Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tutuhatunewa, Alex Robert
"ABSTRAK
Konflik antar kelompok (bukan kelompok agama) bukanlah hal baru bagi masyarakat Maluku. Namun, konflik yang terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999 hingga kini Juni 2000 saat tesis ini diselesaikan), benar-benar hal baru dan memalukan bagi orang Maluku. Demikian tanggapan responden pada saat dilakukan penelitian lapangan (1999). Betapa tidak, selama ini masyarakat Maluku dikenal sangat toleran dan harmonis dalam hidup bersama dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya, etnis dan agama yang berbeda. Orang Maluku telah mempraktekkan bagaimana hidup sebagai manusia antar budaya melalui budaya Pela yang mereka punyai.
Kini, pranata ini (Pela) diragukan perannya, terutama berkaitan dengan konflik yang terjadi yang hingga saat ini belum dapat didamaikan. Padahal, selama ini Pela berhasil memperlihatkan fungsinya sebagai usafety valve" dalam menjembatani perbedaan di masyarakatnya.
Untuk menyelidiki sikap pesimistis masyarakat tentang peran budaya pela tersebut, maka studi ini dilakukan dengan fokus pada model komunikasi antar masyarakat pela serta perannya dalam pengelolaan konflik yang terjadi. Kajian ini dilakukan dengan mengacuh pada model komunikasi konvergensi (Convergence Model of Communication) dari Roger dan Kincaid (1981, dalam Revianti, 1986) sebagai tools of analysis, disamping teori Perubahan Sosial dan Integrasi Sosial dari Durkheim (Laeyendecker, 1983) dan sejumlah pikiran ilmuan Iainnya seperti Samovar dkk.(1981).
Dari hasil studi ini, ternyata ada hal yang mendasar yang perlu dipahami yakni, wilayah konflik dan wilayah dimana pranata pela hidup dan bertumbuh ternyata berbeda. Konflik terjadi pada wilayah masyarakat dengan struktur yang heterogen. Pada masyarakat ini, perubahan sosial terjadi begitu cepat, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan struktur (kelembagaan) dan kebijakan yang mendukungnya. Kecuali itu, model komunikasinya pun beragam. Faktor situasi dan tujuan komunikasi sangat berpengaruh terhadap model komunikasi masyarakatnya. Sebaliknya, wilayah dimana pela hidup dan bertumbuh berada pada masyarakat dengan struktur yang homogen.
Masyarakat homogen selalu hidup dalam suasana toleran dan harmonis. Mereka memiliki lembaga-lembaga sosial (lokal) yang kuat yang menopang berjalannya sistem sosial di masyarakat.
Perubahan sosial berjalan lambat dan masyarakatnya begitu taat kepada tatanan norma dan nilai yang berlaku. Model komunikasi masyarakatnya tidak berorientasi pada tujuan, tetapi pada apa yang hendak dicapai bersama.
Dengan demikian, komunikasi yang terjadi tidak banyak menimbulkan persepsi terhadap pesan yang disampaikan karena mereka memiliki kesepakatan bersama terhadap simbol-simbol komunikasi yang mereka gunakan beserta maknanya. Makna atas pesan pun tidak bias. Proses Komunikasinya tidak linear (sumber ke penerima), tetapi sirkuler.
Artinya dengan model sirkuler, maka komunikasi dilihat sebagai suatu proses sampai masing-masing pihak saling memahami (bandingkan: Roger & Kincaid, dalam Revianti,1986).
Untuk mendapat data atas permasalahan yang ada, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan akan dapat ditulis secara sistimatis pela dengan berbagai latar belakang dan perkembangannya, perannya di masyarakat, model komunikasi antar masyarakatnya, persepsi masyarakat tentang pela itu sendiri dan berbagai hal lainnya. Kecuali itu, demikian halnya konflik yang terjadi. Kesemuanya diharapkan dapat dijelaskan secara faktual dan cermat, untuk kemudian menemukan hakekat Pela yang sebenamya dan perannya dalam pengelolaan konflik di Maluku. Dengan tipe penelitian ini diharapkan akan dapat dipahami persoalan pela dan konflik pada latar alamiahnya atau pada konteks dari suatu keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dad. konteksnya.
Studi ini menyimpulkan bahwa, kedepan, model komunikasi pela tetap dapat digunakan untuk mengelola konflik di Maluku dengan dua syarat.
Pertama, Pola hubungan masyarakat pela harus direvitalisasi demi memberi ruang dan kesempatan bagi anggota masyarakat lain dari etnis dan budaya yang ada di Maluku, sebagai akibat berubahnya struktur masyarakat. Dengan demikian, semangat yang melatarbelakangi lahirnya pela tidak lagi sebatas semangat negeri-negeri tetapi harus diartikulasikan bare menjadi semangat masyarakat kebanyakan.
Kedua, Bersamaan dengan proses revitalisasi, maka proses konvergensi harus berjalan bersamaan. Proses ini dimaksudkan untuk mencari kesamaan dari simbol-simbol komunikasi yang ada di masyarakat plural dengan simbol-simbol komunikasi di masyarakat pela, untuk diarahkan pada satu kesepahaman makna serta tujuan komunikasi bersama di masyarakat.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margie Civitaria Siahay
"ABSTRAK
Kota Ambon merupakan salah satu kota yang pernah dilanda konflik agama beberapa
tahun yang silam (1999-2004). Meskipun kini telah dinyatakan aman dan kondusif, namun
terlihat bekas konflik masih terasa, terutama di ruang bermukim masyarakat yang sudah terpola
sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing sejak konflik dahulu hingga kini. Hal ini
pada akhirnya turut berdampak pada keberadaan ruang kota (ruang publik) yang semakin
menurun kualitas lingkungannya.
Segregrasi yang terjadi di dalam kawasan bermukim pada akhirnya menurunkan kualitas
ruang kota. Ruang kota yang dapat menjadi ruang publik yang digunakan oleh masyarakat
sebagai bagian dari publik pun tidak tercapai dengan baik. Desain dihadirkan sebagai mediator di
antara kedua pihak yang terpisah dalam pola bermukim ini. Perancangan dengan menggunakan
konsep Shared Space diharapkan akan dapat mengembalikan harmoni ruang kota dengan
menghadirkan desain ruang yang menjadi mediasi atau jembatan dengan tujuan untuk menjadi
pemersatu keragaman etnis dan agama di dalam ruang publik di kota Ambon. Konsep shared
space akan menampilkan kembali integritas dan keseimbangan serta ‘sense of place’ dalam
kawasan pusat kota terkususnya ruang publik, dan mengembalikan identitas Ambon pasca
konflik agar menjadi ruang ruang kebersamaan antar komunitas dengan culture oriented dan
berlandaskan kearifan lokal ikatan persaudaraan Pela-Gandong.

ABSTRACT
Ambon city is one of the city that has been hit by religious conflict many years ago
(1999-2004). Although it has now been declared safe and conducive, but it appears that the
conflict is still felt, especially in communities living space (residences) that has been patterned
in accordance with their religious beliefs since the conflict a few years ago until now. Therefore,
it affects the existence of the urban space (public space), this causes a decreased quality of the
city environment.
Segregation that occurred in the area of residences in the end make the quality of urban
space has decreased significantly. Urban space should be a public space that is used by the
community as part of the public was not achieved well. In this thesis, the design presented as a
mediator between the two parties separated in this living space. Design by using the concept of
Shared Space is expected to be able to restore the harmony of urban space which can be a
mediation or a bridge with the aim to unite ethnic and religious diversity in the public space in
the city of Ambon. The concept of Shared Space will bring back integrity and balance as well as
the 'sense of place' in the downtown area especially public space, and returns the identity of the
city of Ambon in the post-conflict period, in order to become a space of togetherness among
communities with culture-oriented and based on local wisdom, which is the bond of Pela-
Gandong."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T43456
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhi Sugandhi
"Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, tak terkecuali wilayah Ibukota, DKI Jakarta. Setiap tahun, selalu saja ada wilayah yang mengalami banjir, terutama dipicu oleh luapan sungai-sungai yang mengalir. Jakarta sendiri terletak di daerah hilir yang terdiri dari daerah rawa yang merupakan dataran banjir. Salah satu daerah aliran sungai yang paling sering mengalami luapan banjir ialah Sungai Krukut. Hal itu terutama dipicu tingginya nilai curah hujan yang bisa mencapai lebih dari 200 mm dalam sehari. Pembangunan yang masif di sepanjang bantaran aliran sungai telah memperparah banjir yang terjadi, terutama di segmen Pela Mampang yang mencakup Kelurahan Pela Mampang Kecamatan Mampang Prapatan dan Kelurahan Petogogan, Kecamatan Kebayoran Baru. Penilitian ini memodelkan secara dua dimensi, genangan banjir menggunakan program HEC-RAS untuk menggambarkan sebaran potensi banjir periode ulang 2, 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Selain itu dilakukan juga analisis sapasial infrastruktur terdampak sampai ke tingkat RT untuk memberikan gambaran terkait jangkauan genangan menggunakan 4 jenis klasifikasi (rendah, sedang, tinggi dan ekstrim). Hasil penilitian menunjukkan 19 dari 150 RT di Kelurahan Pela Mampang dan 33 dari 79 RT di Kelurahaan Petogogan tergenang banjir dengan total luas genangan banjir 100 tahun mencapai 39,58 ha. Adapun insfrastruktur terdampak mencapai 1.903-unit dengan luas jalan tergenang mencapai 3,27 ha. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan masukan untuk perencanaan infrastruktur dan pengaturan sungai ke depan dalam rangka antisipasi dan mitigasi bencana yang lebih baik.
......Floods are one of the natural disasters that often occur in Indonesia, including the capital city, DKI Jakarta. Every year, there are always areas that experience inundation, mainly triggered by overflowing rivers. Jakarta itself is in the downstream which consists of swampy areas which are floodplains. One of the rivers that often experiences flooding is the Krukut River. This is mainly caused by the high rainfall which can reach more than 200 mm in a day. Massive development along the banks of the river has exacerbated the flooding, especially in the Pela Mampang segment which includes Pela Mampang Urban Village, Mampang Prapatan Sub-District and Petogogan Urban Village, Kebayoran Baru Sub-District. This study uses a two-dimensional model of flood inundation using the HEC-RAS program to describe the potential distribution of flood inundation for 2, 5, 10-, 25-, 50- and 100-year return periods. In addition, a spatial analysis of the affected infrastructure down to the neighborhood level was also carried out to provide an overview of the inundation range using 4 types of classification (low, medium, high and extreme). The results showed that 19 out of 150 Neighborhoods in Pela Mampang Urban Village and 33 of 79 Neighborhoods in Petogogan Urban Village were flooded with a total area of 100 years return period of flood inundation reaching 39.58 ha. The affected infrastructure reached 1,903 units with an area of 3.27 ha of inundated roads. It is hoped that this research can provide input for future infrastructure planning and river regulation in the context of better disaster anticipation and mitigation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library