Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Mayora Bunga Swastika
"
ABSTRAKTesis ini membahas faktor yang mempengaruhi Indonesia tidak bergabung dengan The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia ReCAAP . Indonesia sebagai negara maritim yang juga memiliki tingkat kejadian perompakan yang tinggi memilih tidak bergabung dengan ReCAAP untuk menangani perompakan. Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah norm subsidiarity yang menjelaskan adanya cognitive priors Indonesia mendorong penolakan Indonesia untuk bergabung dengan ReCAAP. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik analisis triangulasi, yaitu membandingkan data primer dengan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari wawancara dan data sekunder didapatkan dari dokumen, jurnal, dan tulisan akademik yang terkait dengan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa cognitive priors Indonesia yang berupa ide, norma, serta aturan mempengaruhi penolakan Indonesia untuk bergabung dengan ReCAAP dan memperkuat kerja sama dengan Singapura-Malaysia dalam menangani perompakan di wilayahnya.
ABSTRACT This research aims for the factors influencing Indonesia to not join The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia ReCAAP . Indonesia as a maritime country and has a high piracy incident chose to not join ReCAAP to deal with piracy. Norm subsidiarity theory was used in this research to explain Indonesia rsquo s cognitive priors that enforce Indonesia rejection in ReCAAP. This qualitative research used triangulation analysis technique that compared primary and secondary data. Primary data was obtained from interviews and secondary data was obtained from documents, journals, and website related to the research. The result has shown that Indonesia rsquo s cognitive priors, which are ideas, norms, and rules, influenced in Indonesia rsquo s refusal in ReCAAP and strengthened cooperation with Singapore Malaysia to deal with piracy in its own territory."
2018
T51244
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Retno Sekarningrum
"Sebagai penghubung antara pelabuhan utama, seperti Malaka, Singapura, Ternate, dan Makassar, Gorontalo memainkan peran penting dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di wilayah utara Sulawesi. Kondisi ini diperkuat oleh ketersediaan beragam komoditas, terutama emas dan budak. Dua komoditas penting ini telah diekspor, terutama oleh para pedagang Bugis dan Mandar, ke pasar internasional sejak abad XVI. Sayangnya, kajian mengenai perkembangan pelabuhan Gorontalo masih kurang mendapat perhatian dari para sejarawan yang hanya berfokus pada peranan pelabuhan-pelabuhan besar. Tulisan ini melihat arah perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak pada abad XVIII hingga abad XIX. Dengan menerapkan metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, tulisan ini memperlihatkan bahwa perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak mengalami dinamikanya sendiri. Dinamika itu tercermin dari hilangnya akses para pedagang Bugis dan Mandar terhadap perdagangan komoditas emas dan budak di Gorontalo sejak monopoli perdagangan VOC pada abad XVII. Monopoli perdagangan VOC atas komoditas tersebut berujung pada ketidakamanan aktivitas pelayaran-perdagangan di sekitar Gorontalo akibat maraknya perompakan oleh bajak laut dan penyelundupan"
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 6:2 (2023)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Mirza Ardi Wibawa
"Makalah ini membahas pemetaan masalah pada ekspedisi angkatan laut Hindia Belanda dalam menghadapi perompakan di Kepulauan Riau dan Laut Jawa. Masalah perompak di Kepulauan Melayu merupakan fenomena yang belum selesai sampai sekarang. Isu ini memicu perhatian sejarah maritim dan studi regional untuk mencari gejala yang membuat bajak laut endemik di daerah dan periode tertentu. Dalam kasus bajak laut abad ke-19 di perairan barat nusantara, sebagian sejarawan berpendapat bahwa kolonialisme menjadi pemicu utama para penguasa Melayu untuk memindahkan armada bajak lautnya sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem perdagangan yang opresif dan eksklusif oleh bangsa Eropa. Oleh karena itu, perubahan struktur dari lahirnya kolonialisme di tengah dunia maritim tradisional berpengaruh pada kemunculan bajak laut di perairan nusantara, khususnya Kepulauan Riau dan Laut Jawa. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan menganalisis dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial dan surat kabar selama abad ke-19.
This paper discusses the problem of mapping in the Dutch East Indies naval expedition ti confront piracy in the Riau Islands and Java Sea.The problem of pirates in the Malay Archipelago is an unfinished phenomenon. This issue triggers the attention of maritime history and regional studies to look for the symptoms that make pirates endemic in certain areas and periods. In the case of 19th-century piracy in the western waters of the archipelago, some historians argue that colonialism was the main trigger for the Malay rulers to move their pirate fleet as a form of resistance to the oppressive and exclusive trading system by the Europeans. Therefore, the structural changes from colonialism in the traditional maritime world affect the emergence of pirates in the archipelago, especially the Riau Islands and the Java Sea. This study uses the historical method by analyzing documents published by the colonial government and newspapers during the 19th century."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Muhammad Shafwan Musyaffa
"Perompakan maritim merupakan sebuah ancaman keamanan yang telah menjadi momok bagi berbagai peradaban maritim dunia sejak masa lampau. Di Asia Tenggara khususnya, ancaman ini telah berevolusi di masa kontemporer menjadi salah satu tantangan keamanan maritim yang masih harus ditanggulangi oleh negara-negara di wilayah tersebut. Ramainya lalu lintas di Selat Malaka, luasnya wilayah Laut Tiongkok Selatan, dan taburan pulau-pulau di Selatan Filipina menjadi tempat perburuan perompak kontemporer yang ditakuti oleh komunitas maritim di Asia Tenggara. Berbagai bentuk upaya untuk melawan perompakan telah dirumuskan oleh aktor-aktor terkait di Asia Tenggara sejak kemunculannya pada awal tahun 1990-an, dari tindakan-tindakan unilateral, hingga kerjasama dengan pihak ekstra-regional. Tinjauan literatur ini mengumpulkan dan menganalisis 29 literatur menggunakan metode taksonomi dan membaginya menjadi dua tema, yakni: 1) perompakan sebagai ancaman keamanan, yang akan menjelaskan bentuk-bentuk dan faktor-faktor dari perompakan di Asia Tenggara; dan 2) upaya penanggulangan perompakan, yang akan membahas kerjasama penanggulangan perompakan di Asia Tenggara berdasarkan pendekatan hukum dan pendekatan keamanan. Dari pembahasan literatur mengenai tema tersebut, penulis kemudian melakukan mengidentifikasi konsensus, perdebatan, dan temuan-temuan lain yang menonjol dalam literatur-literatur tersebut. Sebagai hasil penelusuran dalam tulisan ini, penulis menemukan bahwa perompakan dikategorisasikan berdasarkan tingkat keorganisasian dan kekerasan, dipengaruhi oleh tujuh faktor pembentuk, serta upaya kerjasama penanggulangannya dihambat oleh karakteristik negara-negara Asia Tenggara yang mementingkan kedaulatan negara dan integritas wilayah di atas kerjasama. Namun demikian, perkembangan literatur ini juga menunjukkan adanya upaya peningkatan kerjasama dan pemecahan masalah yang semakin terfokus dengan bentuk-bentuk adaptasi terhadap tantangan-tantangan yang telah identifikasi tersebut.
Maritime piracy is a security threat that has become a scourge for various world maritime civilizations since the earliest days. In Southeast Asia in particular, this threat has evolved in contemporary times to become one of the most troublesome maritime security challenges that still must be addressed by countries in the region. The rich maritime traffic in the Straits of Malacca, the vast area of ââthe South China Sea, and the sprinkling of islands in the Southern Philippines are ideal hunting grounds for contemporary pirates, feared by maritime communities in Southeast Asia. Various forms of efforts to fight piracy have been formulated by relevant actors in Southeast Asia since its emergence in the early 1990s, ranging from unilateral actions by states, to cooperation with extra-regional parties. This literature review collects and analyzes 29 literature using the taxonomy method which is mainly divided into two themes, namely: 1) piracy as a security threat, which will explain the forms and factors of piracy in Southeast Asia; and 2) counter-piracy efforts, which will discuss cooperation against piracy in Southeast Asia based on a legal approach and a security approach. From the discussion of the literatures on the theme, the author then identify the consensuses, debates, and other findings that stand out among the literatures. From this analysis, the author finds that piracy is categorized based on the levels of organization and violence, is influenced by seven forming factors, and that cooperative efforts to combat it are hampered by the characteristics of Southeast Asian countries, which prioritizes state sovereignty and territorial integrity above cooperation. However, the development of this literature also shows that there are efforts to increase cooperation and problem-solving measures that are increasingly focused on the adaptations to the challenges that have been identified."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Mirza Ardi Wibawa
"
ABSTRAK Skripsi ini membahas situasi keamanan perairan Selat Malaka dan Kepulauan Riau yang berfokus pada fenomena bajak laut modern. Keberadaan bajak laut di perairan ini sendiri sudah ada sejak masa kolonial, namun penemuan mesin uap dan perkembangan teknologi kapal laut sempat membuat bajak laut tidak lagi nampak. Terhitung sejak berakhir Perang Dunia II, bajak laut kembali muncul dan bertransformasi dalam bentuk modern dilihat dari persenjataan, strategi dan sasarannya. Bajak laut modern di Selat Malaka dan Kepulauan Riau menjadi suatu fenomena mengingat perairan ini merupakan kawasan paling rawan selama periode 1990an hingga awal 2000an. Skripsi ini menjelaskan bagaimana negara-negara selat, khususnya Indonesia dalam merespon ancaman ini melalui kebijakan dan kerjasama selama periode 1982 mdash;2005. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah dengan studi pustaka melalui buku, jurnal dan surat kabar sezaman.
ABSTRACT This thesis discusses about security situation in the Malacca Strait and Riau Islands which focuses on the phenomenon of modern pirates. The existence of pirates in these waters itself has existed since colonial times, but the invention of the steam engine and the development of marine technology could make the pirates no longer appears. Since the end of World War II, pirate re emerged and transformed into modern views by its weaponry, strategy and objectives. Modern pirates in the Malacca Strait and the Riau Islands became a phenomenon considering these waters is the most vulnerable region during the period of the 1990s to early 2000s. This thesis describes how straits countries, particularly Indonesia to response this threat through policies and regional cooperation during 1982 mdash 2005. The method used is the historical method with literature studies through books, journals and current newspapers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66162
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library