Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rantika Adhiningtyas
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini membahas mengenai representasi perempuan lajang dalam film Indonesia. Perempuan lajang kerap mendapatkan stereotip negatif dan bahkan status sosialnya dianggap lebih rendah dibandingkan perempuan menikah. Realitas ini juga kerap ditampilkan dalam media. Penelitian ini menggunakan teori representasi Stuart Hall. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis-interpretatif dengan pendekatan kualitatif. Hasilnya adalah adanya representasi dan stereotip perempuan yang sudah menikah, representasi dan stereotip perempuan lajang dewasa sebagai orang yang pemarah, perempuan lajang yang mendapatkan label sebagai ?perawan tua?, dan perempuan yang dianggap ideal (perempuan menikah) pada film ?Kapan Kawin??. Representasi ini dihasilkan karena adanya representasi mental yang berdasarkan pada mitos-mitos mengenai perempuan yang masih terjadi di Indonesia hingga saat ini.
ABSTRACT
This study discuss the representation of single woman in Indonesian film. Single woman often receive negative stereotype and her social status considered under the married woman. This reality also shown in media. This study using constructivist-interpretative paradigm with qualitative approach. The result shows representation and stereotype of married woman, representation and stereotype singe lady as an anger person, single woman who gets labelling such as ?perawan tua?, and ideal woman (married woman) in ?Kapan Kawin??. This representation was produced because of the mental representation based on myths regarding woman that still occurs in Indonesia today.
2016
T46309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ince Siti Nurmala
Abstrak :
Dalam menjalani kehidupan, setiap manusia memiliki tahap-tahap perkembangan yang akan dijalani. Ketika sudah memasuki rentang usia dewasa muda (20-40 tahun), individu akan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan manusia, seperti memilih pasangan hidup, mulai membina keluarga, dan mengasuh anak. Dalam kultur tradisional, yang menganggap pernikahan sebagai bagian penting dalam masyarakat (Schwartzberg et al., dalam Darrington, 2005), menjadi perempuan lajang tentunya alma menimbulkan efek yang dapat bersifat positif ataupun negatif bagi individu yang bersangkutan. Apalagi jika kita berbicara tentang peran gender dalam masyarakat, di mana perempuan umumnya dipandang sebagai individu yang identik dengan ruang lingkup domestik, yaitu menjadi ibu dan mengurus rumah tangga (Levinson, dalam Papalia & Olds, 1998) maka munculnya fenomena perempuan lajang yang berpendidikan tinggi dan memiliki karir yang baik, akan menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas. Berkaitan dengan itu, penelitian ini membahas tentang gambaran hubungan perempuan lajang dengan figur ibu. Mengenai keunikan hubungan ibu dan anak perempuannya, sejumlah ahli mengatakan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan cenderung memiliki suatu kedekatan khusus, suatu hubungan yang paling dekat dan paling penting dalam interaksi dengan keluarga, dan anak perempuan lebih sering mengunjungi ibunya daripada anak laki-laki (Chodorow; Wilmott & Young, dalam Fischer, 1987). Menurut Bowen (dalam Rastogi & Wampler, 1999), hubungan ibu dan anak perempuan merupakan hubungan yang signifikan karena menyajikan suatu mode transmisi mengenai pola kedekatan (closeness), kecocokan (enmeshment), jarak (distance), dan konflik antara satu generasi dengan generasi lainnya dalam keluarga. Rastogi dan Wampler (1999) mengajukan tiga dimensi utama dalam meneliti hubungan ibu dan anak perempuan dewasa, yaitu: (1) Closeness, yaitu suatu perasaan keterikatan (sense of connection) dan keakraban (intimacy) dalam hubungan, tetapi tidak terbatas pada jarak geografis antara ibu-anak; (2) reliability, yaitu mengetahui bahwa ibu atau anak akan selalu ada ketika dibutuhkan. Dengan perkataan lain, ibu dan anak dapat saling mengandalkan diri masing-masing sebagai tempat bergantung; (3) Collectivism, yaitu keseimbangan antrra individualitas seseorang dan kebutuhan akan kelompok. Dalam penelitian berikut, peneliti merujuk pada teori ini dalam menentukan panduan wawancara dan analisis hasil wawancara. Peneliti menyadari bahwa setiap individu tentunya memiliki keunikan sendiri dalam hal menghayati pengalaman dalam hidupnya. Oleh karena itu, pendekatan yang menurut peneliti paling tepat untuk membahas topik ini adalah desain penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan terhadap tiga orang perempuan dewasa muda (25-35 tahun), belum pernah menikah, pendidikan D3 atau S1, dan sudah bekerja. Perempuan lajang dipilih sebagai salah satu karakteristik sampel karena menurut penelitian Fischer (1987), dibandingkan dengan perempuan yang sudah menikah, perempuan lajang cenderung memiliki hubungan yang dependent dengan ibu, mereka merasa kesulitan menjawab pertanyaan : mengenai gambaran diri mereka sebagai ibu di masa yang akan datang (apakah kelak mereka akan menjadi ibu seperti ibu mereka aiau tidak?), dan cenderung rnenganggap masa depan sebagai suatu hal yang berada di luar kendali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden tidak menggambarkan hubungan yang dependent dengan ibu. Pada dimensi closeness, hanya satu responden yang melaporkan bahwa ia merasa dekat dengan figur ibu, sementara dua orang lainnya tidak menggambarkan adanya hubungan yang dekat. Pada dimensi reliability, hanya satu responden yang melaporkan bahwa ia dan ibu dapat saling mengandalkan satu sama lain, terutama sebagai tempat untuk berbagi cerita. Dua responden lainnya melaporkan bahwa ibu lebih sering meminta bantuan atau menceritakan masalah kepada orang lain (kakak) daripada kepada responden. Pada dimensi collectivism, ketiga responden menggambarkan tingkat trust in hierarchy yang tinggi. Sementara mengenai tingkat diferensiasi, dua responden menggambarkan tingkat diferensiasi yang rendah dan yang lainnya pada tingkat menengah. Pada aspek life structure, yaitu suatu pengertian subyektif tentang diri pada saat ini dan di masa yang akan datang, ketiga responden nampak relatif kesulitan memberikan gambaran tentang diri masing masing sebagai ibu di masa yang akan datang.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citrawati Pusporini
Abstrak :
Pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupannya Terjalinnya hubungan personal (interaksi antar individu) sangat penting, terutama untuk memenuhi kebutuhan intimacy seseorang (Strong & Devault, 1988). Tentu saja kriteria memilih pasangan hidup yang ideal berbeda pada tiap individu. Sejalan dengan berkembangnya waktu, banyak dijumpai perempuan yang dianggap berusia ‘cukup dewasa’ untuk menikah namun belum juga menikah, padahal sudah memiliki ‘segalanya’, seperti pendidikan tinggi, karir yang mantap, dan penghasilan yang memadai. Masyarakat kebanyakan berpandangan tradisional dan menganggap perempuan seperti tersebut di atas sebaiknya mengakhiri masa Lajangnya dan segera berkeluarga karena kodrat seorang perempuan adalah sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Namun banyak hal yang mernpengamhi seseorang memutuskan untuk menikah/ tidak atau menentukan pilihan untuk menikah namun belum menemukan pasangan yang tepat. Selain dikasihani, individu lajang dipandang Lingkungannya sebagai seseorang yang kurang bergaul, kurang menarik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan dengan orang-orang lain (Anderson & Stewart dalam Matlin, 1999 dalam Gracesiana 2002). Bagi para lajang sendiri, pilihan yang mereka jalankan memiliki baik keuntungan maupun kerugian, sama halnya dengan menikah. Ada kesirnpulan yang menyatakah bahwa menjadi lajang lebih sulit bagi perempuan (Si menquer Carol, 1982), dan menurut Freedman (1978), orang yang tidak menikah cenderung merasa Lonely dibandingkan individu yang menikah. Ketika para dewasa muda tertarik untuk menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain, ada juga suatu keinginan yang kuat untuk mandiri dan bebas. Perkembangan pada tahap ini melibatkan perjuangan antara keinginan untuk funtime dan komitmen pada satu sisi, dengan keinginan mandiri dan bebas di sisi yang lain (Hoyer, Ribash & Roodin, 1999; Hall & Lindzey, 1973 dalam Gracesiana, 2002). Adanya perbedaan keinginan yang dimiliki tiap individu ini dapat dijelaskan dengan teori Murray yang menyebutkan bahwa baik disadari atau tidak, setiap perilaku manusia didasari oleh motivasi tertentu. Ini merupakan asumsi dasar dari pandangan psikologi. Untuk berbicara tentang motivasi, tentu harus berbicara tentang kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan merupakan suatu pendorong bagi diri individu untuk melakukan sesuatu (Mummy, 1938 dalam Groth-Mamat, 1999). Untuk membantu mengenali kebutuhan-kebutuhan apa yang ada dalam diri dan menjadi pendorong munculnya perilaku, diperlukan sebuah alat tes. Salah satu alat tes yang bisa digunakan untuk meneliti fenomena di atas yaitu EPPS (Edward Personal Preference Schedule). Konstruk alat tes ini dikembangkan dari teori mengenai kepribadian yang dikembangkan oleh Murray (1938). Dengan menggunakan alat tes ini akan dilihat kebutuhan-kebutuhan apa yang dominan dan menjadi karakteristik kepribadian dari perempuan lajang di atas 30 tahun. Selain itu dapat dilihat pula apakah ada suatu karakteristik kepribadian yang membedakannya dengan perempuan yang telah menikah. Penelitian dilakukan pada 70 orang subyek dengan karakteristik perempuan lajang dan perempuan yang menikah, berusia diatas 30 tahun, dengan menggunakan incidental sampling. Dalam penelitian ini, alat yang digunakan berbentuk tes EPPS (Edward Personal Preference Schedule) untuk melihat kebutuhan-kebutuhan seseorang yaitu kebutuhan khusus yang dimiliki seseorang. Dari hasil analisis dan interpretasi data yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Tidak ada perbedaan profil EPPS yang signifikan antara perempuan lajang dan perempuan menikah yang berusia di atas 30 tahun, kecuali pada need for change, dimana perempuan lajang cenderung memiliki need for change yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menikah. Dengan demikian, ada perbedaan need for change yang signifikan antara perempuan lajang dan perempuan yang menikah. Hal ini berarti bahwa perempuan lajang cenderung selalu menginginkan perubahan dan tidak menyukai memiliki kebiasaan hidup yang tetap. Mereka senang mencari dan menjumpai kawan baru, saling bertukar perhatian, dan berlibur ke tempat yang asing. Karena kondisi itu, mereka cenderung tampak kurang stabil, baik pendirian maupun keinginannya (Edward dalam EPPS, 1978). Ketidakstabilan ini sesuai dengan keinginan lajang untuk membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain namun di satu sisi ada juga keinginan yang kuat untuk mandiri dan bebas (Hoyer, Rybash & Roodin, 1999; HalI & Lindzey, 1973 dalam Gracesiana., 2002). Saran untuk penelitian selanjutnya adalah diharapkan dapat mengambil lebih banyak sampel, sehingga didapat perbedaan yang lebih akurat serta hasilnya dapat digeneralisasikan kepada subjek Iain di Luar sampel penelitian. Selain itu ada baiknya untuk melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa subyek dari tiap kelompok, untuk melihat kesesuaian dari hasil needs yang diperoleh dengan gambaran kepribadian subjek. Dapat pula dilakukan penelitian lanjutan pada perempuan lajang dan perempuan menikah yang tidak bekerja untuk melihat apakah tidak adanya perbedaan yang signifikan dari kedua kelompok tersebut disebabkan karena faktor pekerjaan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Maharani
Abstrak :

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pasal-pasal terkait pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Rangkaian regulasi tersebut secara tekstual mengalienasi hak-hak perempuan lajang atas pemenuhan HKSR mereka, karena hanya perempuan menikah saja yang berhak atas kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sosio-legal, dengan menganalisis implikasi dari pasak-pasal dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah: 1. Rangkaian regulasi kesehatan seksual dan reproduksi yang berlaku berpotensi menjadi justifikasi untuk menolak perempuan lajang yang ingin mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi; 2. Rangkaian regulasi yang ada berperan dalam penegakan stigma negatif yang menyelubungi pemenuhan HKSR bagi perempuan lajang; dan 3. Perlunya rangkaian regulasi yang sensitif dengan isu gender dan harusz inklusif bagi semua perempuan dan tidak hanya merujuk kepada pengalaman perempuan berstatus menikah.

 


This research aims to analyze the laws around Sexual and Reproductive Health Rights (SRHR) in Law on Health (Law No. 36/2009), Government Regulation on Reproductive Health (Government Regulation No. 61/2014) and Minister of Health Regulation on Health Services during Pre-Pregnancy, Pregnancy, Childbirth and Post-Childbirth, Contraceptive Services and Sexual Health Services (Minister of Health Regulation No. 97/2014). These laws and regulations textually alienate unmarried women and their sexual and reproductive health rights since the laws only recognizes sexual and reproductive health rights for married women. The method used to conduct this research is socio-legal method, which analyzes the implication that comes from the aforementioned laws and regulations through qualitative approach. This research finds: 1. The laws and regulations on sexual and reproductive health has the potential to justify any medical facility to reject unmarried women that wanted to access sexual and reproductive healthcare; 2. The existing set of law and regulations has a role in upholding the negative stigma surrounding SRHR for unmarried women; and 3. There is a need for a set of laws and regulations that are sensitive to gender issues and that it should be inclusive to all women and not only centered around the experience of married women.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library