Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azma Dwi K. Sasole
"ABSTRAK
Aktivitas fisik dan kualitas tidur merupakan dua faktor penting yang dapat berpengaruh pada kesehatan. Pekerja perkantoran merupakan individu yang rentan terhadap pola hidup sedenter, sehingga memiliki tingkat aktivitas fisik yang rendah. Tingkat aktivitas fisik yang rendah ini diduga memiliki pengaruh terhadap kualitas tidur dari para pekerja perkantoran. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan aktivitas fisik pada kualitas tidur pekerja perkantoran.
Metode penelitian ini adalah potong lintang dengan subjek penelitian pekerja perkantoran di Jakarta. Data aktivitas fisik diperoleh dari pengisian International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) versi Bahasa Indonesia dan data kualitas tidur diperoleh dari pengukuran Pittsburghs Sleep Questionnaire Index (PSQI) versi Bahasa Indonesia.
Hasil yang ditemukan adalah rerata jumlah energi ekspenditur subjek penelitian adalah 2865 MET-menit/minggu dan rerata indeks kualitas tidur subjek penelitian adalah 6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara jumlah energi ekspenditur dan indeks kualitas tidur pekerja perkantoran di Jakarta dengan kekuatan korelasi yang bisa diabaikan (p = 0,28; r = 0,15).
Hubungan aktivitas fisik dan kualitas tidur terjadi secara tidak langsung. Kualitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kelelahan dan tingkat stres. Aktivitas fisik dapat menurunkan risiko terjadinya kelelahan dan stres, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas tidur.

ABSTRACT
Physical activity and sleep quality are two of important factor that may affect our health. Office workers are individuals who are vulnerable to having a sedentary lifestyle, so they lack of physical activity. Lack of physical activity suspected to be related to sleep quality in office workers. This study aimed to examine the correlation between physical activity and sleep quality in office workers.
The method of his study is cross-sectional and the subjects are office workers at Jakarta. The physical activity data was acquired from International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) Indonesian version and the sleep quality data was acquired from Pittsburghs Sleep Questionnaire Index (PSQI) Indonesian version.
Results of the data founds subjects median of total energy expenditure is 2865 MET-minutes/weeks and subjects median of sleep quality index is 6. The result of this study showed that there is no significant correlation between total energy expenditure and sleep quality index in office workers at Jakarta with the neglectable power of correlation (p = 0,28; r = 0,15).
The relation between physical activity and sleep quality are indirectly. Sleep quality is affected by several factors, among them are fatigue and stress. Physical activity may decrease the risk of fatigue and stress, that are indirectly may increase sleep quality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinanti Abadini
"ABSTRAK
Determinants of Adults Office Workers Physical Activity inJakarta Year 2018Counsellor : Dra. Caroline Endah Wuryaningsih, M.KesThe health benefits of physical activity in adults order to maintain health and preventdisease have been extensively documented. Sedentary occupation and the long hours ofwork believed to be the factors that make office workers tends to be physically inactive.Majority worker in Jakarta were office workers. Jakarta was the province with thehighest proportion of people with insufficient physical activity, where 44.2 of thepopulation was reported not active enough. This study aim to find determinants ofphysical activity of adult office worker who work in Jakarta. The research wasconducted by quantitative method. A total of 174 Jakarta office workers participateonline by answering questionnaire through website. Result found that 59 of officeworker who work in Jakarta had insufficient physical activity. Statistical anlysisrevealed that gender, friends support and perceived barriers were the determinants ofJakarta lsquo;s office workers physical activity. Health intervention and promotion that intendto reduce physical activity perceived barriers, at once increase perceived benefits ofdoing physical activity, encourge to do physical activity with friends and giving eachother support should be done in order to increase Jakarta lsquo;s office worker physicalactivity. In addition, special attention should be given to female office workers toincrease their participation in physical activity.Key words: Physical activity, adult, employee, office worker.

ABSTRACT
Determinan Aktivitas Fisik Orang Dewasa Pekerja Kantoran di JakartaTahun 2018Pembimbing Dra. Caroline Endah Wuryaningsih, M.KesAktivitas fisik pada orang dewasa bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan mencegahterjadinya penyakit. Pekerjaan yang cenderung sedentari dan durasi kerja yang cukuppanjang membuat pekerja kantoran berisiko kurang aktif fisik. Sebagian besar pekerja diJakarta adalah pekerja kantoran. Jakarta merupakan provinsi dengan proporsi pendudukkurang aktivitas fisik tertinggi, tercatat masih ada 44,2 penduduk yang kurangaktivitas fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan aktivitas fisikorang dewasa pekerja kantoran yang bekerja di wilayah DKI Jakarta. Penelitiandilakukan dengan metode kuantitatif. Sebanyak 174 orang pekerja kantoran Jakartaberpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi kuesioner berbasis website secaraonline. Hasil penelitian menunjukkan 59 pekerja kantoran yang bekerja di Jakartakurang aktif fisik. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin pria,dukungan teman yang cukup dan lemahnya hambatan yang dirasakan perceivedbarriers merupakan determinan dari aktivitas fisik pekerja kantoran di Jakarta. Upayaintervensi atau program promosi yang bertujuan mengurangi persepsi negatif akanhambatan hambatan yang dirasa terkait aktivitas fisik sekaligus meningkatkan persepsipositif akan keuntungan yang diperoleh dengan melakukan aktivitas fisik, sertamendorong untuk melakukan aktivitas fisik bersama perlu dilakukan untukmeningkatkan aktivitas fisik pekerja kantoran di Jakarta. Selain itu, perhatian khususperlu diberikan pada kelompok pekerja kantoran wanita untuk meningkatkan partisipasidalam aktivitas fisik.Kata kunci Aktivitas fisik, dewasa, pekerja, pekerja kantoran
"
2018
T49810
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqua Da Mongga
"Kebanyakan dari pekerjaan-pekerjaan yang melakukan aktivitas dalam keadaan duduk dapat terpapar pada tingkat waktu menetap yang tinggi, salah satunya adalah pada pekerja di kantor pengguna komputer atau laptop. Penggunaan dan pemakaian komputer tau laptop dalam kurun waktu cukup lama dapat meningkatkan risiko keluhan gangguan pada muskuloskeletal, terkhusus pada bagian punggung bawah dan leher. Untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi keluhan low back pain dan neck pain pada pekerja kantoran pengguna komputer dilakukan penelitian studi dengan menggunakan data primer tahun 2020. Penelitian melibatkan 55 pekerja PT X di daerah Jakarta Timur. Ditemukan pekerja yang memiliki keluhan gangguan low back pain sebesar 41.8% dan pekerja yang memiliki keluhan pada gangguan neck pain sebesar 50.9%. Pada analisis hubungan faktor risiko pekerjaan dengan keluhan gangguan low back pain yang menggunakan chi-square didapatkan bahwa antara faktor risiko pekerjaan dan psikososial memiliki hubungan signifikan dengan keluhan gangguan low back pain yaitu kerja otot statis (p-value=0.03), tuntutan kerja (p-value=0.00), dukungan sosial (p-value=0.00), dan stres kerja (p-value=0.00). Kemudian pada analisis hubungan faktor risiko pekerjaan dengan keluhan gangguan neck pain yang menggunakan chi-square didapatkan bahwa antara faktor risiko pekerjaan dan psikososial memiliki hubungan signifikan dengan keluhan gangguan low back pain yaitu durasi penggunaan komputer.laptop (p-value=0.01), kerja otot statis (p-value=0.01), tuntutan kerja (p-value=0.02), dukungan sosial (p-value=0.04), dan stres kerja (p-value=0.01). Kata kunci: low back pain; neck pain; pengguna komputer; pekerja kantor.

Most of the tasks with prolonged sitting can be exposed to high levels of sedentary behavior, one of which is computer or laptop user workers in the office. A long period time of computer or laptop use can increase the risk of musculoskeletal disorders complaints, especially in the lower back and neck. To look at the factors that influence complaints of low back pain and neck pain in office workers, a cross-sectional study using 2020 primary data. The study involved 55 PT X workers in East Jakarta. There were 41.8% workers who had low back pain complaints and 50.9% workers who had neck pain complaints. The result of chi-square analysis indicated that there were significant relationship between physical and psychosocial risk factors with low back pain complaints, those are static muscle work (p-value = 0.03), work demands ( p-value = 0.00), social support (p-value = 0.00), and work stress (p-value = 0.00). Then, the result of chi-square analysis indicated that there were significant relationship between physical and psychosocial risk factors with neck pain complaints, those are duration of computer use (p-value = 0.01), work static muscle (p-value = 0.01), work demands (p-value = 0.02), social support (p-value = 0.04), and work stress (p-value = 0.01)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Fristiyanwati
"Latar Belakang Perilaku duduk menetap telah menjadi suatu rutinitas yang berkontribusi sebagai penyebab gangguan kesehatan seperti keropos tulang. Namun, untuk beberapa orang seperti pekerja kantoran, hal ini sulit dihindari. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan faktor risiko individu dan pekerjaan terhadap kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density/BMD) pada pekerja kantoran dengan pola kerja sedenter. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada populasi pekerja administratif di RS Olahraga Nasional dan Kemenpora RI pada bulan Januari-Maret 2023. Variabel terikat adalah kepadatan mineral tulang berupa skor T yang diukur menggunakan alat DEXA. Variabel bebas mencakup faktor individu seperti usia, jenis kelamin, riwayat osteoporosis pada keluarga, indeks massa tubuh (IMT), merokok, minum alkohol, asupan kalsium, asupan vitamin D, penyakit DM, aktivitas fisik di luar tempat kerja dan faktor pekerjaan yaitu lama duduk harian di tempat kerja. Hasil Subjek penelitian berjumlah 110 orang pekerja kantoran, 70,9% perempuan, median usia 37 tahun. Skor BMD rendah terdapat pada 29 subjek (26,4%) terdiri dari 3 subjek dengan osteoporosis dan 26 subjek dengan osteopenia. Analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan faktor yang berhubungan secara independen dengan skor BMD rendah adalah penyakit DM (OR 10,7 dengan IK 95% 1,3-85,2), lama duduk di tempat kerja >6 jam/hari (OR 8,5 dengan IK 95% 2,8-25,5), IMT kurus (OR 7,5 dengan IK 95% 1,2-46,6), dan usia>50 tahun (OR 5,1 dengan IK 95% 1,6-15,9). Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, asupan vitamin D, aktivitas fisik, dan merokok terhadap skor BMD yang rendah. Kesimpulan. Satu dari empat pekerja kantoran mengalami skor kepadatan mineral tulang yang rendah yang berhubungan dengan penyakit DM, lama duduk di tempat kerja, status gizi, dan usia. Diperlukan tata laksana okupasi berupa modifikasi posisi bekerja untuk mengurangi waktu duduk harian demi mencegah terjadinya gangguan kesehatan tulang di kemudian hari.

Background Prolonged sitting has become a routine that contributes to causing health problems, one of which is bone loss. However, for some people, such as office workers, this is difficult to avoid. The aim of this study was to determine the relationship between individual and occupational risk factors on bone mineral density (BMD) in sedentary office workers. Methods This research is a cross-sectional study conducted on a population of office workers at the National Sports Hospital and the Indonesian Ministry of Youth and Sport in January-March 2023. The dependent variable is bone mineral density in the form of a T-score as measured using Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA). Independent variables include individual factors such as age, gender, family history of osteoporosis, body mass index (BMI), smoking, alcohol consumption, calcium intake, vitamin D intake, history of DM, physical activity, and occupational factors, namely daily sitting time at work. Results The subjects totaled 110 office workers, 70.9% were female, the median age was 37 years old. Low BMD were found in 29 subjects (26.4%) consisting of 3 subjects with osteoporosis and 26 subjects with osteopenia. Multivariate analysis using logistic regresion found factors that were independently associated with a low BMD were history of diabetes mellitus (OR 10.7, 95% CI 1.3-85.2), duration of daily sitting at work > 6 hours (OR 8.5, 95% CI 2.8-25.5), underweight (OR 7.5, 95% CI 1.2-46.6), and age> 50 years old (OR 5.1, 95% CI 1,6-15,9). No significant relationship was found between gender, vitamin D intake, physical activity, and smoking on low BMD. Conclusions One in four office workers experience a low bone mineral density related to DM, prolonged sitting at work, nutritional status, and age. Occupational management is needed in the form of modifying work positions to reduce daily sitting time and to prevent bone loss in the future."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfita Ayu Wirasati
"Penerapan perilaku kepatuhan pada protokol kesehatan COVID-19 seyogyanya dapat menurunkan penyebaran COVID-19, namun saat ini masih terjadi kasus di PT X. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan protokol kesehatan COVID-19 pada Pekerja Perkantoran di PT X tahun 2022. Desain penelitian adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Jumlah responden sebanyak 76 orang diambil secara acak sederhana. Data primer didapat dari kuesioner yang disebarkan dengan aplikasi googleform, dilengkapi dengan data observasi dan telaah dokumen. Hasil telitian menunjukkan tingkat kepatuhan protokol kesehatan COVID-19 sebesar 82,9%. Hasil analisis menunjukkan pada pria 5 kali lebih beresiko tidak patuh di banding Perempuan (OR 5,677), pada pekerja yang merasakan manfaat rendah 4 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 4,329) dibanding yang merasakan manfaat tinggi, pada pekerja yang efikasi diri rendah 4 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 4,329) dibandingkan yang efikasinya tinggi. Di samping itu, pada pekerja yang tidak mendapat dukungan lingkungan kerjanya 5 kali lebih berisiko tidak patuh (OR 5, 417) dibanding dengan pekerja yang mendapat dukungan lingkungan kerjanya, pekerja yang tidak mendapat dukungan keluarga 9 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 9,02) dibanding dengan pekerja yang mendapat dukungan keluarga, begitu pula bagi pekerja yang merasakan tidak memadainya penghargaan dan sanksi 5 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 5,211) dibanding pekerja yang merasakan penghargaan dan sanksi memadai. Penelitian ini mendapatkan tidak ada hubungan antara umur, status pernikahan, pengalaman, pengetahuan, ketersediaan instruksi, kerentanan yang dirasakan, keparahan yang dirasakan, hambatan yang dirasakan, isyarat untuk bertindak (faktor predisposisi), ketersediaan fasilitas dan sarana serta pelatihan dan promosi kesehatan (faktor pemungkin), dan tim inspektur (faktor penguat) dan perilaku kepatuhan prototol kesehatan COVID-19. Pandemi COVID-19 masih berlangsung hingga saat ini, maka Perusahaan masih perlu melakukan upaya pencegahan terhadap COVID-19 yaitu dengan meningkatkan program promosi kesehatan serta implementasi penghargaan dan sanksi. Promosi kesehatan disusun dengan melibatkan seluruh pekerja secara bottom up. Selain itu, mengikutsertakan keluarga pada program promosi kesehatan metode lebih interaktif dan dapat menjangkau seluruh usia. Penyusunan kriteria penghargaan dan sanksi dengan melibatkan pekerja dan diimplementasikans secara konsisten. Pekerja juga perlu untuk berkontribusi dengan saling mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan COVID-19 dengan dukungan dari manajemen dan berperan aktif dalam penyusunan program promosi kesehatan dan kriteria penghargaan dan sanksi. Dan bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian dengan menambah variabel, memperluas sasaran penelitian dan melanjutkan analisis multivariate

Implementation of compliance behavior with the COVID-19 health protocol should reduce the spread of COVID-19, but currently there are still cases at PT X. The purpose of this study was to analyze various factors related to establishing COVID-19 health protocol compliance behavior in office workers at PT. X year 2022. The research design was cross sectional with a quantitative approach. The number of respondents as many as 76 people were taken at simple random. Primary data were obtained from questionnaires distributed using the googleform application, completed with observation data and document review. The results showed that the level of compliance with the COVID-19 health protocol was 82.9%. The results of the analysis show that men are 5 times more at risk of non-compliance than women (OR 5,677), workers who feel low benefits are 4 times more at risk of non-compliance (OR 4,329) than those who feel high benefits, workers with low self-efficacy are 4 times were more at risk of non-compliance (OR 4,329) than those with high efficacy. In addition, workers who do not receive support from their work environment are 5 times more to be non-compliance (OR 5,417) compared to workers who do not receive support from their work environment, workers who do not receive family support are 9 times more likely to be non-compliance ( OR 9.02) compared to workers who received family support, as well as workers who felt inadequate rewards and sanctions were 5 times more likely to be non-compliance (OR 5,211) than workers who felt adequate rewards and sanctions. This study found that there was no relationship between age, marital status, experience, knowledge, availability of instructions, perceived susceptibility, perceived severity, perceived barriers, cues to action (predisposing factors), availability of facilities and facilities as well as training and health promotion (enabling factors), and a team of inspectors (reinforcing factors) and COVID-19 health protocol compliance behavior. The COVID-19 pandemic is still ongoing, so the Company still needs to take preventive measures against COVID-19, namely by increasing health promotion programs and implementing awards and sanctions. Health promotion is developed by involving all employees on a bottom-up basis. In addition, involving families in health promotion programs is more interactive and can reach all ages. Compilation of reward and sanction criteria by involving workers and implemented consistently. Workers also need to contribute by reminding each other to comply with the COVID-19 health protocol with support from management and take on the active role in the development of health promotion programs and award and sanction criteria. And for further researchers, they can develop research by adding variables, expanding research targets and continuing into multivariate analysis."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Safitri
"Sindroma metabolik merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian. Prevalensi sindroma metabolik di Indonesia diketahui sebesar 21,66%, dengan prevalensi di Jakarta sebesar 37,5%. Kejadian sindroma metabolik seringkali dihubungkan dengan faktor risiko terkait gaya hidup di antaranya aktivitas fisik dan perilaku sedenter. Berdasarkan data Riskesdas 2013 dan 2018, terjadi penurunan tingkat aktivitas fisik pada penduduk Indonesia. Pekerja perkantoran merupakan salah satu populasi yang berisiko terhadap penurunan aktivitas fisik. Hal ini karena rendahnya kebutuhan akan aktivitas fisik selama bekerja dan tinggnya waktu yang dihabiskan dalam posisi sedenter. Pandemi COVID-19 menyebabkan pemberlakuan pembatasan aktivitas dan kebijakan work from home (WFH). Kebijakan tersebut menyebabkan semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik pada pekerja disertai peningkatan perilaku sedenter yang menyebabkan pekerja menjadi lebih rentan mengalami sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19, serta mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder yang diperoleh dari data Posbindu PTM yang dilaksanakan pada salah satu institusi pendidikan negeri di DKI Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 270 pekerja berusia 22-58 tahun yang terdiri dari 99 laki-laki dan 171 perempuan. Pada analisis bivariat ditemukan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian sindroma metabolik (p = 0,321), namun ditemukan hubungan yang signifikan antara waktu sedenter (p = 0,017), usia (p <0,001), dan jenis kelamin (p = 0,04). Berdasarkan analisis multivariat, ditemukan variabel usia yang memengaruhi kejadian sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dan tidak memengaruhi kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19.

Metabolic syndrome is one of the health problems of concern. The prevalence of metabolic syndrome in Indonesia is known to be 21.66%, with a prevalence in Jakarta of 37.5%. The incidence of metabolic syndrome is often associated with lifestyle-related risk factors, including physical activity and sedentary behavior. Based on data from Riskesdas 2013 and 2018, there was a decrease in the level of physical activity in the Indonesian population. Office workers are one of the populations at risk for decreased physical activity. This is due to the low need for physical activity during work and the high time spent in a sedentary position. The COVID-19 pandemic has led to the implementation of activity restrictions and work from home (WFH) policies. This policy causes a decrease in the level of physical activity in workers accompanied by an increase in sedentary behavior which causes workers to become more susceptible to metabolic syndrome. This study aims to determine the relationship between the level of physical activity with the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic, as well as to determine other influencing factors. This study used a cross-sectional design with secondary data obtained from Posbindu PTM data which was carried out at one of the public educational institutions in DKI Jakarta. The research subjects were 270 workers aged 22-58 years consisting of 99 men and 171 women. Bivariate analysis found that the level of physical activity was not significantly associated with the incidence of metabolic syndrome (p = 0.321), but found a significant relationship between sedentary time (p = 0.017), age (p < 0.001), and gender (p = 0 ,04). Based on multivariate analysis, it was found that age variable that affects the incidence of metabolic syndrome. It can be concluded that the level of physical activity is not significantly related and does not affect the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library