Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuliana Rosalita Kurniawaty
"Pelaksanaan eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) yang diatur dalam ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut sebagai UU PERATUN 51/2009), masih sarat tantangan dan problematika yang tak kunjung tuntas. Perwujudan cita-cita sebagai Negara Hukum yang tertuang dalam konstitusi negara Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 saat ini tercermin dari pelaksanaan Peradilan TUN dimana putusannya seringkali diperhadapkan dengan ketidakpatuhan Pejabat TUN dalam melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrach van bewijsde). Pranata contempt of court dalam pemahaman sebagai civil contempt of court yang bersifat indirect of court sebagai salah satu peluang dalam mewujudkan kepatuhan Pejabat TUN terhadap putusan Peradilan TUN disamping diperlukan pengembangan mekanisme eksekusi yang hingga saat ini sebatas “eksekusi administratif” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 116 ayat (6) UU PERATUN 51/2009. Penelitian ini dilakukan studi kewenangan Judge Rapporteur pada Peradilan TUN Negara Thailand dikolaborasikan dengan kajian data registrasi perkara dari Sistim Informasi Pengendali Perkara (SIPP) Pengadilan Tata Usaha Negara (PERATUN) Jakarta dan data eksekusi perkara yang diperoleh dari Kantor Kepaniteraan PERATUN Jakarta, yang dibatasi pada rentang waktu tahun 2018 sampai dengan tahun 2023. Berikut dengan contoh-contoh eksekusi kasus yang disajikan berisi problematika peradilan yang berkembang bahwa putusan PERATUN seringkali diuji kembali melalui peradilan perdata oleh pihak yang merasa tidak puas dengan putusan khususnya dalam sengketa hak kepemilikan atas tanah. Penelitian ini diharapkan memberikan wacana baru terhadap perkembangan kondisi PERATUN di Indonesia saat ini dan menjadi sumbangsih terhadap perlembangan regulasi hukum terkait.

Implementation of the execution of decisions of the State Administrative Court (TUN) as regulated in the provisions of Article 116 of Law of the Republic of Indonesia Number 51 of 2009 concerning the Second Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Courts (hereinafter referred to as PERATUN Law 51/2009), is still full of unresolved challenges and problems. The realization of the ideals of a rule of law as stated in the state constitution, the 1945 Constitution, is currently reflected in the implementation of the TUN Judiciary, where decisions are often faced with non-compliance by TUN officials in implementing decisions that have permanent legal force (inkrach van bewijsde). The institution of contempt of court is understood as civil contempt of court which is indirect of court as an opportunity to realize the compliance of TUN Officials with TUN Judicial decisions in addition to the need to develop an execution mechanism which until now is limited to "administrative execution" as regulated in the provisions of Article 116 paragraph (6) PERATUN Law 51/2009.
This research was conducted through a study of the authority of the Judge Rapporteur at the Thai State Administrative Court in collaboration with a study of case registration data from the Case Control Information System (SIPP) of the Jakarta State Administrative Court (PERATUN) and case execution data obtained from the Jakarta Administrative Court Registrar's Office, which was limited to time span from 2018 to 2023. Following are examples of case executions presented which contain growing judicial problems, where PERATUN decisions are often re-examined through civil court by parties. who are dissatisfied with the decision, especially regarding land disputes. It is hoped that this research will provide new discourse on the current development of PERATUN conditions in Indonesia and contribute to the development of related legal regulations.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima
"Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan pada negara yang berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtsstaat). Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Apabila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN. Maka dari itu diperlukannya suatu sanksi administratif yang tegas seperti pembayaran uang paksa dwangsom terhadap si pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Indonesia is a country based on Law, and not a country based on power, As a country that based on law, surely the Government must act according to law. It is needed to analyze if it was suspected about any Government or Government official wrongdoing which the outcome is for the greater good. The main principal of the Administrative Court is to put Judiciary control on the Government itself. If The Administrative Court make a law decision that does not have a real impact to government, than it really is a waste of time. Therefore there is a need of an administrative punishment for those government officials to make sure that they obey the law decision that have been made by the Administrative Court."
Universitas Indonesia, 2012
S43166
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ericha Veteriana
"ABSTRAK
Perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan serta dilakukan pencatatan menurut perundang-undangan. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pejabat pencatat perkawinan dan bentuk dari pencatatan tersebut adalah dikeluarkannya akta nikah akta perkawinan . Sebagai hasil dari keputusan tata usaha negara, akta nikah akta perkawinan dapat menjadi obyek sengketa pengadilan tata usaha negara. Akta nikah akta perkawinan jika ditinjau dari hukum perkawinan, bagi subyek yang melakukan perkawinan merupakan perbuatan hukum perdata, sedangkan menurut Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur bahwa, ldquo;Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negra menurut undang-undang ini Keputusan Hukum Perdata rdquo;. Tesis ini membahas mengenai bagaimana Pengadilan Tata Usaha Negara memandang kedudukan anak dalam proses pembatalan akta perkawinan ibunya sedangkan dalam hukum perkawinan Indonesia yang diatur dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak bukanlah pihak yang berhak membatalkan perkawinan, serta akan membahas pula akibat yang timbul dari pembatalan akta nikah akta perkawinan melalui pengadilan tata usaha negara. Tesis ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian untuk mengetahui sinkronisasi peraturan-peraturan hukum tentang pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh anak melalui Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu dengan mempelajari, meneliti dan menganalisis masalah dengan menggunakan berbagai literature, baik berupa buku-buku, artikel, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan yang lainnya.

ABSTRACT
A marriage is valid if it was conducted according to religion and belief laws and registered according to the regulations. Marriage registration done by marriage register officer and its registration is in the form of a marriage certificate marriage deed . As a result of State Administrative Decree, a marriage certificate marriage deed can be as an object of dispute in the administrative court. According to the marriage law, a marriage certificate marriage deed related to subject who was married constitutes as an act of civil law. While according to article 2 point a Law Number 9 of 2004 regarding Amendment of the Law Number 5 of 1986 is regulated that, ldquo Decree of Civil Law is not included in the scope of the State Administrative Decree according to this law rdquo . This thesis discussed about how Administrative Court considers a position of child in the process of their mother rsquo s marriage certificate revocation while in Indonesia marriage law as regulated in article 23 of the Law Number 1 of 1974, a child is not entitled to revoke a marriage and also discuss the consequences arising from revocation marriage certificate marriage deed through the administrative court. This thesis is using juridical normative i.e. the research to know synchronization about laws regulations regarding revocation of a marriage carried out by child through the administrative court and by studies, research and analyze problem using many literature, either in the form of books, articles, regulation, documents and other."
2017
T47545
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meissy Alviandri
"Lembaga peradilan ditujukan sebagai penegakan kekuasaan hukum guna memberikan akses keadilan untuk semua pihak. Kemajuan informasi dan teknologi khususnya di bidang ICT (Information Communication Technology) serta adanya Pandemi COVID-19 mendorong Pengadilan Pajak untuk segera menyelenggarakan peradilan secara elektronik seperti badan peradilan lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan peradilan Pengadilan Pajak secara elektronik serta menganalisis Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat (SWOT) terkait pelaksanaan persidangan Peradilan Pajak secara elektronik dibandingkan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan post positivist. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui study literature dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah pelaksanaan peradilan secara elektronik di Pengadilan Pajak akan membuka akses menuju keadilan yang luas, serta memberikan pelayanan yang sederhana, cepat, berbiaya ringan, profesional, akuntabel, efisien, dan transparan yang secara tidak langsung akan meningkatkan trust wajib pajak. Diperlukan payung hukum yang mencakup keseluruhan aturan dan tata cara pelaksanaan peradilan secara elektronik serta pengembangan infrastruktur dan sumber daya manusia. Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pelaksanaan peradilan berbasis elektronik sudah memberikan pelayanan yang akuntabel, efektif, efisien, dan berbiaya ringan, serta diperlukan optimalisasi infrastruktur e-court.

The judiciary is intended as the enforcement of legal power to provide access to justice for all parties. The rapid progress of information and technology, especially in ICT (Information Communication Technology) field and the occurrence of the COVID-19 Pandemic have prompted the Tax Court to immediately conduct electronic court like other judicial bodies. This study aims to analyze the supporting factors and obstacles to the implementation of the electronic Tax Court as well as analyze the Strength, Weakness, Opportunity, and Threat (SWOT) related to the implementation of the electronic Tax Court compared to the Administrative Court. This research was conducted with a qualitative approach with a post-positivist method. The data collection technique used is through literature study and in-depth interviews. The results of this study are the implementation of electronic justice at the Tax Court will open access to broad justice, as well as provide simple, fast, low-cost, professional, accountable, efficient, and transparent services which will indirectly increase the trust of taxpayers. A comprehensive law is needed that covers all the rules and procedures for the implementation of electronic tax court as well as the development of infrastructure and human resources. At Administrative Court, the implementation of electronic-based justice has provided services that are accountable, effective, efficient, and low-cost, and it is necessary to optimize the e-court infrastructure."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Shafira
"Perkara litigasi perubahan iklim kini semakin berkembang dan dapat diidentifikasi
dalam berbagai yurisdiksi, termasuk Indonesia. Namun, karakteristik khusus dari
isu perubahan iklim yang berbeda dengan permasalahan lingkungan hidup
konvensional telah membawa berbagai isu hukum dalam litigasi perubahan iklim.
Salah satu isu yang muncul dalam litigasi perubahan iklim yang ditemukan adalah
kedudukan hukum sebagai hambatan prosedural. Dalam perkara Izin Lingkungan
PLTU Celukan Bawang yang merupakan perkara litigasi perubahan iklim terkait
Amdal pertama di Indonesia, gugatan Penggugat ditolak oleh PTUN Denpasar
karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum. Penelitian ini akan melihat
bagaimana kedudukan hukum dalam perkara litigasi perubahan iklim di Indonesia
muncul sebagai hambatan dengan membandingkan dengan Perkara Earthlife v.
MoE dan Border Power Plant v. DoE dan BLM . Lebih jauh lagi, Penelitian ini
akan melihat bagaimana PTUN Denpasar mempertimbangkan isu emisi Gas
Rumah Kaca sebagai elemen penting dalam litigasi perubahan iklim. Penelitian
ini berkesimpulan bahwa kedudukan hukum dapat menjadi hambatan bagi litigasi
perubahan iklim apabila terdapat inkonsistensi interpretasi terkait kedudukan
hukum di Pengadilan. Selain itu, PTUN Denpasar belum dapat melihat
kekhususan dari emisi gas rumah kaca yang merupakan karakteristik isu
perubahan iklim. Padahal, dengan kerangka hukum yang ada di Indonesia, perkara
ini memiliki potensi besar untuk mendorong pembaruan hukum.

Climate change litigation cases have been growing in numbers and identified in
various jurisdictions, including Indonesia. However, the characteristic on climate
change issues that differ from conventional environmental problems lead to
several legal issues arise in climate change litigation. One of them is legal
standing as the procedural barrier on climate change litigation. On Indonesia’s
first EIA related climate change litigation case, Celukan Bawang Coal-Fired
Power Plant, PTUN Denpasar rejected the plantiff’s claim as they failed to fullfill
the legal standing criteria. This study will examine how is standing provision in
Indonesia arises as a procedural barrier by comparing the case with two other
cases in two different jurisdictions,such as Earthlife v. MoE and Border Power
Plant v. DoE and BLM. Furthermore, this study will examine PTUN Denpasar’s
consideration on greenhouse gases emission as one of the core characteristics of
climate change issue. This study concludes that standing provision in Indonesia
may pose a procedural barrier for climate change litigation if interpreted
inconsistently by the court. In addition, PTUN Denpasar has failed to show an
adequate understanding on greenhouse gasses as the core of climate change issue.
Reflecting on Indonesia’s current legal framework, this case used to have a huge
potential on promoting legal reform.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Glenaldi Julio Anindhita
"Tesis ini meneliti mengenai akibat dari penggunaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat karena adanya utang piutang untuk dijadikan dasar peralihan hak atas tanah melalui jual beli. Permasalahan lain yang timbul dari kejadian ini adalah termuatnya kuasa mutlak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang bisa mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah melaui jual beli tanpa perlu dihadiri dan diberi persetujuan oleh pemilik asli tanah tersebut, dan dengan adanya kuasa mutlak yang terdapat dalam kuasa menjual ini sering disalahgunakan oleh pihak yang menerima kuasa tersebut dan akan sangat merugikan pemberi kuasa. Selain itu Tesis ini juga meneliti mengenai kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha jika objek yang disengketakan berkaitan dengan pertanahan. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor 145/G/2020/PTUN.BDG memberikan gambaran terkait permasalahan yang dibahas dalam Tesis ini. Dalam kasus tersebut para pihak bersengketa mengenai keabsahan peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang tidak sah. Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis doktrinal dengan melakukan penelitian kepustakaan dan mengkaji asas-asas hukum serta sistematika hukum yang berkaitan dengan pembahasan dalam Tesis ini. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif dan hasil dari penelitian berbentuk laporan yang bersifat deskriptif. Bagian akhir dari penelitian ini disimpulkan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang digunakan sebagai dasar peralihan hak atas tanah melalui jual beli adalah batal demi hukum karena telah melanggar syarat objektif dalam syarat sah perjanjian. Serta dalam mengadili sengketa pertanahan, Pengadilan Tata Usaha Negara hanya mengadili tentang Keputusan Tata Usaha Negara atau hasil dari Keputusan Tata Usaha Negara.

This thesis examines the consequences of the use of a Sale and Purchase Agreement made because of debt and credit to be used as the basis for the transfer of land rights through sale and purchase. Another problem arising from this incident is the absolute power of attorney contained in the Sale and Purchase Agreement which can result in the transfer of land rights through sale and purchase without the need to be attended and given approval by the original owner of the land, and with the absolute power contained in the power of sale is often abused by the party receiving the power of attorney and will greatly harm the power of attorney. In addition, this thesis will also examine the authority to adjudicate the Administrative Court if the disputed object is related to land. Bandung State Administrative Court Decision Number 145/G/2020/PTUN.BDG provides an overview of the issues that will be discussed in this thesis. In the case, the parties disputed the validity of the transfer of land rights through unauthorized sale and purchase. This research uses the doctrinal juridical analysis method by conducting library research and examining legal principles and legal systematics related to the discussion in this thesis. The data obtained is analysed descriptively qualitatively and the results of the research are in the form of a descriptive report. The final part of this research concludes that the Sale and Purchase is null and void because it has violated the objective conditions in the legal requirments of the agreement. As well as in adjudicating land disputes, the State Administrative Court only hears about State Administrative Decisions or the results of State Administrative Decisions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Wili Utama
"Tesis menganalisis bagaimana kekuatan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai lembaga etik dalam bingkai kepastian hukum dan kaitannya dengan pembatasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam memeriksa gugatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan atas pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode Penelitian doktrinal. Tesis ini menunjukkan bahwa Kekuatan Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 mengalami ketidakpastian eksekusi (uncertainty in excecution). Ketidakpastian ini muncul seiring dengan Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT yang mengubah beberapa substansi pokok dalam Putusan MKMK yakni, pencabutan Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023 maupun pemulihan harkat dan martabat Anwar Usman yang merupakan substansi sanksi etik dalam Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023. Ketidakpastian ini membuat Putusan MKMK sebagai putusan etik harus menunggu Putusan Pengadilan untuk dapat dieksekusi secara sempurna. Tidak adanya kepastian hukum yang mempertegas perbedaan kedudukan MKMK membuat posisi MKMK dipersamakan dengan lembaga etik lain yang Putusannya dapat diuji dalam Sengketa Tata Usaha Negara berupa Keputusan Tindak Lanjut atas Putusan Etik. Sehingga, hal ini dapat berimplikasi pada dualisme penegakan etik yang berbelit-belit dengan praktik pembatalan substansi Putusan MKMK oleh PTUN. Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Perkara ini seharusnya memberikan batasan tegas terkait kewenangan pemeriksaan etik dan pemeriksaan hukum agar tidak memunculkan potensi preseden baru bahwa semua putusan etik dapat menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam konteks Kenegaraan, mendudukkan MKMK sebagai supervisory body yang independen dan mandiri, Putusannya bersifat final dan mengikat, serta mendudukkannya sebagai lembaga Negara yang diatur dalam undang-undang dasar sebagaimana Konstitusi Armenia, Albania maupun Thailand merupakan formulasi yang kuat untuk mendukung tegaknya penegakan etik Hakim Konstitusi dan juga adanya titik terang jelasnya mekanisme antara penegakan etik maupun penegakan hukum.

The thesis analyzes how the strength of the Decision of the Honorary Council of the Constitutional Court (MKMK) as an ethical institution in the frame of legal certainty and its relation to the limitation of the authority of the State Administrative Court (PTUN) in examining the lawsuit of State Administrative Decisions (KTUN) issued for ethical violations of the Chairman of the Constitutional Court (MK) through Decision Number 604/G/2023/PTUN.JKT. This thesis was prepared using the doctrinal research method. This thesis shows that the power of MKMK Decision Number 2/MKMK/L/11/2023 experiences uncertainty in excecution. This uncertainty arises along with Decision Number 604/G/2023/PTUN.JKT which changes some of the main substances in the MKMK Decision, namely, the revocation of Constitutional Court Decision Number 17 of 2023 and the restoration of Anwar Usman's dignity which is the substance of ethical sanctions in MKMK Decision Number 2/MKMK/L/11/2023. This uncertainty makes the MKMK Decision as an ethical decision must wait for a Court Decision to be fully executed. The absence of legal certainty that emphasizes the difference in MKMK's position makes MKMK's position equalized with other ethical institutions whose decisions can be tested in State Administrative Disputes in the form of Follow-up Decisions on Ethical Decisions. Thus, this can have implications for the dualism of ethical enforcement that is convoluted with the practice of canceling the substance of MKMK's Decision by the State Administrative Court. The State Administrative Court in this case should provide strict limits regarding the authority of ethical examination and legal examination so as not to create a potential new precedent that all ethical decisions can become objects of dispute in the State Administrative Court. In the context of the State, placing the MKMK as an independent and independent supervisory body, its decision is final and binding, and placing it as a State institution regulated in the basic law as in the Constitutions of Armenia, Albania and Thailand is a strong formulation to support the enforcement of the ethics of Constitutional Judges and also a clear point of clarity in the mechanism between ethical enforcement and law enforcement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hida Lazuardi
"Amdal merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dengan diaturnya Amdal dalam sistem hukum, diharapkan berbagai keputusan tentang penyelenggaraan kegiatan atau usaha didasari oleh suatu kajian mengenai dampak penting yang ditimbulkan. Namun penerapan Amdal tidak selalu berjalan dengan baik, dalam berbagai kasus ditemui pihak yang merasa dirugikan akibat pejabat yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang mensyaratkan Amdal, berdasarkan Amdal yang tidak partisipatif, tidak ilmiah, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau bahkan tidak dilengkapi Amdal sama sekali. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara adalah mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara untuk memohon pembatalan keputusan tata usaha negara. Penelitian ini menunjukan bahwa permasalahan Amdal dipertimbangkan oleh hakim sebagai dasar untuk membatalkan berbagai keputusan tata usaha negara yang mencakup keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin lingkungan, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan izin usaha. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menunjukan bahwa keberadaan Amdal tidak menghalangi gugatan administratif. Melainkan suatu keputusan tata usaha negara tetap dapat dibatalkan oleh hakim apabila Amdal yang mendasarinya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah ilmiah.

Environmental Impact Assessment is an important instrument in Indonesian environmental management system. Since Environmental Impact Assessment is regulated in the legal system, it is expected that decisions about human activities and business be based on a study regarding major environmental impact. Unfortunately the implementation of Environmental Impact Assessment are not always going well, in many cases people feels harmed by decisions as authority takes decisions based on a problematic Environmental Impact Assessment that fails to accommodate public participation, unscientific, unlawful, fails to asses various environmental impacts, or even without Environmental Impact Assessment at all. One of the option that can be taken by those whose harmed is starting an administrative claims using administrative courts to abort administrative decisions based on those problematic Environmental Impact Assessment. This study shows that the court has acknowledge problems in Environmental Impact Assessment as a reason to abort administrative decisions including keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin lingkungan, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, and izin usaha. Further, this study also shows that having an Environmental Impact Assessment does not deny administrative claims. A administrative decisions can be aborted by administrative judge if there is a problem in the Environmental Impact Assessment is unlawful or unscientific."
2020: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisya Putri Praja
"Upah Minimum Provinsi ditetapkan setiap tahun dengan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi. Apabila tidak maka akan mengakibatkan tujuan dari penetapan upah minimum tidak terpenuhi. Penelitian ini akan membahas tentang prosedur penetapan Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022. Penelitian ini juga akan membahas mengenai keberlakuan Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022 melalui analisis putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 11/G/2022/PTUN.JKT dan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 231/B/2022/PT.TUN.JKT. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif yakni meneliti mengenai asas-asas dan unsur-unsur yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan hukum perburuhan khusunya mengenai pengupahan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapatkan dari studi pustaka dan dokumen-dokumen berkaitan dengan rumusan masalah. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan penetapan Upah Minimum Provinsi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sehingga para pihak yang berwenang harus melaksanakan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan penetapan upah minimum sesuai dengan peraturan tersebut. Penelitian ini memberikan saran bagi para pihak terkait untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar kepastian hukum dapat ditegakkan bagi para pihak.

The Provincial Minimum Wage is determined annually with provisions that must be complied with. If not, it will result in the objective of setting the minimum wage not being met. This research will focus on the procedures for determining the DKI Jakarta Governor's Decree regarding the 2022 DKI Jakarta Provincial Minimum Wage. This research will also discuss the enforceability of the DKI Jakarta Governor's Regulation concerning the DKI Jakarta Provincial Minimum Wage 2022 through an analysis of the decision of the Jakarta Administrative Court Number 11/ G/2022/PTUN.JKT and decision of the High Administrative Court of Jakarta Number 231/B/2022/PT.TUN.JKT. The research method used in this study is a juridical-normative approach, namely examining the principles and elements contained in laws and regulations related to labour law, especially regarding wages. This study uses secondary data obtained from literature and related documents in analyzing the problem formulation. The results of this study show that the provisions for setting the Provincial Minimum Wage have been regulated in Government Regulation Number 36 of 2021 concerning Wages so the authorities must implement provisions related to setting the minimum wage by these regulations. This research provides advice for related parties to implement applicable laws and regulations so that legal certainty can be upheld for the parties"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>