Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imam Arrasyid
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian kecepatan pelarutan asetosal dalam bentuk campuran dengan koffein yang dibuat dengan mencampur 500 mg asetosal dan koffein dalam berbagai variasi berat, yaitu: 0 mg (kontrol), 20 mg, 40 mg,60 mg, dan 80 mg. Campuran dikemas dalam bentuk kapsul. Masing-masing kapsul ditentukan kecepatan pelarutannya dengan metode "Rotating Basket" dalam media pelarut buffer asetat 0,05 M, pH 4,5 ± 0,05 dan temperatur 370 C ± 0,5. Kadar asetosal yang terlarut ditentukan kadamya dengan metode titrasi asam-basa secara tidak langsung, dimana asetosal yang terlarut dihidrolisa terlebih dahulu dengan larutan Natriuni Hidroksida 0,2 N dan kelebihan larutan natrium hidroksida tersebut dititrasi dengan asam klorida 0,1 N. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa koffem meningkatkan kecepatan pelarutan asetosal dalam sediaan kapsul. Padajumlah tertentu semakin bèsarjumlah koffein yang ditambahkan, semakin besar pula kecepatan pelarutan asetosal. ......The dissolution rate test of mixtures consisted of 500 mg acetosal and 0 mg (control), 20 mg, 40 rng, 60 mg, and 80 mg coffein had been carried out. The mixtures were loaded into capsul. The dissolution rate of each capsule was determined in 0,05 M acetic buffer solution, pH 4,5 ± 0,05 at 370 C ± 0,5 using " Rotating Basket" method. The dissolved acetosal concentration was determined by indirect acid-base titration after the dissolved acetosal was hydrolyzed by 0,2 N sodium hydroxide and the excess of sodium hydroxide was titrated by 0,1 N hydrochloride acid. The results showed that coffein increase the dissolution rate of acetosal in capsule dosage form. Increasing of coffein in certain amount will increase the dissolution rate of acetosal significantly.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Fidian Indrastia
Abstrak :
ABSTRAK
Glimepirid merupakan agen antidiabetes oral yang termasuk dalam sistem klasifikasi biofarmasetika kelas dua yang berarti memiliki kelarutan yang rendah dan permeabilitas yang tinggi. Kelarutan yang rendah tersebut membatasi laju pelarutan obat sehingga menjadi masalah dalam bioavailabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan laju pelarutan glimepirid melalui pembentukan kokristal dengan beberapa metode yaitu evaporasi pelarut, solvent-drop grinding, dan spray drying. Kokristal dibuat menggunakan koformer nikotinamid, asam suksinat, dan asam malat dengan perbandingan molar 1:1 dan 1:2. Kokristal yang dihasilkan dikarakterisasi dengan mikroskop polarisasi, Scanning Electron Microscopy SEM , Fourier Transform Infrared Spectroscopy FTIR , Simultaneous Thermal Analysis STA . Uji disolusi dilakukan dalam medium dapar fosfat pH 7,8 pada suhu 37 C selama 60 menit. Hasil tampilan mikroskop polarisasi dan SEM menunjukkan bentuk kristal. Spektrum FTIR memperlihatkan terbentuknya ikatan hidrogen antara glimepirid dan koformer. Termogram DSC dan TGA yang diperoleh dari STA menunjukkan penurunan titik lebur pada kokristal. Hasil uji laju pelarutan menunjukkan bahwa seluruh kokristal glimepirid mampu meningkatkan laju pelarutan dengan peningkatan paling tinggi terjadi pada kokristal glimepirid-nikotinamid perbandingan 1:1 metode solvent-drop grinding dengan peningkatan hingga 4,39 kali glimepirid murni. Pada penelitian ini terbukti kokristal glimepirid yang dibuat mampu meningkatkan laju pelarutan glimepirid sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas.
ABSTRACT
Glimepiride is an oral antidiabetic agent that belongs to a second class biopharmaceutical classification system which has low solubility. This limits the rate of dissolution of the drug which leads a problem in bioavailability. This study aims to increase the dissolution rate of glimepiride through the formation of cocrystal with several methods which are solvent evaporation, solvent drop grinding, and spray drying. The co crystals were prepared using nicotinamide, succinic acid, and malic acid as coformers with 1 1 and 1 2 molar ratio. The co crystals were characterized by polarizing microscope, Scanning Electron Microscopy SEM , Fourier Transform Infrared Spectroscopy FTIR , and Simultaneous Thermal Analysis STA . Dissolution study was carried out in phosphate buffer pH 7.8 at 37 C for 60 min. Polarizing microscope and SEM micrographs showed formation of the crystals. FTIR spectrum showed the formation of hydrogen bonds between glimepiride and coformers. DSC and TGA thermograms showed decreasing in melting point of the co crystals. Dissolution study results showed that the co crystals could increase glimepiride dissolution rate up to 4.39 folds compared to pure glimepiride. In conclusion, co crystals formation with nicotinamide, succinic acid, and malic acid could increase dissolution rate of glimepiride. Hence, it can improve bioavailability.
2017
S68982
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuzulian Akbar Arandana
Abstrak :
Aluminium merupakan logam yang mudah untuk dipadukan dengan logam lain. Salah satu paduan aluminium yang sedang banyak dikembangkan adalah seri 7xxx Al-Zn-Mg karena memiliki densitas yang rendah dan sifat mekanis yang baik. Peningkatan sifat mekanis paduan tersebut dapat dilakukan dengan penambahan sejumlah unsur paduan seperti Cr yang dapat memperhalus butir. Selain itu, paduan juga dapat dikeraskan melalui proses pengerasan pengendapan dengan tahapan laku pelarutan, pencelupan cepat, dan penuaan. Untuk memeroleh pengerasan pengendapan yang diinginkan maka tahapan laku pelarutan harus diperhatikan karena akan memengaruhi sejumlah unsur paduan yang dapat larut dan jumlah kekosongan yang terbentuk. Sementara itu, masih sedikit penelitian mengenai pengaruh kombinasi penambahan Cr dan temperatur laku pelarutan pada paduan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan Cr terhadap variasi temperatur laku pelarutan pada paduan Al-4.7Zn-1.7Mg-0.37Cr berat. Paduan dibuat dengan metode squeeze casting. Kemudian dilakukan proses homogenisasi pada temperatur 400 C selama 4 jam. Pada paduan selanjutnya dilakukan proses laku pelarutan pada temperatur 220, 420, dan 490°C yang dilanjutkan dengan pencelupan dalam air. Setelah itu, paduan dilakukan pengerasan penuaan pada temperatur 130°C selama 48 jam. Karakterisasi yang dilakukan berupa pengamatan struktur mikro menggunakan OM Optical Microscope dan SEM-EDS Scanning Electron Microscope - Energy Dispersive Spectroscopy, pengujian kekerasan HRB dan HB, pengujian XRD X-Ray Diffraction, dan STA Simultaneous Thermal Analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur laku pelarutan menyebabkan semakin banyaknya fasa interdendritik yang dapat larut dalam matriks Al. Hal ini dibuktikan dengan fraksi volume fasa interdendritik setelah laku pelarutan 220, 420, dan 490°C yang menurun menjadi 6.67, 4.55, dan 4.14 dari 6.9 setelah homogenisasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan 0.37 berat Cr tidak berpengaruh terhadap proses pelarutan fasa interdendritik selama laku pelarutan. Sebaliknya, intermetalik Cr seperti Al18Cr2Mg3 dan Cr,Fe Al7 yang terbentuk dapat meningkatkan kekerasan paduan. Kekerasan paduan setelah penuaan pada temperatur 130 C selama 48 jam meningkat menjadi 49.64, 52.54, dan 70.52 HRB pada variasi laku pelarutan 220, 420, 490°C. ......Aluminium is a metal that can be easily alloyed with other metals. One of them is the 7xxx Al Zn Mg series which are the most developed series due to their low density and good mechanical properties. Their mechanical properties can also be strengthened by adding some microalloying element such as Cr which can refine the grain of the alloy. Aside from that, heat treatment such as precipitation hardening through solution treatment, quenching, and ageing can also be done to strengthen its properties. Solution treatment temperature may affect the amount of dissolved interdendritic phase and the number of vacancy, thus it has to be considered in case of getting the desired properties after the precipitation hardening. Meanwhile, there are very few research on the combined effects of addition of Cr and solution treatment temperature on the properties of this alloy. Therefore, this research is aimed to investigate the effect of Cr and variation of solution treatment temperature on the properties of Al 4.7Zn 1.7Mg 0.37Cr wt. alloy. The alloy was fabricated by squeeze casting process. Then it was homogenized at 400 C for 4 hours. Three samples were then solutionized at 220, 420, and 490 C for 1 hour and followed by rapid quenching in water. Ageing was then conducted at 130 C for 48 hours. Characterization included microstructure observation by using OM Optical Microscope and SEM EDS Scanning Electron Microscope Energy Dispersive Spectroscopy , hardness testing HRB and HB, XRD X Ray Diffraction, and STA Simultaneous Thermal Analysis. The results showed that the higher solution treatment temperature increased the dissolution of interdendritic phase to the Al matrix. It was shown by the decreasing of interdendritic volume after solution treatment at 220, 420, and 490°C which became 6.67, 4.55, and 4.14 after 6.9 in the homogenized alloy. The results showed that the 0.37 wt. Cr addition had no effect on the dissolution process of the interdendritic phase. However, the formation of Cr intermetallic such as Al18Cr2Mg3 and Cr,Fe Al7 increased the hardness of the alloy. The hardness of the alloy after ageing at 130°C for 48 hours was increased to 49.64, 52.54, and 70.52 HRB in 220, 420, 490°C solutionized alloy respectively.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhiffa Azzura Binuko
Abstrak :
Air memiliki peranan penting terhadap keberlangsungan hidup manusia, terutama air dengan kualitas baik. Daerah penelitian yang terletak di Kabupaten Indramayu belum terpenuhi kebutuhan air minum oleh PDAM secara merata, sehingga warga memanfaatkan sumur air tanah sebagai salah satu sumber air minum. Namun, kualitas air tanah di Indramayu telah terindikasi mengalami kontaminasi, utamanya oleh proses salinisasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi proses hidrogeologi yang mempengaruhi terjadinya dominasi unsur kimia pada air tanah sebagai indikasi kontaminasi. Pengambilan data dilakukan oleh Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 62 titik sumur air, 10 titik uji CPTu, 13 titik uji CPT dan 4 titik bor teknik. Data air tanah diambil pada September 2016 dan Juli 2017 pada musim kemarau dan berlokasi di daerah pemukiman. Kemudian, data tersebut dilakukan analisis untuk mendapatkan parameter fisiko-kimia air tanah yaitu pH, temperatur, DHL, TDS, dan ion utama, sedangkan pada databor DH03 dan DH04 dilakukan analisis uji XRD pada 7 kedalaman berbeda. Pendekatan statistikal, grafikal dan spasial dilakukan untuk menggambarkan karakteristik air tanah dan faktor utama yang mempengaruhi kandungan air tanah. Pemodelan hidrogeokimia inversi dilakukan menggunakan PHREEQC untuk menginterpretasi proses pelarutan/presipitasi mineral pada air tanah. Data geologi bawah permukaan menunjukkan indikasi adanya kemajuan garis pantai oleh proses pengendapan delta Cimanuk. Hasil data kimia air menyatakan bahwa tipe fasies dominan yaitu tipe Ca-Cl, dengan urutan kelimpahan kation yaitu Ca2+> Na+> Mg2+> K+ dan anion Cl−>HCO3−>SO42−. Parameter Cl−, DHL dan TDS menunjukkan korelasi bahwa telah terindikasi adanya kontaminasi air asin. Sumber kontaminasi air asin di daerah penelitian diantaranya oleh pelarutan mineral halit dan silvit, intrusi air laut atau keterdapatan air konat yang terperangkap saat proses pengendapan delta. Tingginya konsentrasi kalsium diindikasi berasal dari proses pertukaran ion terbalik antara sodium di air dengan kalsium di lempung atau sumbernya juga dapat berasal dari pelarutan mineral anhidrit. Oleh karena itu, hasil penelitian menyimpulkan bahwa interaksi air-batuan, percampuran, disolusi mineral dan pertukaran ion terbalik menjadi indikasi proses hidrogeologi yang mengontrol komposisi kation dan anion utama pada air tanah di daerah pesisir. ......Water has an important role in human, especially good quality water. The research area which is located in Indramayu, has not met the needs of drinking water from PDAM, so residents tend to use groundwater wells as a source of drinking water. However, the groundwater quality in Indramayu has been indicated to be polluted, mainly by the salinization process. This research was conducted to identify the hydrogeological processes that affect the dominance of chemical elements in groundwater. Data was carried out by the National Research and Innovation Agency (BRIN) at 62 groundwater wells and 4 drilled wells. Then, the data was analysed to obtain the physicochemical parameters of groundwater, which are pH, temperature, EC, TDS, and major ion, while the DH03 and DH04 of borehole used to do an XRD test analysis at 7 different depths. Statistical, graphical and spatial approaches were applied to delineate the characteristics of groundwater and the significant factors influencing its evolution. Hydrogeochemical modelling was also carried out to see the saturation index of groundwater. Subsurface geological data indicate there was Cimanuk delta deposition process causes coastal accretion. The results of the water chemistry data indicate that the dominant facies is the Ca-Cl type, with the order of ion abundance that is Cl−> Ca2+> HCO3−>SO42− Na+> Mg2+> K+. The high concentration of chloride ions indicates that saltwater contamination has occurred, supported by DHL and TDS data. Sources of saltwater contamination in the study area include the dissolution of halite and sylvite minerals, seawater intrusion or the presence of trapped connate water during the delta deposition process. The high concentration of calcium is indicated to come from the reverse ion exchange process between sodium in water and calcium in clay. The source can also come from the dissolution of anhydrite minerals. Therefore, the results of the study conclude that water-rock interactions, mineral dissolution and reverse ion exchange are indications of hydrogeological processes that control the chemical formation of groundwater in the study area.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dieki Rian Mustapa
Abstrak :
ABSTRAK
Asam mefenamat merupakan obat yang termasuk ke dalam Biopharmaceutical Classification System kelas dua dengan kelarutan rendah dan daya tembus membran yang tinggi, sehingga laju pelarutan menjadi tahap yang membatasi laju absorpsi obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembentukan kristal terhadap karakteristik kokristal asam mefenamat-asam tartrat. Kokristalisasi dibuat menggunakan metode pelarutan dengan proses pembentukan kristal dalam suhu kamar dan suhu dingin. Formulasi asam mefenamat dan asam tartrat dibuat dengan perbandingan 2:0,5, 1:1, dan 2:1. Berdasarkan uji morfologi dan difraksi sinar-x, terjadi perubahan bentuk dan ukuran kristal pada formulasi 2:1. Formulasi 2:1 pada kristalisasi dalam suhu dingin dengan DE(5) sebesar 25,42% memiliki laju pelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam mefenamat standar dan kristalisasi pada suhu kamar. Hasil uji termal dan spektroskopi inframerah menunjukan tidak adanya interaksi berupa ikatan hidrogen antara asam mefenamat dengan asam tartrat. Peningkatan laju pelarutan yang di sebabkan oleh perubahan bentuk dan ukuran kristal menghasilkan penurunan energi peleburan dari 164,7653 J/g menjadi 154,1789 J/g dan 135,2607 J/g.
ABSTRACT
Mefenamic acid is a drug that belongs to the Biopharmaceutical Classification System class two with low solubility and high permeability membrane so that the rate of dissolution becomes rate limiting step of drug absorption. The purpose of this study is to determine the effect of crystal formation temperatures on the characteristics of co-crystal mefenamic acid-tartaric acid. Co-crystallization was made using a dilution methods with the process of crystal formation using cooling at room temperatures and cold temperatures. Formulations of mefenamic acid and tartaric acid is made with a ratio of 2:0,5, 1:1, and 2:1. Based on morphological tests and x-ray diffraction, the changes in shape and size of the crystals was on the formulation of 2:1. Crystallization in the 2:1 formulation at cold temperatures with DE(5) of 25.42% have higher dissolution rate than mefenamic acid and crystallization at room temperature. The test results of thermal and infrared spectroscopy showed no presence of hydrogen bonding interaction between mefenamic acid with tartaric acid. Increasing the rate of dissolution is caused by changes in shape and size of the crystals resulting a decrease in fusion energy from 164.7653 J / g to 154.1789 J / g and 135.2607 J / g.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1820
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Damar Akhdan
Abstrak :
Salah satu material yang sering digunakan pada industri transportasi adalah aluminium seri 6xxx. Paduan aluminium seri 6xxx mengandung silikon dan magnesium dengan proporsi yang dibutuhkan untuk membentuk magnesium silisida sehingga membuatnya dapat diberikan perlakuan panas. Penambahan Ti pada paduan aluminium seri 6xxx diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan kekuatan dari paduan aluminium melalui penguatan batas butir dengan memperkecil ukuran butir. Penelitian ini mempelajari pengaruh penambahan Ti dan temperatur pencanaian panas saat laku pelarutan pada paduan Al-1,35Mg-0,77Si-0,04Ti (% berat). Sampel dibuat menggunakan pengecoran metode squeeze casting, dilanjutkan dengan homogenisasi pada temperatur 400 °C selama 4 jam. Selanjutnya, sampel diberi perlakuan T5 yaitu pencanaian panas saat laku pelarutan dengan persen reduksi 25% diikuti oleh penuaan buatan pada temperatur 180 °C selama 0-200 jam. Temperatur laku pelarutan divariasikan 450 °C, 525 °C, dan 590 °C selama 1 jam. Sebagai variabel kontrol adalah sampel yang diberi perlakuan T6 yaitu laku pelarutan pada temperatur 590 °C selama 1 jam diikuti oleh penuaan buatan selama 0 – 200 jam. Karakterisasi yang dilakukan adalah pengujian komposisi kimia, pengujian kekerasan, pengamatan metalografi menggunakan mikroskop optik dan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS), dan pengujian X-ray Diffraction (XRD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan Ti sebesar 0,04 % berat mengubah morfologi butir dari dendritik menjadi equiaxed, namun tidak cukup untuk menurunkan ukuran butir sehingga terjadi penurunan kekerasan. Homogenisasi tidak memberikan efek signifikan pada nilai kekerasan paduan. Perlakuan T5 memberikan penguatan yang lebih baik dibandingkan T6, ditemukan nilai kekerasan setelah pencelupan cepat pada temperatur laku pelarutan 590 °C adalah 49,2 HRE pada T6, dan 54,6 HRE pada T5. Peningkatan temperatur pencanaian panas saat laku pelarutan meningkatkan pelarutan fasa kedua, mempromosikan peristiwa rekristalisasi dinamis, dan memicu respons penuaan yang lebih baik. Puncak kekerasan perlakuan T5 pada temperatur 450, 525, dan 590 °C masing-masing adalah 41,4 HRE, 78,8 HRE, dan 28 HRB. Fasa kedua yang terbentuk di dalam paduan adalah Mg5Si6, Mg9Si5, dan Mg2Si. ......One material that is often used in the transportation industry is 6xxx series aluminium. The 6xxx series aluminium alloys contain silicon and magnesium in the required proportions to form magnesium silicide, making them amenable to heat treatment. The addition of Ti to 6xxx series aluminium alloys is expected to contribute to improving the strength of aluminium alloys through grain boundary strengthening by reducing grain size. This research studied the effect of Ti addition and hot rolling during solution treatment temperature on Al-1.35Mg-0.77Si-0.04Ti alloy (wt%). Samples were prepared using the squeeze casting method, followed by homogenisation at 400°C for 4 hours. Subsequently, the samples were treated with T5 temper, which is hot rolling during solution treatment with a reduction percentage of 25 percent followed by artificial ageing at 180°C for 0-200 hours. The solution treatment temperatures were varied to 450 °C, 525 °C, and 590 °C for 1 hour. As a control variable, the samples were treated with T6, i.e. solution treatment at 590 °C for 1 hour followed by artificial ageing for 0-200 hours. The characterisation carried out was chemical composition testing, hardness testing, metallographic observation using optical microscope and Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS), and X-ray Diffraction (XRD) testing. The results showed that the addition of Ti at 0.04 wt% changed the grain morphology from dendritic to equiaxed, but not enough to decrease the grain size resulting in a decrease in hardness. Homogenisation had no significant effect on the hardness value of the alloy. T5 treatment provided better reinforcement than T6, where it was found that the hardness values after quenching at a solution treatment temperature of 590 °C were 49.2 HRE in T6, and 54.6 HRE in T5. Increasing the hot rolling temperature during solution treatment enhances the dissolution of the second phase, promotes dynamic recrystallisation events, and triggers a better ageing response. The peak aged hardness of the T5 treatment at 450, 525, and 590 °C were 41.4 HRB, 78.8 HRB, and 28 HRB, respectively. The second phases that was formed in the alloy are Mg5Si6, Mg9Si5, and Mg2Si.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Taufik Bahar
Abstrak :
Jenis paduan aluminium yang gencar dikembangkan adalah Al-Zn-Mg (Seri 7xxx) dengan sifat mekanis paling baik di antara paduan aluminium lainnya. Peningkatan sifat mekanis tersebut dapat dilakukan dengan menambahan unsur minor ke dalam paduan, seperti Cr. Selain itu, sifat mekanis paduan aluminium seri 7xxx dapat ditingkatkan dengan melakukan laku pelarutan pada temperatur tertentu diikuti oleh pencelupan cepat dan diakhiri dengan pengerasan penuaan. Sifat mekanis akan ditentukan oleh temperatur laku pelarutan yang digunakan. Penelitian ini mempelajari pengaruh temperatur laku pelarutan pada karakteristik paduan Al-4.58Zn-1.47Mg-1.66Cr (%berat). Sampel dibuat melalui proses pengecoran dengan metode squeeze casting diikuti homogenisasi pada temperatur 400 oC selama 4 jam untuk menyeragamkan butir. Proses laku pelarutan dengan variasi temperatur 220, 420, dan 490 oC dilakukan selama satu jam dan diikuti oleh pencelupan cepat menggunakan air. Lalu, dilakukan pengerasan penuaan pada temperatur 130 oC selama 48 jam dengan tujuan untuk menghasilkan presipitat. Karakterisasi yang digunakan berupa pengamatan struktur mikro dengan mikroskop optik dan SEM-EDS, pengujian kekerasan (HRB dan HB), pengujian XRD (X-Ray Diffraction), dan DSC (Differential Scanning Calorimetry). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur laku pelarutan, semakin banyak fasa interdendritik yang terlarut ke dalam matriks Al. Hal ini dibuktikan dengan fraksi volume fasa interdendritik pada 220, 420, dan 490 oC setelah pencelupan cepat berturut-turut adalah 5.93, 4.3, dan 3.23%. Setelah pengerasan penuaan, didapatkan nilai kekerasan paduan yang meningkat menjadi 34.42, 72.26, dan 68.12 HRB pada temperatur 220, 420, serta 490 oC. Selain itu, penambahan Cr akan menghasilkan presipitat CrAl7 yang dapat meningkatkan kekerasan paduan melalui pengecilan SDAS dan menjadis tempat tumbuhnya presipitat penahan dislokasi.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sugiyanto
Abstrak :
Pertanian merupakan salah satu sektor yang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang ada di Indonesia setiap tahun tidak sebanding dengan hasil panen pertanian yang semakin menurun. Pemilihan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil pertanian dinilai tidak efektif karena dinilai tidak ramah lingkungan. Salah satu cara alternatif untuk meningkatkan hasil panen adalah dengan memanfaatkan bakteri sebagai pendukung pertumbuhan tanaman atau Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB). Penelitian ini bertujuan mendapatkan bakteri yang berpotensi sebagai pendukung pertumbuhan tanaman meliputi kemampuan dalam produksi Indole Acetic Acid (IAA), pelarutan fosfat, kitinase, dan selulase. Larva lalat tentara hitam dinilai dapat menjadi sumber bakteri karena kemampuan konversi biowaste yang relatif cepat, sehingga diduga berkorelasi dengan bakteri yang terdapat di larva. Isolasi bakteri dari larva lalat tentara hitam dilakukan pada fase larva instar I dan V dengan 4 variasi medium isolasi (Casein Starch Agar, Carboxymethyl Cellulose agar, Yeast Extract-suplemented Minimal agar, dan Skim Milk Agar). Setiap isolat yang telah didapat telah berhasil dilakukan penapisan produksi IAA, aktivitas pelarutan fosfat, aktivitas enzim selulolitik, dan aktivitas enzim kitinolitik. Selain itu, setiap isolat telah dilakukan karakterisasi secara morfologi dan sifat biokimia. Sebanyak 22 isolat telah didapatkan dengan kode B1-B22, 5 (B1, B11, B15, B16, dan B21) dari seluruh isolat tersebut memiliki hasil positif pada dua penapisan uji aktivitas dan 9 isolat memiliki hasil positif pada satu penapisan uji aktivitas. Isolat B21 merupakan isolat terbaik karena memiliki hasil positif pada dua uji (uji aktivitas enzim selulolitik dan kitinolitik) dan memiliki nilai tertinggi pada kedua uji tersebut. Isolat B21 diduga berasal dari dari genus Gardnerella atau Haemophilus berdasarkan tabel identifikasi. ......Agriculture is one of the sectors that support the fulfillment of food demand in Indonesia. Increasing in the number of people in Indonesia every year is not proportional to the decreasing agricultural yields. The use of chemical compounds to increase agricultural yields is considered ineffective because it can damage the surrounding environment. One alternative way to increase crop yields is to use bacteria as Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB). This study aims to obtain bacteria that have the potential to support plant growth including the ability to produce Indole Acetic Acid (IAA), phosphate solubilization, chitinase, and cellulase. Black soldier fly (BSF) larvae are considered a source of bacteria because their role in bioconversion of organic waste are thought to be correlated with bacteria in BSF larvae. Isolation of bacteria from BSF larvae was carried out using larval stages instars I and V with 4 variations of isolation medium (Casein Starch Agar, Carboxymethyl Cellulose agar, Yeast Extract-supplemented Minimal agar, and Skim Milk Agar). Isolates have been successfully screened for IAA production, phosphate solubilization activity, cellulolytic enzyme activity, and chitinolytic enzyme activity. In addition, each isolate has been characterized by morphological characterization and biochemical tests. A total of 22 isolates were obtained with codes B1-B22, five isolates (B1, B11, B15, B16, and B21) of these isolates had positive results in two activity tests and nine isolates had positive results in one activity test. Isolate B21 was the best isolate because the isolate showed positive results in two tests (cellulolytic and chitinolytic enzyme activity tests) and had the highest score in both tests. The isolate B21 is believed to be a member of the genus Gardnerella or Haemophilus based on the identification table.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Pratamawansyah Putra
Abstrak :
Penggunaan paduan aluminium terus berkembang khususnya dalam industri penerbangan yaitu untuk badan dan sayap pesawat. Densitasnya yang rendah dan sifat mekanisnya yang bisa ditingkatkan melalui pemaduan unsur lain serta perlakuan panas menjadi alasan aluminium digunakan di industri penerbangan. Paduan aluminium 7xxx dengan kandungan Zn dan Mg dapat ditingkatkan kekerasannya melalui pengerasan pengendapan dengan tahapan laku pelarutan, pencelupan, dan penuaan. Salah satu kunci peningkatan kekuatan saat penuaan adalah seberapa banyak atom paduan dapat larut dan kekosongan yang terbentuk saat laku pelarutan. Oleh karena itu, pada penelitian ini diamati pengaruh temperatur laku pelarutan terhadap kekerasan dan struktur mikro paduan Al-5.1Zn-1.9Mg berat hasil squeeze casting 76 MPa selama 10 menit. Paduan hasil pengecoran dilakukan homogenisasi pada temperature 400 oC selama 4 jam. Selanjutnya dilakukan pelarutan pada temperatur 220, 420, dan 490 oC selama 60 menit dan dilanjutkan dengan pencelupan cepat. Paduan disimpan pada temperatur -10 oC untuk menghindari penuaan alami dan kemudian dilakukan karakterisasi berupa pengujian kekerasan, pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optik dan SEM-EDS Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive Spectroscopy , pengujian XRD X-Ray Diffraction, dan STA Simultaneous Thermal Analysis. Setelah itu, paduan dilakukan penuaan pada temperatur 130 oC selama 48 jam untuk kemudian dilakukan pengujian kekerasan dan pengamatan struktur mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan temperatur laku pelarutan meningkatkan pelarutan fasa kedua ke dalam matriks dan jumlah kekosongan yang terperangkap. Namun, pelarutan fasa kedua hampir tidak terjadi pada laku pelarutan temperatur 220 oC. Hal ini ditunjukkan oleh fraksi volume dari fasa kedua setelah homogenisasi yaitu sebesar 7.13 dan turun menjadi 7.06, 4.80, dan 4.19 setelah laku pelarutan pada temperatur 220, 420, dan 490 oC berturut-turut. Penurunan fasa kedua menyebabkan kenaikan nilai kekerasan setelah penuaan pada temperatur 130 oC selama 48 jam yaitu sebesar 11.54, 42,1, dan 66.7 HRB secara berurutan untuk laku pelarutan temperatur 220, 420, dan 490 oC.
Aluminum alloys are widely used in aviation industries, especially for the body and wings of aircraft. This is due to their low density and mechanical properties which can be enhanced by microalloying and heat treatment. The heat treatment for 7xxx series aluminum alloys is precipitation hardening which consists of solution treatment, quenching, and ageing. One key for successful ageing process is the amount of solute elements and vacancies dissolve in the matrix during solution treatment. Therefore, this research is aimed to study the effects of solution treatment temperature on the hardness and microstructure of Al 5.1Zn 1.9Mg wt. alloy which produced by squeeze casting. The alloys was squeeze cast at 76 MPa for 10 minutes and then homogenized at 400 oC for 4 h. Solution treatment temperatures were varied to 220, 420, and 490 oC for 60 minutes, followed by quenching. The samples were then stored at 10 oC to prevent natural ageing. Characterization included hardness testing and microstructural observation by using OM Optical Microscope and SEM EDS Scanning Electron Microscope Energy Dispersive Spectroscopy , XRD X Ray Diffraction , and STA Simultaneous Thermal Analysis . Ageing was conducted at 130 oC for 48 h followed by hardness testing and microstructural observation. The results showed that increasing solution treatment temperature induced enhancement of second phase dissolution and the amount of trapped vacancies in the matrix. However dissolution of second phase was hardly detected at solution treatment temperature of 220 C. It was shown by the volume fraction of the second phase found after homogenizing was 7.13 and decreased to 7.06, 4.80, and 4.19 after solution treatment at temperatures 220, 420, and 490 oC respectively. Therefore the increase in hardness after ageing at 130 oC for 48 hours was 11.54, 42,1, and 66.7 HRB for solution treatment temperatures of 220, 420, and 490 oC respectively.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Nadya Hale
Abstrak :
Paduan Al-Zn-Mg (Seri 7xxx) umumnya diperkuat melalui perlakuan penuaan, dengan pembentukan presipitat. Selain itu, paduan dapat diperkuat pula dengan penambahan 0.4 % berat Ti yang akan memperhalus butir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Ti dalam penguatan presipitasi paduan Al-4.4Zn-1.6Mg-0.4Ti (% berat) pada berbagai temperatur. Paduan ini diproses melalui pengecoran dengan proses squeeze casting, homogenisasi pada temperatur 400 oC selama 4 jam, laku pelarutan dengan variasi temperatur 220, 420, dan 490 oC selama 1 jam, pencelupan air, lalu dilakukan penuaan pada temperatur 130 °C selama 48 jam. Karakterisasi yang dilakukan berupa pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optik, dan Scanning Electron Microscope (SEM) – Energy Dispersive Spectroscopy (EDS), pengujian kekerasan Rockwell, X-Ray Diffraction (XRD), dan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Penambahan 0.4 % berat Ti selain memperhalus dan membulatkan butir, menurunkan tegangan permukaan antarmuka matriks dan fasa kedua, dan pelarutan fasa kedua menjadi lebih mudah. Banyaknya fasa kedua yang larut berpengaruh dengan kekerasan setelah laku pelarutan dan penuaan. Kekerasan akhir setelah penuaan dengan laku pelarutan 220, 420, dan 490 oC sebesar 38.26, 63.76, dan 63.36 HRB. Nilai kekerasan tersebut lebih tinggi daripada paduan tanpa Ti karena pelarutan fasa kedua yang lebih banyak menyebabkan pembentukan presispitat yang lebih banyak pula......Al-Zn-Mg alloys (7xxx series Al alloys) are commmonly hardened with ageing treatment, to form precipitates. To further increase the strength, Ti is added to decrease the grain size. The objective of this study is to investigate the role of Ti in the precipitation strengthening of Al-4.4Zn-1.6Mg-0.4Ti (wt.%) alloy. The alloy was fabricated by squeeze casting process. Then, the alloy was homogenized at 400 oC for 4 hours, solution treated at 220, 420, and 490 oC for 1 h followed by water quenching, then aged at 130 oC for 48 h. Characterization was performed by optical microscope, Scanning Electron Microscope (SEM) – Energy Dispersive Spectroscopy (EDS), Rockwell hardness testing, X-Ray Diffraction (XRD), and Differential Scanning Calorimetry (DSC). The addition of 0.4 wt. % Ti resulted finer and rounder grains which possess lower surface tension between the α-Al matrix and second phase interface to dissolves second phases easier during solution treatment. The amount of dissolved second phases will affect the final hardness after ageing to 38.26, 63.76, and 63.36 HRB with solution treatment temperature of 220, 420, and 490 °C, respectively. Besides, the hardness value of 0.4 wt. % Ti added alloy was higher than that of the alloy without Ti addition. It was due to higher second phase dissolution which leads to more precipitates formed.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>