Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andri Rahman Syifa
"Pasca pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011, Sudan mengalami penurunan pendapatan negara yang membuat kondisi perekonomian memburuk. Kondisi perekonomian ini juga menyebabkan anggaran untuk militer dikurangi dan memicu maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat. Masyarakat yang tidak puas terhadap kondisi tersebut melakukan aksi protes yang dimulai pada akhir tahun 2018. Puncaknya pada 11 April 2019, Al-Bashir dicopot dari jabatannya sebagai Presiden oleh pihak militer Sudan dan memasuki masa pemerintahan transisi yang diwakili TMC dari pihak militer dan perwakilan dari pihak sipil yang diwakili oleh Forces of Freedom and Change (FFC), kedua organisasi tersebut kemudian membentuk Dewan Kedaulatan dan menandatangani Draft Piagam Konstitusi. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya kudeta militer Sudan tahun 2019, mengetahui proses pemerintahan transisi Sudan setelah adanya kudeta, dan mengetahui dampak kudeta terhadap masyarakat Sudan. Artikel ini disusun menggunakan metode penelitian kualitatif, analisis, dan deskriptif yang menggunakan pendekatan studi pustaka. Hasil dari tulisan ini adalah Kudeta Militer di Sudan dapat terjadi karena pemerintah telah kehilangan legitimasinya, sehingga militer dapat melakukan intervensi dan mencopot jabatan al-Bashir. Dalam proses transisinya, pemerintahan transisi Sudan lebih didominasi oleh militer dibanding sipil, bahkan pihak militer membubarkan pemerintahan transisi secara sepihak pada Oktober 2021. Kudeta ini menyebabkan adanya reformasi hukum-hukum Islam di Sudan serta normalisasi hubungan dengan Israel sebagai upaya dalam mencari dukungan dari pihak internasional.

After the separation of South Sudan in 2011, Sudan experienced a decline in state income which made economic conditions worsened. This economic condition also led to a reduction in the budget for the military and triggered widespread corruption cases among officials. Sudanese who are dissatisfied with these conditions hold protest that started in late 2018. The peak was on April 11, 2019, Al-Bashir was removed from his position as President by the Sudanese military and entered a transitional government represented by the TMC from the military and representatives from the civilian side represented by the Forces of Freedom and Change (FFC), the two organizations then formed the Sovereign Council and signed the Draft Constitutional Declaration. This article aims to find out the causes of the Sudanese military coup in 2019, to find out the process of Sudan's transitional government after the coup, and to find out the impact of the coup on Sudanese society. This article was compiled using qualitative, analytical, and descriptive research methods using a literature study approach. The result of this paper is that the Military Coup in Sudan can occur because the government has lost its legitimacy, so the military can intervene and remove al-Bashir from his position. In the transition process, Sudan's transitional government is dominated by the military rather than civilians, the military even disbands the transitional government unilaterally in October 2021. This coup led to the reform of Islamic laws in Sudan and the normalization of relations with Israel in an effort to seek international support."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Pippo Ardilles
"Artikel ini membahas mengenai peran Pemerintah Indonesia dalam proses Pemerintahan Transisi di Kamboja (UNTAC) tahun 1991-1993. Pada era modern, keduanya menjalin kembali hubungan diplomatik yang sempat terputus di tengah konstelasi politik internasional yang tidak menentu. Kondisi ini membuat situasi dalam negeri Kamboja tidak stabil dan terus-menerus mengalami peperangan dalam negerinya. Hal ini yang membuat Indonesia turut aktif dalam membantu menyelesaikan konflik di kawasan Asia Tenggara karena konflik yang berkepanjangan dapat merusak stabilitas kawasan. Perjanjian Paris 1991 menghasilkan pemecahan permasalahan Kamboja dengan membentuk pasukan penjaga perdamaian yang disebut UNTAC. Berdasarkan hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam UNTAC dipengaruhi oleh faktor eksternal serta dorongan dari dalam negeri untuk memainkan peran kepemimpinan di tingkat regional dan internasional. Berbeda dengan kajian penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas penyelesaian konflik Kamboja secara umum dan peran Kontingen Garuda XII-B di Kamboja, penelitian ini berfokus pada motivasi keterlibatan dan peran Pemerintah Indonesia dalam UNTAC tahun 1991-1993. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang dilakukan dalam empat tahap yaitu, heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang digunakan pada artikel ini adalah surat kabar, majalah, buku, jurnal, dan sumber internet.

This article discusses the role of the Government of Indonesia in the process of the Transitional Administration in Cambodia (UNTAC) in 1991-1993. In the modern era, both of them reestablish diplomatic relations, which had been cut off amid the uncertain international political constellation. This condition makes Cambodia's domestic situation unstable and continues to experience internal wars. This makes Indonesia actively participate in helping resolve conflicts in the Southeast Asian region because a prolonged conflict can damage regional stability. The 1991 Paris Agreement resulted in a Cambodian problem by establishing a peacekeeping force called UNTAC. Based on this, the authors conclude that the participation of the Government of Indonesia in UNTAC is influenced by external factors and encouragement from within the country to play a leadership role at the regional and international levels. In contrast to previous studies that discussed the resolution of the Cambodian conflict in general and the role of the Garuda XII-B contingent in Cambodia, this study focuses on the motivations for the involvement and role of the Indonesian government in UNTAC in 1991-1993. The sources used in this article are newspapers, magazines, books, journals, and internet sources."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library