Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harto Juwono
"ABSTRAK
Disertasi ini menguraikan tentang proses kontrak sewa tanah dan semua ketentuan yang mengaturnya di wilayah Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta selama periode 1818-1912. Fokus penelitian ini adalah terjadinya kontrak sewa atas tanah-tanah apanage dan tanah-tanah lain di kerajaan-kerajaan Jawa oleh pengusaha asing dalam berbagai bentuk hak sewa. Pendekatan struktural dan teori tentang hukum adat digunakan untuk menjelaskan terjadinya proses perubahan yang berlangsung di wilayah Projo Kejawen, terutama dengan adanya pergeseran di bidang hukum.
Kajian ini menemukan bahwa proses persewaan tanah mengakibatkan terdesaknya penggunaan hukum adat oleh hukum positif Barat, terutama dengan adanya penerapan prinsip Konkordansi. Prinsip ini bertujuan untuk memberlakukan hukum yang berlaku di Belanda bagi tanah koloninya, termasuk di wilayah raja-raja Jawa (Vorstenlanden). Seiring dengan perubahan itu, sejumlah peraturan kontrak sewa tanah dibuat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bagi persewaan tanah di Projo Kejawen. Sebagai akibat proses tersebut, muncul berbagai bentuk hak atas tanah yang tidak pernah dikenal dalam hukum adat Jawa. Kondisi yang diciptakan dalam struktur kepemilikan tanah oleh perubahan ini menjadi dasar yang kuat untuk memotivasi pemerintah kolonial melakukan reorganisasi agraria di Vorstenlanden.

ABSTRACT
This dissertation describes the process of landlease contract and all provisions that regulate it in the Kesunanan of Surakarta and the Sultanate of Yogyakarta the period 1818-1912. The focus of this study was the occurrence of a lease of apanage lands and other lands in the Javanese royal realm by foreign businessmen in various forms of lease rights. Structural approach and a theory of adat law is used to describe the process of change that taken place in the Projo Kejawen, especially with the shift in the legal aspect.
This study finds that the process of the landlease resulted in the replacing of customary law by the Western positive law, especially with the implementation of Concordance principle. This principle aims to enforce the laws of the Netherlands for the land colonies, including in the area of the kings of Java (Vorstenlanden). Along with those changes, a number of landlease regulations were made by the Dutch East Indies colonial government for leasing land in the Projo Kejawen. As a result of the process, other forms of land rights which never recognized in the adat law of Java were applied. Conditions that created in the structure of land ownership by this change was a strong basis to motivate the colonial government to make a program of agrarian reorganization in Vorstenlanden.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
D1195
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Dwiguna
"Pada abad ke-20 banyak terjadi gerakan protes di beberapa daerah terhadap pemerintah kolonial, terutama dibeberapa daerah tanah partikelir di ommelanden Batavia. Hal ini diakibatkan oleh berbagai macam persoalan, salah satunya adalah kenaikan pajak disaat taraf hidup masyarakat miskin jauh lebih banyak. Salah satu kasus terjadi di wilayah Pamanoekan dan Tjiasem yang terletak di wilayah Kabupaten Krawang pada 1901 dan Karesidenan Krawang setelah alih status wilayah pada 1925. Dalam kasus di wilayah Karesidenan Krawang, Pamanoekan dan Tjiasem menjadi tempat terjadinya gerakan protes karena masyarakat disana hidup sangat miskin dan sangat memprihatinkan. Selain itu disana masyarakatnya derajat pendidikannya rendah ditunjukkan dengan buta huruf dan tidak bisa berhitung, ditambah menyebarnya wabah kolera karena sanitasi yang buruk. Akhirnya, Masyarakat berbondong bondong ke rumah pejabat berwenang untuk mengajukan protes dalam rangka mencari keadilan atas penerapan kebijakan yang sangat merugikan bagi mereka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, metode ini meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.Hasil dari penelitian ini adalah bagaimana masyarakat melakukan tindakan pasca diterapkannya kebijakan yang merugikan mereka, tindakan ini cenderung terstruktur dengan baik dan mendapatkan respon pula oleh pemerintah kolonial. Selain itu menarik untuk diketahui selanjutnya bahwa kehidupan masyarakat yang sangat berbeda terlihat jelas sebelum gerakan protes dan sesudah gerakan protes berlangsung. Masyarakat menjadi cenderung lebih sejahtera terlebih setelah dampak politik etis sangat terasa di wilayah Karesidenan Krawang.

In the 20th century there were many protest movements in several regions against the colonial government, especially in some areas of private land in the Batavia ommelanden. This is caused by various reasons, one of which is a tax increase. This case occurred in the Pamanoekan and Tjiasem areas located in the Krawang Regency area in 1901 and the Krawang Residency after the status transfer in 1925. In the case of protest movements that took place in the Pamanoekan region and Tjiasem communities flocked to the homes of the authorities to file protests in order seek justice for the application of policies that are very detrimental to them. The method used in this study is the historical method, this method includes heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results of this study are how people take action after the implementation of policies that harm them, these actions tend to be well structured and get a response from the colonial government. It is also interesting to know further that the lives of very different people were clearly seen before the protest movement and after the protest movement took place. Communities tend to be more flowing after the protest movement takes place."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destinia Natalira Arisandi
"Pendidikan merupakan hak setiap orang, termasuk anak-anak keturunan Tionghoa. Namun, pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia, orang Tionghoa yang saat itu berstatus sebagai Middlemen minority harus memperjuangkan pendidikannya. Ketika politik etis diberlakukan, pendidikan berfokus pada pribumi. Berangkat dari permasalahan tersebut, dirumuskan tiga pertanyaan, yaitu 1.Jenis sekolah apa saja yang diikuti oleh anak-anak Tionghoa pada zaman kolonialisme Belanda di Indonesia? 2. Mata pelajaran apa saja dengan bahasa pengantar apa yang digunakan di sekolah-sekolah tersebut? 3. Anak-anak keturunan Tionghoa golongan apa saja yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah tersebut? Penelitian metode kualitatif dengan sumber data berupa buku dan artikel, baik luring maupun daring. Dalam penelitian ini didapati bahwa pendidikan anak-anak Tionghoa pada zaman pemerintah kolonial di Hindia Belanda dapat dibagi menjadi dua, yaitu sekolah yang diselenggarakan rakyat seperti sekolah THHK dan sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti ELS, HIS, dan HCS. Setiap sekolah memiliki kurikulum dan syarat masuk yang berbeda. Hal ini mempengaruhi pemilihan sekolah Tionghoa Totok dan Peranakan
Kata kunci: pendidikan; Tionghoa;Indonesia; pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Everyone has the right of to education. Chinese descent children whose status were Middlemen minority had to fight for their education during Dutch East Indies era. The education in ethical policy was only focused on the indigenous people. Through the particular problem, there are three questions formulated, 1. What kind of school did the Chinese children attend during Dutch East Indies era? 2. What kind of subject and what language used in those particular schools? 3. What kind of group of Chinese descent children who could attend those particular schools? This research uses qualitative method. The data resources are obtained from both online or offline sources, such as books and articles. The result of this research shows Chinese children during Dutch East Indies era were divided into two categories: the school run by the society, such as THHK school and the schools run by Dutch East Indies government, such as ELS, HIS and HCS. Every school has different curriculum and requirements. The differences affect Totok Chinese and Peranakan Chinese’s preference on education.
Keywords: education; Chinese; Indonesia; Dutch East Indies era
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khopipah Indah Lestari
"Bali adalah salah satu dari beberapa wilayah di Nusantara yang belum dapat dikuasai pemerintah kolonial Belanda hingga akhir abad ke-19. Faktor internal berupa perebutan kekuasaan antarkerajaan menjadikan wilayah Bali cukup sibuk dengan peperangan dari waktu ke waktu. Tidak terkecuali dengan Kerajaan Badung. Semakin majunya kegiatan perekonomian di Badung membuat pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir akan posisinya yang dapat diambil alih kekuatan Eropa lainnya. Berbagai pendekatan berupa perjanjian-perjanjian terus dilakukan untuk dapat menempatkan Kerajaan Badung di bawah kuasa pemerintah kolonial Belanda seutuhnya. Penelitian ini membahas salah satu perjanjian tersebut, yaitu perjanjian yang tercantum dalam naskah Surat Perjanjian ML. 487. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan Kerajaan Badung dengan pemerintah kolonial Belanda dan upaya penghapusan hak tawan karang di Kerajaan Badung oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian dilakukan dengan metode penelitian filologi, yaitu pemilihan naskah, transliterasi, kemudian penelusuran latar belakang sejarah untuk membahas isi teks naskah. Hasil penelitian menunjukkan bentuk-bentuk pengaturan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap Kerajaan Badung, yaitu pembatasan hubungan dengan bangsa Eropa lainnya, pembongkaran benteng, pengiriman bantuan perang, dan pengembalian orang jahat kepada pemerintah kolonial Belanda. Upaya pengapusan hak tawan karang kemudian menjadi senjata utama pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukkan Kerajaan Badung seutuhnya.

Bali is one of several areas in Nusantara that the Dutch colonial government could not control until the end of the 19th century. During that time, Bali was quite busy because some internal wars from time to time. The Badung Kingdom is no exception. The advanced economic activities in Badung made the Dutch colonial government worried about its position that could be taken over by other European powers. They tried various approaches in the form of agreements to place the Badung Kingdom under the complete control of the Dutch colonial government. This study discusses one of the agreements, that is the one included in the manuscript of Surat Perjanjian ML. 487. The purpose of this study is to explain the dynamic of relations between the Badung Kingdom and the Dutch colonial government and the efforts to abolish hak tawan karang (Klip Recht) in the Badung Kingdom by the Dutch colonial government. To achieve these goals, the research was conducted using philological research methods, started from manuscript selection, transliteration, then tracing the historical background to discuss the contents of the text of the manuscript. The results show the forms of regulation imposed by the Dutch colonial government against the Badung Kingdom, there are relations restriction with other European nations, taking down the castle, helps for the war and sending back the army who did desertion. Abolishing hak tawan karang later became the main strategy of the Dutch colonial government in completely conquering the Badung Kingdom."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library