Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Patadungan, Christine Naomi D.
Abstrak :
Bangsa Tionghoa merupakan salah satu bangsa yang memiliki warisan budaya yang telah berumur ribuan tahun. Salah satu warisan tersebut adalah pemilihan dan pemberian nama Tionghoa. Menurut kepercayaan Tionghoa pada masa tradisional, nama memiliki makna yang dalam, yaitu sebagai penanda jati diri seseorang, juga sebagai 'indikator' keluarga dan sebagai sarana untuk menghindari diri dari nasib buruk yang diramalkan akan terjadi dalam hidup seseorang. Selain itu nama mewakili hidup, jiwa, tubuh dan energi serta harapan dan ramalan masa depan seseorang. Karena di dalam sebuah nama terdapat gambaran akan nasib seseorang di masa depan, maka pemilihan nama yang baik dan tepat untuk setiap individu adalah hal yang penting. Nama Tionghoa secara umum terdiri atas dua bagian utama, yaitu Xing dan Ming. Xing ditempatkan di depan nama dan diikuti oleh ming yang umumnya terdiri atas dua aksara. Xing berfungsi sebagai nama keluarga dan pada masa kedinastian Tiongkok, Xing menunjukkan posisi atau jabatan seseorang. Selain itu xing juga menunjukkan hubungan darah dan nenek moyang seseorang. Sedangkan ming menunjukkan nama generasi dan nama diri. Dalam sepanjang kehidupannya, seseorang akan mendapatkan nama-nama lain, yaitu ketika ia lahir, bersekolah, lulus dalam ujian negara, bekerja sebagai pejabat di Pemerintahan, menikah, memasuki usia lanjut dan nama ketika meninggal. Namun hal ini sudah tidak dilaksanakan lagi di Indonesia. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih nama adalah wu_xi-ng, yin-yang, ba zi seseorang. Disamping itu masih banyak lagi segi-segi lain , yaitu: Shio dan nama yang digunakan seseorang bukan nama dari generasi yang lebih tua. Melalui data yang diperoleh dari penelitian lapangan, saat ini hanya sedikit orang Tionghoa yang masih menggunakan nama Tionghoa sebagai jati dirinya, meskipun ada sebagian etnis Tionghoa yang memiliki dua nama, nama Indonesia dan nama Tionghoanya. Hal ini disebabkan adanya Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1956 yang menganjurkan agar orang Tionghoa di Indonesia menggunakan nama Indonesia dalam rangka membina kesatuan dan persatuan bangsa. Orang Tionghoa yang memilih menjadi warga negara Indonesia menggunakan berbagai pola dalam menerjemahkan nama Tionghoa mereka. Umumnya mereka masih mempertahankan nama keluarga atau xing. Dari data yang diperoleh dari iklan kematian menunjukkan xing diganti berdasarkan kemiripan bunyi atau diterjemahkan menjadi nama yang berorientasi pada daerah tertentu, namun ada pula yang tetap menggunakan xing asli dan diletakkan di awal nama atau di akhir nama.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iwan Tjitradjaja
Abstrak :
Skripsi ini pad dasarnya mencoba mengetengahkan masalah strategi adaptasi sebagai pokok pembahansannya. Dalam skripsim ini bahwa pilihan atas dagang toko oleh sebagian besar orang Cina Citeureup sebagai strategi yang dianggap paling cocok dan menguntungkan untuk menghadapi lingkungan mereka yang sudah berubah sehingga dapat mencapai keadaan hidup mapan tidak hanaya didasarkan pada pertimbangan ekonomi saja, politik, agama dan kepercayaan, serta latar belakang pendidikan mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1981
S12776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Asruchin
Abstrak :
Sebagai negara yang bersemboyan Bhineka Tungal Ika_, memang Indonesia terbantuk dari beraneka ragam suku bangsa-1engkap dengan segala identitasnya yang melekat. Mereka itu terdiri dari suku bangsa yang diketahui sebagai penduduk asli dari pulau- pulau/daerah yang terbentang luas mulai Sabang sampai Morauke, maupun suku-suku bangsa ketu_runan dari luar yang telah lama menetap dan mengakui Republik Indonesia sebagai tanah air satu-satunya. Di antara kelompok masyarakat tersebut, suku bangsa Tionghoa merupa_kan tipe yang amat menarik untuk di jadikan sumber peneli_tian sosial.Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan masalah Tiong_hoa merupakan masalah yang selalu aktual di manapun, tidak terkecuali di negara kita. Masalah ini cukup peka di kalangan masyarakat, sehingga perlu mendapatkan penanganan _
Depok: Universitas Indonesia, 1979
S12711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esther Kuntjara
Abstrak :
ABSTRACT
The studies of language variation in social context show that women speak differently than men. Many 5ociolingnistic findings since Jespersen (1922) and Lakoff (1975) up to the most recent findings in the late 20`h century (e.g. Bergvall et.al., 1996; Cheshire et.al., 1998; Coates, 1998), have shown the close relationship of women and politeness. The first studies of women's language and politeness were mostly carried out in the English language. These findings have then triggered parallel studies in non-English languages. Interestingly, many studies that have been conducted in Asian languages such as in Chinese, Japanese, Korean, Javanese and Indonesian, reveal that their studies do not always agree with the findings Found in the English languages studies ''(e.g. Matsumoto, 1988; Errington, 1988; Smith-Hefner, 1988; Gu, 1990; Mao, 1994; Chang, 1999). This evidence has postulated the need of conducting many other studies in politeness and its relation to women's linguistic behavior in other languages and other cultures. Researchers have also believed that situational and cultural variables have indeed played important roles in determining what is considered polite behavior in one's particular speech act. This belief has encouraged me to conduct my research on women's politeness behavior in my own language. My being a Chinese descent born in Java, Indonesia, has inspired me to do my research in the politeness behavior of Chinese Indonesians who live in Java. This
2001
D1854
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustopo
2006
D1674
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanti Septiyani
Abstrak :
Masyarakat Cina merupakan masyarakat yang terkenal sebagai masyarakat yang teguh menjalankan tradisi merayakan hari-hari raya tradisional. Ini dapat dilihat dari bermacam-macam hari raya yang mereka rayakan dalam kehidupannya, misalnya Ceng Bang (Qing Ming/_) yang jatuh pada tanggal 5 April atau Festival Lentera yang di Indonesia dikenal dengan Cap Go Meh atau Yuan Xiao (_) yang jatuh pada tanggal 15 bulan 1 penanggalan Imlek. Menurut beberapa sumber, pada dasarnya hanya ada tiga perayaan panting yang biasa dirayakan oleh masyara_kat Cina, yaitu Pesta Musim Semi (Chun Jie/_), Pesta Perahu Naga (Duan Wu Jie,/_) dan Pesta...
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S13066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hannie Kwartanti Pramita Abadi
Abstrak :
Upacara dan perayaan ulang tahun kedatangan Sam Poo Kong diadakan di kelenteng Sam Poo Kong dan Tay Kak Sie di Semarang, Jawa Tengah. Ini adalah acara terbesar dari kelenteng yang terkenal di Jawa Tengah tersebut. Upacara dan perayaan tersebut diadakan setiap tahun yaitu dua hari terakhir bulan keenam Imlek (sistem penanggalan Cina) yang pada tahun 1992 bertepatan dengan tanggal 28 dan 29 Juli. Kedatangan Sam Poo Kong ke Semarang dianggap sebagai hal besar yang patut untuk dikenang dan dirayakan, maka tidaklah mengherankan kalau acara itu berlangsung dengan sangat meriah. Antusiasme masyarakat khususnya para penganut kepercayaan kepada Sam Poo Kong untuk hadir dalam acara tersebut sangat besar. Mereka datang dengan berbagai motivasi seperti menyampaikan terima kasih, meminta berkah, mohon kesembuhan kepada Sam Poo Kong dan sebagainya, atau karena tradisi memperingati dan merayakan hari kedatangan Sam Poo Kong setiap tahun.Upacara dan perayaan yang berlangsung begitu meriah adalah perwujudan keyakinan yang dalam terhadap Sam Poo Kong. Sate Poo Kong yang dianggap sebagai orang yang berjasa besar dijadikan dewa, dipuja, disembah oleh banyak orang dari beragam keyakinan khususnya para penganut kepercayaan kepada Sam Poo Kong. Hal ini didasarkan pada keyakinan masyarakat Cina bahwa orang-orang yang sudah meninggal bisa melindungi dan memberi berkah kepada mereka. Untuk menguraikan dan menganalisis topik tersebut di atas, saya menggunakan penelitian kepustakaan dan lapangan. Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi terlibat. Hasil penelitian membuktikan kebenaran dari teori-teori yang saya pakai bahwa upacara dan perayaan tersebut merupakan suatu perwujudan dari kegiatan religius. Hasil yang diperoleh juga membuktikan bahwa hipotesis yang saya ajukan kurang tepat yaitu orang yang datang ke tempat beribadat (kelenteng), pasti memiliki tujuan, bukan hanya sekedar kebiasaan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintang Arlisabetha
Abstrak :
Keluarga merupakan pilar terpenting dalam kehidupan masyarakat Cina. Istilah keluarga, yang telah menjadi kata yang umum digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, akan menjadi lebih rumit apabila kemudian diterjemahkan ke dalam pengertian keluarga Cina, yang dalarn bahasa Cina disebut sebagai Jia. Masyarakat Cina percaya pada konsep keluarga ideal, yaitu keluarga yang terdiri dari lima generasi yang hidup bersama dalam satu atap, satu anggaran yang sama, satu tungku dapur yang sama dan dibawah satu kepala keluarga (jiazhang). Komposisi keluarga ideal seperti ini disebut Five Generation Co-residing (lima generasi yang tinggal bersama-sama). Orang Cina sendiri memiliki dua pilar panting di dalamnya, keduanya terwujud dalam organisasi kekerabatan yaitu lineage (marga) dan clan (klan). Clan (shizu) merupakan organisasi yang terbentuk herdasarkan kekerabatan keluarga atau pertalian darah, namun yang lebih panting oleh karena kewajiban dan hak bersama. Clan sebagai sebuah organisasi juga memiliki properti bersama, salah satunya adalah kelenteng leluhurl marga (zu tang). Kelenteng marga tertua di Jakarta diketahui berasal dari dua keluarga besar dan berpengaruh di Jakarta saat itu yaitu, marga Tan (Chen) dan Lim (Lin). Kelenteng Chenshi Zu dari marga Tan (Chen) dan Kelenteng Tian 1-Iou dari keluarga
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S11409
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Makmur
Abstrak :
Sampai saat ini masalah asimilasi penduduk Tionghoa masih merupakan suatu masalah yang tetap diperbincangkan di Indonesia, dan masalah itu lebih populer dengan sebut an masalah pribumi dan non-pribumi. Sebenarnya hal yang demikian adalah wajar terjadi pada setiap negara yang memppyai masyarakat yang terdiri dari beraneka warna su ku bangsa yang memiliki kebudayaan yang beraneka warna pula dan ditambah pula dengan adanya golo4gan minoritas tertentu dengan kebudayaannya yang tereendiri pula. Salah satu aspek dari kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia yang masih bertahan dan merupakan suatu ciri menyolok yang menunjukkan ketionghoaan mereka lalah da_lam bidang religi Cina tradisional. Walaupun ada banyak pula orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara In_donesia telah meninggalkan dan melupakan religi tradisio nul mereka, dan Lelah menganut uulah autu dart ugama-gaga ma besar seperti Katolik, Kristen Protestant dan jugs Is lam. Khusus dalam tulisan ini yang saya bicarakan adalah menge_naJ orang '1'ionghou yang masih munganut re l ifr,l. don keyakinan tradisional, pemujaan leluhur atau nenek mo_yang.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1983
S12809
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>