Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rintan Puspitasari
"Penelitian ini membahas tentang persekusi doxing yang terjadi pada jurnalis saat ini. Bukan hanya gaya hidup yang mengalami pergeseran di era digital seperti sekarang. Bentuk kekerasan terhadap jurnalis juga mengalami perubahan. Persekusi doxing, istilah yang masih cukup awam dalam kekerasan terhadap jurnalis, yang selama ini lebih banyak diketahui kekerasan hanya terjadi saat jurnalis bertugas di lapangan. Istilah persekusi sendiri selama ini erat dikaitkan dengan bentuk kekerasan yang terjadi secara fisik, merundung orang beramai-ramai. Sementara doxing, diketahui sebagai bentuk membuka identitas seseorang untuk kemudian beramai-ramai dihujat, atau tindakan penyelewengan lainnya. Kasus doxing terbaru terjadi pada jurnalis Liputan 6.com, Cakrayuri Nuralam. Peristiwa ini terjadi ketika ia menulis artikel tentang cek fakta untuk verifikasi adanya isu kalau politisi PDI Perjuangan Arteria Dahlan cucu dari pendiri PKI di Sumatra Barat (sumber: www.detik.com, 24/9/2020) Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya pola baru viktimisasi terhadap jurnalis di Indonesia dalam hal ini adalah persekusi doxing. Dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber dari kalangan jurnalis ataupun organisasi jurnalis, penelitian berhasil menemukan kesamaan pola terjadinya persekusi doxing.

This research discusses the doxing persecution that occurs in journalists today. It's not just lifestyles that are experiencing a shift in the digital era like now. The form of violence against journalists has also changed. Persecution that is carried out, a term that is still quite common in violence against journalists, which so far is less known that violence only occurs when journalists are in the field. The term persecution itself has always been the management of disasters with violence that occurs physically, harassing people in large groups. Meanwhile, doxing is known as a form of revealing one's identity and then getting blasphemed or other acts of abuse. The latest doxing case happened to Liputan 6.com journalist, Cakrayuri Nuralam. This incident occurred when he wrote an article about a fact check to bring up the problem if PDI-P politician Arteria Dahlan was the grandson of the PKI founder in West Sumatra (source: www.detik.com, 24/9/2020) This research was conducted to prove new patterns of victimization. Against Indonesian journalists in this case is doxing execution. By using the in-depth interview method with several sources from journalists and journalist organizations, the research was able to find patterns of persecution."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Sudarmanto
"Sepanjang tahun 2017 ketika berlangsung kontestasi politik di Indonesia, media sosial dibanjiri konten ujaran berbahaya yang memantik kekerasan. Fenomena kekerasan di ruang maya dan ruang nyata itu merupakan bentuk perilaku di luar struktur,norma, dan nilai-nilai umum yang disepakati bersama. Penelitian dalam perspektif kriminologis ini mengintegrasikan teori-teori TransisiRuang (Jaishankar,2008), Anomie (Durkheim, 1930 dan Merton,1968), Strukturasi (Giddens,1979,1984) dan Arkeologi/Genealogi (Foucault, 1972, 1974). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif menggunakan metode kajian pustaka dan metode arkeologi - genealogi Foucault, untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Metode kajian pustaka dilakukan dengan menelusuri penelitian-penelitian tentang konsep dan teori anomie.Sedangkan metode arkeologi-genealogi Foucault untuk mengkaji diksi ujaran berbahaya di jejaring media sosial. Berlandaskan realitas perilaku pengguna mediasosial pada tahun 2017 itu, tujan integrasi teori untuk merekonseptualisasi anomie dari ruang  nyata ke ruang maya. Temuan bernilai kebaruan dalam penelitian ini adalah  bahwa perilaku mengunggah ujaran berbahaya di ruang maya merupakan bentuk penyimpangan yang disebut sibernomik, dan kondisi dibanjirinya media sosial dengan berbagai ujaran berbahaya disebut sebagai sibernomie. Selanjutnya ditemukan pula bahwa terdapat faktor kontekstualitas yang menyebabkan sibernomik dapat memantik tindakan persekusi dan nonpersekusi.

Throughout 2017 when political contestation took place in Indonesia, social media was overflowed with harmful discourse content that ignited violence. The phenomenon of violence in cyberspace and physical space is a form of behavior outside the structure, norms, and general values that are mutually agreed upon.Current research in this criminological perspective integrates theories of Space Transition (Jaishankar,2008), Anomie (Durkheim,1930 and Merton,1968), Structuration (Giddens,1979,1984) and Archeology/Genealogy (Foucault, 1972, 1974). Current research is a  qualitative study utilizing literature review method and archeology-genealogy method of Foucault, to answer two research questions. The literature study method is carried out by tracing research on anomie concepts and theories.Where as Foucault's archeology-genealogy method to study the diction of harmful discourse on social media. Based on the reality of the behavior of social media users in 2017,the integration of theory is to conceptualize anomie from physical space to cyberspace. The novelty of this research is that the behavior of uploading harmful discourses in cyberspace is a form of deviance called cybernomic, and the social media over flowing of various harmful discourse is referred to as cybernomie. Further more, current research also found that there are contextual factors that cause cybernomic to trigger both persecution and non-persecution actions."
Depok: Universitas Indonesia, 2020
D2733
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Firli Ashari
"Di Indonesia, komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masih dianggap sebagai ancaman atas budaya nasional hingga penyebab terjadinya bencana alam. Kenyataan ini membuat mereka memilih menjadi diaspora di luar negeri. Jika demikian, bagaimana strategi komunitas LGBT diaspora Indonesia untuk mengartikulasikan identitasnya? Apa saja bentuk persekusi yang mereka terima? Penelitian ini mengeksplorasi strategi kedua anggota komunitas LGBT diaspora Indonesia dalam menghadapi persekusi ketika mengartikulasikan identitasnya. Penelitian ini menemukan bahwa anggota komunitas LGBT diaspora Indonesia mengartikulasikan identitasnya melalui TikTok dengan menunjukkan identitasnya secara gamblang sebagai pria gay. Selain itu, mereka juga menggunakan strategi lain seperti membuat video-video parodi tentang identitasnya sebagai pria gay, membuat video menari dan melakukan lip-sync dengan mengikuti lagu-lagu yang viral, menunjukkan kebersamaan dengan keluarganya, memperlihatkan keseharian yang tidak berhubungan dengan homoseksual, mengedukasi pengguna TikTok tentang aspek yang tidak berhubungan dengan homoseksual, menjelaskan momen-momen penting sebagai pria gay yang tinggal di negara yang melegalkan komunitas LGBT, hingga merespons secara serius pertanyaan atau pernyataan yang hadir dari netizen asal Indonesia. Artikulasi identitas yang menghasilkan persekusi ini dihadapi dengan menggunakan dua strategi: visibilitas sebagai gay dengan menjelaskan pandangan anggota komunitas LGBT tentang betapa “anehnya” penampilan atau perilaku mereka serta melakukan mock impoliteness sebagai upaya yang memerlukan interaksi berupa percakapan atau perilaku yang dapat dievaluasi sebagai ketidaksopanan oleh komunitas LGBT.

In Indonesia, the lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) community is still considered a threat to national culture and as a cause of natural catastrophes. As a result, many have chosen to migrate to other nations and become diasporas. How do LGBT Indonesian diaspora members articulate their identities in this instance? What sorts of persecution were they subjected to? This study investigates how two Indonesian LGBT diaspora individuals articulate their identities in response to persecution. This study found that gay men in the Indonesian diaspora utilize TikTok to articulate their identities. They also make parody videos about their gay men identities, dance and lip-sync to viral songs, show togetherness with their families, show aspects of daily life unrelated to homosexuality, educate TikTok users about non-homosexual aspects, explain significant moments as gay men living in a country where the LGBT community is legal, and take negativity seriously. Two strategies are employed to combat the articulation of identities that leads to persecution: visibility as gay by explaining how “strange” their appearance or behavior is in the eyes of the LGBT community and mock impoliteness by engaging in conversation or behavior that the LGBT community would consider impolite."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Irsyad Mohammad
"ABSTRAK
Bagaimanakah suatu konflik beragama ditangani di masa lalu? Sejarah menawarkan jawaban yang menarik, yakni Debat Terbuka Persis-Ahmadiyah Qadian di Bandung dan Batavia tahun 1933. Inilah debat terbuka satu-satunya yang memiliki notulensi resmi officieel verslag debat yang dapat diakses hingga hari ini. Sekalipun Debat Terbuka Persis-Ahmadiyah Qadian merupakan peristiwa menghebohkan di masa itu hingga dihadiri perwakilan organisasi serta tokoh-tokoh penting dan diliput nyaris semua media massa terkemmuka saat itu, ternyata tidak lagi diketahui dan dikenal di masa kini. Di antara konflik beragama dalam Islam, konflik dan resistensi terhadap Ahmadiyah dapat dianggap sebagai yang terbesar di Indonesia belakangan ini dengan jumlah korban perusakan, pembakaran, dan penghilangan nyawa yang signifikan. Resistensi terhadap Ahmadiyah tersebut bahkan membuat pemerintah mengeluarkan SKB tiga menteri sebagai upaya menangani masalah ini. SKB tiga menteri tersebut sejauh ini belum berhasil meredam persekusi terhadap Ahmadiyah. Tulisan ini merupakan penelitian sejarah atas Debat Terbuka yang menghebohkan itu, juga sejarah ringkas kelahiran Ahmadiyah di India, sejarah masuknya Ahmadiyah ke Indonesia Hindia Belanda, waktu itu , inti ajarannya, dan reaksi umat Islam Indonesia waktu hingga berpucak pada Debat Publik Ahmadiyah vs Persis. Ada kesejajaran antara lahirnya Ahmadiyah di India dengan lahirnya gerakan modernisme Islam di Hindia Belanda. Semangat modernisme Islam itulah yang menghasilkan ldquo;kecelakaan sejarah rdquo; ketika tiga santri Sumatra Thawalib yang hendak belajar ke Al-Azhar Mesir disarankan oleh para gurunya untuk belajar ke India agar memperluas sumber bandingan bagi gerakan modernisme Islam Hindia Belanda. Belakangan, tokoh-tokoh Sumatra Thawalib yang meresistensi kehadiran Ahmadiyah di Sumatera Barat, dan berpuncak pada resistensi keras Persis di Jawa Barat. Dabat terbuka antara Persis vs Ahmadiyah di Bandung dan Batavia berjalan keras dan panas namun sepenuhnya berjalan tertib dan kadang di sana-sini menghadirkan ldquo;kelucuan rdquo; dari kedua belah pihak. Sepenggal sejarah tersebut menunjukkan bahwa perbedaan dan konflik krusial dalam agama ternyata dapat ditangani dengan cara yang adil, beradab, dan bermartabat dalam bentuk Debat Terbuka yang memperkaya dan meningkatkan mutu intelektual umat beragama dibanding brutalitas persekusi dan kekerasan.

ABSTRACT
How was a religious conflict solved in previous time History offers an interesting answer The Public Debates of Persis vs Ahmadiyya Qadian in Bandung and Batavia, in 1933. These public debates are the only public debates that have official archives officieel verslag debat accessible to public until recent day. Although these public debates were considered remarkable event at that time, and were attended by representatives of organizations and important figures and were covered by almost all prominent mass media at the time, today, we can say that this event was forgotten. Among religious conflicts in Islam, the conflict and resistance to Ahmadiyya can be regarded as the largest in Indonesia, which includes significant numbers of victims of destruction, arson and disappearance. The resistance to Ahmadiyya had even made the government issued a decree signed by three ministers as an effort to solve this problem. However, the decree seemed not succeeded in stifling the persecution of Ahmadiyya. This paper is a historical study of the above mentioned public debates, as well as a brief history of the birth of Ahmadiyya in India, the history of Ahmadiyya rsquo s presence in Indonesia, the core of its doctrine, and the Indonesian Muslims reaction to them, up to the point 0f the public debates between The Ahmadiyya vs Persis. We can notice a kind of parallelism between the birth of Ahmadiyya in India and the birth of the Islamic modernism movement in the East Dutch Indies. It can be said that the spirit of Islamic modernism had produce an ldquo accidental history rdquo when the three Sumatran Thawalib rsquo s students who were previously planning to study in Al Azhar University, Egypt, were suggested by their teacher to study in India in order to enrich Islamic modernist movement in Dutch East Indies. Later on, the Sumatran Thawalib rsquo s prominent figures who noticed a different principal doctrine between them and Ahmadiyya began to show their resistance. The resistance to Ahmadiyya in West Java, led by Persis, was rapidly increased. The Public Debate between Persis vs. Ahmadiyya in Bandung and Batavia were quite lively and aggressive, yet still managed to maintain fairness and good manners from both sides. There were even some unintended humor happened in the middle of the debates. This piece of history shows us that crucial differences and conflicts within religions can be discussed in a fair, civilized and dignified way, such as y holding public debates that are more likely to enrich and improve our religious an intellectual quality than the brutalism of persecution."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library