Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hansen Angkasa
Abstrak :
Skabies menempati peringkat ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Permetrin merupakan obat pilihan skabies, namun memberikan efek samping eritema, rasa panas, gatal, nyeri;pengolesan permetrin ke seluruh tumbuh menambah ketidaknyaman. Karena itu timbul pemikiran mengobati skabies di lesi saja diikuti mandi dua kali sehari dengan sabun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas permetrin yang dioleskan ke seluruh tubuh dibandingkan dengan lesi saja. Penelitian eksperimental ini dilakukan di Pesantren, Jakarta Timur. Semua santri dilakukan anamnesis dan pemeriksaan kulit untuk mendiagnosis skabies.Santri positif skabies dibagi tiga kelompok berdasarkan kamar tidur. Kelompok satu diobati permetrin metode standar, kelompok dua dan tiga hanya diberikan permetrin di lesi saja. Ketiga kelompok diharuskan mandi dua kali menggunakan sabun namun kelompok tiga menggunakan sabun antiseptik. Data diambil pada bulan Mei-Juli 2012, diolah dengan SPSS 11.5 dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis. Hasilnya menunjukkan dari 188 santri, 94 orang positif skabies, namun yang diikutkan dalam penelitian 69 santri. Pada minggu pertama jumlah santri yang sembuh dengan permetrin standar, lesi+sabun dan lesi+sabun antiseptik adalah 1/23, 4/23 dan 1/23 (p=0,198); minggu kedua 18/23, 12/23 dan 8/23 (p=0.012); minggu ketiga 22/23, 21/23 dan 18/23(p=0,163). Disimpulkan pengobatan skabies menggunakan permetrin standar sama efektifnya dengan pengobatan hanya di lesi saja. ......Ranked 3rd out of the 12 most common skin diseases in Indonesia. Permethrin remains the drug of choice for scabies but has side effects: erythema, tingling, pain, itch and prickling sensation. Topical whole-body application causes discomfort for the patient. Thus, we proposed modified usage of permethrin by confining topical application to the lesion enforced with baths twice daily. The objective of the study is to know the effectiveness of whole body against lesiononly application of permethrin. The experimental study was done at Pesantren X, located at East Jakarta. All students were diagnosed for scabies via anamnesis and physical examination. Infested students were divided into three groups based on bedroom allocation. First group was treated with whole-body application while the rest were given lesion-only application. All groups were instructed to take baths twice daily with soap except the third group, which used antiseptic soap. Data collection was done from May-July 2012, processed using SPSS 11.5, tested with Kruskal-Wallis Test. Result showed 94 out of 188 scabies positive, but 69 were randomly picked for analysis. In week one, cure rates in the first, second and third group were 1/23, 4/23 and 1/23 respectively (p=0.198); Week two: 18/23, 12/23, 8/23 (p=0.012); Week three: 22/23, 21/23 and 18/23 (p=0.163). Thus, the three methods yield similar results that are statistically insignificant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Dimas Dwiputro
Abstrak :
Skabies adalah penyakit kulit ketiga paling sering di Indonesia. Obat pilihan untuk skabies adalah permetrin. Akan tetapi, pengolesan permetrin yang harus ke seluruh tubuh tidak nyaman untuk dilakukan di negara tropis dan lembab seperti Indonesia. Muncullah ide untuk mengoleskan permetrin hanya di lesi saja diikuti dengan pemakaian sabun antiseptik dua kali sehari. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas permetrin yang dioleskan pada lesi saja dengan yang ke seluruh tubuh. Penelitian eksperimental ini dilaksanakan di Pesantren X, Jakarta Timur. Pada awal penelitian, semua santri dianamnesis dan diperiksa kulitnya untuk mendiagnosis santri mana yang skabies. Santri positif dibagi dua berdasarkan kamar. Kelompok satu diberi metode standar, kelompok dua diberikan metode modifikasi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012, diolah memakai SPSS 20.0 for windows dan dianalisis dengan uji chi square. Dari 188 santri, 50% positif skabies, tetapi yang ikut dalam penelitian hanya 46 orang. Di minggu pertama, santri yang sembuh dengan metode standar dan modifikasi adalah 1/23 dan 1/23 (p=0,580); minggu kedua 18/23 dan 8/23 (p=0,011); minggu ketiga 22/23 dan 18/23 (p=0,187). Disimpulkan pada akhir pengobatan metode modifikasi sama efektifnya dengan metode standar, tetapi metode standar memiliki tingkat kesembuhan yang lebih cepat.
Scabies is the third most common skin disease in Indonesia. Drug of choice for scabies is permethrin. However, whole-body application of permethrin is uncomfortable in a tropical country like Indonesia. Thus, a modified way was proposed to use permethrin only in lesion followed by the usage of antiseptic soap twice a day. The objective of this research is to compare the effectiveness between lesion-only against whole body application of permethrin. This experimental research was conducted in Pesantren X, East Jakarta. The research started with anamnesis and skin examination on the students to diagnose them of scabies. Students with positive results were then divided into two groups based on their living quarters. First group had standard method while the second group had a modified method. Data was collected on May-July 2012 and analyzed using chi square test in SPSS 20.0. From 188 students, 50% are scabies positive, and 46 of them were randomly picked for analysis. On the first week, students that recovered through standard method and the modified method were 1/23 and 1/23 (P=0.580); second week 18/23 and 8/23 (p=0.011); third week 22/23 and 18/23 (p=0.187). To conclude, both methods have similar effectiveness, but the standard method had faster recovery rate.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Pasha
Abstrak :
ABSTRAK
Permetrin adalah obat pilihan untuk terapi skabies karena memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Pengobatan standar dengan mengoleskan ke seluruh tubuh kurang nyaman sehingga dipikirkan untuk mengoleskan permetrin hanya di lesi saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi permetrin 5% krim metode standar dibandingkan pengolesan di lesi saja (modifikasi). Penelitian dilakukan di sebuah pesantren di Jakarta Selatan pada bulan Juli-September 2013 dengan desain randomized controlled trial (RCT). Semua santri dilakukan pemeriksaan kulit dan santri yang positif dijadikan subjek penelitian lalu dibagi dua secara random: kelompok yang diberikan metode standar dan kelompok yang dioleskan permetrin di lesi saja. Evaluasi pada minggu ke-1 sampai ke-5. Data diolah menggunakan SPSS versi 20.0 dan diuji dengan chi-square. Tes Friedman untuk mengevaluasi efektivitas terapi standar dan lesi saja. Dari 98 santri, terdapat 67 santri positif skabies (prevalensi 68%). Angka kesembuhan untuk metode standar terus membaik setiap minggunya, dari 30% pada minggu pertama dan mencapai 96,9% pada minggu ke-5, begitu juga untuk lesi-saja, dari 23,5% pada minggu pertama sampai 91,1% untuk minggu ke-5. Uji chi-square pada minggu ke-1 (p=0,466) sampai minggu ke-5 (p=0,322) tidak ada perbedaan bermakna pada kedua metode. Disimpulkan bahwa pengobatan skabies dengan permetrin metode standar sama efektivitasnya dengan metode di lesi saja.
ABSTRACT
Permethrin 5% is the first line of treatment for scabies due to its high cure rate. Standard method of treatment is by applying permethrin all over the body, except the face, seems to be uncomfortable for the patient, therefore, applying to the lesion-only is recommended. The objective of this study is to evaluate scabies treatment using standard permethrin method compared to lesion-only. The study is done in an Islamic boarding school in South Jakarta on July?September 2013 with a randomized controlled trial (RCT) study design. All of the students were examined and those who tested positive for scabies are participated in the study and randomly divided into two groups: treated by using standard method and lesion-only. Evaluation is done throughout the first week until fifth week. The data collected were analyzed using SPSS 20.0 and tested with chi-square to distinguish the two methods. Friedman test was used to evaluate the effectiveness of standard and lesion-only method. From 98 students 67 were diagnosed with scabies (the prevalence 68%). Cure rate for standard method increased by the week, from 30% on the first week to 96.9% on the fifth, so does lesion-only, from 23.5% on the first week to 91.1% on the fifth week. Chi-square test during week 1 (p=0.466) until week 5 (p=0.322) showed that there are no significant difference on the two methods. It is concluded that effectiveness of applying permethrin with lesion-only method is the same for standard.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Ayu Dwinastiti
Abstrak :
Latar Belakang. Pediculus humanus capitis adalah ektoparasit yang dapat menginfestasi rambut kepala dan mengisap darah pasien. Terapi pedikulosis yang paling efektif adalah menggunakan insektisida heksakloroheksan namun produksinya telah dihentikan karena neurotoksik. Saat ini terapi pilihan pedikulosis adalah menggunakan insektisida permetrin, tetapi harganya relatif mahal sehingga dianjurkan menggunakan metode sisir basah. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas permetrin dibandingkan metode sisir basah pada terapi pedikulosis. Metode. Penelitian ini menggunakan desain randomized controlled trial (RCT) yang dilaksanakan di sebuah pesantren Kabupaten Bogor dan data diambil pada bulan Juli-Agustus 2018. Subjek (santri perempuan) kemudian dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang rambutnya dibasahi losio permetrin selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan sampo sedangkan kelompok kedua dibasahi dengan kondisioner lalu diserit setiap hari selama 14 hari. Untuk menentukan angka kesembuhan dilakukan evaluasi dengan memeriksa kepala pada hari ke-7 (1 minggu) dan hari ke-14 (2 minggu). Hasil. Dari 121 subjek, 88,4% terinfestasi kutu hidup dan 90,9% terinfestasi telur kutu. Angka kesembuhan setelah satu minggu adalah 66% untuk kelompok permetrin dan 63% untuk sisir basah. Setelah dua minggu, angka kesembuhan meningkat menjadi 94% pada kelompok permetrin dan 90% pada kelompok sisir basah. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada angka kesembuhan metode permetrin dan sisir basah setelah satu minggu (p=0,740) dan dua minggu (p=0,507) terapi. Kesimpulan. Metode sisir basah sama efektifnya dengan permetrin terhadap terapi pedikulosis.
Introduction. Pediculus humanus capitis is an ectoparasite that infect human hair and sucks the patient’s blood. Hexachlorocyclohexane was used to be an effective treatment for Pediculosis capitis, however discontinued due to its neurotoxicity. Currently, the drug of choice of pediculosis is permethrin; but the price is relatively expensive. Therefore, wet combing method can be an alternative. Aim of the study was to evaluate the effectiveness of permethrin compared to wet combing in eliminating pediculosis. Methods. This study was a randomized controlled trial (RCT) conducted in a boarding School, Bogor District. The data were taken on July-August 2018. Subjects (all females) were divided into two groups. The permethrin group which hair was wetted by permethrin lotion and left for 10 minutes before rinse it, and the other group were treated using conditioner and fine toothed comb to remove lice for 14 days. On day 7 (1 week) and 14 (2 week), subject’s head was examined to determine the cure rate. Results. From 121 subjects, 88.4% were infested with head lice and 90,9% were infested with nits. The cure rate after one week of treatment was 66% in permethrin group and 63% in wet combing group. After two week course of treatment, the cure rate increased to 94% in permethrin group and 90% in wet combing group. There was no significant difference in cure rate between permethrin and wet combing after one week (p=0.740) and two weeks (p=0.507) course of treatment. Conclusion. Wet combing method was as effective as permethrin group to treat pedic
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yahya Ayyash
Abstrak :
Latar belakang: Di Indonesia pedikulosis yang disebabkan oleh Pediculus humanus capitis (kutu kepala) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, namun tidak ada program penanganan khusus untuk memberantas pedikulosis tersebut Selama ini pengobatan pedikulosis menggunakan permetrin 1%, namun di berbagai negara dilaporkan bahwa P.h. capitis sudah mengembangkan resistensi terhadap permetrin. Pada penelitian ini akan dibandingkan efektivitas permetrin dengan efektivitas malation berdasarkan kemampuannya menghambat kerja enzim detoksifikasi pada P.h. capitis. Metode: : Stadium dewasa P. h. capitis dipaparkan dengan kertas filter yang ditetesi larutan permetrin (0,25%; 0,5%; dan 1%) dan malation (0,5%; 1% dan; 1,5%). Bioassay in vitro dilakukan selama 10, 20, 30, 45 dan 60 menit pada suhu ruang. Aktivitas asetilkolinesterase (AChE), glutation-S-transferase (GST), dan oksidase dianalisis menggunakan metode CDC (Centers for Disease Control). Hasil: Selama 60 menit, 100% (90/90) P. h. capitis mati dengan permetrin pada konsentrasi 0,25%; 0,5%; 1%. Sedangkan pada malation tidak mati sama sekali (0,0%). Dalam 60 menit P. h. capitis memiliki LT50 dan LT90 terendah pada permetrin dengan konsentrasi 1%. juga bahwa permetrin dengan aktifitas AChE, GST, dan oksidase menurun pada kelompok permetrin, sedangkan pada kelompok malation aktifitas AChE, GST, dan oksidase meningkat. Kesimpulan: Permetrin memiliki efikasi terhadap P. h. capitis yang lebih baik dibandingkan malation dan permetrin masih dapat digunakan sebagai pediculosida. ......Background: In Indonesia, pediculosis caused by Pediculus humanus capitis (head louse) is still a public health problem, but there is no special treatment program to eradicate this pediculosis. So far, pediculosis is treated using 1% permethrin, but in various countries it has been reported that P.h. capitis has developed resistance to permethrin. In this study, we will compare the effectiveness of permethrin with the effectiveness of malathion based on its ability to inhibit the action of detoxification enzymes on P.h. capitis. Methods: Adult stage P. h. capitis exposed with filter paper dripped with a solution of permetrin (0,25%; 0,5%; and 1%) and malation (0,5%; 1%; and 1,5%). In vitro bioassays were carried out for 10, 20, 30, 45 and 60 minutes at room temperature. The activities of acetylcholinesterase (AChE), glutathione-S-transferase (GST), and oxidase were analyzed using the CDC (Centers for Disease Control) method. Results: For 60 minutes, 100% (90/90) P. h. capitis died with permethrin at a concentration of 0,25%; 0,5%; 1%. While the malation does not die at all (0.0%). In 60 minutes P. h. capitis had the lowest LT50 and LT90 in permethrin with a concentration of 1%. also that permethrin with AChE, GST, and oxidase activity decreased in the permethrin group, whereas in the malathion group the activity of AChE, GST, and oxidase increased. Conclusion: Permetrin has efficacy against P. h. capitis which is better than malation and permetrin can still be used as a pediculoside.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frieda Bolang
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Metodologi: Permetrin (Piretroid sintetik) merupakan insektisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dan toksisitas yang sangat rendah terhadap mamalia dan organisme nontarget. Permetrin pernah digunakan dalam pengendalian vektor malaria. Pada penelitian ini ingin diketahui berapa konsentrasi permetrin untuk membunuh larva Aedesaegypti di laboratorium dan di lapangan, yang nantinya dapat digunakan sebagai insektisida altematif untuk pengendalian vektor DBD bila resistensi temefos terjadi. Uji ekektivitas permetrin terhadap larva Aedes Aegypti di laboratorium ditentukan dengan uji Bioassay berdasarkan standar WHO, Konsentrasi permetrin yang diuji 0,01% dengan pengenceran 0,02; 0,03; 0,04; 0,05; 0,06; 0,07 mgil.yang didapat dari penelitian pendahuluan. Uji bioassay dilakukan 3 kali ulangan dengan kontrol. Larva Aedesaegypti yang diuji adalah larva instar III akhir dan instar IV awal.dari hasil kolonisasi di laboratorium. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam perlakuan dan dicatat jumlah larva yang mati. Uji di lapangan dilakukan dalam skala kecil dengan cara meletakkan tempat perindukkan nyamuk (kendi) secara menyebar indoor dan out-door, dibiarkan nyamuk bertelur sampai menjadi larva secara alamiah. Konsentrasi permetrin pada uji di lapangan ditentukan berdasarkan hasil uji bioassay di laboratorium yang menyebabkan kematian larva 99% (LC99) yang dikalikan 10, kemudian diamati setelah 24 jam perlakuan, dan dicatat jumlah larva yang mati. Pengamatan terus dilakukan selama 48 jam sampai kendi-kendi tersebut ditemukan larva. Hasil dan Kesimpulan: Hasil uji bioassay di laboratorium menunjukkan konsentrasi yang dapat mematikan larva sebesar 50% (LC50) adalah 0,000257 mg/i dan konsentrasi yang mematikan larva sebesar 99% (LC99) adalah 0,000667 mg/i. Konsentrasi yang digunakan untuk uji di lapangan adalah 0,00667 mg/I. Hasil uji efektivitas di lapangan menunjukkan permetrin masih efektif sampai minggu ke-4 setelah perlakuan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T1118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi Islami
Abstrak :
Ae. aegypti merupakan nyamuk yang dapat menularkan berbagai patogen penyakit seperti virus, bakteri dan parasit sehingga disebut sebagai vektor. Berbagai penyakit manusia yang diperantarai oleh nyamuk Ae. aegypti antara lain adalah demam berdarah DBD , Chikungunya, Yellow Fever dan Zika. Terjadinya resistensi pada berbagai insektisida, termasuk piretroid merupakan masalah yang sekarang dihadapi di berbagai negara. Pada penelitian ini dilakukan uji bioassay WHO pada Ae. aegypti Palembang dan Jakarta dengan menggunakan insektisida piretroid permetrin 0,25 . Fragmen gen VGSC yang berkaitan dengan resistensi piretroid L982, S989, I1011, L1014, V1016 dan F1534 dari strain resistan dan sensitif diamplifikasi dan dianalisis. Uji kerentanan menunjukkan adanya resistensi pada Ae. aegypti Palembang dan Jakarta. Dari hasil analisis fragmen gen VGSC diketahui terdapat mutasi S989P dan/atau V1016G pada Ae. aegypti Palembang resistan dan S989P dan/atau V1016G pada Ae. aegypti Jakarta resistan. ...... Ae. aegypti mosquito is a vector that could transmit various pathogens, such as viruses, bacteria, and parasites. Several human diseases transmitted by Ae. aegypti mosquito are dengue fever DHF , Chikungunya, Yellow Fever and Zika. The occurance of resistance to various insecticides, including pyrethroid, is a current problem faced by various countries. In this research, a WHO bioassay test on Palembang and Jakarta Ae. aegypti was conducted using 0.25 permethrin pyretroid insecticide. VGSC gene fragments associated with pyrethroid resistance L982, S989, I1011, L1014, V1016 and F1534 of resistant and sensitive strains were amplified and analyzed. The test showed the presence of resistance in Palembang and Jakarta Ae. aegypti. From the results of VGSC gene fragment analyses, it was known that there were mutations S989P and or V1016G on resistant Palembang Ae. aegypti and S989P and or V1016G on resistant Jakarta Ae. aegypti.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library