Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahwan
Abstrak :
Penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi adalah salah satu substansi penting dari perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Diskursus tersebut mengerucut pada persoalan dasar teoritis dan urgensi. Metode penelitian socio legal yang digunakan kemudian menunjukan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dapat didasarkan pada sunrise principle dan sunset principle serta the shield function dan the sword function maupun prinsip realistic prospect of conviction yang dalam implementasinya memiliki dua filter yaitu evidential ficiency dan public interest. Dari perspektif teori, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat ditelusuri dari teori integratif yaitu teori yang digambarkan sebagai dasar yang memberikan keseimbangan dalam hukum acara pidana dan bersumber dari hukum adat kebiasaan dan pandangan hidup (way of life) keselarasan, keserasian dan keseimbangan masyarakat Indonesia. Dari segi urgensi, kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan ini memberikan tambahan alternatif bagi KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi terutama dalam mewujudkan kepastian hukum dan prinsip speedy trial dalam hukum acara pidana. Negara-negara seperti Hong Kong dan Belanda juga mengenal mekanisme ini. Secara normatif Indonesia dan Belanda mengaturnya dalam beberapa pasal, sedangkan Hongkong, meskipun tidak mengaturnya secara expressis verbis dalam Undang-Undang, mekanisme ini dikenal dalam praktik penegakan hukumnya sebagaimana terlihat dalam skema penanganan perkara yang dipublikasikan oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC). Pengaturan tentang penghentian penyidikan dalam tindak pidana korupsi harus tetap dipertahankan sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi kesalahan prosedur penegakan hukum atau karena alasan teknis lainnya. ......Discontinuation of the investigation and prosecution of corruption crimes is one of the important substances of the amendment to Law No. 19 of 2019 concerning the Corruption Eradication Commission which then led to debates both among academicians and legal practitioners. The discourse focuses on basic theoretical issues and urgency. The socio-legal research method used then shows that the discontinuation of the investigation and prosecution of criminal acts of corruption can be based on the sunrise principle and sunset principle as well as the shield function and the sword function as well as the realistic prospect of conviction principle which in its implementation has two filters, namely evidential sufficiency and public interest. From a theoretical perspective, the discontinuation of investigations and prosecutions can be traced from the integrative theory, namely the theory that is described as the basis that provides balance in criminal procedural law and is sourced from customary law and the way of life of harmony, harmony and balance of Indonesian society. In terms of urgency, this authority to stop investigations and prosecutions provides additional alternatives for the KPK in handling corruption crimes, especially in realizing legal certainty and the principle of speedy trial in criminal procedural law. Countries such as Hong Kong and the Netherlands are also familiar with this mechanism. Normatively, Indonesia and the Netherlands regulate it in several articles, while Hong Kong, although it does not regulate it expressis verbis in the law, this mechanism is known in its law enforcement practice as seen in the case handling scheme published by the Independent Commission Against Corruption (ICAC). Regulations regarding the discontinuation of investigations in corruption crimes must be maintained as a control mechanism against possible errors in law enforcement procedures or for other technical reasons.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Abdussalam
Jakarta: Dinas Hukum POLRI, 1998
363.25 ABD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
345.05 HAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Agra Syafiquddin Yusuf
Abstrak :
ABSTRAK
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang utama dalam sistem peradilan pidana sehingga dapat dipastikan selalu terdapat pemeriksaan saksi dalam setiap pembuktian perkara pidana. Saksi berfungsi sebagai pihak yang dengan keberadaannya dan keterangannya di dalam sebuah perkara akan membuat terang sebuah perkara. Pera mpasan atas sebuah aset hasil tindak pidana korupsi dewasa ini dapat dilakukan dengan 2 dua pendekatan yaitu penyidikan dan penuntutan secara in personam dan secara in rem. Pendekatan penyidikan dan penuntutan secara in personam menggunakan instrumen pidana dalam melakukan perampasan aset sedangkan in rem akan menggunakan instrumen perdata dalam melakukan perampasan sebuah aset. Terhadap saksi yang dipidana atas asetnya akan menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini ditinjau dengan perspektif penyidikan dan penuntutan in personam dan in rem. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum tertulis.Kata kunci: Keterangan saksi, penyidikan, penuntutan, in personam dan in rem.
ABSTRACT
The statements of witnesses is one of the main evidences in the criminal justice system so that there can always be witnesses in every criminal proceeding. The witness serves as a party whose existence and information in a case will shed a light of the said case. Deprivation of an asset of corruption today can be done with 2 two approaches investigation and prosecution in personam and in rem. In personam investigation and prosecution approach uses criminal instruments in asset deprivation while in rem will use civil instruments in deprivation of an asset. Against the witnesses convicted of his assets will be the subject matter in this study which will be reviewed with perspectives of investigation and prosecution in personam and in rem. This study uses normative juridical research, by studying literature on written legal materials.Keyword The statements of witnesses, investigation, prosecution, in rem and in personam.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
Abstrak :
Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.
Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover