"Sengketa Laut Cina Selatan merupakan salah satu isu geopolitik paling kompleks di Asia Tenggara, melibatkan klaim maritim yang saling tumpang tindih antara Tiongkok dan beberapa negara lain seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Laut ini memiliki nilai strategis yang signifikan, baik dari segi ekonomi, politik, maupun militer, dengan cadangan sumber daya alam yang melimpah serta jalur perdagangan internasional yang vital. Selain itu, kawasan ini juga menjadi titik penting dalam dinamika keamanan regional, di mana berbagai aktor global, termasuk Amerika Serikat, turut terlibat dalam menjaga keseimbangan kekuatan. Tiongkok, dalam menghadapi berbagai tantangan dan penolakan atas klaimnya, secara konsisten menggunakan narasi historis sebagai dasar legitimasi. Narasi ini menekankan konsep hak historis (historic rights) yang dianggap mendahului kerangka hukum internasional modern, termasuk United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Sementara UNCLOS dirancang untuk mengatur pembagian wilayah maritim, konvensi ini tidak memberikan definisi atau ketentuan yang jelas mengenai historic waters. Celah hukum ini memberikan ruang bagi Tiongkok untuk memperkuat narasi mereka dan menegaskan kedaulatan atas wilayah yang diklaim. Lebih lanjut, Tiongkok memanfaatkan dokumen sejarah, peta kuno, serta catatan navigasi sebagai bukti yang mendukung klaim mereka, dengan menekankan bahwa kehadiran mereka di Laut Cina Selatan mendahului klaim negara lain. Dengan menggunakan narasi historis, Tiongkok tidak hanya berusaha mempertahankan klaim kedaulatannya tetapi juga mendefinisikan ulang diskursus hukum internasional untuk mengakomodasi kepentingan geopolitiknya di kawasan tersebut. Hal ini menyoroti bagaimana narasi historis dan keterbatasan hukum internasional menciptakan dinamika sengketa yang kompleks dan berkelanjutan, serta bagaimana perdebatan mengenai hak historis dan legitimasi hukum terus menjadi isu utama dalam diplomasi maritim global.
The South China Sea dispute is one of the most complex geopolitical issues in Southeast Asia, involving overlapping maritime claims between China and several other nations, including the Philippines, Vietnam, and Malaysia. This maritime region holds significant strategic value in terms of economics, politics, and military affairs, as it contains abundant natural resources and serves as a vital international trade route. Furthermore, this area plays a crucial role in regional security dynamics, attracting the involvement of global actors such as the United States, which seeks to maintain a balance of power. In facing various challenges and oppositions to its claims, China has consistently employed historical narratives as the basis of its legitimacy. This narrative emphasizes the concept of historic rights, which China argues predate modern international legal frameworks, including the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. While UNCLOS was designed to regulate maritime boundaries, the convention does not provide a clear definition or legal provisions regarding historic waters. This legal ambiguity creates an opportunity for China to reinforce its historical narrative and assert sovereignty over the claimed territories. Furthermore, China leverages historical documents, ancient maps, and navigation records as evidence supporting its claims, arguing that its presence in the South China Sea predates the claims of other nations. By using historical narratives, China not only seeks to uphold its sovereignty claims but also attempts to redefine international legal discourse to accommodate its geopolitical interests in the region. This highlights how historical narratives and the limitations of international law contribute to the complexity and persistence of the dispute, as well as how debates over historic rights and legal legitimacy remain central to maritime diplomacy on a global scale."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024