Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anita Mayasari
Abstrak :
Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi yang terancam punah karena perburuan liar dan kehilangan habitat. Informasi terkait manajemen reproduksi anoa masih terbatas, sehingga upaya konservasi menjadi terhambat. Penelitian terkait manajemen reproduksi perlu dilakukan untuk mengoptimalkan pengembangbiakan anoa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor pendukung keberhasilan kebuntingan anoa (Bubalus depressicornis C.H. Smith, 1827) melalui kawin alami serta mendeteksi kebuntingan anoa (Bubalus depressicornis C.H. Smith, 1827) melalui perubahan perilaku dan morfologi, pengukuran profil biokimia urine, dan gambaran ultrasonografi transabdominal. Penelitian dilakukan di Anoa Breeding Centre Manado (ABC), Sulawesi Utara. Pengambilan data penelitian dilakukan pada Juli–Oktober 2017 untuk mengetahui siklus estrus, waktu optimal kawin, dan perilaku kawin anoa, pada Maret–Mei 2019 untuk melakukan verifikasi keberhasilan perkawinan alami anoa selama periode April 2016– Mei 2019, dan Januari–Mei 2019 untuk pengukuran profil biokimia urine. Penelitian menggunakan 2 ekor anoa jantan dan 4 ekor anoa. Faktor pendukung kebuntingan dianalisis menggunakan analisis jalur dengan bantuan perangkat lunak SmartPLS dan analisis diskriminan. Data perubahan perilaku dan morfologi dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Data profil biokimia urine dianalisis menggunakan uji T. Data USG transabdominal dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi panjang dan lama estrus di antara individu anoa. Panjang siklus estrus anoa berkisar antara 14–24 hari dengan lama estrus 2–4 hari. Berdasarkan hasil SmartPLS diketahui bahwa faktor eksternal (manajemen dan iklim) dan faktor internal (individu jantan dan individu betina) tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap kebuntingan. Berdasarkan analisis Principal Component Analysis (PCA) diketahui bahwa karakteristik utama perubahan perilaku dan morfologi yang menjadi penanda kebuntingan yaitu puting membengkak, ambing susu membengkak, rambut mengilap, bentuk abdomen membesar dan turun, dan frekuensi makan yang meningkat. Peningkatan nilai kadar glukosa dan total protein di dalam urine anoa yang sedang bunting terjadi secara nyata yang nyata USG transabdominal tidak mampu menunjukkan kenampakan vesikel embrionik sebagai tanda awal kebuntingan. USG transabdominal menunjukkan dengan jelas gambaran organ tubuh janin yaitu tulang dada, tulang belakang, kepala, jantung, dan paru-paru pada usia kebuntingan bulan ke-6 atau hari ke-191. ......Anoa is Sulawesi's endemic animal that is endangered due to poaching and habitat loss. Information regarding the management of anoa reproduction is still limited, so conservation efforts are hampered. Research related to reproductive management needs to be done to optimize the breeding of anoa. This study aims to determine the factors supporting the success of anoa pregnancy (Bubalus depressicornis CH Smith, 1827) through natural mating and detecting anoa pregnancy (Bubalus depressicornis CH Smith, 1827) through behavioral and morphological changes, measurement of urine biochemical profile, and transabdominal ultrasonography. The study was conducted at Anoa Breeding Center in Manado (ABC), North Sulawesi. The research data was collected in July- October 2017 to find out the estrous cycle, optimal mating time, and mating behavior, in March-May 2019 to verify the success of anoa natural mating during the April 2016-May 2019 period, and January -May 2019 for urine biochemical profile measurement. The study used 2 male Anoa and 4 Anoa. Pregnancy supporting factors were analyzed using path analysis with the help of SmartPLS software and discriminant analysis. Behavior and morphological change data were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). The urine biochemical profile data were analyzed using the T-test. Transabdominal ultrasound data was analyzed descriptively. The results showed that there were variations in the length and duration of estrus among individual anoa. The length of estrous anoa cycles ranges from 14-24 days with estrous length of 2-4 days. Based on the results of SmartPLS, it is known that external factors (management and climate) and internal factors (male and female individuals) do not show any real influence on pregnancy. Based on Principal Component Analysis (PCA) analysis, it is known that the main characteristics of behavioral and morphological changes are that pregnancy becomes swollen nipples, swollen udders, shiny hair, enlarged and lowered abdominal shape, and increased frequency of eating. An increase in the value of glucose levels and total protein in the urine of a pregnant anoa occurs significantly that transabdominal ultrasound is not able to show the appearance of embryonic vesicles as an early sign of pregnancy. Transabdominal ultrasound clearly shows a picture of fetal organs, namely the breastbone, spine, head, heart, and lungs at the age of pregnancy in the 6th month or 191st day.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T54777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Mayasari
Abstrak :
Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi yang terancam punah karena perburuan liar dan kehilangan habitat. Informasi terkait manajemen reproduksi anoa masih terbatas, sehingga upaya konservasi menjadi terhambat. Penelitian terkait manajemen reproduksi perlu dilakukan untuk mengoptimalkan pengembangbiakan anoa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor pendukung keberhasilan kebuntingan anoa (Bubalus depressicornis C.H. Smith, 1827) melalui kawin alami serta mendeteksi kebuntingan anoa (Bubalus depressicornis C.H. Smith, 1827) melalui perubahan perilaku dan morfologi, pengukuran profil biokimia urine, dan gambaran ultrasonografi transabdominal. Penelitian dilakukan di Anoa Breeding Centre Manado (ABC), Sulawesi Utara. Pengambilan data penelitian dilakukan pada Juli–Oktober 2017 untuk mengetahui siklus estrus, waktu optimal kawin, dan perilaku kawin anoa, pada Maret–Mei 2019 untuk melakukan verifikasi keberhasilan perkawinan alami anoa selama periode April 2016–Mei 2019, dan Januari–Mei 2019 untuk pengukuran profil biokimia urine. Penelitian menggunakan 2 ekor anoa jantan dan 4 ekor anoa. Faktor pendukung kebuntingan dianalisis menggunakan analisis jalur dengan bantuan perangkat lunak SmartPLS dan analisis diskriminan. Data perubahan perilaku dan morfologi dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Data profil biokimia urine dianalisis menggunakan uji T. Data USG transabdominal dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi panjang dan lama estrus di antara individu anoa. Panjang siklus estrus anoa berkisar antara 14–24 hari dengan lama estrus 2–4 hari. Berdasarkan hasil SmartPLS diketahui bahwa faktor eksternal (manajemen dan iklim) dan faktor internal (individu jantan dan individu betina) tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap kebuntingan. Berdasarkan analisis Principal Component Analysis (PCA) diketahui bahwa karakteristik utama perubahan perilaku dan morfologi yang menjadi penanda kebuntingan yaitu puting membengkak, ambing susu membengkak, rambut mengilap, bentuk abdomen membesar dan turun, dan frekuensi makan yang meningkat. Peningkatan nilai kadar glukosa dan total protein di dalam urine anoa yang sedang bunting terjadi secara nyata yang nyata USG transabdominal tidak mampu menunjukkan kenampakan vesikel embrionik sebagai tanda awal kebuntingan. USG transabdominal menunjukkan dengan jelas gambaran organ tubuh janin yaitu tulang dada, tulang belakang, kepala, jantung, dan paru-paru pada usia kebuntingan bulan ke-6 atau hari ke-191. ......Anoa is Sulawesi's endemic animal that is endangered due to poaching and habitat loss. Information regarding the management of anoa reproduction is still limited, so conservation efforts are hampered. Research related to reproductive management needs to be done to optimize the breeding of anoa. This study aims to determine the factors supporting the success of anoa pregnancy (Bubalus depressicornis CH Smith, 1827) through natural mating and detecting anoa pregnancy (Bubalus depressicornis CH Smith, 1827) through behavioral and morphological changes, measurement of urine biochemical profile, and transabdominal ultrasonography. The study was conducted at Anoa Breeding Center in Manado (ABC), North Sulawesi. The research data was collected in July-October 2017 to find out the estrous cycle, optimal mating time, and mating behavior, in March-May 2019 to verify the success of anoa natural mating during the April 2016-May 2019 period, and January -May 2019 for urine biochemical profile measurement. The study used 2 male Anoa and 4 Anoa. Pregnancy supporting factors were analyzed using path analysis with the help of SmartPLS software and discriminant analysis. Behavior and morphological change data were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). The urine biochemical profile data were analyzed using the T-test. Transabdominal ultrasound data was analyzed descriptively. The results showed that there were variations in the length and duration of estrus among individual anoa. The length of estrous anoa cycles ranges from 14-24 days with estrous length of 2-4 days. Based on the results of SmartPLS, it is known that external factors (management and climate) and internal factors (male and female individuals) do not show any real influence on pregnancy. Based on Principal Component Analysis (PCA) analysis, it is known that the main characteristics of behavioral and morphological changes are that pregnancy becomes swollen nipples, swollen udders, shiny hair, enlarged and lowered abdominal shape, and increased frequency of eating. An increase in the value of glucose levels and total protein in the urine of a pregnant anoa occurs significantly that transabdominal ultrasound is not able to show the appearance of embryonic vesicles as an early sign of pregnancy. Transabdominal ultrasound clearly shows a picture of fetal organs, namely the breastbone, spine, head, heart, and lungs at the age of pregnancy in the 6th month or 191st day.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donatus Dahang
Abstrak :
This study concerns the conservation of Indonesian tarsiers, specifically the interface between field and captive studies. There are two problems that are central to field and captive conservation studies, behavior and taxonomy. In this thesis I address to two research questions: 1. Do Indonesian tarsiers have differences in locomotor behavior that warrant different cage designs? 2. Can tarsier taxa, many of which have been identified with expensive and labor intensive techniques including DNA and acoustic analysis, also be identified by a simple, low-cost technique involving the morphology of the tail tuft? There are three species groups of tarsiers, Philippine Tarsiers, Western Tarsiers, and Eastern Tarsiers. Hill (1955) classified these as Tarsius syrichta, Tarsius bancanus, and Tarsius spectrum, respectively, but Brandon-Jones et al. (2004) revised Tarsius spectrum to include five distinct species: Tarsius tarsier (= Tarsius spectrum), Tarsius sangirensis, Tarsius pumilus, Tarsius pelengensis, and Tarsius dianae (probably a junior synonym of dentatus). Of these, two species groups are endemic to Indonesia, Western and Eastern Tarsiers. Hill (1955) indicates that these two species groups can be distinguished by their tail tufts (see figure II-5), the tuft of Western Tarsiers being less extensive than that of Eastern Tarsiers. These two species groups also have clear-cut social differences (Sussman 1999), and Niemitz (1979) hypothesized locomotor differences based on the limb anatomy. I studied one male-female pair each of Tarsius bancanus and Tarsius tarsier in side-by-side cages at Captivity of Mammals Centre of Biological Research, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong Bogor, over a three-month study, I collected 546 hours of observation on Tarsius bancanus and 574 hours on Tarsius tarsier. Results from this study show statistically significant differences in locomotor behavior that support Niemitiz’s hypothesis, and which imply that Western and Eastern Tarsiers require different cage designs. In a second study of tail tuft morphology, I collected 13 measurements on the tail and tail tuft of 23 Western Tarsiers and 20 Eastern Tarsiers in the collection of the Museum Zoologicum Bogoriense. My results demonstrate that Western and Eastern Tarsiers can be easily and confidently classified by using a multivariate discriminant function analysis of the tail tuft. The results of these two studies show clearly that Western and Eastern Tarsiers can be identified by a multivariate analysis of the tail tuft morphology, and that these two species groups have significant differences in locomotor behavior, but the greater significance of this study lies in the implications for cryptic species within species groups. Results from the discriminant function analysis indicate three populations of Eastern Tarsiers, those from Sulawesi, Sangihe, and Peleng Islands, can be confidently identified by multivariate analysis of tail tuft morphology, a result that Hill (1955) did not arrive at. Brandon-Jones et al. (2004) identified 16 populations of Eastern Tarsiers that might be taxonomically separable and warrant further studies. Thus, future studies should use this method to see if it is applicable to all of the populations identified by Brandon-Jones et al. (2004), not merely the three populations that I had access to. At present there are no hypotheses of significant locomotor differences within species groups. Further research is also needed to find out whether or not there are any differences of locomotor behavior among population of tarsiers, particularly those that had been identified by Brandon-Jones et al. (2004). All living tarsiers are small, nocturnal, vertical clinging and leaping, faunivorous animal and ecological distinctive with regard to other primate (Sussman 1999). About 90% of their food consist of Arthropoda such as crickets, grasshoppers, cockroaches, beetles, butterflies, moths, termites, spiders; and 10% others consist of vertebrate such as small birds, lizards, geckoes, and small snakes (Niemitz 1984, Haring & Wright 1989, Sussman 1999, Supriatna & Wahyono 2000, Gursky 2000). The length of adult tarsier is only around 12-13 centimeters and its weight is 100-140 grams, and its infant weight 25-33% of the mother’s weight at birth (Sussman, 1999). The length of its tail is two times longer than its body and its hind limb is longer than its up limb. Tarsiers also has huge eyes and ears which are relatively bigger compared to their heads, lacking a reflecting tapetum lucidum and their heads can make a 1800 spin without moving their bodies (Supriatna & Wahyono 2000, Shekelle & Leksono 2004) Social unit of tarsiers are different among species. Supriatna & Wahyono (2000) pointed out that commonly 80% of Tarsius tarsier (=Tarsius spectrum) live in pairs (monogamous) and only about 20% is multimale-multifemale. There are 2-6 individuals within a group. Their gestation period is about 180-190 days and they can live for 12 years. Unlike Tarsius tarsier, Tarsius bancanus is more solitary or living in pairs to create their home range. However, social systems of other species need further study. Like many others endemic primate, tarsiers are threatened by human activities, particularly when the forests where they are habitat of are converted into plantations and transmigration settlements. Forest clearance, illegal logging, and burnings are some other hazards that also bring negative impact to the tarsiers. These activities can change the natural habitat of tarsiers into isolated, degradated, or fragmented ones. Merker et al. (2005) reported that in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi the population of Tarsius dianae in a highly-disturbed habitat occupied by 45 individuals per km2 was smaller than the one in a low-disturbed habitat occupied by 268 individuals per km2. In a short term, impact of human activities might reduce the population of tarsiers, but in a long term, may lead to the extinction (Merker & Muhlenberg 2000). This fact is worsening by unsuccessful tarsiers breeding in captivity even in countries that have good facilities (Haring & Wright 1989). Therefore, a conservation to save the unique animal is a priority. Conservation of tarsiers is both in-situ and ex-situ. Captive breeding is one form of ex-situ conservation. Tohari (1987) pointed out that an animal should be captivated if from time to time their field population decreases and is likely to extinct. One of the benefits of captivity is to reduce human reliance to nature population of wildlife (Alikodra 2002). The most important and beneficial reason for maintaining animal in captivity is to educate the public (Larson & Schulze 2001). Shekelle & Leksono (2004) noted that besides breeding, tarsier captivity is useful for researching, training, and establishing public awareness, and mainly changing the false belief of the local community about tarsiers. Moreover, if tarsiers in captivity die naturally, they may be used as a type specimen in museum. Information about the number of species, distribution, taxonomy, and social system of tarsiers is needed to assist the conservation program of Indonesia tarsiers. Thus, an identification of the species and the habitat of wildlife is one of the conservation objectives. The identification result presented a description of wildlife species and the regions that significant for the conservation. In addition, the result identification can provide a recommendation for new species naming or for identification of new conservation region (Trainor & Lesmana 2000). Shekelle & Leksono (2004) has recommended using tarsiers as flagship species to promote and designed a new conservation area in Sulawesi and its surrounding small islands. Besides, the vocalization analyses showed that there are 11 populations of tarsiers in the region that are possibly new species. For identification purposes, one efficient method is collecting taxonomic information from tarsier’s tail tuft using multivariate technique. This technique can be applied to both living and non-living animals, including specimen which is collected in museum. The method is also applicable for local people in one region who has no modern equipment for conducting a research. Conservation of tarsiers has faced some problems, some of which are limited population of tarsiers which have not yet been identified, human destruction of their habitat, expensive research for identification, and unsuccessful tarsiers breeding in captivity. Efforts to find inexpensive method for identification and to design suitable captive breeding are very important and urgent to carry out now. The results of this research might be useful for conservation of tarsiers.
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2006
T39493-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diona Puteri Ningtyas
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S31552
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Roossea Mustika Putri
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian mengenai aktivitas harian dan kemandirian orangutan {Pongo pygmaeus (Linnaeus 1760)} muda di Pusat Primata Schmutzer, Taman margasatwa Ragunan, Jakarta. Penelitian bertujuan mengamati pola aktivitas harian dan kemandirian orangutan muda yang lahir di penangkaran. Penelitian pada dua ekor orangutan betina, yang masingmasing berusia 1 dan 2 tahun, dilakukan selama bulan Februari--Maret 2009 menggunakan metode focal animal dan ad libitum sampling. Aktivitas yang diamati adalah istirahat, bergerak, makan, bermain, menelisik, bergendong, dan menyusu. Pencatatan aktivitas harian dibagi atas aktivitas dekat induk (0--2 meter) dan jauh dari induk (>2 meter). Tabulasi data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram serta dianalisis secara deskriptif. Rerata aktivitas harian kedua individu orangutan muda secara umum menunjukkan bahwa aktivitas bergerak (44,38%) merupakan aktivitas tertinggi, diikuti dengan aktivitas makan (22,27%), bermain (16,51%), bergendong (13%), menelisik (1,78%), istirahat (1,49%), dan menyusu (9,46%). Terdapat perbedaan pemanfaatan jarak antara individu dengan induknya masing-masing. Aktivitas harian jauh dari induk lebih banyak dilakukan individu berusia lebih tua (64,42 %) dibandingkan individu berusia lebih muda (28,26%). Sedangkan aktivitas harian dekat induk lebih sedikit dilakukan individu lebih tua (35,58 %) dibandingkan individu yang lebih muda (71,74%). Berdasarkan pemanfaatan jarak, individu dengan usia yang muda lebih banyak menggunakan waktu dekat induk untuk bergerak (29,19 %), bergendong (19,30%), makan (16,64%), bermain (4,33%), beristirahat (1,34%), dan menyusu (0,48%), sedangkan individu dengan usia lebih tua lebih banyak menggunakan waktu jauh dari induk untuk bergerak (33,08%), bermain (17,66%), makan (12,56%), beristirahat (0,58%), dan menelisik (0,54%).
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S31550
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfrido Marlianno
Abstrak :
Tursiops sp. sering kali terpapar oleh suara yang berasal dari aktivitas manusia, terutama di penangkaran. Penelitian bertujuan mengetahui berbagai suara yang dapat memengaruhi perilaku bersuara lumba-lumba. Metode penelitian yang digunakan adalah perekaman suara lumba-lumba secara langsung, baik dalam keadaan tanpa gangguan (normal) maupun dalam keadaan terdapat gangguan (perlakuan). Parameter yang diamati adalah jumlah ekolokasi, frekuensi ekolokasi, durasi ekolokasi, jenis suara, interval antarklik, lag phase response (respons fase lamban) terhadap perlakuan, dan juga perilaku lumba-lumba. Jenis suara yang didapat adalah suara klik sejumlah 138 suara dengan kisaran frekuensi 500--700 Hz, durasi ekolokasi 0,3--4,5 detik, interval antarklik 0,001--0,07 detik, respons fase lamban 0,52--32 detik. Perilaku lumba-lumba yang didapat adalah perilaku berenang lumba-lumba mendekati sumber suara perlakuan, menghantamkan diri ke sumber suara perlakuan, berenang mengelilingi kolam, mengapung di permukaan air, dan membuka mulut. Terdapat pengaruh antara suara perlakuan terhadap respons ekolokasi lumba-lumba.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S31405
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aya Yuriestia Arifin
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian tentang pola aktivitas harian kelompok gorila dataran rendah barat (Gorilla gorilla gorilla, Savage & Wyman 1847) jantan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Tujuan penelitian adalah mengamati pola aktivitas harian kelompok gorila jantan dewasa di penangkaran. Tiga individu gorila jantan, yaitu silverback (13 tahun), blackback 1 (13 tahun), dan blackback 2 (11 tahun) diamati aktivitas hariannya sejak Agustus hingga September 2008 dari pukul 08.00--16.00 WIB di kandang dalam dan kandang luar. Metode pengamatan adalah kombinasi dari metode scan sampling dan ad libitum dengan titik sampel berdurasi lima menit tanpa jeda antar titik sampelnya. Aktivitas utama yang diamati yaitu: istirahat (resting), bergerak (moving), makan (feeding), vokalisasi (vocalization), menelisik sendiri (autogrooming), dan saling menelisik (allogrooming). Aktivitas penunjang yang tercatat selama pengamatan yaitu: menepuk dada (chest-beating), menepuk dada sambil menyalak (chest-barking), bertepuk tangan (hand clap), meluncur dengan kedua kaki (sliding), muntah dan dimakan kembali (regurgitation-reingestion), makan materi dalam feses (coprophagy), berjalan mondar-mandir (pacing), pergerakan tubuh berulang-ulang dengan vokalisasi (stereotyped rocking), defekasi abnormal (diare), serta perilaku seksual seperti mencium genitalia individu lain (sniffing), menyentuh genitalia sendiri (touching genitalia), oral sex, penetrasi, dan pergerakan pelvis secara ritmis (pelvic thrusting). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji between-subjects effects dan multiple comparison Tukey HSD dengan P (T ≤ t) pada derajat kepercayaan α = 0,05. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada persentase aktivitas bergerak, vokalisasi, autogrooming, dan allogrooming antara ketiga gorila. Aktivitas istirahat merupakan proporsi aktivitas terbesar pada silverback dan blackback 1, sedangkan pada blackback 2 persentase aktivitas terbesar adalah bergerak. Chest-beating, chest-barking, hand clap, dan sliding terjadi pada semua individu; perilaku abnormal seperti regurgitation-reingestion dan coprophagy paling sering terjadi pada silverback; perilaku terkait stres seperti pacing, stereotyped rocking, dan diare terjadi pada semua individu; perilaku seksual seperti sniffing, oral sex, penetrasi, dan pelvic thrusting kerap dilakukan oleh blackback 2 terhadap silverback.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S31514
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elmas Ghita Ladia
Abstrak :
Pengelompokkan sosial dan kondisi lingkungan yang tercipta di kebun binatang dapat memengaruhi perilaku reproduksi gajah sumatra. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis perilaku reproduksi tahap pre-copulatory sebagai perilaku diurnal pada gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus, Temminck 1847) jantan adolescence di Taman Margasatwa Ragunan. Penelitian dilakukan selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 di DKI Jakarta. Waktu pengamatan dimulai pukul 08.00—14.00 WIB dengan interval waktu 15 menit selama 60 hari. Metode pengamatan yang digunakan adalah continuous focal sampling dan ad libitum untuk mengamati perilaku pre-copulatory meliputi flehmen, agonistic, reaching over, drive, erection, dan attempt mount. Penelitian pula dilakukan untuk mengamati perilaku harian dan perilaku interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan perilaku harian dan interaksi sosial tertinggi gajah sumatra jantan adolescence di TMR yaitu makan (55,26%) dan conspecific play (0,96%). Gajah sumatra jantan adolescence hanya menunjukkan perilaku flehmen kepada gajah betina yang dikandangkan bersama dengan persentase sebesar 0,114% (0,107%: alpha female; 0,007%: betina subordinat). Perilaku flehmen ditunjukkan oleh gajah jantan adolescence saat betina urinasi di hari ke-11 hingga 14. Peneliti menyimpulkan bahwa gajah sumatra jantan adolescence yang terdapat di TMR sudah melewati inisiasi pubertas dengan menunjukkan perilaku reproduksi pre-copulatory yaitu flehmen kepada gajah betina dewasa. ......Social groupings and environmental conditions in zoos can affect the reproductive behaviour of elephant. This study evaluated the pre-copulatory behaviour as diurnal pattern of adolescent male sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus, Temminck 1847) at Taman Margasatwa Ragunan. Observations have been carried out sixty days during the implementation of the third level of community activity restrictions during the COVID-19 pandemic in the DKI Jakarta province, starting from 8 a.m. to 2 p.m. with an interval of 15 minutes. Continuous focal sampling and ad libitum were employed as study methods to observe the pre-copulatory behaviour, including flehmen, agonistic, reaching over, drive, erection, and attempt mount. Furthermore, the researcher observed daily and social interaction behaviour. Daily behaviour and social interaction behaviour of adolescent male sumatran elephant in TMR dominated by feeding (55.26%) and conspecific play (0.96%). The results showed that adolescent male sumatran elephant only performed flehmen behaviour to female elephant, caged together with 0.114% (0.017%: alpha female; 0.007%: subordinate female). Flehmen’s behaviour was shown by an adolescent male sumatran elephant when a female elephant urinated on days 11—14. Thus, this study reports that adolescent male sumatran elephant passed the initial of puberty by showing flehmen as precopulatory behaviour to female elephant.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2   >>