Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Leodi Chandra Hidayat
"
ABSTRAKDalam Undang-Undang Kepailitan Pasal 55 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa setiap kreditor separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa hak eksekusi kreditor tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk meneliti tentang sinkronisasi dan perbandingan ketentuan hukum. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Adapun pokok permasalahan dalam tesis ini adalah apakah penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan yang dianut oleh Undang-Undang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan, bagaimanakah upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan dalam pelaksanaannya, bagaimanakah perbandingan pengaturan mengenai penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan menurut Undang-Undang Kepailitan Indonesia dan menurut Bankruptcy Code Amerika Serikat. Berdasarkan hasil penelitian asas umum yang berlaku dalam hukum kepailitan belum berjalan selaras dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Ketentuan mengenai upaya perlawanan yang diberikan oleh Undang-Undang Kepailitan belum digunakan. Didapatkan lima perbedaan pengaturan mengenai ketentuan penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan {stay) dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia dengan Bankruptcy Code Amerika Serikat."
2007
T19315
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Maura Dinda Helmina
"Asas keadaan diam mengatur bahwa sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan, harta pailit debitur akan dalam keadaan diam di bawah sita umum kurator, yang kemudian harta tersebut akan dikelola dan diurus oleh kurator hingga proses kepailitan berakhir. Sita umum terhadap harta pailit debitur menyebabkan tidak ada satupun pihak yang diperbolehkan untuk mengalihkan maupun mengeksekusi harta pailit tersebut, baik debitur, kreditur, maupun pihak ketiga. Meskipun demikian, penerapan asas keadaan diam sendiri masih belum diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sehingga masih menimbulkan banyak kekeliruan dalam penerapannya. Salah satunya adalah terkait dengan penerapan asas keadaan diam terhadap kreditur pemegang jaminan hak kebendaan atau terhadap kreditur separatis. Mengacu pada hukum keperdataan, kreditur separatis seharusnya memiliki hak didahulukan untuk melakukan eksekusi sendiri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hak tersebut harus ditangguhkan terlebih dahulu selama harta pailit dalam keadaan diam atau yang disebut juga sebagai masa stay, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penelitian ini akan membahas mengenai kesalahan majelis hakim dalam menerapkan asas keadaan diam perkara Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 serta membahas mengenai akibat hukumnya terhadap kreditur pemegang jaminan hak kebendaan atau kreditur separatis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menganalisis bagaimana majelis hakim menerapkan asas keadaan diam serta penerapan dan akibat hukumnya berdasarkan Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Dalam analisis yang dilakukan ditemukan bahwa majelis hakim dalam kasus pada Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 telah salah menerapkan hukum dengan mengesampingkan ketentuan periode keadaan diam yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
The principle of stay (automatic stay) provides that from the moment it is declared bankrupt by the court, the debtor's insolvent property will be in a state of stay under the general confiscation of the curator, which property will then be managed and taken care of by the curator until the insolvency proceedings end. The general confiscation of the debtor's insolvent property causes no party to be allowed to transfer or execute the bankruptcy property, whether the debtor, creditor, or third party. However, the application of the principle of stay itself is still not comprehensively regulated in Law Number 37 of 2004, so it still causes many errors in its application. One of them is related to the application of the principle of stay to creditors holding guarantees of treasury rights or to separatist creditors. Referring to civil law, separatist creditors should have the right of precedence to carry out their own executions. Meanwhile, in Law Number 37 of 2004, this right must be suspended first as long as the bankruptcy property is in a state of stay, also known as the stay period, which is regulated in Article 56 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004. This study will examine the panel of judges' error in applying the principle of stay in the case of Decision No. 494 K / Pdt.Sus-Pailit / 2013 and the legal consequences for creditors holding treasury rights guarantees or separatist creditors. The research method used in this study is to use normative juridical research methods by analyzing how the panel of judges applies the principle of stay and its application and legal consequences based on Decision Number 494 K / Pdt.Sus-Pailit/ 2013. In the analysis, it was found that the judges in the case of Decision No. 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 had misapplied the law by setting aside the provisions of the period of stay regulated in Article 56 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library