascular residence has been done through 25 weeks (start at 25-09-2009 until 21-05-2010). during residence practice doing role of caregiver, educator, counsellor with giving continue nursing service in complex cases of cardiovascular system. Main case in final report residence practice is NSTEMI case with theory of Ida Jean Orlando approach about dynamic nurse - patient relationship. researcher role to applicate evidence based nursing practice (EBN) as for using of non humidifier oxygen transport. Leader role to make an innovation that to be a report is make draft of cardiovascular competence.
Result : Analyzing of Orlando theory more efective because of make dynamic relationship between nurse and atient will make nursing process more clearly, simple and easy to applicate. perform EBN to five patients using non humidifier oxygen transport using it very easier and simple, doesn't need complex care, more cheaper cost and safe. perform an innovation is doing with draft compilation can be acceptable by ICCU wards at RSUP dr Cipto Mangunkusumo.
Conclusion : Orlando theory that habe been done very usefull to patient, caringwards and knowed give positive effect. draft competences of cardiovascular can be acceptable in wards as one of the increasing quality of professional services.
Suggestion : this residence practice can be used increasing nursing services and re-evaluate next residence by nursing education.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadi
"ABSTRAK
Major adverse cardiac event (MACE) adalah komplikasi akut utama yang terjadi pada pasien infark miokard, meliputi gagal jantung akut, syok kardiogenik, dan aritmia fatal. Diperlukan biomarker yang akurat, mudah dilakukan, dan cost-effective untuk memprediksi MACE dan kematian. Cedera hati hipoksik atau HLI (hypoxic liver injury) adalah salah satu biomarker potensial menggunakan kadar enzim hati transaminase (serum glutamic-oxaloacetic transaminase/SGOT) sebagai parameter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran HLI sebagai prediktor MACE pada pasien infark miokard tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST (NSTEMI).
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan luaran berupa MACE dan kohort retrospektif dengan keluaran kematian selama masa perawatan. Populasi penelitian adalah semua pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sampel penelitian adalah pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada tahun 2006-2016 dan memenuhi kriteria penelitian. Penentuan titik potong HLI berdasarkan kadar SGOT yang dapat memprediksi MACE dan kematian dihitung dengan kurva ROC. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan nilai prevalence odds ratio (POR) terhadap MACE dengan memasukkan kovariat. Analisis bivariat mengenai sintasan pasien terhadap kematian dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan diuji dengan log-rank.
Hasil. Sebanyak 277 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Proporsi subjek dengan MACE pada penelitian ini adalah 51,3% (gagal jantung akut 48,4%, aritmia fatal 6,5%, syok kardiogenik 7,2%) dan angka kematian sebesar 6,13%. Median nilai SGOT adalah 35 U/L pada seluruh subjek, 40 (rentang 8-2062) U/L pada subjek dengan MACE dan 31 (rentang 6-1642) U/L pada subjek tanpa MACE (p = 0,003). Nilai titik potong yang diambil untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L (sensitivitas 21,8%; spesifisitas 89,6%; POR 2,727 (IK 95%: 1,306-5,696), p = 0,006). Pada analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara HLI dengan MACE. Nilai titik potong untuk memprediksi kesintasan terhadap kematian adalah 99,0 U/L (sensitivitas 23,5%; spesifisitas 83,8%; likelihood ratio +1,46). Tidak didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna antara subjek dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar SGOT.
Simpulan. Cedera hati hipoksik (HLI) tidak dapat digunakan untuk memprediksi MACE pada pasien NSTEMI kecuali dikombinasikan dengan variabel lain. Tidak terdapat perbedaan kesintasan yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa HLI."
Lengkap +
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hasyatillah
"Praktik kerja profesi apoteker di RSUP Persahabatan bertujuan untuk mengevaluasi masalah terkait obat/drug related problem (DRP) pada pasien NSTEMI, CHF karena CAD di ruang rawat inap RSUP Persahabatan dengan menggunakan metode Cipolle. Serta memberikan rekomendasi terkait DRP yang ditemukan pada pasien dan monitoring hasil rekomendasi DRP tersebut. Metode pelaksanaan yang digunakan dalam laporan ini adalah studi prospektif melalui lembar instruksi harian pasien (buku list terapi pasien), catatan rekam medik pasien, terapi farmakologi dan catatan SOAP pasien pada sistem rumah sakit (SIMRS PRIMA). Drug Related Problem (DRP) yang ditemukan pada pemantauan terapi obat ini adalah interaksi obat yang terjadi (bisoprolol dan ISDN) dan interaksi obat yang tidak terjadi (fondaparinux dan miniaspi) juga ada indikasi tanpa obat (pasien hipotermia belum mendapatkan terapi). Rekomendasi yang dilakukan pada DRP interaksi obat yang terjadi adalah penghentian penggunaan salah satu atau kedua obat. Sedangkan pada interaksi obat yang tidak terjadi hanya dilakukan monitoring gejala klinis, kadar natrium dan tekanan darah pasien. Pada DRP ada indikasi tanpa obat disarankan penambahan terapi NaCl kapsul dan monitoring kadar natrium.

The professional pharmacist practice at Persahabatan Hospital aims to evaluate drug-related problems (DRPs) in NSTEMI and CHF patients due to CAD in the inpatient ward using the Cipolle method. It also involves providing recommendations regarding identified DRPs in patients and monitoring the outcomes of these recommendations. The implementation method used in this report is prospective study through patient daily instruction sheets (patient therapy list book), patient medical records, pharmacological therapy, and SOAP notes in the hospital's information system (SIMRS PRIMA). Drug-related problems identified during drug therapy monitoring include drug interactions (bisoprolol and ISDN), potential drug interactions (fondaparinux and aspirin), and indication without medication (hypothermia patient without therapy). Recommendations made for the drug interaction that occurred involve discontinuation of one or both drugs. For the potential drug interaction, clinical symptom monitoring, sodium levels, and blood pressure of the patient were recommended. Regarding the indication without medication DRP, the recommendation includes adding NaCl capsules therapy and monitoring sodium levels.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Euntong Army
"Penelitian ini membahas mengenai pemantauan terapi obat pada pasien hipertensi dengan komorbid diruang rawat inap RSUD Cengkareng. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-eksperimental yang dilakukan secara observasional yang bersifat kualitatif dengan cara pengamatan dan wawancara. Hasil penelitian ini menyarankan untuk melakukan pemantauan lebih cepat pada saat pasien pertama kali dirawat agar dapat dilakukan pemantauan secara berkala dan dapat diidentifikasi masalah terkait obat serta dapat diberikan intervensi. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terapi yang diberikan pada pasien sudah sesuai walaupun terdapat masalah interaksi dan polifarmasi yang telah ditangani dengan pengaturan dosis dan waktu pemberian.

This study discusses the monitoring of drug therapy in hypertensive patients with comorbidities in the inpatient room of Cengkareng Hospital. The method used in this study is a non-experimental method conducted in an observational manner that is qualitative in nature by means of observations and interviews. The results of this study suggest monitoring more quickly when the patient is first admitted so that regular monitoring can be carried out and drug-related problems can be identified and interventions can be given. Based on the observations that have been made, it can be concluded that the therapy given to patients is appropriate even though there are problems of interaction and polypharmacy that have been handled by adjusting the dose and time of administration.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aliza Farhan
"Pelayanan farmasi klinik merupakan tugas Apoteker dalam meningkatkan mutu pelayanan pasien. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dalam meminimalkan resiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak menular dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium dan UAP (Unstable Angina Pectoris serta Infark Miokard akut (IMA) seperti Non-ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST   Elevation   Myocardial   Infarct (STEMI). Pasien PTO yang diambil memiliki berberapa kreteria khusus yang perlu dilakukan pemantauan yaitu pasien usia diatas 50 tahun, baru pertama kali terdiagnosis sindrom coroner akut dan NSTEMI, terapi diberikan 5 jenis obat atau lebih (polifarmasi), dan pasien baru masuk tidak kurang dari 3 hari. Salah satu cara untuk menangani masalah terkait permasalahan obat pada saat pasien koroner akut dan NSTEMI di rawat inap dengan melakukan pemantauan terapi obat yang dilakukan oleh apoteker. Populasi yang digunakan dalam pelaksanaan tugas khusus ini adalah seluruh pasien yang dirawat inap di Gedung Cempaka, RSUP Persahabatan. Terdapat kreteria inklusi dan eksklusi untuk mendukung pengambilan data pasien. Kriteria inklusi yang diambil yaitu pasien menerima polifarmasi. Kondisi pasien compos mentis. Pasien baru masuk kurang dari 3 hari dirawat inap. Kriteria eksklusi yaitu pasien sudah pernah didiagnosis dan dirawat dengan penyakit yang sama sebelumnya.
Clinical pharmacy services are the pharmacist's duty to improve the quality of patient service. In Minister of Health Regulation no. 72 of 2016 concerning amendments to Minister of Health Regulation no. 58 of 2014 concerning Pharmaceutical Service Standards in Hospitals, clinical pharmacy services are direct services provided by pharmacists to patients in order to improve therapeutic outcomes in minimizing the risk of side effects due to drugs, for the purpose of patient safety so that the patient's quality of life (quality of life) guaranteed. Acute Coronary Syndrome (ACS) is a non-communicable disease in which pathological changes or abnormalities occur in the walls of the coronary arteries which can cause myocardial ischemia and UAP (Unstable Angina Pectoris) as well as acute Myocardial Infarction (AMI) such as Non-ST Elevation Myocardial Infarct ( NSTEMI) and ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI). PTO patients who are taken have several special criteria that need to be monitored, namely patients aged over 50 years, diagnosed with acute coronary syndrome and NSTEMI for the first time, therapy given 5 or more types of drugs (polypharmacy), and new patients admitted for no less than 3 days. One way to handle problems related to drug problems when acute coronary and NSTEMI patients are hospitalized is by monitoring drug therapy by a pharmacist. The population used in carrying out this special task is all patients who are hospitalized at the Cempaka Building, Persahabatan Hospital. There are inclusion and exclusion criteria to support patient data collection. The inclusion criteria taken were patients receiving polypharmacy. The patient's condition is compos mentis. The new patient was admitted for less than 3 days of hospitalization. The exclusion criteria were that the patient had been diagnosed and treated with the same disease before."
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghea Shafa Aldora
"Salah satu peran apoteker dalam rumah sakit adalah memberikan pelayanan farmasi klinik yang dapat berupa Pemantauan Terapi Obat (PTO), Riwayat Penggunaan Obat (RPO), dan rekonsiliasi obat. PTO dilakukan untuk meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko efek samping obat (ESO). Sedangkan RPO dan rekonsiliasi obat bertujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat, memastikan informasi akurat tentang pengobatan pasien, dan mengidentifikasi ketidaksesuaian. Dalam laporan ini, dilakukan PTO, RPO, dan rekonsiliasi obat pada pasien dengan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) ec Coronary Artery Disease (CAD), infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI), dan Supraventricular Tachycardia (SVT). Pasien dengan penyakit kronis umumnya menerima polifarmasi yang memungkinkan timbulnya Drug-Related Problems (DRP) sehingga dipilih dalam laporan ini. Pengambilan data diperoleh secara prospektif melalui rekam medik pasien, Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT), serta melakukan wawancara dengan pasien, keluarga pasien, atau tenaga kesehatan lainnya. Dalam melakukan PTO dilakukan analisis kesesuaian indikasi dan dosis terapi pasien, serta analisis DRP dengan metode PCNE. Hasil PTO pada pasien menunjukkan bahwa pemberian terapi pada pasien secara keseluruhan telah sesuai indikasi dan dosis, sedangkan pada hasil analisis DRP pasien menunjukkan terjadinya beberapa masalah terkait obat pada pasien akibat adanya interaksi obat, dosis atau interval pemberian yang kurang tepat, serta tidak dilakukannya penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. RPO pada pasien telah dilakukan saat admisi, sedangkan untuk rekonsiliasi telah dilakukan saat admisi dan transfer ruangan.

One of the roles of the pharmacist in the hospital is to provide clinical pharmacy services which can be in the form of Drug Therapy Monitoring (DTM), medication history, and medication reconciliation. TDM is performed to increase the effectiveness of therapy and minimize the risk of adverse drug reactions (ADR). Meanwhile, medication history and medication reconciliation aims to prevent medication errors, ensure accurate information about patient medication, and identify discrepancies. In this study, the analysis was performed in patients with ADHF ec CAD, NSTEMI, and SVT. Patients with chronic diseases generally receive polypharmacy which may lead to drug-related problems (DRP) so they are selected in this report. Data collection was obtained prospectively through patient medical records, treatment notes, and Integrated Patient Development Records, as well as by conducting interviews with patients, patient families, or other health workers. In monitoring drug therapy, an analysis of the suitability of the patient's indications and therapeutic dose was carried out, along with an analysis of the DRP using the PCNE method. DTM results in patients showed that the administration of therapy to patients as a whole was in accordance with the indications and dosages, while the results of the patient DRP analysis showed the occurrence of several drug-related problems in patients due to drug interactions, inaccurate doses, or intervals of administration, and not making dose adjustments in patients with impaired renal function. Medication history on patients has been done at admission, while for reconciliation it has been done at admission and room transfers."
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vellia Justian
"Introduction: The major cause of mortality and morbidity post-MI is the complications following the infarction. One of the most common MACE is malignant arrhythmia, this includes VF, VT and non-sustained VT. Malignant arrhythmia is caused due to the culmination of biochemical, electrophysiological, autonomic and genetic changes after an event of ischemia which results in myocardial damage and scarring, as well as left ventricular systolic dysfunction. Early risk stratification is important in AMI and cTnI and LVEF has been two accessible markers that has been studied in various aspects of AMI as prognostic markers, however there has been little studies of its role and correlation in post-AMI malignant arrhythmia. This research will therefore explore the correlation between myocardial damage (cTnI) and left ventricular systolic function (LVEF) with malignant arrhythmia in AMI patients. Methods: A retrospective cohort study was conducted on AMI patients who are admitted to the ICCU of Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta from November 2018 to May 2019. Patients who experienced severe infection and who has malignant arrhythmia when admitted were excluded. The association between cTnI and malignant arrhythmia was tested using Mann-Whitney test, while the association between LVEF and malignant arrhythmia was tested using Independent T-Test. Pearson’s Chi-Square test was done to test the relationship between systolic function status with malignant arrhythmia, All data analysis was performed on IBM SPSS Statistics. Results: Total of 110 patients were included in this study. 13.6% of total subjects experience malignant arrhythmia during hospitalisation. There is no significant correlation between cTnI and post-AMI malignant arrhythmia (p = 0.053, RR 1.2, 95%CI 1.1-1.2) but significant correlation between LVEF and post-AMI malignant arrhythmia was found, on both metric (t(108)=3.450, p = 0.001) and categorical (c2(1) = 6.132, p = 0.013, RR 4.8, 95%CI 1.15-20.4) assessment. There were major differences in the mean value of cTnI and LVEF between the two groups. Conclusion: This study has found statistically significant correlation between left ventricular systolic function (LVEF) with malignant arrhythmia in AMI patients, but no significant correlation between cTnI and malignant arrhythmia in AMI patients. Higher cTnI levels are more frequent in malignant arrhythmia group. Malignant arrhythmia is more common in AMI patients with lower LVEF.

Pendahuluan: Penyebab utama mortalitas dan morbiditas infark miokard akut (IMA) adalah komplikasi pasca infark. Salah satu MACE paling umum ditemukan adalah aritmia maligna, yang meliputi VF, VT dan VT sesaat. Aritmia maligna disebabkan oleh kombinasi perubahan biokimia, elektrofisiologi, otonomi, serta genetik setelah kejadian iskemik yang kemudian menyebabkan kerusakan dan fibrosis pada miokard. Stratifikasi risiko awal sangat penting dalam kasus IMA. cTnI serta LVEF merupakan dua marka yang mudah diakses dan telah dipelajari dalam berbagai aspek IMA. Akan tetapi, studi mengenai peran dua marka tersebut dalam aritmia maligna pasca-IMA masih sedikit. Studi ini akan mempelajari korelasi antara kerusakan pada miokard (cTnI) dan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF) dengan aritmia maligna pada pasien IMA. Metode: Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien IMA yang dirawat di ICCU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam periode November 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang mengalami infeksi parah dan pasien yang mengalami aritmia maligna saat admisi tidak diikutsertakan dalam penelitiaan ini. Hubungan cTnI dengan aritmia maligna dianalisis melalui uji Mann-Whitney dan hubungan LVEF dengan aritmia maligna dianalisis oleh uji Independent T-Test dan pada hubungan status fungsi sistolik dengan aritmia maligna dianalisis menggunakan uji Pearson Chi-Square. Analisis data dilakukan dengan software IBM SPSS Statistics. Hasil: Total 110 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. 13.6% dari total pasien mengalami aritmia maligna selama masa hospitalisasi. Tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara cTnI dengan aritmia maligna pada pasien IMA (p = 0.053, RR 1.2, 95%CI 1.1-1.2), namun ditemukan adanya hubungan signifikan antara LVEF dengan aritmia maligna pada pasien IMA, baik pada data metrik (t(108)=3.450, p = 0.001) maupun data kategorik (c2(1) = 6.132, p = 0.013, RR 4.8, 95%CI 1.15-20.4). Terdapat perbedaan besar antara nilai rata-rata cTnI and LVEF pada kedua kelompok pasien. Kesimpulan: Studi ini menemukan korelasi yang signifikan secara statistikal antara fungsi sistolik ventrikel kiri dengan aritmia maligna pada pasien IMA, namun tidak ditemukan adanya korelasi signifikan antara cTnI dengan aritmia maligna pada pasien IMA. Nilai cTnI yang tinggi lebih umum ditemukan pada kelompok pasien dengan aritmia maligna. Kejadian aritmia maligna lebih umum pada pasien yang memiliki LVEF yang lebih rendah."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>