Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984
398.9 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011
361.1 EKS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Mawar Cita Puspita
Abstrak :
Pendahuluan: Malaria masih menjadi permasalah kesehatan terutama di Indonesia bagian Timur. Di daerah endemis infeksi malaria dapat terjadi secara mikroskopik dan submikroskopik. Namun sejauh ini, penelitian mengenai relevansi klinis infeksi malaria terhadap anemia di daerah endemis belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara infeksi malaria dengan anemia pada kelompok anak usia sekolah di provinsi Nusa Tenggara Timur. Metode: Penelitian potong-lintang ini melibatkan subjek siswa sekolah dasar kelas I-V berusia 6-16 tahun dari beberapa sekolah dasar di kecamatan Wewiku Nusa Tenggara Timur. Infeksi malaria ditentukan berdasarkan pemeriksaan apus darah menggunakan Giemsa 3% dan RT-PCR. Kadar hemoglobin dinilai dengan alat HemoCue® Hb 201 portabel dan anemia ditentukan berdasarkan sistem klasifikasi WHO. Analisis hubungan antara infeksi malaria dan anemia dilakukan dengan uji Chi-square dan Mann-Whintey, sementara uji korelasi dilakukan dengan uji Spearman. Seluruh analisis data dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) for Windows versi 20. Hasil: Sebanyak 348 anak sekolah dasar terlibat dalam penelitian ini. Proporsi infeksi malaria ditemukan sebesar 34,8% terdiri dari 18,4% infeksi submikroskopik dan 16,4% infeksi mikroskopik. Infeksi malaria yang terjadi didominasi oleh P.vivax (82,6%), diikuti oleh P.falciparum (15,7%), dan mixed infections (1,7%). Sementara itu, proporsi anemia ditemukan sebesar 55,2%, mayoritas anemia yang ditemukan termasuk ke dalam kategori ringan (>11 g/dL). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara infeksi submikroskopik dengan anemia (OR=0,809, 95% CI [0,464-1,410], p=0,454). Akan tetapi, ditemukan korelasi negatif sedang yang signifikan antara densitas parasit infeksi mikroskopik P.vivax dengan anemia (r= -0,408, p=0,005). Analisis pada infeksi P.falciparum tidak dapat dilakukan karena jumlah sampel tidak mencukupi. Simpulan: Anemia pada wilayah studi bukan disebabkan oleh infeksi submikroskopik. Namun, infeksi mikroskopik dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan berpotensi menjadi kontributor terhadap anemia. Dengan demikian, diperlukan pemeriksaan kadar hemoglobin pada penderita malaria mikroskopik untuk mengantisipasi kejadian anemia.
Introduction: Malaria is still a health problem, especially in eastern Indonesia. In endemic areas, malaria infection can occur microscopically and submicroscopically. However, there have not been many studies on the clinical relevance of malaria infection to anemia in endemic areas. This study aims to investigate the association between malaria infection and anemia in a group of school-age children in the province of East Nusa Tenggara. Methods: This cross-sectional study involved the subjects of elementary school students from grade 1-4 aged 6-16 years from several elementary schools in Wewiku subdistrict, East Nusa Tenggara. Malaria infection was determined based on blood smear examination using Giemsa 3% and RT-PCR. Hemoglobin levels were assessed using a portable HemoCue® Hb 201 device and anemia was determined according to the WHO classification system. Analysis of the relationship between malaria infection and anemia was performed using the Chi-square and Mann-Whintey tests, while the correlation test was analysed with Spearman test. All data analyzes were performed with the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) for Windows version 20. Results: A total of 348 elementary school children were involved in this study. The proportion of malaria infections was 34.8%, consisting of 18.4% submicroscopic infections and 16.4% microscopic infections. The malaria infections were dominated by P. vivax (82.6%), followed by P. falciparum (15.7%), and mixed infections (1.7%). Meanwhile, the proportion of anemia was found to be 55.2%, the majority of anemia was in the mild category (>11 g / dL). There was no significant association between submicroscopic infection and anemia (OR = 0.809, 95% CI [0.464-1.410], p = 0.454). However, there was a significant negative correlation between parasite density of microscopic P. vivax infection and anemia (r = -0.408, p = 0.005). Analysis of P. falciparum infection cannot be performed due to insufficient sample size. Conclusion: Anemia in the study area was not caused by submicroscopic infection. However, microscopic infection can lead to decreased hemoglobin levels and can be a potential contributor to anemia. Thus, it is necessary to check hemoglobin levels in microscopic malaria patients to anticipate the incidence of anemia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1982
398.218 IND c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tallo, Erny Ch
Kupang: Tim Penggerak PKK dan Dekranasi Propinsi NTT, 2003
R 746.1 TAL p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Setiabakti
Abstrak :
Insiden terjadinya infeksi dari Necator americanus masih cukup tinggi, khususnya di negara berkembang. Komplikasi tersering dari infeksi geohelminth adalah anemia, dimana apabila terjadi pada anak-anak dalam jangka panjang akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Anak-anak adalah kelompok umur yang paling rentan terhadap infeksi parasit ini dikarenakan korelasi antara kebiasaan anak kecil dan metode penularan cacing ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara prevalensi infeksi N.americanus dan anemia pada anak sekolah di Nangapanda. Penelitian ini dilakukan di desa Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 262 anak berusia 6-17 tahun berpartisipasi pada penelitian ini. Data personal anak dari tingkat SD dan SMP di Nangapanda diperoleh dengan mengisi kuesioner dan dikumpulkan 262 sampel darah dan tinja. Infeksi cacing ditentukan dengan metode RT-PCR dan status anemia ditentukan melalui pemeriksaan darah. Informasi yang didapat lalu diuji dengan metode chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi N.americanus adalah 40.8% dan prevalensi anemia 9.9%. Uji statistik chi-square menunjukkan bahwa infeksi N.americanus bukan merupakan faktor yang cukup signifikan sebagai penyebab anemia (p =0.155). Kesimpulan yang di dapat adalah tidak adannya korelasi antara infeksi N.americanus dan anemia pada anak sekolah di desa Nangapanda, kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. ......The prevalence of Necator americanus is still high, especially in developing country. The most common infection because of geohelminth infection is anemia, which in the long run can cause stunted growth on children. Children age group is the most prone age group towards this parasite infection due to its corelation between children habits with its mode of infection. This research is done in Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. 262 children with age range between 6-17 years old participate in this research. Children personal data was obtained through questionnaire form and 262 sample of blood and stool are obtained. RT-PCR is use to detect the presence of helminth infection and anemia status is checked with blood test. The result is then analyzed using chi-square method. Result of this research shows that the prevalence of N.americanus infection is 40.8% and the prevalence of anemia is 9.9%. Data analysis using chi-square shows that N.americanus infection is not a significant factor to cause anemia (p=0.155).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Mahiendra
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis unsur sosio-kultural di dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur di dalam novel Cumbuan Sabana yang dikarang oleh Gerson Poyk. Tujuannya adalah mengetahui unsur-unsur budaya Nusa Tenggara Timur yang terdapat didalam novel Cumbuan Sabana. Dari penelitian ini diperoleh beberapa unsur kebudayaan Nusa Tenggara Timur, yaitu perkawinan secara adat Nusa Tenggara Timur, tari -tarian Nusa Tenggara Timur, seperti tari padoa, tari kebalai, tari Lego-Lego, dan tari Likurai serta alat musik khas Nusa Tenggara Timur, yaitu Sasando. Kesimpulan dari analisis tersebut adalah unsur budaya di dalam novel Cumbuan Sabana yang dilihat dari tema, tokoh, alur, dan latar sosialnya digambarkan untuk mengenalkan budaya Nusa Tenggara Timur kepada masyarakat. ......This undergraduate thesis analyzes the socio-cultural aspects of the East Nusa Tenggara society in the novel Cumbuan Sabana by Gerson Poyk. The purpose is to know the elements of culture NTT contained in the novel Cumbuan Sabana. From this study obtained some cultural elements of East Nusa Tenggara, Customary marriage of East Nusa Tenggara, East Nusa tenggara dances, such as Padoa dance, Kebalai dance, Lego-Lego dance, and Likurai dance and musical instruments typical East Nusa Tenggara, namely Sasando. The conclusion out of this analysis is the cultural aspects in the novel Cumbuan Sabana is seen from theme, characters, plot and social background are described for introducing to the people of East Nusa Tenggara.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Sunarjanto
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan semburan lumpur (mud volcano), rembesan minyak dan gas bumi (oil and gas seepage) menjadi data geosains penting pada wilayah eksplorasi migas. Selama ini dirasakan masyarakat adanya semburan lumpur dan rembesan migas tersebut tidak bermanfaat bagi daerah dan masyarakat sekitar lokasi semburan lumpur. Dengan penelitian ini untuk memberikan kontribusi dan menjadi lebih bermanfaat, khususnya untuk konservasi airtanah berkelanjutan. Karakteristik rembesan migas dan airtanah di lokasi terpilih yaitu Masinlulik 2, memiliki komposisi Methane (C1H4): 50.43% dan Nitrogen (N2): 49.57%. Hasil ekstrak lumpur yang keluar dari bawah permukaan tanah menunjukkan airtanah tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak ada kandunganvH2S, menjadikan lokasi tersebut tidak berbahaya bagi manusia. Analisis laboratorium lingkungan menunjukkan kandungan Zat Padat Terlarut yang tinggi sebesar 15.280 mg/l. Parameter kimia menunjukkan kandungan Arsen,Besi, Kadmium, Mangan, dan Seng di bawah ambang batas baku mutu sebagai persyaratan kualitas air bersih. Analisis tumpang susun data citra satelit dan geosains, serta hasil analisis laboratorium airtanah sebagai air bersih,vmenunjukkan kawasan eksplorasi migas Atambua memiliki potensi airtanah. Dapat dilakukan pemetaan terinci airtanah untuk air bersih sekaligus upaya konservasi airtanah dan lingkungan.
Jakarta: Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS", 2017
665 LPL 51:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Puling Remigius Kornelius
Abstrak :
Tesis ini berangkat dari pengamatan bahwa telah terjadi pengabaian terhadap pelaksanaan kebijakan pemindahan ibukota Ngada yang telah dibuat oleh pemerintah daerah tingkat II Ngada, melalui keputusan DPRD II Ngada Nomor 4 Tahun 1973. Kebijakan ini sendiri lahir melalui suatu proses pertarungan panjang diantara tiga etnik yang membentuk masyarakat Ngada (etnik Riling, Nagekeo dan Ngadha), yang berlangsung sejak bedirinya kabupaten Ngada Tahun 1958. Dilihat dari proses sejarah pemerintahan Daerah Ngada, penentuan letak ibukota kabupaten Ngada sejak berdirinya, masih merupakan problem sosial politik yang pelik dan rumit, mengingat masing-masing etnik mempunyai keinginan dan motivasi yang berbeda mengenai letak ibukota Ngada. Kebijakan ini lahir diawali dengan himbauan gubernur Eltari (aim.) kepada pemda tingkat II Ngada di bawah kepemimpinan bupati Yan Botha, untuk memindahkan ibukota Ngada dari kota Bajawa ke kota Mbay. Kota Bajawa dianggap tidak ideal untuk suatu ibukota kabupaten baik untuk saat ini maupun masadepan. Sekaligus sebagai solusi untuk menengahi konflik premordial antara ketiga etnik yang membentuk masyarakat Ngada, dan telah berlangsung begitu lama dalam menentukan letak ibukota Ngada. Sayangnya sejak kebijakan ini dibuat hingga pada tahun 1994, tidak pernah ada lagi upaya lanjutan untuk mengimplementasikan kebijakan ini, atau terabaikan begitu saja balk oleh bupati Yan Botha yang paling bertanggungjawab terhadap pembuatan kebijakan dimaksud saat itu maupun para pimpinan daerah berikutnya. Berkaitan dengan itu maka permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah menyangkut faktor-faktor apakah yang menyebabkan tidak dilaksanakannya kebijakan pemindahan ibukota Ngada yang telah dibuat DPRD II Ngada tahun 1973. Apakah pengaruh faktor ekonomi semata sehingga tidak dilaksanakannya kebijakan dimaksud atau ada faktor lainnya yang sifatnya politis dan psikologis. Kemudian mempertanyakan pula peran berbagai institusi masyarakat dalam proses perumusan keputusan pemindahan ibukota Ngada dan penolakan etnik Ngadha terhadap keputusan dimaksud. Siapa saja yang berperan besar dibalik proses pengangkatan kebijakan tersebut, power politics apa yang terjadi waktu itu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam kepada para pelaku sejarah yang terlibat dalam pertarungan proses perumusan kebijakan dimaksud yang berlangsung sejak tahun 1958, yaitu 15 nara sumber dan beberapa informan lain yang dipilih dengan metode snow ball. Selain itu juga dilakukan studi kepustakaan dan dokumen-dokumen pendukung yang berhubungan dengan kebijakan ini. Hasil penelitian disajikan dengan cara rnenggambarkan temuan-temuan yang sating berkaitan, dan diuraikan dengan menggunakan kerangka teori yang ada. Kerangka teori yang dipakai dalam analisi ini menyangkut tiga hat pokok yaitu teori konflik dan pluralisme kultural, teori kebijakan publik dan sedikit mengenai kondisi perekonomian daerah. Perbedaan latar belakang budaya dan kepentingan antara etnik, merupakan akar dan konflik dalam hal menentukan kebijakan apapun di Ngada. Konflik antar etnik ini kemudian mewujud ke dalam politik dan birokrasi pemerintahan daerah, yang ditandai dengan lahirnya berbagai faksi politik yang berbasiskan kekuatan etnik. Hasil penelitian memperlihatkan pula, bahwa kebijakan yang diambil, yang dianggap begitu prestisius untuk masyarakat Ngada, dalam prosesnya justru terbukti hanya merupakan alat politik semata untuk mempertahankan posisi politik masingmasing, dan bukan niat sesungguhnya. Akibatnya political will untuk maksud ini tidak ada. Kondisi ini kemudian diperparah oleh masih adanya penolakan etnik Ngada terhadap kebijakan pemindahan ibukota Ngada. Faktor yang sangat dominan dari penolakan etnik Ngada terhadap kebijakan ini, adalah menyangkut permasalahan yang sifatnya politis dan psikologis, yang mana masih beranggapan bahwa lahirnya kebijakan ini sebagai suatu bentuk kekalahan politik etnik Ngadha dan etnik lainnya (Riung clan. Nagekeo), dalam pertarungan politik untuk menentukan letak ibukota Ngada, dan tanpa melihat lebih jauh lagi pertimbangan-pertimbangan yang rasional dibalik lahirnya kebijakan dimaksud. Hal ini dipengaruhi budaya kekuasaan yang melihat simbol kota propinsi kabupaten dan lainnya sebagai simbol kekuasaan. Sedangkan faktor ekonomi (ketiadaan dana untuk pembangunan kota), walaupun itu ada namun bukan merupakan faktor yang dominan dalam melihat mengapa kebijakan ini tidak dilaksanakan, mengingat pada saat kebijakan ini diluncurkan secara nasional ekonomi Indonesia sedang mengalami kenaikan yang tajam sejalan dengan era boom minyak. Segala dana-dana yang diperuntukan untuk pembangunan kota Bajawa seyogyanya di alokasikan ke kota baru di Mbay. Tidak adanya political will pimpinan daerah dibawah Yan Botha, berikut para penggatinya kemudian untuk melaksanakan kebijakan yang telah dibuat merupakan suatu fakta yang tidak dapat dibanta, dan bukan karena persoalan ekonomi semata sebagairnan anggapan masyarakat selama ini. Langkah untuk segera mengimplementasikan kebijakan ini yang dimulai sejak tahun 1994 oleh gubernur Musa Kabe, merupakan suatu langkah maju dengan pertimbangan-pertimbangan rasional terutama berhubungan dengan gagasan penataan wilayah pengembangan dan pertumbuhan baru di NTT. Dalam kerangka ini kota Mbay diharapkan menjadi Aktor Otonom yang mempunyai kepentingannya sendiri dalam arti dapat bersaing dengan kota-kota lain dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik, dan berusaha untuk memperoleh posisi dominan dalam setiap hierarkhi pemilikan dan penguasaan sumberdaya. Oleh karena itu para pemimpin daerah berikutnya siapapun orangnya dan juga komponen masyarakat Ngada sudah seharusnya menerima realitas ini, dan harus terus mengembangkannya, dan tidak lagi terjebak pada kepentingan-kepentingan primordial semata, seperti yang telah berlangsung lama.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>