Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahwan
Abstrak :
Penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi adalah salah satu substansi penting dari perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Diskursus tersebut mengerucut pada persoalan dasar teoritis dan urgensi. Metode penelitian socio legal yang digunakan kemudian menunjukan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dapat didasarkan pada sunrise principle dan sunset principle serta the shield function dan the sword function maupun prinsip realistic prospect of conviction yang dalam implementasinya memiliki dua filter yaitu evidential ficiency dan public interest. Dari perspektif teori, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat ditelusuri dari teori integratif yaitu teori yang digambarkan sebagai dasar yang memberikan keseimbangan dalam hukum acara pidana dan bersumber dari hukum adat kebiasaan dan pandangan hidup (way of life) keselarasan, keserasian dan keseimbangan masyarakat Indonesia. Dari segi urgensi, kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan ini memberikan tambahan alternatif bagi KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi terutama dalam mewujudkan kepastian hukum dan prinsip speedy trial dalam hukum acara pidana. Negara-negara seperti Hong Kong dan Belanda juga mengenal mekanisme ini. Secara normatif Indonesia dan Belanda mengaturnya dalam beberapa pasal, sedangkan Hongkong, meskipun tidak mengaturnya secara expressis verbis dalam Undang-Undang, mekanisme ini dikenal dalam praktik penegakan hukumnya sebagaimana terlihat dalam skema penanganan perkara yang dipublikasikan oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC). Pengaturan tentang penghentian penyidikan dalam tindak pidana korupsi harus tetap dipertahankan sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi kesalahan prosedur penegakan hukum atau karena alasan teknis lainnya. ......Discontinuation of the investigation and prosecution of corruption crimes is one of the important substances of the amendment to Law No. 19 of 2019 concerning the Corruption Eradication Commission which then led to debates both among academicians and legal practitioners. The discourse focuses on basic theoretical issues and urgency. The socio-legal research method used then shows that the discontinuation of the investigation and prosecution of criminal acts of corruption can be based on the sunrise principle and sunset principle as well as the shield function and the sword function as well as the realistic prospect of conviction principle which in its implementation has two filters, namely evidential sufficiency and public interest. From a theoretical perspective, the discontinuation of investigations and prosecutions can be traced from the integrative theory, namely the theory that is described as the basis that provides balance in criminal procedural law and is sourced from customary law and the way of life of harmony, harmony and balance of Indonesian society. In terms of urgency, this authority to stop investigations and prosecutions provides additional alternatives for the KPK in handling corruption crimes, especially in realizing legal certainty and the principle of speedy trial in criminal procedural law. Countries such as Hong Kong and the Netherlands are also familiar with this mechanism. Normatively, Indonesia and the Netherlands regulate it in several articles, while Hong Kong, although it does not regulate it expressis verbis in the law, this mechanism is known in its law enforcement practice as seen in the case handling scheme published by the Independent Commission Against Corruption (ICAC). Regulations regarding the discontinuation of investigations in corruption crimes must be maintained as a control mechanism against possible errors in law enforcement procedures or for other technical reasons.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Abdussalam
Jakarta: Dinas Hukum POLRI, 1998
363.25 ABD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rullyandi
Abstrak :
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka atau independen, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kekhawatiran akan adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan, khususnya karena pengangkatan Jaksa Agungnya yang merupakan hak prerogatif Presiden. Adapun permasalahan yang dibahas mengenai Bagaimanakah hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial berkaitan dengan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden, pembatasan kekuasaan Presiden terhadap independensi kekuasaan penuntutan yang dimiliki oleh Jaksa Agung, dan kedudukan yang tepat kejaksaan dalam doktrin pembagian atau pemisahan kekuasaan trias politica. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan normatif dan pendekatan kualitatif wawancara. Hak Prerogatif Presiden dalam sistem presidensial pada prinsipnya berkaitan dengan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden, hal ini dapat dimengerti bahwa Jaksa Agung adalah pemegang kekuasaan tertinggi penuntutan, fungsi penuntutan merupakan tugas Negara untuk membela rakyat atau kepentingan publik, maka dikaitkan dengan hubungan Presiden dan Jaksa Agung, maka pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah bagian dari hak prerogatif Presiden yang perlu dibatasi dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pembatasan kekuasaan Presiden berhubungan independensi kekuasaan penuntutan yang dimiliki oleh Jaksa Agung, agar tidak mengintervensi proses hukum presiden di batasi oleh konstitusi. Berkaitan dengan kedudukan yang tepat kejaksaan dalam doktrin pembagian atau pemisahan kekuasaan trias politica,maka organ kekuasaan yang sekiranya tepat untuk mewakili tugas di mewakili kepentingan publik di bidang penegakan hukum adalah eksekutif atau Presiden dengan membawahi Jaksa Agung. oleh karena kejaksaan sudah tepat berada dalam ranah kekuasaan eksekutif. ......Attorney of the Republic of Indonesia is implementing a state institution of state power in the prosecution elected by and responsible to the President. The Attorney General as the state agency that implements state power in the prosecution must carry out its functions, duties and authority as an independent or an independent, free from the influence of government power and influence of other powers. Fears of intervention from the executive power to institute prosecution, especially since the appointment of Attorney glory that is the prerogative of the President. The issues discussed on How the President's prerogative in a presidential system with a mechanism related to the appointment and dismissal of the Attorney General by the President, the limitation of presidential powers to the independence of prosecution powers possessed by the Attorney General, and the exact position of prosecutor in the division or separation of powers doctrine of trias politica. In this paper the author uses the method of normative approach and qualitative approach to the interview. Prerogative of the President in a presidential system, in principle, related to the mechanism of appointment and dismissal of the Attorney General by the President, it is understandable that the Attorney General holds the highest authority of the prosecution, the prosecution function is a duty to defend the people of the State or public interests, it is associated with relations of President and Attorney General, the appointment and dismissal of the Attorney General is part of the prerogative of the President who needs to be limited by first obtaining the consent of the House of Representatives. Restrictions related to the independence of the powers of the President possessed the power of prosecution by the Attorney General, in order not to intervene in the legal process limited by the constitutional president. Related to the proper position of prosecutor in the division or separation of powers doctrine of trias politica, the organ of power in which if the right to represent tasks in representing the public interest in the field of law enforcement is the executive or the President to supervise the Attorney General. because the prosecutor has the right to be in the realm of executive power.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31443
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
345.05 HAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Nophy Tennophero
Abstrak :
Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya. ......Today, the role and the activity of the Corporation are very strategic, not rare in practice the Corporation could become means of carrying out the crime and obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it backgrounds of appointment of Corporation as a subject of criminal law in UU No. 31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of Corporation, obstacles and obvious hindrances in prosecuting Corporation in infringement of corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research represents normative juridical research using secondary data as primary data and primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as unfair without placing related Corporation as a mutual subject of prosecution. In general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly with regards to Corporation representation, identity exposure of defendant, configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against Corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law enforcement process in corruption criminal cases by Corporation namely the legal factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder’s apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the Corporation in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts of corruption that cover material including the criminal kind against the Corporation and his formal law of reform of act regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26095
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Nophy Tennophero
Abstrak :
ABSTRAK
Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya.
ABSTRACT
Today, the role and the activity of the corporation are very strategic, not rare in practice the corporation could become means of carrying out the crime and obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it backgrounds of appointment of corporation as a subject of criminal law in UU No. 31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of corporation, obstacles and obvious hindrances in prosecuting corporation in infringement of corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research represents normative juridical research using secondary data as primary data and primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as unfair without placing related corporation as a mutual subject of prosecution. In general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly with regards to corporation representation, identity exposure of defendant, configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law enforcement process in corruption criminal cases by corporation namely the legal factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder's apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the corporation in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts of corruption that cover material including the criminal kind against the corporation and his formal law of reform of act regulations.
2009
T37288
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Pradisetia Sudirdja
Abstrak :
Penelitian ini membahas diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP belum mengatur diskresi secara jelas. Konsep diskresi baru ditemukan dalam hukum administrasi, tetapi apakah konsep ini dapat diterapkan dalam hukum pidana dan bagaimana pengaturan diskresi jaksa dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia. Penelitian ini juga mengkaji konsep penuntutan yang memungkinkan digunakannya diskresi jaksa untuk kepentingan hukum dan kepentingan umum, sekaligus memformulasikan konsep diskresi jaksa yang ideal dalam SPP Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji aturan hukum, prinsip, konsep, teori, dan masalah hukum terkait, dan metode kuantitatif dalam pengumpulan pandangan jaksa tentang diskresi dengan teknik survei. Hasil kajian menunjukkan bahwa diskresi dalam hukum administrasi tidak dapat langsung diterapkan dalam hukum pidana. Diskresi dalam hukum pidana terkait dengan masalah hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan jika diberikan kewenangan oleh undang-undang. Esensi diskresi terletak pada kebebasan jaksa dalam menilai dan menerapkan kewenangan yang dimiliki. Di Indonesia, diskresi jaksa ditemukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, tetapi hanya didasarkan pada aspek kepentingan hukum dan belum mencakup aspek kepentingan umum. Pelaksanaan diskresi jaksa juga dibatasi oleh prinsip kesatuan komando di lembaga kejaksaan. Mayoritas responden jaksa di Indonesia jarang menerapkan diskresi karena birokrasi yang rumit. Mereka setuju bahwa jaksa harus memiliki independensi dan akuntabilitas yang lebih kuat. Temuan penelitian ini menawarkan pendekatan baru bagi jaksa dalam mengambil keputusan, yakni pendekatan the operational efficiency model, yang menekankan efisiensi sistem peradilan pidana dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Penelitian ini juga menawarkan konsep penuntutan yang menggabungkan asas legalitas dengan asas oportunitas, serta mempertegas posisi jaksa sebagai pengendali perkara dan menjaga independensinya. Penelitian ini juga mengusulkan konsep diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana, termasuk prinsip-prinsip diskresi, syarat-syarat diskresi jaksa, alternatif penyelesaian perkara oleh jaksa, dan pemaknaan ulang terhadap makna Pasal 139 KUHAP yang mencakup kepentingan umum. ......This study examines the discretion of prosecutors within the Indonesian criminal justice system. The Indonesian Criminal Procedure Code does not clearly regulate prosecutor’s discretion. While the concept of discretion has been established in administrative law, it remains unclear whether it can be applied in criminal law and how the discretion of prosecutors is regulated in the examination of criminal cases in Indonesia. This research investigates the concept of prosecution, which allows prosecutors to exercise discretion for the benefit of the law and the public interest, while formulating an ideal framework for prosecutor’s discretion in the Indonesian criminal justice system. Qualitative research methods are employed to examine legal rules, principles, concepts, theories, and related legal issues, and a quantitative approach is used to collect prosecutors' perspectives on discretion through a survey. The findings indicate that discretion in administrative law cannot be directly applied to criminal law. Discretion in criminal law is associated with human rights issues and can only be exercised if authorized by law. The essence of discretion lies in the prosecutor's freedom to assess and apply their powers. In Indonesia, prosecutor’s discretion is present at every stage of the criminal justice system, but it is currently limited to considerations of legal interests and does not encompass the public interest. The implementation of prosecutor’s discretion is further restricted by the principle of unity of command within the prosecutor's institution. The majority of surveyed prosecutors in Indonesia rarely exercise discretion due to bureaucratic complexities. They agree that prosecutors should have greater independence and accountability. The findings propose a new decision-making approach for prosecutors—the operational efficiency model—which prioritizes the efficiency of the criminal justice system while considering the public interest. Furthermore, this study presents a prosecution concept that combines the legality principles and opportunity principles, reinforcing the prosecutor's role as a case controller and preserving their independence. Additionally, the study suggests a framework for prosecutor’s discretion in the criminal justice system, including principles, criteria for prosecutor discretion, alternative case resolutions, and a reinterpretation of Article 139 of the Indonesian Criminal Procedure Code to incorporate the public interest.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Agra Syafiquddin Yusuf
Abstrak :
ABSTRAK
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang utama dalam sistem peradilan pidana sehingga dapat dipastikan selalu terdapat pemeriksaan saksi dalam setiap pembuktian perkara pidana. Saksi berfungsi sebagai pihak yang dengan keberadaannya dan keterangannya di dalam sebuah perkara akan membuat terang sebuah perkara. Pera mpasan atas sebuah aset hasil tindak pidana korupsi dewasa ini dapat dilakukan dengan 2 dua pendekatan yaitu penyidikan dan penuntutan secara in personam dan secara in rem. Pendekatan penyidikan dan penuntutan secara in personam menggunakan instrumen pidana dalam melakukan perampasan aset sedangkan in rem akan menggunakan instrumen perdata dalam melakukan perampasan sebuah aset. Terhadap saksi yang dipidana atas asetnya akan menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini ditinjau dengan perspektif penyidikan dan penuntutan in personam dan in rem. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum tertulis.Kata kunci: Keterangan saksi, penyidikan, penuntutan, in personam dan in rem.
ABSTRACT
The statements of witnesses is one of the main evidences in the criminal justice system so that there can always be witnesses in every criminal proceeding. The witness serves as a party whose existence and information in a case will shed a light of the said case. Deprivation of an asset of corruption today can be done with 2 two approaches investigation and prosecution in personam and in rem. In personam investigation and prosecution approach uses criminal instruments in asset deprivation while in rem will use civil instruments in deprivation of an asset. Against the witnesses convicted of his assets will be the subject matter in this study which will be reviewed with perspectives of investigation and prosecution in personam and in rem. This study uses normative juridical research, by studying literature on written legal materials.Keyword The statements of witnesses, investigation, prosecution, in rem and in personam.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamrat Hamid
Jakarta: Sinar Grafika, 1992
345.05 HAM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Osman
Jakarta: Grasindo, 1995
347.05 SIM t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>