Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harry Isbagio, co-promotor
"ABSTRAK
Osteoartritis (OA) didefinisikan sebagai penyakit yang diakibatkan kejadian biologik dan mekanik yang menyebabkan gangguan keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis dari kondrosit, matriks ekstraseluler tulang rawan sendi dan tulang subkondral, Penyakit OA bermanifestasi sebagai perubahan morfologik, biokimia, molekuler dan biomekanik dari sel dan matriks yang mengakibatkan perlunakan, fibrilasi, ulserasi, menipisnya tulang rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling sering ditemui di seluruh dunia. WHO memperkirakan 10 % dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini. Di Indonesia OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak dijumpai. Di Poliklinik Subbagian Reumatologi FKUI/RSCM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit reumatik yang berobat antara tahun 1991-1994.
Etiopatogenesis osteoartritis pada umumnya dan osteoartritis lutut pada khususnya belum sepenuhnya diketahui. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Faktor risiko pada OA dapat dibedakan dalam faktor risiko kejadian awal (incident) dan faktor risiko progresivitas dan beratnya OA. Salah satu faktor risiko yang diduga berperan pada progresivitas OA lutut ialah densitas massa tulang (DMT). Penelitian epidemiologik longitudinal mendapatkan bahwa DMT tinggi berperan sebagai salah satu faktor initiasi kejadian OA lutut , tetapi tidak berhubungan dengan progresivitas. Sejumlah petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitornya yang berasal dari tulang rawan sendi telah ditemukan di berbagai penelitian pada hewan percobaan dan pada manusia penderita OA. Petanda molekuler tersebut antara lain YKL-40 (Petanda sintesis) dan Cartilage oligomeric protein (COMP, petanda destruksi), sedangkan enzim proteinase antara lain Matrix Metaloproteinase-3 (MMP-3, petanda katabolik) serta inhibitornya Tissue inhibitors of metaloproteinase-1 (TIMP-1, petanda anabolik), mengalami perubahan sejajar dengan progresivitas radiografik OA Iutut.
Hingga saat ini suatu penelitian longitudinal yang mencari hubungan antara DMT dengan progresivitas OA lutut pada pasien yang telah menderita OA lutut dengan menggunakan parameter petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitomya belum pernah dilakukan.
Penetapan Masalah Penelitian
Menjadi suatu pertanyaan apakah pada pasien OA lutut setelah jangka waktu panjang akan terjadi progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.,bagaimana kaitan antara DMT total yang rendah dalam jangka waktu panjang terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, dan bagaimana korelasi di antara kadar serum petanda molekuler/metabolik.
Metodologi Penelitian
Desain penelitian: Studi kohort dengan efek berskala numerik pada penderita OA lutut primer, derajat 2 dan 3 yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok DMT total normal dan kelompok DMT total osteopenia/osteoporosis untuk menilai pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.
Tempat dan waktu penelitian: Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Waktu penelitian ialah tahun 1997 (awal penelitian) sampai dengan tahun 2004 (akhir penelitian).
Populasi dan sampel penelitian: Penderila OA lutut yang datang ke Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM Jakarta pada tahun 1997-1998 yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Hasil Penelitian
Karateristik kasus
Telah dilakukan evaluasi awal dan akhir pada 37 penderita OA lutut, yang terdiri dari 14 penderita kelompok osteopeni/osteoporosis dan 23 penderita kelompok normal. Analisis berbagai karateristik klinik yaitu umur, jenis kelamin, lama sakit, katagori berat badan, derajat OA lutut, nilai aktifitas harian, Indeks Lequesne pada awal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok yang menunjukkan homogenitas kedua kelompok tersebut. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk lama penelitian di antara kedua kelompok.
Pada seluruh kasus di akhir penelitian terdapat peningkatan nilai Indeks Lequesne dan penurunan nilai aktifitas harian yang bermakna (p<0.05) dibanding dengan awal penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna perubahan tingkat sakit di antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) rerata kenaikan nilai Indeks Lequesne di antara katagori perubahan tingkat sakit.
Hubungan karakieristik kasus dengan petanda metabolik Terdapat korelasi positif sedang bermakna (r=0.453, p<0.01) antara umur dengan log kadar YKL-40 serum awal penelitian, aorta korelasi positif sedang bermakna (r=0.368, pr0,05) antara umur dan kadar TIMP-1 serum awal penelilian.Tidak terdapat korelasi antara umur dengan COMP dan MMP-3 serum.
Kadar TIMP serum awal penelitian lebih tinggi pada wanita (251.76 + 50.31 ng/mL) dan pria (225.79 + 20.26 ng/mL), Kadar MMP-3 serum awal penelitian lebih tinggi pada pria (25.94±12,18 ng/ml) dari wanita (17.81 + 10.64 ng/mL) dan ratio kadar MMP3/TIMP-1 awal penelitian lebih tinggi pada pria dari wanita, perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan bermakna kadar YKL-40 dan kadar COMP serum antara pria dan wanita. Tidak ada korelasi antara lama sakit dengan kadar YKL-40, COMP, TIMP-l .dan MMP-3 serum pada awal penelitian.
Indeks Massa Tubuh (IMT) awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.411) dan bermakna (p < 0.05) dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Sedangkan petanda metabolik lainnya tidak mempunyai korelasi dengan IMT awal penelitian. Pada akhir penelitian tidak terdapat korelasi antara IMT akhir penelitian dengan salah satu petanda metabolik tulang rawan sendi yang diteliti .
Tidak terdapat perbedaan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian, Kadar COMP serum awal penelitian, Kadar TIMP-l serum awal penelitian, Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian, dan Log Ratio MMP-3/111MP-1 awal penelitian di antara tingkat derajat OA lutut awal penelitian, Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r = 0.685) dan bermakna (p< 0,001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.512) dan bermakna (p<0.01), Kadar TIMP-1 serum awal penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0.573) dan bermakna (p<0.001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0,434) dan bermakna (p< 0,01). Kadar serum awal dan akhir penelitian petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 tidak berkorelasi dengan Indeks Lequesne awal dan akhir.
Tidak terdapat hubungan antara Total nilai aktivitas harian awal penelitian dengan berbagai kadar petanda metabolik tulang rawan sendi awal penelitian, demikian pula pada akhir penelitian.
Rerata kadar YKL-40 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (217.82 + 227,03 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (141.20 ± 119.03 ng/mL) tetapi tidak berbeda bermakna. Rerata kadar YKL-40 serum akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (345.44 + 334.41 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (156.55 ± 89.87 ng/mL), Log dari kadar YKL-40 serum ini berbeda bermakna (p < 0.05).
Rerata kadar COMP serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10.10+2,74 U/L) lebih tinggi dari kelompok normal (10.85 ± 3.22 U/L) dan rerata kadar COMP akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10,08+2.13 U/L) lebih rendah dari kelompok normal (10,85 ± 3.22 U/L), tidak berbeda bermakna.
Rerata kadar TIMP-I serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (258.66±64.17 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (235.15 + 25.46 ng/mL) dan rerata kadar T1MP-I akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (252.58+75.44 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (220.45+49.82 ng/mL), tidak berbeda bermakna,
Rerata kadar MMP-3 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (21,62 + 12.40 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (19.38 + 11.25 ng/mL), rerata kadar MMP-3 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (56,04 + 68.55 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (25,59 + 10.16 ng/mL), tidak berbeda bermakna.
Rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.0885 + 0.057 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0,0835 + 0.0505), rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.2329 + 0,2619 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0.1215 + 0.0537) , tidak berbeda bermakna.
Hubungan antara perubahan tingkat sakit dengan nilai perubahan petanda metabalik pada seluruh kasus kelompok osteopenilporosis dan kelompok normal.
Pada evaluasi seluruh kasus terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara kategori perubahan tingkat sakit (p< 0.05), terdapat penurunan Rerata Nilai perubahan Kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan kategori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada evaluasi kelompok normal terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara katagori perubahan tingkat sakit (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak terdapat perbedaan berrnakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat pula kecenderungan penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP antara katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk".
Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar YKL-40 serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan Rerata Nilai perubahan Kadar YKL-40 antara katagori "tidak ada perubahan" dengan katagori "sangat memburuk", demikian pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal
Pada evaluasi seluruh kasus, demikian pula untuk kelompok normal, rerata Sin nilai perubahan kadar MMP-3 serum di antara kategori perubahan tingkat sakit berbeda bermakna (p<0.05), dimana terdapat Kenaikan Rerata Nilai perubahan Kadar MMP-3 dari katagori "memburuk " dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna, sedangkan untuk kelompok osteopeni/porosis tidak berbeda bermakna.
Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar TIMP-1 di antara kategori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan rerata nilai perubahan Kadar TIMP-l antara katagori "membaik" dengan katagori ?sangat memburuk", derntldan pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal.
Perubaban kadar petanda metabolik matriks tulang rawan sendi antara awal dengan akhir penelitian.
Pada seluruh kasus rerata kadar YK L-40 serum pada akhir penelitian ( 228.02 ± 237.48 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (170.19+169.38 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.01).
Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (345.44 + 344.41 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (217.82 + 227.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05).
Pada kelompok normal rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (146,55 + 89.87 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (141.20 + 119.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini tidak berbeda bermakna.
Pada seluruh kasus rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (11.43 + 3,34 U/L) Iebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10,90 + 3.01 U/L) , tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (10,09 + 2,13 U/L) lebih rendah dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.10 ± 2.74 U/L), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Hasil pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak bermakna menunjukkan kebalikan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus yang justru terjadi kenaikan kadar COMP pada akhir penelitian dibanding awal penelitian. Pada kelompok normal rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (12.26 + 3.72 U/L) lebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.85 + 3.22 U/L), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).Hasil pada kelompok normal menunjukkan kesamaan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus.
Pada seluruh kasus rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (232.61 + 61.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TIMP-1 serum pada awal penelitian (244.05 + 44.91 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteo-peni/porosis rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (252.58 + 75.44 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (258.66 + 64.17 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna Pada kelompok normal rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (220.46 + 49.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (235.15 + 25.46 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna.
Pada seluruh kasus rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian 37,11 + 44,55 ng/mL) lebih tinggi (dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (20.26 + 1158 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 awal dengan akhir penelitian berbeda berrnakna (p<0,01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (56.04 + 68.55 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (21.62 + 12.40 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p< 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (25.59 + 10.16 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (19.38 ± 11.25 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05)
Pada seluruh kasus rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1636 + 0.1718) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-l serum pada awal penelitian (0.0854 + 0.0526), rerata Log ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p<0,001). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.233 + 0,262) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0.0885 ± 0.0577), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Pada kelompok normal rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1215 + 0.0537) lebih tinggi dari rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0,0835 ± 0,0505), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).
Hubungan antara Densitas Massa Tulang Total dengan Nilai Perubahan petanda metabolik matriks tulang rawan sendi.
Rerata nilai perubahan dari kadar YKL-40 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 124.05 ± I74.06 ng/mL Iebih tinggi dari kelompok normal sebesar 15,35 ± 87.43 ng/mL, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05).
Rerata nilai perubahan dari kadar COMP serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah - 0.91 ± 2.99 U/L Iebih rendah dari kelompok normal sebesar 1,41 + 3.20 U/L, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05) Rerata nilai perubahan dari kadar TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah -6.08 ± 66.18 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar -14.7044.44 ng/mL, perbedaan antara keduanya tidak bermakna.
Rerata nilai perubahan dari kadar MMP-3 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 34.47 + 62.90 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 6.21 + 14.28 ng/mL, rerata sinus nilai perubahan kadar MMP-3 antara keduanya berbeda bermakna (p<0.05).
Rerata Nilai perubahan dari ratio MMP-3/TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 0.1443+0.2356 lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 0.0379 + 0.0678, perbedaan antara keduanya tidak bermakna.
Korelasi diantara petanda metabolik matriks tulang rawan sendi
Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r=0.727) dan bermakna (p< 0.001) dengan Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian temyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.473) dan bermakna (p( 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada awal penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40, Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.545) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada akhir penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40.
Kadar COMP serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.469) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar COMP serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian.
Kadar TIMP-1 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.546) dan bermakna (p<0.001) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum akhir penelitian.
Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.528) dan bermakna (p<0.01) dengan Log Kadar MMP-3 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara Log kadar MMP-3 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar MMP-3 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian.
Kesimpulan
Terdapat kecenderungan makin berat perubahan tingkat sakit yang dialami penderita makin besar nilai kenaikan kadar YKL-40 serum (petanda sintesis) dan kadar MMP-3 serum (petanda katabolik) serta makin besar nilai penurunan kadar TEMP-1 serum (petanda anabolic).Terdapat pola yang unik dari nilai perubahan kadar COMP serum (petanda destruksi) pada berbagai kategori perubahan tingkat sakit. Pada kategori "tidak ada perubahan" dan kategori "memburuk" terjadi kenaikan nilai perubahan kadar COMP serum, sebaliknya pada kategori "sangat memburuk" terjadi penurunan nilai perubahan kadar COMP serum.
Pada penderita OA lutut grade 2 dan 3, pada jangka waktu panjang kurang lebih 70 baton, terjadi peningkatan bermakna proses sintesis (dinilai dengan YKL-0), peningkatan proses destruksi (dinilai dengan COMP), peningkatan proses katabolik (dinilai dengan MMP-3) dan peningkatan aktiritas proses enzim katabolik (dinilai dengan ratio MMP-3JTIMP-1). Terdapat pula kecenderungan penurunan proses anabolik (dinilai dengan TIMP-1) walaupun tidak bermakna. Pada pasien OA lutut setelah jangka waktu yang panjang akan teijadi peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terbadap hipotesis pertama).
Setelah jangka waktu panjang selama kurang lebih 70 bulan, penderita OA lutut grade 2 dan 3 yang pada awal penelitian mempunyai DMT total osteopeni/porosis, secara bermakna akan mengalami progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, yaitu proses sintesis (diwakili YLK-40), proses destruksi (diwakili COMP), proses katabolik (diwakili MMP-3). yang lebih besar dibanding dengan kelompok normal. Tidak terdapat perbedaan proses anabolik (diwakili TRAP-1) dan tidak terdapat perbedaan peningkatan aktivilas enzim katabolik (diwakili ratio MMP-31TIMP-1) di antara kedua kelompok. DMT total yang rendah jangka panjang pada penderita OA lutut bukan merupakan faktor protektif progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terhadap hipotesis kedua).
Terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian, kadar COMP serum awal dengan akhir penelitian, kadar TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian, kadar MMP-3 serum awal dan akhir penelitian, ratio MMP-3/TTMP-1 awal dengan akhir penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal penelitian dengan kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum akhir penelitian dengan kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak terdapat korelasi bermakna di antara petanda metabolik lain dalam penelitian ini (jawaban terhadap hipotesis ketiga).
Saran
Untuk memastikan pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas OA lutut maka perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketebalan tulang rawan sendi awal terhadap ketebalan tulang rawan sendi akhir penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan MRI. Penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan DMT pada berbagai tempat (vertebra, panggul dan kaki) terhadap metabolisme tulang rawan sendi pada OA berbagai tempat pula (vertebra, pangggui dan kaki). Penelitian serupa dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi kadar petanda metabolik lainnya seperti hialuronan, frogmen kolagen dan yang lainnya, baik kadar dalam serum maupun kadar dalam cairan sendi.
Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa penderita OA lutut grade 2/3 yang juga menderita osteopeni/porosis setelah jangka waktu panjang mengalami peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi yang lebih berat, maka dianjurkan bagi para dokter untuk tanpa ragu rnelakukan penatalaksanaan untuk meningkatkan DMT pada penderita seperti tersebut dengan berbagai program dan modalitas yang telah diakui secara luas.
Petanda metabolik matriks tulang rawan sendi YKL-40 dan COMP dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas sebagai petanda progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi pada OA lutut, antara lain untuk menilai hasil pengobatan dengan menggunakan obat-obatan perubah perjalanan penyakit OA (Disease Modifying Osleoarthritis Drugs=DMOA).

Study On Long-term Effect Of Low Bone Mass Density On Progression Of Cartilage Matrix Destruction On Knee OsteoarthritisOsteoarthritis (OA) is result of both mechanical and biologic events that destabilize the normal coupling of degradation and synthesis of articular cartilage chondrocytes and extra cellular matrix, and subchondral bone. OA diseases are manifested by morphologic, biochemical, molecular and biomechanical changes of both cells and matrix, with lead to a softening, fibrillation, ulceration, loss of articular cartilage, sclerosis and eburnation of subchondral bone, osteophyte and subchondral cysts. Longitudinal epidemiologic study on knee OA revealed that higher I3MD was strong factor in initiating the development of knee OA, but did not correlated with disease progressivity.
A number of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors derived from joint cartilage had been clarified in several publication studies on animal model and human with OA. Those molecular markers are YKL-40 (synthesis marker) and Cartilage Oligomeric Protein (COMP, destructive marker), meanwhile proteinases enzyme such as Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3, catabolic marker) and its inhibitor Tissue Inhibitors of Metalloproteinase-1 (T1MP-1, anabolic marker). These markers will changes in parallel with radiographic progression of knee OA.
A longitudinal cohort study should be made to clarify the correlation between BMD and diseases progression using the parameter of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors on an established knee OA.
Thirty-seven patients had been enrolled on this longitudinal study (±70 months), initial and final evaluation has been conducted. Those patients comprises of 14 patients in osteopenic/osteoporotic group and 23 patients with normal total BMD. The homogeneity of two groups is well maintained.
There is a moderate positive significant correlation (r-0.453, p<0.01) between age and initial log of serum YKL-40, and the same results (r-0.368, p<0.05) between age and initial serum TIMP-l at the beginning of the study. At baseline of the study, the serum level of TIMP was higher in women (251.76±50.31 ng/ml) than men (225 ± 20.26 ng/ml), meanwhile the baseline serum MMP-3 was seen higher in men (25.94 ± 12.18 ng/ml) compared to women (17.81 ± 10.64 ng/ml), as well as the MMP3/TIMP-1 ratio was higher in men than women. All differences are statistically significant (p<0.05). A moderate positive significant correlation (r<0.44I, p<0.05) demonstrated between body mass index (BMI) and level of log YKL-40 at baseline of the study. Log level of YKL-40, at baseline of the study, demonstrated a strong positive correlation (r<1.685) and statistically significance difference (p<0.05) with initial Lequesne index. By the end of the study the correlation is moderately positive (1.512) and proven statistically significance difference (p<0.Ol). The baseline serum TIMP-l level is moderately positive significance correlation 0-0.573, p<0.00I) with Lequesne index, meanwhile the same results was shown by the end of study (r<573, p<0.001). The means of serum YKL-40 (by study ends) in osteopenic/osteoporosis group was also higher (345.44 ± 334.40 ng/ml) in comparison with the normal group (156.55 ± 89.87 ng/ml) and the lag of serum YKL-40 level was statistically significance difference (p<0.05) between the two groups. Both baseline and study ends value of COMP level between the two groups was not statistically significance differences. Evaluation of TIMP-l level at baseline and by the study end also showed no significance by statistic method_ A higher result of serum MMP-3 level is higher in osteopenic/osteoporosis group than a normal group at baseline and study ends. Both means value of MMP-3/TIMP-l ratio seems higher in osteopenic/osteoporosis group than the normal group, but not significant noted.
An evaluation has been made for all of the cases for the changes of serum COMP level according to the severity of illnesses. The result shows a significance difference between the two parameters. There is a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. In the normal group, the evaluation demonstrated a significance difference between the means of serum COMP level and the severity of illnesses (p<0.05). There is also a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. Meanwhile, in the osteopenic/osteoporosis group revealed no significance difference between the mean values of serum COMP level and the severity of illnesses. In both groups, there was a tendency of increasing means value of serum YKL-40 level from the "unchanged" category to the "getting worst" category. The evaluation of serum MMP-3 level in both total group and normal group shows a statistically significance difference (pc0.05) while calculated with the severity of illnesses.
This study demonstrated an increasing tendency of the serum TIMP-1 level in the total group by the severity of illnesses category (between "getting better" category to "getting worst" category, but not statistically significance difference. By divide onto two groups, the osteopenic/osteoporosis group and the normal group, the statistic shows the same result.
The log means of YKL-40 level is statistically significance different (pr 0,01), In osteopenic/osteoporosis group the means value of serum YKL-40 level also showed a statistically significance different (pr0.05), but not in normal group. An evaluation of serum COMP level in all cases demonstrated that there was an increasing value between the baseline and by the end of study. The result in the osteopenic/osteoporosis group was in the contrary with the total group, The result in the normal group was in accordance with the total group analysis. There was no statistically significance difference, when the serum TIMP-1 level was calculated between the baseline and the end value, A significant different (pr 0,01) noted when the log mean serum MMP-3 level was calculated between the baseline and by the study end value. A less but significance difference (pr0.05) was also noted in the osteopeni/osteoporosis group from the evaluation of serum MMP-3 level. The same result demonstrated in the normal group with the same significance of pr0.05. By the study end, the ratio MMP-3 and TIMP-I was higher than the baseline and this result was significant on statistic calculation (p<0.001), The same result demonstrated in both osteopenic/osteoporosis group and the normal group. Meanwhile in the normal group, the baseline ratio of MMP-3/TIMP-l was 0,0835 ± 0.0505 and the study end ratio was higher than the baseline (0.1215 ± 0,0537).
A means changes value of serum YKL-40 was higher in osteopenic/osteoporosis group (124,05 -F 174.06 ng/ml) compare to the normal group (15.35 ± 87.43 ng/ml) and this difference was statistically significant (pr0.05). The means changes in serum COMP level, also noted much higher in osteopenic/osteoporosis group compare to normal group. The result was statistically significant (pr0.05). Evaluations also have been made for the level of MMP-3 and the ratio of MMP-3ITIMP-I. In osteopenic/osteoporosis group, the means changes of serum MMP-3 level were higher (34,47 ± 62,90 ng/ml) than the normal group of 6.21 ± 14.28 ng/ml.
Log serum YKL-40 level at baseline of the study have a strong positive significant correlation (r 0.727, pr0.00I) in comparison with the ends value of serum YKL-40. Log serum YKL-10 level by the study ends, was moderately positive correlation (r1545) and statistically significance (p<0.01) in comparison with the study ends serum TIMP-1 level. There was a statistical significant (p<0.0I) and moderate correlation (r 0.469) when the level of COMP has had been evaluated between baseline and the study ends value. A serum TIMP-l level at baseline was proven having a moderate correlation (r.546) and statistical significance (pr0.00I) with its value at the study ends. There was no correlation between the serum TIMP-I level al baseline and others metabolic markers, except for the serum YKL-40 level at baseline. A moderate positive correlation (r 0.528) and statistical significance (p<0.01) was demonstrated when log serum MMP-3 level at baseline was calculated to the study ends value.
In knee OA, in the long period, there will be an increasing progressivity of joint cartilage matrix degradation. A lower total BMD value, in knee OA patients and the long period, do not a protective factor for progressivity of joint cartilage matrix degradation. There was no con-elation amongst others metabolic markers in this study.
A further study to clarify the impact of total BMD to the progressivity of knee OA should be made by measuring the thickness of joint cartilage using MRI and by comparing BMD at different site and the metabolism of joint cartilage at different site. Others similar study could be performed by measuring others metabolic markers for synthesis and degradation such as hyaluronan, collagen fragment, etc in serum and or the synovial fluid,
Concerning the results of this study that demonstrated that knee OA patients, grade 2 and 3 who had osteopenic/osteoporosis for a long time will have more progressive and severe joint cartilage matrix degradation; every doctor should ask for BMD measurement undoubtedly and manage such patients with know-n various effective and accepted modalities/program.
A metabolic marker of joint cartilage matrix YKL-40 and COMP should be considered to be use widely as a progressive marker for joint cartilage matrix degradation in knee OA. The use of this marker will be much beneficial in evaluating the treatment using disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs).
"
2004
D583
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Isbagio
"Osteoartritis (OA) didefinisikan sebagai penyakit yang diakibatkan kejadian biologik dan mekanik yang menyebabkan gangguan keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis dari kondrosit, matriks ekstraseluler tulang rawan sendi dan tulang subkondral, Penyakit OA bermanifestasi sebagai perubahan morfologik, biokimia, molekuler dan biomekanik dari sel dan matriks yang mengakibatkan perlunakan, fibrilasi, ulserasi, menipisnya tulang rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling sering ditemui di seluruh dunia. WHO memperkirakan 10 % dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini. Di Indonesia OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak dijumpai. Di Poliklinik Subbagian Reumatologi FKUI/RSCM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit reumatik yang berobat antara tahun 1991-1994. Etiopatogenesis osteoartritis pada umumnya dan osteoartritis lutut pada khususnya belum sepenuhnya diketahui. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Faktor risiko pada OA dapat dibedakan dalam faktor risiko kejadian awal (incident) dan faktor risiko progresivitas dan beratnya OA. Salah satu faktor risiko yang diduga berperan pada progresivitas OA lutut ialah densitas massa tulang (DMT). Penelitian epidemiologik longitudinal mendapatkan bahwa DMT tinggi berperan sebagai salah satu faktor initiasi kejadian OA lutut , tetapi tidak berhubungan dengan progresivitas. Sejumlah petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitornya yang berasal dari tulang rawan sendi telah ditemukan di berbagai penelitian pada hewan percobaan dan pada manusia penderita OA. Petanda molekuler tersebut antara lain YKL-40 (Petanda sintesis) dan Cartilage oligomeric protein (COMP, petanda destruksi), sedangkan enzim proteinase antara lain Matrix Metaloproteinase-3 (MMP-3, petanda katabolik) serta inhibitornya Tissue inhibitors of metaloproteinase-1 (TIMP-1, petanda anabolik), mengalami perubahan sejajar dengan progresivitas radiografik OA Iutut. Hingga saat ini suatu penelitian longitudinal yang mencari hubungan antara DMT dengan progresivitas OA lutut pada pasien yang telah menderita OA lutut dengan menggunakan parameter petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitomya belum pernah dilakukan. Penetapan Masalah Penelitian Menjadi suatu pertanyaan apakah pada pasien OA lutut setelah jangka waktu panjang akan terjadi progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.,bagaimana kaitan antara DMT total yang rendah dalam jangka waktu panjang terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, dan bagaimana korelasi di antara kadar serum petanda molekuler/metabolik. Metodologi Penelitian Desain penelitian: Studi kohort dengan efek berskala numerik pada penderita OA lutut primer, derajat 2 dan 3 yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok DMT total normal dan kelompok DMT total osteopenia/osteoporosis untuk menilai pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi. Tempat dan waktu penelitian: Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Waktu penelitian ialah tahun 1997 (awal penelitian) sampai dengan tahun 2004 (akhir penelitian). Populasi dan sampel penelitian: Penderila OA lutut yang datang ke Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM Jakarta pada tahun 1997-1998 yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Hasil Penelitian Karateristik kasus Telah dilakukan evaluasi awal dan akhir pada 37 penderita OA lutut, yang terdiri dari 14 penderita kelompok osteopeni/osteoporosis dan 23 penderita kelompok normal. Analisis berbagai karateristik klinik yaitu umur, jenis kelamin, lama sakit, katagori berat badan, derajat OA lutut, nilai aktifitas harian, Indeks Lequesne pada awal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok yang menunjukkan homogenitas kedua kelompok tersebut. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk lama penelitian di antara kedua kelompok. Pada seluruh kasus di akhir penelitian terdapat peningkatan nilai Indeks Lequesne dan penurunan nilai aktifitas harian yang bermakna (p<0.05) dibanding dengan awal penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna perubahan tingkat sakit di antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) rerata kenaikan nilai Indeks Lequesne di antara katagori perubahan tingkat sakit. Hubungan karakieristik kasus dengan petanda metabolik Terdapat korelasi positif sedang bermakna (r=0.453, p<0.01) antara umur dengan log kadar YKL-40 serum awal penelitian, aorta korelasi positif sedang bermakna (r=0.368, pr0,05) antara umur dan kadar TIMP-1 serum awal penelilian.Tidak terdapat korelasi antara umur dengan COMP dan MMP-3 serum. Kadar TIMP serum awal penelitian lebih tinggi pada wanita (251.76 + 50.31 ng/mL) dan pria (225.79 + 20.26 ng/mL), Kadar MMP-3 serum awal penelitian lebih tinggi pada pria (25.94±12,18 ng/ml) dari wanita (17.81 + 10.64 ng/mL) dan ratio kadar MMP3/TIMP-1 awal penelitian lebih tinggi pada pria dari wanita, perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan bermakna kadar YKL-40 dan kadar COMP serum antara pria dan wanita. Tidak ada korelasi antara lama sakit dengan kadar YKL-40, COMP, TIMP-l .dan MMP-3 serum pada awal penelitian. Indeks Massa Tubuh (IMT) awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.411) dan bermakna (p < 0.05) dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Sedangkan petanda metabolik lainnya tidak mempunyai korelasi dengan IMT awal penelitian. Pada akhir penelitian tidak terdapat korelasi antara IMT akhir penelitian dengan salah satu petanda metabolik tulang rawan sendi yang diteliti . Tidak terdapat perbedaan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian, Kadar COMP serum awal penelitian, Kadar TIMP-l serum awal penelitian, Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian, dan Log Ratio MMP-3/111MP-1 awal penelitian di antara tingkat derajat OA lutut awal penelitian, Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r = 0.685) dan bermakna (p< 0,001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.512) dan bermakna (p<0.01), Kadar TIMP-1 serum awal penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0.573) dan bermakna (p<0.001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0,434) dan bermakna (p< 0,01). Kadar serum awal dan akhir penelitian petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 tidak berkorelasi dengan Indeks Lequesne awal dan akhir. Tidak terdapat hubungan antara Total nilai aktivitas harian awal penelitian dengan berbagai kadar petanda metabolik tulang rawan sendi awal penelitian, demikian pula pada akhir penelitian. Rerata kadar YKL-40 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (217.82 + 227,03 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (141.20 ± 119.03 ng/mL) tetapi tidak berbeda bermakna. Rerata kadar YKL-40 serum akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (345.44 + 334.41 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (156.55 ± 89.87 ng/mL), Log dari kadar YKL-40 serum ini berbeda bermakna (p < 0.05). Rerata kadar COMP serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10.10+2,74 U/L) lebih tinggi dari kelompok normal (10.85 ± 3.22 U/L) dan rerata kadar COMP akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10,08+2.13 U/L) lebih rendah dari kelompok normal (10,85 ± 3.22 U/L), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar TIMP-I serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (258.66±64.17 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (235.15 + 25.46 ng/mL) dan rerata kadar T1MP-I akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (252.58+75.44 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (220.45+49.82 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar MMP-3 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (21,62 + 12.40 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (19.38 + 11.25 ng/mL), rerata kadar MMP-3 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (56,04 + 68.55 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (25,59 + 10.16 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.0885 + 0.057 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0,0835 + 0.0505), rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.2329 + 0,2619 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0.1215 + 0.0537) , tidak berbeda bermakna. Hubungan antara perubahan tingkat sakit dengan nilai perubahan petanda metabalik pada seluruh kasus kelompok osteopenilporosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara kategori perubahan tingkat sakit (p< 0.05), terdapat penurunan Rerata Nilai perubahan Kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan kategori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada evaluasi kelompok normal terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara katagori perubahan tingkat sakit (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak terdapat perbedaan berrnakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat pula kecenderungan penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP antara katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk". Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar YKL-40 serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan Rerata Nilai perubahan Kadar YKL-40 antara katagori "tidak ada perubahan" dengan katagori "sangat memburuk", demikian pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus, demikian pula untuk kelompok normal, rerata Sin nilai perubahan kadar MMP-3 serum di antara kategori perubahan tingkat sakit berbeda bermakna (p<0.05), dimana terdapat Kenaikan Rerata Nilai perubahan Kadar MMP-3 dari katagori "memburuk " dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna, sedangkan untuk kelompok osteopeni/porosis tidak berbeda bermakna. Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar TIMP-1 di antara kategori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan rerata nilai perubahan Kadar TIMP-l antara katagori "membaik" dengan katagori ?sangat memburuk", derntldan pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal. Perubaban kadar petanda metabolik matriks tulang rawan sendi antara awal dengan akhir penelitian. Pada seluruh kasus rerata kadar YK L-40 serum pada akhir penelitian ( 228.02 ± 237.48 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (170.19+169.38 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (345.44 + 344.41 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (217.82 + 227.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (146,55 + 89.87 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (141.20 + 119.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini tidak berbeda bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (11.43 + 3,34 U/L) Iebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10,90 + 3.01 U/L) , tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (10,09 + 2,13 U/L) lebih rendah dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.10 ± 2.74 U/L), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Hasil pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak bermakna menunjukkan kebalikan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus yang justru terjadi kenaikan kadar COMP pada akhir penelitian dibanding awal penelitian. Pada kelompok normal rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (12.26 + 3.72 U/L) lebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.85 + 3.22 U/L), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).Hasil pada kelompok normal menunjukkan kesamaan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus. Pada seluruh kasus rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (232.61 + 61.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TIMP-1 serum pada awal penelitian (244.05 + 44.91 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteo-peni/porosis rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (252.58 + 75.44 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (258.66 + 64.17 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna Pada kelompok normal rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (220.46 + 49.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (235.15 + 25.46 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian 37,11 + 44,55 ng/mL) lebih tinggi (dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (20.26 + 1158 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 awal dengan akhir penelitian berbeda berrnakna (p<0,01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (56.04 + 68.55 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (21.62 + 12.40 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p< 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (25.59 + 10.16 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (19.38 ± 11.25 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05) Pada seluruh kasus rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1636 + 0.1718) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-l serum pada awal penelitian (0.0854 + 0.0526), rerata Log ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p<0,001). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.233 + 0,262) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0.0885 ± 0.0577), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Pada kelompok normal rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1215 + 0.0537) lebih tinggi dari rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0,0835 ± 0,0505), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Hubungan antara Densitas Massa Tulang Total dengan Nilai Perubahan petanda metabolik matriks tulang rawan sendi. Rerata nilai perubahan dari kadar YKL-40 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 124.05 ± I74.06 ng/mL Iebih tinggi dari kelompok normal sebesar 15,35 ± 87.43 ng/mL, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05). Rerata nilai perubahan dari kadar COMP serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah - 0.91 ± 2.99 U/L Iebih rendah dari kelompok normal sebesar 1,41 + 3.20 U/L, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05) Rerata nilai perubahan dari kadar TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah -6.08 ± 66.18 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar -14.7044.44 ng/mL, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Rerata nilai perubahan dari kadar MMP-3 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 34.47 + 62.90 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 6.21 + 14.28 ng/mL, rerata sinus nilai perubahan kadar MMP-3 antara keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Rerata Nilai perubahan dari ratio MMP-3/TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 0.1443+0.2356 lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 0.0379 + 0.0678, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Korelasi diantara petanda metabolik matriks tulang rawan sendi Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r=0.727) dan bermakna (p< 0.001) dengan Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian temyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.473) dan bermakna (p( 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada awal penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40, Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.545) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada akhir penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40. Kadar COMP serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.469) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar COMP serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kadar TIMP-1 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.546) dan bermakna (p<0.001) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.528) dan bermakna (p<0.01) dengan Log Kadar MMP-3 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara Log kadar MMP-3 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar MMP-3 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kesimpulan Terdapat kecenderungan makin berat perubahan tingkat sakit yang dialami penderita makin besar nilai kenaikan kadar YKL-40 serum (petanda sintesis) dan kadar MMP-3 serum (petanda katabolik) serta makin besar nilai penurunan kadar TEMP-1 serum (petanda anabolic).Terdapat pola yang unik dari nilai perubahan kadar COMP serum (petanda destruksi) pada berbagai kategori perubahan tingkat sakit. Pada kategori "tidak ada perubahan" dan kategori "memburuk" terjadi kenaikan nilai perubahan kadar COMP serum, sebaliknya pada kategori "sangat memburuk" terjadi penurunan nilai perubahan kadar COMP serum. Pada penderita OA lutut grade 2 dan 3, pada jangka waktu panjang kurang lebih 70 baton, terjadi peningkatan bermakna proses sintesis (dinilai dengan YKL-0), peningkatan proses destruksi (dinilai dengan COMP), peningkatan proses katabolik (dinilai dengan MMP-3) dan peningkatan aktiritas proses enzim katabolik (dinilai dengan ratio MMP-3JTIMP-1). Terdapat pula kecenderungan penurunan proses anabolik (dinilai dengan TIMP-1) walaupun tidak bermakna. Pada pasien OA lutut setelah jangka waktu yang panjang akan teijadi peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terbadap hipotesis pertama). Setelah jangka waktu panjang selama kurang lebih 70 bulan, penderita OA lutut grade 2 dan 3 yang pada awal penelitian mempunyai DMT total osteopeni/porosis, secara bermakna akan mengalami progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, yaitu proses sintesis (diwakili YLK-40), proses destruksi (diwakili COMP), proses katabolik (diwakili MMP-3). yang lebih besar dibanding dengan kelompok normal. Tidak terdapat perbedaan proses anabolik (diwakili TRAP-1) dan tidak terdapat perbedaan peningkatan aktivilas enzim katabolik (diwakili ratio MMP-31TIMP-1) di antara kedua kelompok. DMT total yang rendah jangka panjang pada penderita OA lutut bukan merupakan faktor protektif progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terhadap hipotesis kedua). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian, kadar COMP serum awal dengan akhir penelitian, kadar TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian, kadar MMP-3 serum awal dan akhir penelitian, ratio MMP-3/TTMP-1 awal dengan akhir penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal penelitian dengan kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum akhir penelitian dengan kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak terdapat korelasi bermakna di antara petanda metabolik lain dalam penelitian ini (jawaban terhadap hipotesis ketiga). Saran Untuk memastikan pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas OA lutut maka perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketebalan tulang rawan sendi awal terhadap ketebalan tulang rawan sendi akhir penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan MRI. Penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan DMT pada berbagai tempat (vertebra, panggul dan kaki) terhadap metabolisme tulang rawan sendi pada OA berbagai tempat pula (vertebra, pangggui dan kaki). Penelitian serupa dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi kadar petanda metabolik lainnya seperti hialuronan, frogmen kolagen dan yang lainnya, baik kadar dalam serum maupun kadar dalam cairan sendi. Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa penderita OA lutut grade 2/3 yang juga menderita osteopeni/porosis setelah jangka waktu panjang mengalami peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi yang lebih berat, maka dianjurkan bagi para dokter untuk tanpa ragu rnelakukan penatalaksanaan untuk meningkatkan DMT pada penderita seperti tersebut dengan berbagai program dan modalitas yang telah diakui secara luas. Petanda metabolik matriks tulang rawan sendi YKL-40 dan COMP dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas sebagai petanda progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi pada OA lutut, antara lain untuk menilai hasil pengobatan dengan menggunakan obat-obatan perubah perjalanan penyakit OA (Disease Modifying Osleoarthritis Drugs=DMOA.

Study On Long-term Effect Of Low Bone Mass Density On Progression Of Cartilage Matrix Destruction On Knee OsteoarthritisOsteoarthritis (OA) is result of both mechanical and biologic events that destabilize the normal coupling of degradation and synthesis of articular cartilage chondrocytes and extra cellular matrix, and subchondral bone. OA diseases are manifested by morphologic, biochemical, molecular and biomechanical changes of both cells and matrix, with lead to a softening, fibrillation, ulceration, loss of articular cartilage, sclerosis and eburnation of subchondral bone, osteophyte and subchondral cysts. Longitudinal epidemiologic study on knee OA revealed that higher I3MD was strong factor in initiating the development of knee OA, but did not correlated with disease progressivity. A number of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors derived from joint cartilage had been clarified in several publication studies on animal model and human with OA. Those molecular markers are YKL-40 (synthesis marker) and Cartilage Oligomeric Protein (COMP, destructive marker), meanwhile proteinases enzyme such as Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3, catabolic marker) and its inhibitor Tissue Inhibitors of Metalloproteinase-1 (T1MP-1, anabolic marker). These markers will changes in parallel with radiographic progression of knee OA. A longitudinal cohort study should be made to clarify the correlation between BMD and diseases progression using the parameter of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors on an established knee OA. Thirty-seven patients had been enrolled on this longitudinal study (±70 months), initial and final evaluation has been conducted. Those patients comprises of 14 patients in osteopenic/osteoporotic group and 23 patients with normal total BMD. The homogeneity of two groups is well maintained. There is a moderate positive significant correlation (r-0.453, p<0.01) between age and initial log of serum YKL-40, and the same results (r-0.368, p<0.05) between age and initial serum TIMP-l at the beginning of the study. At baseline of the study, the serum level of TIMP was higher in women (251.76±50.31 ng/ml) than men (225 ± 20.26 ng/ml), meanwhile the baseline serum MMP-3 was seen higher in men (25.94 ± 12.18 ng/ml) compared to women (17.81 ± 10.64 ng/ml), as well as the MMP3/TIMP-1 ratio was higher in men than women. All differences are statistically significant (p<0.05). A moderate positive significant correlation (r<0.44I, p<0.05) demonstrated between body mass index (BMI) and level of log YKL-40 at baseline of the study. Log level of YKL-40, at baseline of the study, demonstrated a strong positive correlation (r<1.685) and statistically significance difference (p<0.05) with initial Lequesne index. By the end of the study the correlation is moderately positive (1.512) and proven statistically significance difference (p<0.Ol). The baseline serum TIMP-l level is moderately positive significance correlation 0-0.573, p<0.00I) with Lequesne index, meanwhile the same results was shown by the end of study (r<573, p<0.001). The means of serum YKL-40 (by study ends) in osteopenic/osteoporosis group was also higher (345.44 ± 334.40 ng/ml) in comparison with the normal group (156.55 ± 89.87 ng/ml) and the lag of serum YKL-40 level was statistically significance difference (p<0.05) between the two groups. Both baseline and study ends value of COMP level between the two groups was not statistically significance differences. Evaluation of TIMP-l level at baseline and by the study end also showed no significance by statistic method_ A higher result of serum MMP-3 level is higher in osteopenic/osteoporosis group than a normal group at baseline and study ends. Both means value of MMP-3/TIMP-l ratio seems higher in osteopenic/osteoporosis group than the normal group, but not significant noted. An evaluation has been made for all of the cases for the changes of serum COMP level according to the severity of illnesses. The result shows a significance difference between the two parameters. There is a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. In the normal group, the evaluation demonstrated a significance difference between the means of serum COMP level and the severity of illnesses (p<0.05). There is also a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. Meanwhile, in the osteopenic/osteoporosis group revealed no significance difference between the mean values of serum COMP level and the severity of illnesses. In both groups, there was a tendency of increasing means value of serum YKL-40 level from the "unchanged" category to the "getting worst" category. The evaluation of serum MMP-3 level in both total group and normal group shows a statistically significance difference (pc0.05) while calculated with the severity of illnesses. This study demonstrated an increasing tendency of the serum TIMP-1 level in the total group by the severity of illnesses category (between "getting better" category to "getting worst" category, but not statistically significance difference. By divide onto two groups, the osteopenic/osteoporosis group and the normal group, the statistic shows the same result. The log means of YKL-40 level is statistically significance different (pr 0,01), In osteopenic/osteoporosis group the means value of serum YKL-40 level also showed a statistically significance different (pr0.05), but not in normal group. An evaluation of serum COMP level in all cases demonstrated that there was an increasing value between the baseline and by the end of study. The result in the osteopenic/osteoporosis group was in the contrary with the total group, The result in the normal group was in accordance with the total group analysis. There was no statistically significance difference, when the serum TIMP-1 level was calculated between the baseline and the end value, A significant different (pr 0,01) noted when the log mean serum MMP-3 level was calculated between the baseline and by the study end value. A less but significance difference (pr0.05) was also noted in the osteopeni/osteoporosis group from the evaluation of serum MMP-3 level. The same result demonstrated in the normal group with the same significance of pr0.05. By the study end, the ratio MMP-3 and TIMP-I was higher than the baseline and this result was significant on statistic calculation (p<0.001), The same result demonstrated in both osteopenic/osteoporosis group and the normal group. Meanwhile in the normal group, the baseline ratio of MMP-3/TIMP-l was 0,0835 ± 0.0505 and the study end ratio was higher than the baseline (0.1215 ± 0,0537). A means changes value of serum YKL-40 was higher in osteopenic/osteoporosis group (124,05 -F 174.06 ng/ml) compare to the normal group (15.35 ± 87.43 ng/ml) and this difference was statistically significant (pr0.05). The means changes in serum COMP level, also noted much higher in osteopenic/osteoporosis group compare to normal group. The result was statistically significant (pr0.05). Evaluations also have been made for the level of MMP-3 and the ratio of MMP-3ITIMP-I. In osteopenic/osteoporosis group, the means changes of serum MMP-3 level were higher (34,47 ± 62,90 ng/ml) than the normal group of 6.21 ± 14.28 ng/ml. Log serum YKL-40 level at baseline of the study have a strong positive significant correlation (r 0.727, pr0.00I) in comparison with the ends value of serum YKL-40. Log serum YKL-10 level by the study ends, was moderately positive correlation (r1545) and statistically significance (p<0.01) in comparison with the study ends serum TIMP-1 level. There was a statistical significant (p<0.0I) and moderate correlation (r 0.469) when the level of COMP has had been evaluated between baseline and the study ends value. A serum TIMP-l level at baseline was proven having a moderate correlation (r.546) and statistical significance (pr0.00I) with its value at the study ends. There was no correlation between the serum TIMP-I level al baseline and others metabolic markers, except for the serum YKL-40 level at baseline. A moderate positive correlation (r 0.528) and statistical significance (p<0.01) was demonstrated when log serum MMP-3 level at baseline was calculated to the study ends value. In knee OA, in the long period, there will be an increasing progressivity of joint cartilage matrix degradation. A lower total BMD value, in knee OA patients and the long period, do not a protective factor for progressivity of joint cartilage matrix degradation. There was no con-elation amongst others metabolic markers in this study. A further study to clarify the impact of total BMD to the progressivity of knee OA should be made by measuring the thickness of joint cartilage using MRI and by comparing BMD at different site and the metabolism of joint cartilage at different site. Others similar study could be performed by measuring others metabolic markers for synthesis and degradation such as hyaluronan, collagen fragment, etc in serum and or the synovial fluid, Concerning the results of this study that demonstrated that knee OA patients, grade 2 and 3 who had osteopenic/osteoporosis for a long time will have more progressive and severe joint cartilage matrix degradation; every doctor should ask for BMD measurement undoubtedly and manage such patients with know-n various effective and accepted modalities/program. A metabolic marker of joint cartilage matrix YKL-40 and COMP should be considered to be use widely as a progressive marker for joint cartilage matrix degradation in knee OA. The use of this marker will be much beneficial in evaluating the treatment using disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Harry Isbagio
"Petanda molekuler yang dapat menunjukkan perbedaan dalam derajat progresivitas Osteoartritis (OA) akan memberikan kemudahan bagi penelitian klinik. Deoksipiridinolin (DPD) urin dan osteokalsin (OC) serum telah digunakan secara luas untuk petanda metabolisme tulang, sedangkan penggunaannya sebagai petanda molekuler OA belum banyak data yang mendukung. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang saling bertentangan dalam hal eskresi DPD urin dan kadar OC serum pada berbagai derajat OA lutut. Tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan ekskresi DPD urin dan kadar OC serum diantara derajat dari OA lutut. Penelitian ini merupakan studi potong-lintang pada satu kelompok dari 69 pasien OA lutut. Derajat OA ditentukan menurut skala derajat Kellgren dan Lawrence. Kelompok pasien dengan OA lutut derajat 2 dinyatakan sebagai kelompok OA awal dan kelompok pasien dengan derajat 3 dan 4 dinyatakan sebagai kelompok OA lanjut. DPD urin diukur dengan metode Immunochemilunescence dan OC serum menggunakan metode Elisa. Nilai rerata eskresi DPD urin pada pasien OA lebih tinggi dari nilai normal (9.79 + 7.28 nM DPD/mM Creatinin), tetapi nilai rerata OC serum dalam batas normal (8.49 + 4.68 ng/mL). Tidak ada perbedaan bermakna di antara OA awal dan OA lanjut dalam hal usia, indeks massa tubuh (IMT),lama sakit, eskresi DPD urin dan kadar serum OC. Disimpulkan, pada model penelitian potong lintang ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal ekskresi DPD urin dan kadar OC serum di antara derajat OA lutut. Oleh karena hasil dari berbagai penelitian tidak konstan maka penggunaan DPD urin dan serum OC sebagai petanda molekuler untuk progresivitas OA masih memerlukan lagi penelitian prospektif jangka panjang. (Med J Indones 2004; 13: 96-101)

The identification of molecular markers, which reflects differences in disease progression rates in Osteoarthritis (OA), would greatly facilitate clinical studies. Urinary Deoxypyridinoline (UDPD) and serum osteocalcin (OC) had been widely used for marker of bone metabolism, but the use for molecular marker in OA was lack of data. Recent studies show that there were conflicted results between urinary excretion of DPD and serum OC value within knee OA grading. The aim of this study is to compare of urinary excretion of DPD and the level of serum OC as destructive parameter of cartilage within the knee OA grading. This cross sectional study comprise of 69 patients with OA of knee joints. Kellgren and Lawrence scale was use for grading of OA. Group of patients with knee OA grade 2 call as group of early OA and group of patients with knee OA grade 3 and 4 calls as group of late OA. DPD in urine was measured using Immunochemilunescence, serum osteocalcin was measured using Elisa method. The mean value of urinary concentrations of DPD in OA patients was higher than normal value (9.79 + 7.28 nM DPD/mM Creatinin), and the mean value of serum OC within normal value (8.49 + 4.68 ng/mL). There were no significant differences of age, body mass index (BMI), duration of illness, urinary excretion of UDPD and serum OC level between early and late OA. In conclusion, there is no significant difference of urinary excretion of DPD and serum OC level within knee OA grading. The use of urinary DPD and serum OC as molecular markers of progression of OA needed to be explored by other longitudinal study. (Med J Indones 2004; 13: 96-101)."
Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-96
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lusy Erawati
"Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang sering dijumpai dan salah satu penyebab disabititas serta nyeri. Osteoartritis banyak menyerang sendi penumpu berat badan seperti lutut, panggul dan tulang belakang. Prevalensi penyakit ini meningkat tajam pada usia lebih dan 55 tahun. Dan beberapa sendi penumpu berat badan, OA lutut paling sering dikeluhkan terutama pada wanita dan penderita obesitas. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Mannoni dkk, prevalensi OA lutut di Italia diperkirakan 29,8%.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Cushnaghan dan Dieppe, dan seluruh gejala OA yang sirntomatik, 41,2% melibatkan sendi Iutut. Berdasarkan penelitian di Malang, diperkirakan masalah OA di Indonesia lebih besar jika dibandingkan negara barat. Lebih dari 85% penderita OA di Indonesia terganggu aktivitasnya terutama kesulit-in dalam jongkok, naik turun tangga dan berjalan. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Bristol, menyatakan bahwa 15% subyek pada populasi yang berusia diatas 55 tahun terdapat keterbatasan aktivitas karena nyeri lutut yang terjadi hampir setiap hari dalam satu bulan selama satu tahun terakhir.
Konsep inflamasi sebagai salah satu patogenesis OA akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Salah satu bukti yang mendukung konsep tersebut adalah ditemukannya peningkatan protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP) serum penderita OA pada penelitian Spector dkk. Pada penelitian Kertia dkk ditemukan peningkatan jumiah lekosit, peningkatan ringan kadar protein, viskositas yang turun serta peningkatan berbagai mediator proinflamasi pada penderita OA. Ditemukannya ekspresi sitokin pada membran sinovial pasien OA lutut membuktikan peranan inflamasi pada patogenesis OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Meningkatnya usia harapan hidup berdampak bertambahnya insideris penyakit muskuloskeletal. Diantara berbagai macam penyakit muskuloskeletal yang paling sering dijumpai yaitu osteoartritis (OA), artritis rematoid (RA), osteoporosis dan low back pani. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraselular. Kelainan utama pada osteoartritis adalah hilangnya rawan sendi secara progresif yang disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral. sendi yang paling banyak terkena OA adalah lutut, panggul, lumbal dan servikal.
Insidens dan prevalensi OA bervariasi antar negara dan jumlahnya rneningkat sesuai bertambahnya usia. Menurut data WHO diperkirakan 10% penduduk dunia berusia lebih atau sama 60 tahun menderita OA. Insidens OA pada perempuan lebih tinggi yaitu 2,95 per 1000 populasi dibandingkan laki-laki yaitu 1,71 per 1000 populasi. Faktor gender pada OA diduga berkaitan dengan hormon estrogen.
Patogenesis OA pada awalnya dianggap hanya akibat proses degenerasi, tetapi kelainan yang ditemukan seperti efusi sendi, kekakuan sendi, dan nodes makin menguatkan adanya proses inflamasi. Proses biomekanik pada sendi penumpu berat badan seperti pada OA lutut tidak bisa menjelaskan kejadian OA pada sendi jari tangan yang bukan sendi penumpu barat badan. Berbagai tanda molekular baik serum maupun cairan sendi dapat digunakan untuk mendiagnosis, menilai progresivitas, dan prognosis penyakit OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wa Ode Dewi Astati Pameri
"ABSTRAK
Nama : Wa Ode Dewi Astati PameriProgram Studi : Magister Kedokteran KerjaJudul : Pengaruh Aktivitas Fisik Berlebih Active Dan Faktor-Faktor Lainnya Terhadap Timbulnya Penyakit Osteoarthritis Genu Pada Prajurit Militer Laki-Laki Di Jakarta LATAR BELAKANG : Saat ini, penyakit arthritis menjadi penyebab teratas dari kecacatan di antara prajurit veteran di Amerika Serikat dan menjadi alasan utama prajurit dinonaktifkan. Radang sendi terjadi karena berbagai hal. Salah satunya disebabkan oleh aktivitas yang sering dilakukan. Berbagai aktivitas tersebut menyebabkan sendi mengalami penekanan secara terus menerus yang pada akhirnya berakibat pada kerusakan dan peradangan. Aktivitas fisik juga dapat berupa kebiasaan bekerja dengan beban berat, di mana kebiasaan bekerja dengan beban berat dapat menyebabkan pergesekan dari sendi lutut. Salah satu profesi yang banyak membutuhkan aktivitas fisik salah satunya adalah prajurit militer, di mana dari penelitian terdahulu didapatkan probabilitas terjadinya penyakit osteoarthritis pada prajurit militer mengalami peningkatan.TUJUAN: Diketahuinya pengaruh aktivitas fisik berlebih active serta faktor-faktor lainnya terhadap timbulnya penyakit osteoarthritis genu pada prajurit militer laki-laki di Jakarta.METODE: Untuk menentukan jumlah kasus osteoarthritis genu, dilakukan klasifikasi berdasarkan aktivitas fisik, olahraga, usia, genetik, lama bekerja, IMT, asupan makanan, beban berat, dengan menggunakan study case control. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh yang paling signifikan, faktor risiko, dan interval kepercayaan 95 IK 95 untuk osteoarthritis genu.HASIL: Sebanyak 51 kasus osteoarthritis genu didapatkan dari hasil kuesioner dan pemeriksaan VAS dengan jumlah populasi terjangkau n=162 . Ditentukan jumlah kasus 50 prajurit militer dan jumlah kontrol sebanyak 50 prajurit militer dengan matching 1:1 berdasarkan usia. 5 responden VAS grade 4-5; 25 responden grade 5-6; 17 responden grade 6-7; 2 responden grade 7-8; 2 responden grade 8-9. Aktivitas fisik berlebih active memiliki memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoarthritis genu p = 0,023; OR = 15,55; 95 IK = 1,46 ndash;165,79 . Faktor bekerja dengan beban berat juga memiliki pengaruh p = 0,001; OR = 15,97; 95 IK = 3,31 ndash;77,02 . Faktor riwayat keluarga dengan keluhan nyeri sendi juga memiliki pengaruh p = 0,003; OR = 33,99; 95 IK = 3,43 ndash;337,29 . Faktor asupan makanan tinggi kalsium dan vitamin D yang tidak rutin juga memiliki pengaruh p = 0,025; OR = 3,77; 95 IK = 1.18 ndash;12,01 . Terakhir IMT ge; 26,85 juga memiliki pengaruh p = 0,018; OR = 4,14 ; 95 IK = 0,02 ndash;4,14 .KESIMPULAN: Pekerjaan sebagai prajurit militer dengan aktivitas fisik yang cukup tinggi, riwayat keluarga nyeri lutut, asupan makanan tinggi kalsium dan vit.D yang tidak rutin serta kebiasaan bekerja dengan beban berat terbukti memiliki pengaruh terhadap terjadinya osteoarthritis genu.

ABSTRACT
Name Wa Ode Dewi Astati PameriStudy Program Master of Occupational Medicine Title The Effect Of Excessive Physical Activity Active And Other Factors Against On The Occurence Of Osteoarthritis Genu Disease In Male Military Soldiers In Jakarta BACKGROUND The arthritis presently is the highest cause of disability among retired military soldiers in the United States and is the main reason of the disabled soldiers. Arthritis occurs for many reasons. One of them is caused by activities that are often done. These various activities cause the joints to undergo continuous suppression which ultimately results in damage and inflammation. Physical activity can also be a habit of working with heavy loads, where heavy work habits can cause friction from the knee joint. One of the many professions require physical activity, one of them is a military soldier, where from previous studies, the probability of osteoarthritis disease in military soldiers has increased. OBJECTIVE Knowing the effect of excessive physical activity active and other factors on the occurence of osteoarthritis genu disease in male military soldiers in Jakarta.METHODS To determine the number of cases of osteoarthritis genu incidence. The classification based on physical activity, exercise, age, genetics, duration of work, BMI, food intake, heavy load and using a study control case were carried out. Multivariate analysis was used to determine the most significant influence, odds ratio, and 95 confidence intervals 95 CI for osteoarthritis genu. RESULTS A total of 51 cases of osteoarthritis incidence were obtained from questionnaires and VAS examination with an affordable population n 162 . The number of cases of 50 military soldiers and the number of controls 50 military soldiers with the equivalent of 1 1 based on age. 5 respondents VAS grade 4 5 25 respondents grade 5 6 17 respondents grade 6 7 2 respondents grade 7 8 2 respondents grade 8 9. Physical activity active has a osteoarthritis genu risk of 15,55 times p 0.023 OR 15,55 95 CI 1.46 165,79 . The habits of working with heavy loads also have an effect p 0.001 OR 15,97 95 CI 3,3 ndash 77,02 . Family history factor with joint pain complaints also have an effect on the occurrence of osteoarthritis genu p 0,003 OR 33,99 95 CI 3,4 ndash 337,29 . Food intake factors of calcium and vitamin D are not routine also have an effect p 0.025 OR 3,77 95 CI 1.18 ndash 12,01 . BMI ge 26,85 also have an effect on the occurence of osteoarthritis genu p 0,018 OR 4,14 95 CI 0.02 ndash 4,14 CONCLUSION Occupations as military soldiers with high physical activity, family history of knee pain, high intake of calcium and non routine vitamin D, heavy work habits, and BMI ge 26,85 have an influence and a probability of the risk of osteoarthritis genu. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Ayu Miladewi
"Praktek Kerja Profesi di Apotek Kimia Farma No. 366 Depok memiliki beberapa tujuan yaitu: untuk mampu memahami peranan, tugas dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek APA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika yang berlaku; untuk memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis untuk melakukan praktik kefarmasian di apotek; dan untuk memiliki gambaran nyata tentang permasalahn praktik kefarmasian serta mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktik kefarmasian di apotek. Tugas khusus dari praktek kerja profesi di Apotek Kimia Farma No. 366 Depok berjudul ldquo;Analisis Resep untuk Terapi Osteoarthritis rdquo;. Tugas khusus ini memiliki tujuan untuk melihat kesesuaian antara obat yang diterima dengan penyakit osteoarthritis yang diderita oleh pasien melalui analisis resep di apotek Kimia Farma 366 Maharaja Depok.

Period Pharmacists Professional Practice at Kimia Farma No. 366 Depok Pharmacy has 3 main purposes to understand the duties and responsibilities of pharmacists in the pharmacy pharmaceutical care activities in accordance with provisions and ethics pharmacy especially service and health services generally to earn knowledge, skills, and practical experience to carry out pharmacist practices in the pharmacy and to learn about the strategy to develop pharmaceutical care activities in pharmacy and have a real picture about problem solving activities inside pharmacy. The Title of spesific assignment is ldquo The analysis of osteoarthritis rsquo s prescription rdquo . The purpose of this specific assignment is to identify the therapy of osteoarthritis in patients at Kimia Farma No.366 Depok Pharmacy.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andri M.T.
"Background: Glucosamine, chondroitinsulfate are frequently used to prevent further joint degeneration in osteoarthritis (OA). Methylsulfonylmethane (MSM) is a supplement containing organic sulphur and also reported to slow anatomical joint progressivity in the knee OA. The MSM is often combined with glucosamine and chondroitin sulfate. However, there are controversies whether glucosamine chondroitin sulfate or their combination with methylsulfonylmethane could effectively reduce pain in OA. This study is aimed to compare clinical outcome of glucosamine chondroitin sulfate (GC), glucosamine chondroitin sulfate methylsulfonylmethane (GCM), and placeboin patients with knee osteoarthritis (OA) Kellgren Lawrence grade I II. Methods: a double blind, randomized controlled clinical trial was conducted on 147 patients with knee OA Kellgren Lawrence grade I II. Patients were allocated by permuted block randomization into three groups: GC (n=49), GCM (n=50), or placebo (n=48) groups. GC group received 1500 mg of glucosamine + 1200 mg of chondroitin sulfate + 500 mg of saccharumlactis; GCM group received 1500 mg of glucosamine + 1200 mg of chondroitin sulfate + 500 mg of MSM; while placebo group received three matching capsules of saccharumlactis. The drugs were administered once daily for 3 consecutive months VAS and WOMAC scores were measured before treatment, then at 4th, 8th and 12th week after treatment. Results: on statistical analysis it was found that at the 12th week, there are significant difference between three treatment groups on the WOMAC score (p=0.03) and on the VAS score (p=0.004). When analyzed between weeks, GCM treatment group was found statistically significant on WOMAC score (p=0.01) and VAS score (p<0.001). Comparing the score difference between weeks, WOMAC score analysis showed significant difference between GC, GCM, and placebo in week 4 (p=0.049) and week 12 (p=0.01). In addition, VAS score also showed significant difference between groups in week 8 (p=0.006) and week 12 (p<0.001). Conclusion: combination of glucosamine chondroitinsulfate methylsulfonylmethane showed clinical benefit for patients with knee OAK ellgren Lawrence grade I II compared with GC and placebo. GC did not make clinical improvement in overall groups of patients with knee OA Kellgren Lawrence grade I II."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Subawa
"Pendahuluan
En-blok reseksi femur distal dan dilakukan extracorporeal irradiation autograft dengan menyertakan kartilago sendi dalam rekontruksi limb salvage prosedur merupakan metoda pilihan dalam penanganan kasus keganasan tulang terutama pada negara miskin dan berkembang, dimana tehnik lain tidak tersedia karena alasan finansial atau tehnikal. Pajanan ECI dosis tinggi perfraksi tunggal yaitu 50 Gy, 150 Gy dan 300 Gy untuk sterilisasi allograf diprosedur ini juga mempengaruhi kartilago dari femur distal. Walaupun ada literatur yang menyatakan radiasi menyebabkan kerusakan terhadap kartilago dalam prosedur ini. Sesuai dengan kondisi di atas, kami berusaha melakukan penelitian eksperimental pada tulang femur distal sprague rats untuk membandingkan gambaran histopatologi efek pajanan ECI dosis tinggi perfraksi tunggal 50 Gy, 150 Gy dan 300 Gy serta resiko terjadinya osteoartritis sendi.
Metode
Desain penelitian adalah studi post test control group design. Sampel yang digunakan adalah lima puluh enam tikus putih Sprague Dawley yang telah mengalami maturasi skeletal (8-12 minggu), dibagi menjadi dua kelompok dan tujuh subkelompok, tiap tikus akan dilakukan tindakan en-blok reseksi di bagian femur distal, kemudian kelompok kontrol langsung diperiksa histopatologi kartilagonya, kelompok perlakuan diberikan pajanan ECI 50 Gy, 150 Gy, 300 Gy. Semua kelompok juga dilakukan pemeriksaan tingkat kerusakan kartilago berupa terjadinya osteoarthritis.
Hasil
Efek pajanan ECI terhadap kerusakan kartilago dianalisis dengan menggunakan uji non parametik Kruskal Walis, menunjukkan hasil analisis didapatkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) skor di masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pasca pajanan ECI, baik untuk permukaan kartilago (p = 0,13), matriks (p = 1,0), distribusi sel (p=0,25), viabilitas sel (p=0,40) dan tulang subkondral (p=0,35). Untuk melihat perbedaan antara kelompok kontrol dengan 50 Gy, kelompok kontrol dengan 150 Gy, dan kelompok kontrol dengan 300 Gy, dilakukan analisis non-paramterik mann-Whitney, juga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna skor untuk permukaan, matriks, distribusi sel, viabilitas sel, dan tulang subkondral baik di kelompok kontrol dengan kelompok ECI (p>0,05). Sedangkan untuk terjadinya osteoartritis perbedaan skor grade osteoartritis di tulang rawan antara yang segera pasca pajanan ECI dan pasca reimplantasi digunakan analisis statistik nonparameterik kruskal walis. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan bermakna skor grade osteoartritis di tulang rawan segera pasca pajanan ECI di tiap-tiap kelompok perlakuan, yaitu ECI 50 Gy (p=0,001), 150 Gy (p=0,001), 300 Gy (p=0,001)
Simpulan
Pajanan radiasi dosis tinggi perfraksi tunggal tidak menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago baik segera setelah pajanan radiasi dan tidak bermakna secara statistik. Pajanan radiasi dosis tinggi perfraksi tunggal menyebabkan terjadinya osteoartritis dan bermakna secara statistik

Introduction
Distal femur en-blok resection and extracorporeal irradiation autograft with the articulation cartilage enclose is one of many methods in limb salvage surgery or recontruction for the bone malignancies, especially in developing countries where other methods are not feasible due to financial and tehnical. The procedur is usually done single fraction high dose 50 Gy, 150 Gy and 300 Gy to allograft sterilization, also affected distal femur cartilages. Althought some studies claim radiation causes cartilages damage in this procedur. Bases on those facts, we decided to do an experimental studies in distal femur of sprague rat to compare the difference histopatologycally finding between bone subjected 50 Gy, 150 Gy, 300 Gy doses irradiation and the risk of articular osteoarthritis.
Material and Methods
The research design is post test control group using fivety six skeletally matured Sprague Dawley rats, divided into two groups and sevens sub group and en-block resection of distal femur in al samples. eight rats were randomly assigned to each irradiation sub group, which directly in control group check the histopathologic, after irradiation group and after reimplatation group maitenence 8 week and check the histopathologic. Check of osteoarthritis occurences in all groups.
Results
Analysis of cartilages damage after irradiation usually with Kruskal Walis non parametric test is no statistically significant (p>0,05) in all group to cartilage surface (p = 0,13), matrix (p = 1,0), cells distribution (p=0,25), cell viablel (p=0,40), and subchondral bone (p=0,35). Mann-Whitney non parametric test no statistically significant (p>0,05) between group comparation. Kruskal walis non parametric analysis test is statistically significant (p<0,005) to osteoarthritis in all groups after irradiation 50 Gy (p=0,001), 150 Gy (p=0,001), 300 Gy (p=0,001)
Conclusion
The cartilage damages have not occurs after irradiation in all groups 50 Gy. 150 Gy and 300 Gy . Single fraction high dose irradiation causes osteoarthritis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>