Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Ketut Rina
"Latarbelakang. Enhanced External Counterpulsation (EECP) dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat meningkatkan aliran darah perifer yang selanjutnya menimbulkan shear stress tinggi dan pada gilirannya mempengaruhi fungsi sel sel endotel yang berperan langsung didalam penurunan resistensi pembuluh darah, melalui peningkatan pembentukan substrat vasodilatasi NO (nitrogen monoksida). Secara teori peningkatan NO menginduksi terjadinya dilatasi pembuluh darah, dikenal sebagai flow mediated dilation (FMD). Sampai saat ini belum ada laporan tentang perubahan FMD pasca EECP. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan apakah FMD arteri brakhialis mengalami perubahan pada penderita PJK yang menjalani EECP. Metodologi. Dilakukan penelitian prospektif eksperimental dengan desain pra pasca pada 20 penderita PJK laki-laki, umur 42 - 71 th di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Semua penderita telah menjalani pemeriksaan angiografi koroner. Lima penderita dengan satu penyempitan pembuluh koroner utama (1-VD), 5 penderita dengan 2-VD, 9 penderita dengan 3-VD. Satu penderita dikeluarkan dari penelitian karena operasi tumor paru Seluruh penderita mendapat perlakuan EECP selama 1 jam sekali perhari selama 36 kali, minimal 5 kali seminggu. Pada semua penderita dilakukan pengukuran diameter arteri brakhialis memakai scan Duplex ultrasonografi perifer, sebelum dan sesudah perlakuan EECP. Untuk menilai FMD, diukur diameter (mm) baseline arteri dan saat hiperemia. FMD adalah persentase perubahan diameter akibat induksi peningkatan aliran darah. Analisa statistik Data disajikan dalam nilai rerata + SD. FMD pra dan pasca disajikan dalam satuan persen (%). Analisa perubahan variabel pra dan pasca EECP dilakukan dengan pair-t test. Nilai bermakna bila p<0,05.
Hasil penelitian. Usia rerata 58,1±7,72 thn. Peningkatan FMD pra (4.57±7,72%) dan pasca EECP (5,96±5,49%) pada penderita PJK secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Uji statistik yang dilakukan pada 3 subkelompok VD dan 2 subkelompok umur (dibawah 60 th dan > 60 th), secara statistik tidak bermakna. Pada kelompok pra EECP (6 penderita) yang dengan kegagalan FMD (0%), pasca EECP terjadi peningkatan bermakna (p<0,05). Pada 2 penderita subkelompok usia lanjut (umur 60 th) FMD pasca EECP masih tetap menunjukkan penurunan, hal ini mungkin terjadi disfungsi endotel berat. Pembahasan. FMD adalah salah satu parameter untuk menilai perubahan biologis fungsi endotel pembuluh darah. Semakin tinggi respon FMD menunjukkan fungsi endotel semakin baik. Pada penelitian ini, FMD menunjukan peningkatan tidak bermakna, mungkin shear stress yang dihasilkan EECP secara mekano hemodinamik tidak cukup untuk merangsang pelepasan NO, walaupun D/S ratio yang optimal. Penderita dengan gangguan fungsi endotel berat, pelepasan NO kedalam darah sangat menurun, sehingga sehingga terjadi peningkatan rasio ET-1/NO atau terjadi pelepasan ET-1 dari smooth muscle cell (SMC) yang selanjutnya menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Peningkatan FMD pada penderita lelaki dengan PJK yang menjalani EECP secara statistik tidak bermakna.
2. Subkelompok penderita lelaki usia lanjut dengan PJK kemungkinan EECP menyebabkan kecendrungan penurunan FMD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doei Eng Tie
"

Dalam tahun 1674 Antony van Leeuwenhoek di Leiden menemukan lensa jang dapat memperbesar pandangan pada benda jang amat ketjil jang samar atau sama sekali tidak dapat dilihat oleh mata biasa.

Kemudian tertjiptalah mikroskop jang lambat laun diperbaiki hingga sekarang kita mengenal fase-contrast dan elektronntikroskop jang dapat memperbesar pandangan sampai 200.000 kali.

Demikianlah, semendjak terbentuknja mikroskop itu, manusia beladjar kenal dengan apa jang dinamakan cellula dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Indonesia sel".

Dengan penemuan sel jang dianggap pada waktu itu merupakan satuan jang terketjil dan terachir pada sctiap machluk, berubahlah djuga pandangan manusia terhadap penjakit. Kalau didjaman kuno ilmu ketabiban sebagian besar dipengaruhi oleh haluan religieus-magis-mystik dan humeral, maka semendjak ditemukan sel", perhatian ditudjukan pada sel itu.

Demikianlah pada tahun 1855 tertjiptalah patologi selluler jang dipelopori oleh Robert Virchow. Terdengarlah pada waktu itu sembojan jang berbunji :

"Qmnis cellula e cellula" (tidak mungkin terbentuknja sel tanpa adanja sel). Singkatnja dan maknanja jalah : semua peristiwa jang bersangkut-paut dengan penghidupan terletak pada integritet daripada sel jang membentuk tubuh manusia. Ilmu ketabiban beralih kedjurusan ilmiah exact (exacta wetenschap). Penjakit hanja dapat dibuktikan dan dipastikan, kalau dapat dilihat perubaban pada se1 tubuh dan/atau ditemukan sel" kuman jang patologis atau dapat dinjatakan kelainan pada tjairan tubuh. Memang benar, pada sebagian benar daripada penjakit dapat ditemukan kelainan' di sel atau tjairan tubuh.

Tetapi lambat laun ditemukan djuga keadaan penjakit jang tidak disertai oleh kerusakan strukturil atau djika ada terdapat kerusakan strukturil, keluhan ternjata tidak selalu berimbang dengan deradjat kerusakan itu. Maka timbullah aliran baru dikalangan kedokteran untuk melihat penjakit tidak hanja dari sudut organis-humoral, tetapi djuga dari sudut psikik atau kedjiwaan jang dipelopori oleh sardjana terkenal seperti Alexander, Saul, French, Weiss, Dunbar, Binger d.l.l. dan di kalangan kita di Indonesia ini oleh Professor Aulia.

Sebetulnja tjara melihat dan merawat penderitaan seseorang dengan memperltatikan sudut ,psikologi atau kedjiwaan ini, tidaklah merupakan aliran fikiran baru. Tjara ini telah dipraktekkan oleh ilmu ketabiban klassik hingga sekarang, terutama oleh ,,familie-dokter" jang mengetahui riwajat hidup serta tindak-tanduk pasiennja dari masa ketjilnja didalam lingkungan keluarga dan masjarakat disekitarnja, walaupun tidak dengan tjara teratur dan sering tidak diinsafi oleh dokter itu sendiri.

Dengan memperhatikan sudut psikologi dalam hal mempeladjari penjakit, tidaklah berarti kita mengurangi perhatian terhadap kelainan atau kerusakan somatis atau ketubuhan, tetapi kita lebih banjak daripada dulu mempeladjari pengaruh djiwa terhadap penjakit itu.

Tidak lagi seorang dokter akan merawat sesuatu anggota tubuh, seperti djantung, kulit, alat pernafasan, alat pentjernaan d.s.b., tetapi jang diperhatikan jalah sipenderita keseluruhannja, tidak hanja sendi lahirnja, tetapi djuga sendi batinnja.

Demikianlah, berbagai djenis keluhan dapat timbul pada seseorang. tidak hanja oleh karena menderita kerusakan atau gangguan somatis (ketubuhan), tetapi oleh karena penderitaan psikik (kedjiwaan), penderitaan batin, atau oleh karena kedua-duanja.

Sering ditemukan gangguan fungsi pada sesuatu anggota tubuh jang hanja merupakan „spreckbuis" atau pembitjara daripada penderitaan batin.

Aliran baru ini, jang mempeladjari hubungan diantara penderitaan batin, emosi dan fungsi anggota tubuh dinamakan ,,psychosomatic medicine" atau ilmu kedokteran kedjiwa-ragaan.

"
Jakarta: UI-Press, 1961
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library