Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kania Adhyanisitha
"Latar belakang: Koagulasi intravaskular diseminata (KID) merupakan komplikasi dari sepsis yang ditandai oleh perdarahan dan trombosis mikrovaskular dan berkaitan erat dengan terjadinya disfungsi organ multipel. KID terjadi akibat ketidakseimbangan antara sistem koagulasi dengan sistem fibrinolisis. Plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) merupakan protein fase akut yang berperan penting penekanan sistem fibrinolisis. Peningkatan PAI-1 pada sepsis diketahui memiliki korelasi dengan luaran yang buruk.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar PAI-1 dengan kejadian KID dan kematian pada pasien sepsis anak.
Metode: Penelitian analitik prospektif dilakukan pada 35 subjek sepsis yang dirawat di PICU, Instalasi Gawat Darurat serta Ruang perawatan anak RS Cipto Mangunkusumo antara bulan Januari-April 2015. Pengukuran kadar PAI-1 dilakukan pada hari pertama dan keempat sejak sepsis ditegakkan. Pemeriksaan profil koagulasi sistemik dilakukan pada hari keempat sepsis. Diagnosis KID overt menggunakan skor KID berdasarkan International Society of Thrombosis and Haemostasis. Subjek diikuti sampai hari ke 28 perawatan untuk menilai luaran kematian.
Hasil: Kadar PAI-1 lebih tinggi secara bermakna pada sepsis berat. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar PAI-1 hari keempat dengan hari pertama pada KID non overt (95,25 (SB 46,57) ng/mL vs 60,36 (SB 37,31) ng/mL, p=<0,001) dan subjek hidup (82,47 (SB 44,43) ng/mL vs 58,39 (SB 32,98) ng/mL, p=0,021). Terdapat perbedaan kadar PAI-1 hari keempat dengan hari pertama pada subjek KID overt (111,25 (SB 32,93) ng/mL vs 96,26 (SB 52,84) ng/mL) dan subjek meninggal (99,33 (SB 47,53) ng/mL vs 128,58 (SB 37,12) ng/mL), namun tidak bermakna secara statistik. Korelasi kadar PAI-1 dengan skor KID adalah r = 0,606 (p = <0,001).
Simpulan: Kadar PAI-1 mengalami penurunan yang bermakna pada hari keempat sepsis dibanding hari pertama pada subjek yang mengalami KID non-overt dan subjek yang bertahan hidup. Sedangkan pada subjek yang mengalami KID overt dan subjek yang meninggal, kadar PAI-1 hari keempat sepsis tetap tinggi. Terdapat korelasi kuat berbanding lurus antara kadar PAI-1 dengan skor KID.

Background: Sepsis-induced disseminated intravascular coagulation (DIC) is characterized by massive bleeding and microvascular thrombosis and it is closely related to the development of multiple organ dysfunctions. The imbalance between activation of coagulation system and inhibition of the fibrinolysis system in sepsis leads to the development of DIC. The acute-phase protein, plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) is a key element in the inhibition of fibrinolysis. Elevated levels of PAI-1 have been related to worse outcome in sepsis.
Objective: To investigate the relationship between plasma PAI-1 level and clinical outcome in children with sepsis.
Methods: A total of 35 children with sepsis admitted to Cipto Mangunkusumo hospital between January and April 2015 were enrolled to this analitic prospective study. Plasma PAI-1 was measured on day 1 and 4 since sepsis was diagnosed. Systemic coagulation profile was measured on day 4. The Diagnosis of overt DIC was made using the International Society of Thrombosis and Haemostasis scoring system. Subjects were followed up until death or 28 days of care.
Results: PAI-1 levels were significantly higher in severe sepsis. There were significant difference between PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in non- overt DIC subjects (95.25 (SB 46.57) ng/mL vs 60.36 (SB 37.31) ng/mL, p=<0.001) and survivors (82.47 (SB 44.43) ng/mL vs 58.39 (SB 32.98) ng/mL, p=0.021). There were no significant difference between PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in overt DIC subjects (111.25 (SB 32.93) ng/mL vs 96.26 (SB 52.84) ng/mL) and nonsurvivors (99.33 (SB 47.53) ng/mL vs 128.58 (SB 37.12) ng/mL). The correlation observed between PAI-1 and DIC score was r=0.606 (p= < 0.001).
Conclusions: There were significant decrease of PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in non-overt DIC subjects and survivors. Meanwhile, in overt DIC subjects and nonsurvivors there were no differences. PAI-1 levels were positively correlated with DIC score."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Suratinojo
"Latar Belakang : Kanker payudara sampai saat ini masih merupakan masalah bagiwanita di seluruh dunia. Meskipun telah banyak kemajuan dalam hal skrining, deteksidini dan penatalaksanaannya, progresivitas penyakit ini tetap berlanjut. Kankerpayudara masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker pada seluruh wanitadan merupakan kanker yang paling sering terdiagnosa pada wanita di 140 dari 184negara di seluruh dunia termasuk negara berkembang seperti Indonesia dimana 87 berada pada stadium lanjut stadium IIIA, IIIB, IV. Keberadaan pasien yang datangberobat pada stadium lanjut, menimbulkan berbagai masalah morbiditas dan mortalitasyang menurunkan kualitas hidup, serta survival rate. Untuk memperkirakanprogresivitas dan perkembangan kanker diperlukan biomarker tertentu sebagaipenanda prognosis dan prediktif. Berbagai faktor prediktif dan prognostik telahdigunakan dalam penanganan kanker payudara. PAI-1 Plasminogen activatorInhibitor-1 sebagai bagian dari sistem aktivator plasminogen telah diketahuimerupakan faktor prognostik independen yang kuat untuk disease-free survial andoverall survival. Peningkatan kadar dan ekspresi PAI-1 pada penelitian klinissebelumnya sering menunjukkan prognosis buruk. Tetapi pada penelitian invivomenunjukkan bahwa PAI-1 memiliki peran ganda. Di satu sisi PAI-1 berperan dalammenekan perkembangan kanker dengan memblok angiogenesis, tetapi disisi lain jugadapat mempromosikan perkembangan kanker dengan meningkatkan angiogenesis danmemblok apoptosis. Tetapi apakah PAI-1 dapat menekan perkembangan kankerataukah sebaliknya mempromosikan perkembangan kanker, hal ini yang menjadipertanyaan penulis. Untuk itu penulis akan mencoba meneliti seberapa jauh peranPAI-1 dalam memprediksi kemungkinan survival rate dihubungkan dengan faktorklinikopatologi pada kanker payudara stadium lanjut.
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian prognostik yang menilaisurvival rate dengan metode hystorical cohort analitik pada pasien Kanker payudarastadium IIIB dan IV. Sebanyak 58 dari 86 penderita kanker payudara stadium IIIB danIV di Rumah Sakit Kanker Dharmais dilakukan pemeriksaan ekspresi PAI-1 melaluipemeriksaan immunohistokimia dari jaringan kanker payudara dengan menggunakanantibody PAI-1 Santa Cruz Biotechnology, inc. PAI-1 C-9 : sc-5297 a mousemonoclonal antibody raised against amino acids 24-158 of PAI-1 of human origin pengenceran 1 : 50. Kemudian dilanjutkan analisa survival untuk mendapatkan dataprognosis PAI-1 dan dinilai pula faktor klinikopatologi yang berpengaruh terhadapekspresi PAI-1.
Hasil : Dengan cut off sebesar 90 didapatkan sensitivitas pemeriksaan ekspresi PAI-1sebesar 84,7 dan spesifisitas 60. Dari hasil analisa statistik, ternyata terdapathubungan yang bermakna antara ekspresi PAI-1 dan survival rate dengan HR 4,08 IK95 1,75 - 9,50 dengan nilai p=0,001. Selanjutnya melalui analisis survival denganKaplan-Meier menunjukkan ada perbedaan survival rate yang bermakna antara kelompok ekspresi PAI-1 yang tinggi dengan PAI-1 yang rendah pada kankerpayudara stadium lanjut log rank p=0,001 , dimana kelompok PAI-1 yang tinggimemiliki lama hidup 1408 hari, sedangkan PAI-1 yang rendah memiliki lama hidup540 hari jadi terdapat selisih 868 hari. Ekspresi PAI-1 tidak berhubungan denganfaktor-faktor kliniko-patologi, kecuali grade didapatkan RR 1,5 IK95 1,2-1,8.
Kesimpulan : Pasien kanker payudara stadium lanjut dengan ekspresi PAI-1 yangtinggi memiliki survival yang lebih baik dibanding dengan PAI yang rendah. EkspresiPAI-1 pada kanker payudara stadium lanjut tidak berhubungan dengan faktor klinikopatologikecualigrade.

Background: Breast canceissue for women around the world. Although there has been much progrr is aness in terms of screening, early detection and management, progression of the disease continues, breast cancer is still the leading cause of death from cancer in all women and is the most common cancer diagnosed in women in 140 of 184 countries around the world including developing countries such as Indonesia where 87 are at an advanced stage stage IIIA, IIIB, IV. The existence of the patients who come for treatment at an advanced stage causes many problems in morbidity, mortality, and decrease quality of life, resulting in low survival rate. To predict the progression and development of the cancer we need specific biomarkers as prognostic and predictive markers. PAI 1 Plasminogen activator inhibitor 1 as part of plasminogen activator system has been known to be a strong independent prognostic factor for disease free and overall survival. Increased levels and the expression of PAI 1 in the previous clinical studies often indicate a poor prognosis. But in vivo studies indicate that PAI 1 has a dual role. On one side the PAI 1 plays a role in suppressing the development of cancer by blocking angiogenesis, but on the other hand it can also promote the development of cancer by increasing angiogenesis and blocks apoptosis. Does PAI 1 suppress the development of cancer or promote the development of cancer, is the question of this study. The writer will study the role of PAI 1 in predicting the likelihood of survival rate associated with clinicopathologic factors in advanced breast cancer.
Research method: This study assess the prognostic survival rate with hystorical cohort analytic methods in breast cancer patients with stage IIIB and IV. A total of 58 from 86 patients with breast cancer stage IIIB and IV at Dharmais Cancer Hospital was tested for expression of PAI 1 through immunohistochemistry assay of breast cancer tissue using antibody PAI 1 Santa Cruz Biotechnology, Inc., PAI 1 C 9 sc5297 a mouse monoclonal antibody raised against amino acids 24 158 of PAI 1 of human origin dilution 1 50. Survival analysis was done to obtain the prognostic data of PAI 1 and rated the clinicopathologic factors that influence the expression of PAI1.
Result: With a cut off of 90, expression of PAI 1 test has 84.7 sensitivity and 60 specificity. Statistical analysis shows a significant correlation between the expression of PAI 1 and survival rate with HR 4.08 95 CI 1.75 to 9.50 , with p 0.001. Furthermore, survival analysis by Kaplan Meier showed significant differences in survival rate between the group of high expression of PAI 1 and low expression PAI 1 in advanced breast cancer log rank p 0.001 , where the group with high PAI 1 has 1408 days of survival life, while the group with low PAI 1 has 540 days of survival life, with difference of 868 days. Also the expression of PAI 1 shows not significant correlation with clinicopatologycal factors except grade RR 1,5 IK95 1,2 1,8.
Conclusion: Advanced breast cancer patients with the expression of high PAI 1 hadbetter survival compared with low PAI 1. The expression of PAI 1 in Advancedbreast cancer was not associated with clinicopathologycal factors excepted grade.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tutug Kinasih
"Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan mirip endometrium di luar uterus. Jaringan ini memiliki kemampuan tertanam di berbagai tempat ektopik karena dipengaruhi sistem aktivator plasminogen yang berperan dalam proses fibrinolisis. Pada endometriosis terdapat ekspresi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) berlebih yang menyebabkan kurangnya fibrinolisis sehingga menyebabkan terbentuknya produk fibrin terdegradasi yang dapat mempengaruhi penempelan dan perkembangannya. Faktor epigenetik perubahan tingkat metilasi DNA berperan pada patogenesis endometriosis.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat metilasi gen PAI-1 dan hubungannya dengan perkembangan jaringan endometriosis ovarium dan peritoneum. Studi potong lintang ini menggunakan 13 sampel wanita endometriosis ovarium, 5 wanita endometriosis peritoneum, dan 8 wanita tanpa endometriosis. DNA dari sampel diisolasi, dilakukan konversi bisulfit, kemudian diamati tingkat metilasi DNAnya dengan metode methylation specific polymerase chain reaction (MSP). Hasilnya dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney. Terdapat perbedaan yang signifikan tingkat metilasi DNA gen PAI-1 pada ketiga kelompok sampel (p<0,05).
Penelitian ini menemukan perbedaan signifikan antara endometriosis ovarium dan peritoneum dibandingkan dengan kontrol (p=0,006 dan p = 0,003); namun tidak ada perbedaan yang signifikan pada endometriosis peritoneum dibandingkan dengan ovarium (p>0,05). Penelitian kami menunjukkan rendahnya tingkat metilasi gen PAI-1 yang dapat meningkatkan ekspresi gen PAI-1 dan hal ini disugestikan dapat berkontribusi sebagai faktor risiko endometriosis pada ovarium dan peritoneum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rikarni
"Latar Belakang: Sindrom antifosfolipid (antiphospholipid syndrome = APS) merupakan penyakit autoimun dengan gejala trombosis vena atau arteri, kematian janin berulang, dan peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang persisten. Sindrom antifosfolipid merupakan faktor risiko didapat yang paling sering dihubungkan dengan trombosis. Sampai saat ini efek antibodi anti-?2GP1 pada sistem koagulasi, antikoagulan alamiah dan sistem fibrinolisis masih belum jelas.
Tujuan: Menganalisis efek imunoglobulin (Ig)G dan IgM anti-beta-2 glikoprotein-1(?2GP1) terhadap ekspresi messenger RNA (mRNA) tissue factor (TF), mRNA trombomodulin (TM), dan mRNA plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) pada endotel.
Metode: Studi eksperimental dengan memajankan antibodi anti-?2GP1 pada human umbilical vein endothelial cells (HUVEC). Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampel adalah IgG anti-?2GP1 dan IgM anti-?2GP1 dipurifikasi dari 6 pasien sindrom antifosfolipid. Kontrol adalah IgG dan IgM yang dipurifikasi dari orang sehat. HUVEC dipajan dengan IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG orang sehat, IgM orang sehat selama 4 jam. Pengukuran ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 dilakukan sebelum dan sesudah pemajanan dengan metode real time reverse transcription polymerase chain reaction.
Hasil: Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan dengan IgG anti-?2GP1 adalah (3,14 ± 0,93)-, (0,31 ± 0,13)-, (5,33 ± 2,75)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan dengan IgG orang sehat. Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan IgM anti-?2GP1 adalah (4,33 ± 1,98)-, (0,33 ± 0,22)-, (5,47 ± 2.64)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan IgM orang sehat. Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgG anti-?2GP1, memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,09 ± 0,76 berbanding 3,14 ± 0,93, p = 0,003), mRNA TM (0,91 ± 0,11 berbanding 0,31 ± 0,13, p = 0,001), dan mRNA PAI-1 (0,93 ± 0,13 berbanding 5,33 ± 2,75, p = 0,013). Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgM anti-?2GP1 memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,03 ± 0,11 berbanding 4,33 ± 1,98, p = 0,008), mRNA TM (0,93 ± 0,08 berbanding 0,33 ± 0,22, p = 0,003), dan mRNA PAI-1 (1,02 ± 0,10 berbanding 5,47 ± 2,64, p = 0,01).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terbukti bahwa IgG anti-?2GP1 dan IgM anti- ?2GP1 mempunyai efek protrombotik pada sel endotel dengan meningkatkan mRNA TF dan mRNA PAI-1, serta menurunkan mRNA trombomodulin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mekanisme trombosis pada APS dapat terjadi melalui peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan aktivitas fibrinolisis dan penurunan aktivitas antikoagulan.

Background: Antiphospholipid syndrome (APS) is an autoimmune disorder characterized by venous or arterial thrombosis, recurrent pregnancy morbidity and the presence of persistent antiphospholipid antibodies. The antiphospholipid syndrome is the most common acquired risk factor of thrombosis. Until now, the effect of anti-?2GP1 antibodies on coagulation system, natural anticoagulant and fibrinolytic`system has not been completely understood.
Objectives: To analyse the effects of IgG and IgM anti-beta-2 glycoprotein-1 (anti-?2GP1) on the expression of tissue factor (TF), thrombomodulin (TM), and plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) of endothelial cells in the messenger RNA level.
Methods: Experimental study in human umbilical vein endothelial cells (HUVEC) was done at Cipto Mangunkusumo Hospital/ Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Samples are purified immunoglobulin(Ig)G anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 from six APS patients serum. For controls, purified IgG and IgM from normal human serum (IgG-NHS and IgM-NHS) were used. HUVEC were treated with purified IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG-NHS, IgM-NHS for four hours of incubation. We measured TF, TM, and PAI-1 of HUVEC in mRNA relative expression levels (before and after treatment) by real time reverse transcription polymerase chain reaction.
Results: The mean value of TF, TM, and PAI-1 mRNA levels in HUVEC after treated with IgG anti-?2GP1 compared to Ig-NHS were (3.14 ± 0.93)-, (0.31 ± 0.13)-, (5.33 ± 2.75)-fold respectively. On the other hand, after treated with IgM anti-?2GP1 compared to IgM-NHS, mRNA levels of TF, TM, and PAI-1 were (4.33 ± 1.98)-, (0.33 ± 0.22)-, (5.47 ± 2.64)-fold respectively. Before and after treatment with IgG anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.09 ± 0.76 versus 3.14 ± 0.93, p = 0.003), TM mRNA levels (0.91 ± 0.11 versus 0.31 ± 0.13, p = 0.001), and PAI-1 mRNA levels (0.93 ± 0.13 versus 5.33 ± 2.75, p = 0.013). Before and after treatment with IgM anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.03 ± 0.11 versus 4.33 ± 1.98, p = 0.008), TM mRNA levels (0.93 ± 0.08 versus 0.33 ± 0.22, p = 0.003), and PAI-1 mRNA levels (1.02 ± 0.10 versus 5.47 ± 2.64, p = 0.01).
Conclusion: This study has proven that IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 increase TF and PAI-1 mRNA levels in endothelial cells. However, IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 decrease TM mRNA levels in endothelial cells. It has shown that the mechanism of thrombosis in APS occurs through coagulation activation, reduction of fibrinolysis activity, and reduction of anticoagulant activity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyana Setiawan
"ABSTRAK
Kanker paru berkaitan dengan prognosis yang buruk. Oleh karenanya, diperlukan penanda sirkulasi untuk memprediksi respons terapi dan prognosis. Ekspresi mikroRNA 10b miR-10b dan aktivitas fibrinolitik, sebagaimana dicerminkan oleh soluble urokinase-type plasminogen activator receptor suPAR dan plasminogen activator inhibitor 1 PAI-1 , merupakan kandidat biomarker yang menjanjikan.Penelitian ini bertujuan mengevaluasi peran ekspresi miR-21, miR-10b, kadar suPAR dan PAI-1 plasma sebagai prediktor progresi dan respons terapi pada pasien kanker paru stadium lanjut.Penelitian ini merupakan studi kohort dan kesintasan di RS Kanker Dharmais RSKD , Jakarta. Subjek penelitian adalah pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil KPBBSK yang didiagnosis antara bulan Maret 2015 dan September 2016. Ekspresi miR-21 dan miR-10b dikuantifikasi dengan metode real-time polymerase chain reaction RT-PCR . Kadar suPAR dan PAI-1 diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay ELISA . Respons terapi dievaluasi berdasarkan kriteria RECIST 1.1. Pasien ditindaklanjuti sampai meninggal atau satu tahun setelah terapi.Terdapat 40 pasien yang dilibatkan dalam studi; 25 orang menyelesaikan sedikitnya4 siklus kemoterapi dan 15 lainnya meninggal selama terapi. Ekspresi miR-21 tidak berhubungan dengan progresi atau respons terapi. Kadar absolut miR-10b >592,145 copies/mL atau FC miR-10b > 0.066 bersifat protektif terhadap progresi dan respons buruk, sedangkan kadar suPAR > 4,237 pg/mL merupakan faktor risiko progresi dan respons buruk. Oleh karena dianggap penting, FC miR-10b juga dimasukkan dalam model prediksi progresi. Kadar PAI-1 > 4,6 ng/mL merupakan faktor protektif untuk respons buruk. Kadar suPAR merupakan faktor risiko independen untuk progresi dan respons buruk, sedangkan kadar PAI-1 merupakan faktor protektif independen untuk respons buruk.Simpulan: Model prediksi untuk progresi dapat dibuat dari ekspresi relatif miR-10b dan kadar suPAR, sedangkan respons terapi dapat diprediksi dari kadar suPARdan PAI-1. Dibutuhkan studi lebih lanjut untuk validiasi model-model prediksi ini.Kata kunci: kanker paru karsinoma bukan sel kecil KPKBSK , miR-10b, miR-21, overall survival, plasminogen activator inhibitor 1 PAI-1 , respons terapi, soluble urokinase-type plasminogen activator receptor suPAR

ABSTRACT
Lung cancer is associated with poor prognosis. Circulating markers to predict treatment response and prognosis is needed. Expression of microRNA10b miR 10b and fibrinolytic activity, as reflected by soluble urokinase type plasminogen activator receptor suPAR and the plasminogen activator inhibitor 1 PAI 1 , were promising as biomarker candidates.This study aimed to evaluate the role of miR 21, miR 10b expression, suPAR and PAI 1 levels as predictors of progression during treatment and treatment response in advanced lung cancer patients.This was cohort and survival study in Dharmais Cancer Hospital DCH . The subjects were non small cell lung cancer NSCLC patients diagnosed between March 2015 and September 2016. Expression of miRNAs were quantified using real time polymerase chain reaction RT PCR method. Levels of suPAR and PAI 1 were assayed using the enzyme linked immunosorbent assay ELISA method. Treatment response was evaluated based on RECIST 1.1. Patients were followed up until death or one year after treatment.Forty patients were enrolled 25 completed at least 4 cycles of chemotherapy and15 patients died during treatment. Absolute and FC miR 21 were not associated with progression or treatment response. Absolute MiR 10b expression 592,145 copies mL or FC miR 10b 0.066 were protective for progressive disease and poor treatment response, while suPAR levels 4,237 pg mL was a risk factor for progressive disease and poor responders. Since FC miR 10b was an important predictive factor, it was included in the prediction model of progression. PAI 1 levels 4.6 ng mL was a protective factor for poor response group of patients. suPAR level was an independent risk factors for progression and poor response, while PAI 1 level was an independent protective factor of poor response.Conclusion A model to predict progression can be developed using miR 10b expression and suPAR levels, while treatment response can be predicted by suPAR and PAI 1 levels. Further studies are needed to validate this model.Key words miR 10b, miR 21, non small cell lung cancer NSCLC , overall survival, plasminogen activator inhibitor 1 PAI 1 , soluble urokinase type plasminogen activator receptor suPAR , treatment response"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E.M. Yunir
"ABSTRAK
Luka kaki diabetik (LKD) merupakan komplikasi kronik diabetes yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas, serta menurunkan kualitas hidup. Komplikasi makro dan mikrovaskular/mikrosirkulasi
mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian LKD dan proses penyembuhannya. Kondisi
mikrosirkulasi dapat dinilai melalui pemeriksaan transcutaneous perfusion oxygen (TcPO2). Kondisi
mikrosirkulasi dipengaruhi oleh HbA1c, glukosa darah sewaktu, neuropati, fibrinogen, PAI-1,
hsCRP, indeks MMP-9, indeks TcPO2, dan indeks TcPCO2, yang akan memengaruhi terbentuknya
jaringan granulasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran HbA1c, GDS, neuropati, fibrinogen, PAI-1, hsCRP,
indeks MMP-9, terhadap indeks TcPO2, indeks TcPCO2, dan indeks granulasi, serta mengetahui
peran serta indeks TcPO2 dan indeks TcPCO2 terhadap indeks granulasi pada luka kaki diabetik.
Sebanyak 68 subjek LKD tanpa penyakit arteri perifer di RS dr. Cipto Mangukusumo dan beberapa
rumah sakit jejaring, pada Desember 2015?Desember 2016, diberikan perawatan standar dan
dipantau setiap minggu sebanyak 4 kali. Pada pemantauan ke-1, ke-2, dan ke-3, dilakukan
dokumentasi LKD, pengambilan darah vena sebanyak 7,7 mL untuk pemeriksaan fibrinogen, PAI-1,
hsCRP, MMP-9, dan TIMP-1, darah arteri sebanyak 2 mL untuk pemeriksaan analisis gas darah,
serta pemeriksaan TcPO2 dan TcPCO2 dengan menggunakan TCM TOSCA/CombiM monitoring
systems buatan Radiometer. Pada pemantauan ke-4, hanya dilakukan dokumentasi LKD.
Pengukuran luas luka dan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil dokumentasi fotografi dengan
menggunakan program ImageJ. Penilaian neuropati menggunakan pemeriksaan interval RR dan
kecepatan hantar saraf. Data laboratorium lainnya diperoleh dari data sekunder rekam medis.
Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan path analysis (analisis lajur) pada data
repetitif dan SPSS pada data nonrepetitif.
Berdasarkan analisis didapatkan hubungan antara peningkatan glukosa darah sewaktu, fibrinogen,
dan PAI-1 dengan penurunan indeks TcPO2. Didapatkan juga hubungan antara beratnya neuropati
motorik dan sensorik, peningkatan glukosa darah sewaktu, fibrinogen, PAI-1, dan hsCRP dengan
penurunan indeks granulasi. Tetapi, indeks granulasi tidak dipengaruhi oleh indeks TcPO2. Indeks
TcPCO2 tidak memiliki hubungan terhadap semua variabel tersebut, kecuali hsCRP dan indeks
TcPCO2 tidak memengaruhi indeks granulasi.
Indeks TcPO2 pada LKD dipengaruhi oleh kadar glukosa darah sewaktu, fibrinogen, dan PAI-1,
tetapi tidak memengaruhi tumbuhnya jaringan granulasi. Tumbuhnya jaringan granulasi dipengaruhi
oleh glukosa darah sewaktu, neuropati motorik dan sensorik, peningkatan kadar fibrinogen, PAI-1,
dan hsCRP. Selain itu, indeks TcPCO2 tidak memengaruhi indeks granulasi

ABSTRACT
Diabetic foot wounds/ulcer (DFU) is chronic complication of diabetes, which increases
mortality and morbidity, and lower quality of life. Macro and microvascular/microcirculation
complications has a great influence on DFU and healing process. Microcirculation condition can
be seen from transcutaneous perfusion oxygen (TcPO2). The growth of granulation tissue in the
healing process is determined by microcirculation condition, among others influenced by
HbA1c, random blood glucose, neuropathy, fibrinogen, PAI-1, hsCRP, MMP-9 index, TcPO2
index, and TcPCO2 index.
This study aimed to investigatethe role of HbA1c, random blood glucose, sensory, motoric, and
autonomy neuropathy, fibrinogen, PAI-1, hsCRP, MMP-9 index, TcPO2 index, TcPCO2 index,
and granulation index, as well as the relationship between TcPO2 index, TcPCO2 index and
granulation index in diabetic foot wounds.
As much as 68 subjects DFU without peripheral arterial disease, in Cipto Mangunkusumo
Referral National Hospital, on December 2015?December 2016, were given standard
managementof diabetic foot ulcer and monitored once a week for four times. In the 1st, 2nd, and
3rd monitoring, DFU was documented, then 7.7 mL of venous blood was taken for fibrinogen,
PAI-1, hsCRP, MMP-9, and TIMP-1 examination, also 2 mL arterial blood for blood gas
analysis, and then examination of TcPO2 and TcPCO2was performed using TCM4
TOSCA/CombiM monitoring systems made by Radiometer. In the 4th monitoring, only DFU
was documented. Wound and granulation size was measured through photographic
documentation using ImageJ program. Neuropathy was diagnosed based on RR interval and
nerve conduction velocity study. Other laboratory data were obtained from medical records. The
data were analysed by path analysis for repetititive data and SPSS for nonrepetitive data.
From analysis, there is a significant correlation between the increasing random blood glucose
(RBG), fibrinogen, and PAI-1 with the decreasing of TcPO2, also found a significant
relationship between the severity of sensory and motoric neuropathy, the increasing levels of
RBG, fibrinogen, PAI-1, and hsCRP with the decreasing of granulation index. But, TcPO2 index
does not influence granulation index. TcPCO2 index does not have significant correlation with
all these variables, except hsCRP. Moreover, TcPCO2 index also does not influence granulation
index.
TcPO2 index of DFU is affected by RBG, fibrinogen, PAI-1, but does not affect the growth of
granulation tissue. Granulation tissue?s growing is influenced by the sensory and motoric
neuropathy, increased levels of fibrinogen, PAI-1, and hsCRP. Furthermore, TcPCO2 index does
not influence granulation?s growth."
2016
D2218
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library