Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York: Cambridge University Press, 2017
821.914 CAM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amartya Gyani Andiraputri
Abstrak :
Definisi 'pengungsi' dalam istilah hukum telah menciptakan pemahaman yang sama mengenai situasi "perlindungan" yang didefinisikan dengan tidak memiliki kewarganegaraan, suatu keadaan yang dapat dibenarkan dengan memberikan perlindungan individu dan hak-hak sipil yang ditawarkan oleh kewarganegaraan dalam negara, apapun negaranya. Kasus unik pengungsi Palestina di Yordania, yang sebagian mayoritas memiliki kewarganegaraan Yordania, menantang definisi itu. Identifikasi Pengungsi Palestina di Yordania yang memiliki kewarganegaraan Yordania dengan statusnya sebagai pengungsi dan hak mereka atas status yang dimungkinkan oleh UNRWA mengusulkan pemahaman tentang situasi perpindahan yang ditandai dengan perpindahan, situasi yang hanya bisa dibenarkan dengan pengembalian. Dalam penelitian ini, Identitas pengungsi Palestina sebagai bangsa dianalisis dalam konteks sentralitas perpindahan bagi suatu negara di pengasingan dan apa syarat perpindahan bernegosiasi dengan tempat tinggal jangka panjang mereka di Yordania. Hasilnya adalah kategorisasi antara pengungsi Palestina yang berpegang teguh pada identitas mereka sebagai pengungsi Palestina, di mana kewarganegaraan Yordania hanya dilihat sebagai alat untuk menopang hidupnya di pengasingan dan pengungsi Palestina yang sudah menganggap dirinya bagian dari bangsa Yordania dengan identitas hibrida sebagai Palestina-Yordania. Situasi ini dimungkinkan oleh bentrokan identitas masa lalu sebagai orang Palestina dengan realitas kehidupan di masa sekarang sebagai pemukim, kemudian menjadi warga negara, di Yordania sejak 1949. ......The definition of 'refugee' in legal terms has created a common understanding of the situation of "protection" defined by statelessness, a situation that can be justified by providing individual protection and civil rights offered by citizenship in a country, regardless of the country. The unique case of Palestinian refugees in Jordan, the majority of whom hold Jordanian citizenship, challenges that definition. Identification of Palestinian Refugees in Jordan who hold Jordanian citizenship with refugee status and their right to that status enabled by UNRWA proposes an understanding of displacement situations characterized by displacement, situations that can only be justified by return. In this study, the identity of Palestinian refugees as a nation is analyzed in the context of centrality migration for a country in exile and what terms of migration are negotiated with their long-term residence in Jordan. The result is a categorization between Palestinian refugees who cling to their identity as Palestinian refugees, where Jordanian citizenship is only seen as a means to sustain life in exile and Palestinian refugees who already considers himself part of the Jordanian nation with a hybrid identity as Palestinian-Jordan. This situation is made possible by the clash of past identities as Palestinians with the realities of life today as settlers, then citizens, in Jordan since 1949.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farid Mubarok
Abstrak :
Dunia pascakolonialisme Islam masih terus dibayang-bayangi oleh ambisi hegemoni Barat sebagai akibat dari mentalitas panjang kolonialisme dan bias orientalisme. Momentum ketegangan antara dua dunia Islam dan Barat mencapai puncaknya ketika serangan 9/11 mengguncang Amerika Serikat. Melalui propaganda media, Islam menjadi kambing hitam dan diwacanakan sebagai agama yang penuh dengan kekerasan dan menginspirasi terorisme. Sebagai seorang “Kiai” dari kalangan Islam tradisional yang memimpin organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Muzadi mengkampanyekan wacana Islam sebagai agama yang damai dan menolak aksi-aksi kekerasan di kancah internasional. Penelitian ini bertujuan untuk 1) meganalisis dan menjelaskan latar belakang peristiwa yang memengaruhi Kiai Hasyim Muzadi dalam melawan hegemoni dunia Barat, terutama Amerika Serikat, di dunia Islam; 2) menjelaskan basis pemikiran yang melatarbelakangi Kiai Hasyim Muzadi dalam melakukan resistensi atas wacana hegemoni dunia Barat, terutama Amerika Serikat, di dunia Islam; 3) menganalisis dan menjelaskan strategi Kiai Hasyim Muzadi dalam merespons aksi hegemonik dunia Barat, terutama Amerika Serikat, atas dunia Islam dalam perspektif studi pascakolonial. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif dengan pendekatan sejarah intelektual. Penulis menemukan bahwa perlawanan Kiai Hasyim Muzadi dilatarbelakangi oleh peristiwa 9/11 yang berdampak pada meningkatnya Islamofobia di dunia Barat. Beliau mengusung “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” sebagai basis pemikiran sekaligus wacana tandingan melawan wacana Islam radikal yang berkembang dalam internal maupun eksternal Islam. Strategi pascakolonialisme yang dilakukan Kiai Hasyim adalah dengan melakukan mimikri melalui pembentukan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) sehingga gagasannya dapat diterima secara lebih luas, khususnya di dunia Barat. Penulis menyimpulkan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Kiai Hasyim dalam melawan hegemoni dunia Barat, terutama Amerika Serikat, atas dunia Islam adalah perjuangan pascakolonialisme dalam upaya menundukkan Timur sebagai subjek yang melawan neokolonialisme Barat. ......Islamic postcolonial world still in the behind of Western hegemony’s shadows as the result of long mentality of the colonialism and orientalism bias. The tension between Islamic world and Western world hit its peak momentum by the 9/11 strike which occurred in the United States. By the propaganda of media, Islam was scapegoated and discoursed as the religion of violence and inspired terrorism. As a “Kiai” or traditional Islamic cleric who led the biggest Islamic organization in Indonesia, Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi was campaigning Islamic discourse in the international stage as a religion of peace which refusing any kind of violence. This article aims to 1) examine and explain the background events which influenced Hasyim Muzadi to fight against Western hegemony, especially the United States, on Islamic world; 2) explain the basis of thoughts which encouraged Hasyim Muzadi to resist the discourse of Western hegemony, especially the United States, on Islamic world; 3) examine and explain the strategy of Hasyim Muzadi to response Western hegemonic acts, especially the United States, on Islamic world with postcolonial studies perspective. This article uses qualitative research with intellectual history approach. The author finds that the resistance of Hasyim Muzadi was driven by the 9/11 event which increased Islamophobia in the Western world. He promoted “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” as the basis of thoughts and counter-discourse resisting Islamic radicalism discourse which developed inside and outside Islamic society. Hasyim Muzadi adopted mimicry as the postcolonial strategy by creating the International Conference of Islamic Scholars so his ideas could be accepted wider, especially in the Western world. The author concludes that the struggle of Hasyim Muzadi to resist Western hegemony, especially the United States, on Islamic world was a postcolonial struggle to make the East as a subject which resisted Western neo-colonialism.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Asri Prahesti
Abstrak :
Penelitian yang saya lakukan dalam skripsi saya ini adalah mengenai konstruksi orang Indian sebagai das Fremde dalam novel Winnetou karya Karl May. Pada tahun 1893, Karl May menerbitkan bagian pertama dari 'I'rilogi Winnetou dan merupakan buku terakhir dari trilogi tersebut. Skripsi saya ini menggunakan pascakolonialisme sebagai teori utama dan hermeneutik interkultural sebagai metode penelitiannya. Dalam pascakolonialisme Barat menjajah Timur secara budaya dengan cara merepresentasikan Timur sebagai yang asing- (dos Fremde). Sedangkan menurut teori hermeneutik, perasaan asing biasanya disebabkan 'pleb perbedaan bahasa, fisik, dan kebudayaan. Barat memandang rendah Timur, karena perbedaan-perbedaan yang ada tidak dilihat.
My thesis is about American Native representation as dac 1-'re/m1e (the Other) in adventure story Winnetou by Karl May. On 1893, Karl May published the first installment of Winnetou Trilogy and actually was the last part of the trilogy. My thesis uses post-colonialism as the main theory and inter culture hermeneutic as research method. In post-colonialism, the West colonized the Orient culturally by representing the Orient as the Other (das Frenule). According to hermeneutic theory, alienation is caused by language, physic and culture differences. Those differences were not considered by the West as something neutral and equal, instead they considered the Orient inferior, thus it is a justification of colonialism in the Orient and by educating them they show the superiority of the Western culture. In Winnetou, American Native of Apache and Kiowa were the representation of the Orient, while Old Shatterhand and Klekih-petra were the representation of the West. Through books, journals, and travel diaries used by Karl May, we see May's description of American Native people and culture by using stereotyped jargons American Native by European.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S14801
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azuura Sheilaregita Hentriasari
Abstrak :
Sejak masuknya pembangunan internasional ke dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional, ia hanya dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi. Seiring berjalannya waktu, kajian pembangunan internasional pun berkembang dan didominasi oleh berbagai teori seperti Modernisasi, Dependensi, serta Neoklasik. Namun, kajian pembangunan internasional terlalu fokus pada ranah ekonomi sehingga tidak sadar akan signifikansi sejarah dan ketimpangan relasi kuasa global yang memengaruhi realitas negara-negara “terbelakang” yang dianggap memerlukan pembangunan. Celah ini lah yang dapat diisi oleh perspektif pascakolonialisme sebagai perspektif yang fokus menyelidiki dampak sejarah kolonialisme dan warisannya yang masih hadir dan memengaruhi pembangunan internasional saat ini. Dengan demikian, tulisan ini akan menelusuri kajian pascakolonialisme dalam pembangunan internasional dengan menjawab rumusan masalah utama yakni bagaimana perkembangan literatur akademis dalam memandang pembangunan internasional melalui perspektif pascakolonialisme? Tinjauan literatur ini menggunakan metode taksonomi untuk meninjau 26 literatur akademis terakreditasi yang pembahasannya akan dibagi berdasarkan dua tema, yaitu Eurosentrisme dalam pembangunan internasional dan persistence of colonialism dalam pembangunan internasional. Penulis kemudian akan memetakan konsensus dan perdebatan dari literatur yang ditinjau untuk menemukan sintesis. Tinjauan dan analisis penulis menghasilkan sintesis umum bahwa pembangunan internasional merupakan gagasan Eurosentris yang dalam praktiknya menyerupai kolonialisme melalui mekanisme bantuan luar negeri, Structural Adjustment Programme, ekspansi perusahaan multinasional, dan universalisme model pembangunan internasional. ......Since the introduction of international development into the field of International Relations, it has been narrowly interpreted as economic growth. Over time, the study of international development has evolved and been dominated by various theories such as Modernization, Dependency, and Neoclassical theories. However, the study of international development has been too focused on the economic realm, neglecting the significance of history and the imbalances in global power relations that affect the realities of “underdeveloped” countries requiring development. This gap can be filled by the postcolonial perspective, which focuses on investigating the historical impacts of colonialism and its enduring legacy that still influences international development today. Therefore, this paper aims to explore postcolonial perspectives in international development by addressing the main research question: how has the academic literature evolved in viewing international development through a postcolonial lens? This literature review adopts a taxonomy method to examine 26 accredited academic works, which are categorized into two major themes: Eurocentrism in international development and the persistence of colonialism in international development. The author then maps out the consensus and debates within the reviewed literature to synthesize the findings of the literature review. The author’s review and analysis result in a general synthesis that international development is a Eurocentric concept that, in practice, resembles colonialism through mechanisms such as foreign aid, Structural Adjustment Programs, the expansion of multinational corporations, and the universalism of the international development model.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nethania Dinari Ramadhani
Abstrak :
Diskriminasi ras sudah menjadi permasalahan yang mendarah daging terhadap antara imigran Maghribi dan lingkungan sosial di Prancis. Permasalahan ini menimbulkan kesenjangan sosial di antara hubungan keduanya. Imigran Maghribi atau imigran yang berasal dari Afrika Utara merupakan salah satu kelompok imigran terbesar di Prancis. Melalui perbedaan budaya serta nilai dengan Prancis, hal ini menyebabkan diskriminasi dan segregasi sosial dari masyarakat Prancis terhadap mereka. Dalam proses beradaptasi dengan lingkungan baru, para imigran Maghribi mengalami sering kali mengalami krisis identitas. Kehadiran permasalahan krisis identitas kultural ini hadir dalam salah satu karya penulis Maroko terkenal, yakni Tahar Ben Jelloun dengan judul novel Au Pays (2009). Au Pays mengungkap kesenjangan sosial yang terjadi terhadap para imigran Maghribi di Prancis. Artikel ini berfokus pada permasalahan krisis identitas kultural yang dialami oleh para imigran Maghribi dalam novel Au Pays dengan menekankan pada kesenjangan sosial lingkungan Prancis serta ambivalensi identitas kultural para imigran. Artikel ini bertujuan untuk mengungkap kesenjangan sosial di Prancis yang dipicu secara signifikan oleh permasalahan krisis identitas kultural yang dialami oleh dua generasi imigran Maghribi. Artikel ini menganalisis bagaimana keberpihakan penulis di dalam cerita menunjukkan adanya realita kesenjangan sosial bagi para imigran Maghribi. Artikel ini menggunakan teori analisis teks naratif Roland Barthes (1966), konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha (1994), dan konsep identitas kultural Stuart Hall (1996). Artikel ini menyimpulkan bahwa permasalahan identitas kultural yang dialami dua generasi imigran Maghribi diungkap melalui kesenjangan sosial di lingkungan sosial Prancis serta sudut pandang penulis dalam menghasilkan karyanya ......Racial discrimination has been a deep-rooted problem among the Maghreb immigrants and the local society in France. It provokes the lack of social equality of their relations. One of the largest numbers of immigrant groups in France came from North African immigrants or commonly classified as the Maghreb immigrants. Due to the fact they have distinct values and culture with France, it led to discrimination and segregation from local people to them. For the purpose of possessing self-adaptation in the alien country, the Maghreb immigrants faced a cultural identity crisis oftenly. The existence of a cultural identity crisis issue is shown in one of the influential and active Moroccan writers, Tahar Ben Jelloun’s works, namely as Au Pays (2009). Au Pays reveals a miserably inequality society with the Maghreb immigrants in France. This article focuses on a cultural identity crisis faced by the Maghreb immigrants in Au Pays, outlining a state of inequality society in France and also the immigrants’ cultural identity ambivalence. This paper aims to highlight the inequality society in France provoked significantly a cultural identity problem experienced by two generations of the Maghreb immigrant characters. This paper analyzes how the writer’s mannerism shows the Maghreb immigrants’ unfortunate reality while surviving in the unequal French society using Roland Barthes (1966)’s narrative text analysis, the post-colonial theory by Homi K. Bhabha (1994) and the cultural identity concept by Stuart Hall (1996). The paper concludes that the cultural identity problem experienced by two generations of the Maghreb immigrants’ is disclosed on the basis of the inequality in French society and the author’s point of view in producing his work.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library