Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asrof Sibilli
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pertambangan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang penerapan pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana pertambangan tanpa izin. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai dasar peraturan pertambangan di Indonesia menyebut subjek hukum korporasi dengan frasa badan usaha. Dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengakomodir adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang berstatus badan hukum. Namun dalam praktiknya belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dan membebankan sanksi pidana dalam tindak pidana pertambangan tanpa izin, walaupun secara teori korporasi tersebut dapat dibebankan sanksi pidana.
ABSTRACT
This thesis discusses about corporate criminal liability in mining offences in Indonesia. The purpose of this research is to find out about corporate criminal liability implementation in mining offences without permit. The Law No. 4 Year 2009 about Minerals and Mining Coal as basic mining regulation in Indonesia mentions subject of legal entities as business entities. The provisions of the law on mining mineral coal accommodate the imposition of criminal liability for corporate with legal entity status. But practically, there have never been court verdicts that make corporation into legal subject and impose criminal sanctions in the offences of mining without permit, although theoretically, corporations can be imposed by some criminal sanctions.
2015
S60389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
Abstrak :
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.
Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariman Satria
Abstrak :
ABSTRACT
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Arija Br
Abstrak :
ABSTRAK
Karakteristik delik korporasi yang berbeda dari street crime membuat sejumlah ahli memandang bahwa ultimum remedium tidak lagi relevan dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertanyaannya adalah (1) bagaimanakah konsep dan makna ultimum remedium dalam hukum pidana dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia? (2) bagaimana perumusan ultimum remedium di dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi? dan (3) bagaimanakah implementasi ultimum remedium dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia?. Penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan multi-pendekatan. Wawancara dilakukan untuk mengklarifikasi data sekunder yang ada. Hasilnya menunjukkan bahwa sejak tahun 1955-2016 terdapat 115 UU yang menempatkan korporasi sebagai subjek delik, diantaranya korupsi, perpajakan, lingkungan hidup, dan pencucian uang. Keempat UU yang dianalisis menunjukkan bahwa administrative penal law cenderung bersifat ultimum remedium dibandingkan UU Pidana. PERMA No.13 Tahun 2016 cenderung bersifat primum remedium karena substansinya lebih banyak memuat aturan prosedural daripada substantif. Sedangkan RKUHP 2015 memiliki pola ultimum remedium yang kuat, yakni adanya pedoman pemidanaan, double track system, dan pidana tambahan berupa pembubaran korporasi merupakan sarana terakhir. Putusan hakim cenderung bersifat primum remedium (analisis dilakukan terhadap putusan PT Giri Jaladhi Wana, Asian Agri Group, dan PT Kallista Alam). Pengecualian ultimum remedium seperti itu boleh saja dilakukan mengingat karakteristik delik korporasi, yakni serius, lintas batas, mengancam sendi perekonomian, dan korban yang samar dan luas. Namun demikian, terdapat pula kemungkinan penerapan ultimum remedium melalui partisipasi korporasi dalam kebijakan hukum pidana.
ABSTRACT
The characteristics of corporate offense that are different from street crime make some experts consider that ultimum remedium is no longer relevant in the context of corporate criminal liability. The questions are (1)how is the concept and meaning of ultimum remedium in criminal law and its relation to human rights? (2)how is ultimum remedium formulated within the context of corporate criminal liability? and (3)how is the implementation of ultimum remedium in corporate criminal liability in Indonesia?. This research is juridical-normative with multi-approach. Interviews are conducted to clarify the existing secondary data. The results are: Since 1955-2016 there are 115 laws that place corporations as the subject of offenses, including corruption, taxation, environment, and money laundering. The four laws analyzed indicate that administrative penal law tends to be ultimum remedium compared to the Criminal Acts. Supreme Court Regulation No.13 of 2016 tends to be primum remedium because the substance contains more prosedural law than substantive. While Model Penal Code 2015 has a strong ultimum remedium pattern, namely the sentencing guidelines, double track system, and corporate dissolution is a last resort of additional criminal sanction. The judge's verdict tended to be primum remedium (analysis was made on PT Giri Jaladhi Wana, Asian Agri Group and PT Kallista Alam). Such exclusion of ultimum remedium are justifiable because of corporate offences that are serious, transboundary, threatening the economic pillar, and the vague and widespread of victim. However, there is also the possibility of applying ultimum remedium through corporate participation in criminal law policy.
2017
T48755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Putri Vera
Abstrak :
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu sektor yang cukup rentan dan berpotensi terhadap praktek tindak pidana korupsi. Selain melibatkan pejabat pemerintah dan pengurus korporasi, korupsi pada sektor ini juga melibatkan korporasi. Adapun kasus yang dibahas dalam penelitian ini adalah Putusan No. 94/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst jo. Putusan No. 3/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus. Dari hasil penelitian didapat bahwa dalam kasus ini, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang digunakan adalah pengurus dan korporasi sebagai pembuat dan keduanya yang bertanggungjawab. Dasar pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dilakukan dengan melihat actus reus dan mensrea yang dilakukan oleh directing mind korporasi, kemudian dianggap sebagai actus reus dan mensrea dari korporasi. Sanksi pidana berupa pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan terhadap korporasi tidak memberikan efek deterrence. Oleh karena itu perlu dimaksimalkan pengenaan sanksi pidana lainnya, yaitu berupa pencabutan ijin usaha. ......Public procurement is one of the most vulnerable and potentially corrupt practices. In addition to involving government officials and corporate management, corruption in this sector also involves corporations. The case discussed in this research is Verdict No. 94 Pid.Sus TPK 2017 PN.Jkt.Pst jo. Verdict No. 3 Pid.Sus TPK 2018 PT.DKI. This research uses normative legal research method, with statute approach and case approach. From The results of the research is that the corporate criminal liability system used on this case is the management and the corporation both as perpetrators of criminal acts and both also must bear criminal responsibility. The basis for the imposition of criminal liability to corporations is by looking at the actus reus and mensrea of the ldquo the directing mind rdquo of the corporation, then considered as the actus reus and mensrea of the corporation. Criminal sanctions in the form of replacement payments imposed on corporations is not provide deterrence effects. Therefore it is necessary to maximize the imposition of other criminal sanctions, such as the revocation of business permit.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Moh. Helmi Syarif
Abstrak :
ABSTRAK
Terjadinya kecelakaan atas transportasi massal yang menimbulkan banyaknya korban meninggal dunia, adakalanya ditengarai karena ulah manajemen, seperti misalnya perusahaan otobus, yang tidak secara teratur melakukan pemeriksaan kelaikan alat transportasinya, atau tidak memenuhi kelayakan teknis dengan tujuan menghemat biaya investasi yang mana perbuatan itu pada akhirnya dapat mengabaikan faktor keselamatan penumpang bus dan pengguna jalan yang lain, sehingga mengakibatkan kecelakaan yang fatal yang banyak orang meninggal atau luka-luka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diundangkan tanggal 22 Juni 2009 memunculkan perspektif baru dalam hukum pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana bagi perusahaan angkutan umum sebagaimana ketentuan di pasal 315 ayat (1) yang menyatakan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh perusahaan angkutan umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap perusahaan angkutan umum dan/atau pengurusnya. Namun demikian, walaupun pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum sudah diatur dalam ketentuan pidana, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum, para penegak hukum masih saja menempatkan pengemudi kendaraan sebagai subyek tindak pidana yang harus bertanggungjawab secara pidana. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi dalam ketentuan pidana yang mengatur Perusahaan Angkutan Umum di Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, dapatkah ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dipergunakan untuk menjerat perusahaan angkutan umum dalam kasus kecelakaan lalu lintas, apakah yang menjadi hambatan dalam penegakan hukum terhadap perusahaan angkutan umum dalam kasus tindak pidana lalu lintas. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Perusahaan Angkutan Umum sebagai subjek tindak pidana hanya diatur di 3 (tiga) pasal saja yaitu pasal 308 yang mengatur tentang pelanggaran izin trayek, pasal 309 tentang pelanggaran karena tidak mengikuti asuransi ganti kerugian kepada penumpang dan pasal 313 karena pelanggaran karena tidak mengasuransikan penumpang dan awak kendaraannya. Secara teoritis, ajaran/doktrin Identifikasi dapat diterapkan di Pasal 308 dalam ketentuan pelanggaran izin trayek, yang mana ketentuan ini mensyaratkan adanya directing mind walaupun pelaku fisiknya adalah pengemudi angkutan umum. Doktrin Strict Liability dapat digunakan dalam pasal 309 serta pasal 313. Namun demikian pasal-pasal tersebut tumpang tindih atau berbenturan dengan pasal 199, yang mana pasal ini mengatur ketentuan yang sama hanya sanksinya berupa sanksi administratif. Berdasarkan analisa contoh kasus, secara teoritis perusahaan angkutan umum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hal kecelakaan yang diakibatkan ketidaklaikan kendaraan. Namun dalam dalam pelaksanaannya belum dapat dilakukan karena undang-undang tidak mengatur secara jelas dalam hal apa dan kapan perusahaan angkutan umum dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana dan hambatan yuridis belum diakuinya korporasi dalam hukum acara pidana. Perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009, khususnya berkaitan dengan kejahatan lalu lintas.
ABSTRACT
The occurence of the accident on mass transportation which caused many victims died sometimes suspected because of the manner of transportation transportation instrument, or not meet technical feasibility for the purpose to save the cost that where the dees ultimately don?t care about passenger safety and other road users resulting in a fatal accident that many people killed or injured. Republic Indonesia Act number 22/2009 on traffic and road transportaion which was enacted on 22 June 2009, led to a new perspective in the criminal law regarding criminal responsibility for transportation companies as stipulated in article 315 paragraph (1) expressed in terms of the offenses are committed by public transport companies, the criminal charges aganist the public trasport company and/or managers. Despite, the criminal liability of transportation companies is subjected to the provisions of criminal, in case of traffic accidents involving trasportation companies, the law enforcer is still only puts the driver?s vehicle as the subject of criminal act should be criminally liable. This research was conducted to answer the question of wether the doctrine of corporate criminal responsibility of criminal provisions in act no.22/2009 that regulate transportation company, can the criminal provisions in the Act No.22/2009 on road traffic and transport used to trap transportation companies in case of a traffic accident, what are the bottlenecks in the law enforcement against transportation companies in case of traffic offences. This is a normative research. The result showed that the transportation company as a criminal offense subject set at 3 articles only, namely article 308 which regulates the route permit violations, Article 309 of violations for not follow the insurance compensation to passangers, and Article 313 for violation not insuring his passanger and crew. Theoritically, doctrine of identification can be applied in violation of the provision of article 308 in the route permit, which requires a directing mind despite his physical perpetrator is transportation company drivers. Doctrine strict liablility can be used in article 309 and article 313. However, these provisions overlap or conflict with article 199, which sets out the provisions just the same which is their different in sanctions, article 199 have an administrative sanctions nor article 308 have a criminal responsibility. Based on the analysis of case, theoritically transportation company can be held accountable in a traffic accidents because of incapable and unsafe company's vehicle. But in its implementation, it is not success because the regulation does not set clearly in terms of what and when the transportation company can be said to commit a criminal act and there is legal barriers the corporation have not admitted in the act of criminal trial procedure. It is necessary to improve criminal liability of transportation company in act number 22/2009, particularly with regard to traffic crimes.
2013
T32590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Richard Loekito
Abstrak :
Pertanggungjawaban pidana korporasi bukan hal yang baru di hukum Indonesia. Terbukti dengan sejak tahun 1951 sudah terdapat perundang-undangan di Indonesia yang menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selanjutnya perkembangan pertanggungjawaban korporasi semakin terlihat dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Namun sangat di sayangkan bahwa di dalam KUHP, korporasi belum dianggap sebagai subjek hukum pidana. Ditambah dalam KUHAP yang kita milikipun belum terdapat hukum acara mengenai korporasi. Dengan tidak adanya pedoman pasti mengenai pertanggungjawaban korporasi baik dalam KUHP dan KUHAP, maka dalam setiap perundangundangan pengertian dan sebutan korporasi pun berbeda-beda, sehingga hal tersebut menimbulkan permasalahan. Dalam tesis ini akan dibahas secara khusus apakah partai politik termasuk kedalam pengertian korporasi, khususnya dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kemudian akan dibahas mengenai bagaimana melakukan pencucian uang melalui partai politik, apa dampak yang ditimbulkan apabila terdapat partai politik yang melakukan pencucian uang serta, apa akibat hukum dari partai politik yang terlibat melakukan tindak pidana pencucian uang. Sebagai bagian terakhir akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai permasalahan tersebut agar hukum Indonesia dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum. ...... Indonesia is already acknowledge Corporate crime responsibility. Its proven that since 1951 indonesia already have a regulation that accepted corporation as a subject of criminal law. After that in the progress about corporate criminal responsibility, theres a lot of regulation outside the criminal code that legislate about it. That makes in Indonesia criminal code, does not have the regulation about corporate criminal. The same goes to the regulation of procedural law in Indonesia. The problem that we have is because the rule about corporate criminal responsibility is spread in many regulations, that makes the definitions about it is based on many regulation. This thesis will explain about the definition about corporate criminal responsibility especially about political parties. Is the definition of political parties are included in the definition of corporation based on regulation about money laundering. It will be discussed about how to do it in political party. Last but not least it will discuss about legal consequences if political parties are proven doing a money laundering. At the end of this thesis there will be a conclusion and suggestion about the problems so that Indonesia will have a better regulation about corporate criminal responsibility especially about political party criminal responsibility.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketaren, Alexander Edward
Abstrak :
Dewasa ini, tindak pidana dapat dilakukan oleh Yayasan. Yayasan yang pada dasarnya bertujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam penelusuran yang Penulis lakukan, tidak terdapat Yayasan yang dibebankan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Dua kasus tindak pidana yang melibatkan Yayasan dalam melakukan tindak pidana adalah kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Yayasan Cakradonya. Skripsi ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana Yayasan serta penerapannya dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Ketua Yayasan Cakradonya. Berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dan Yayasan. Skripsi ini akan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu Yayasan. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa Yayasan termasuk dalam definisi korporasi dalam beberapa undang-undang pidana khusus Indonesia, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yayasan dapat dibebankan pertanggungjawaban dalam hal tindak pidana dilakukan oleh orang yang berwenang mewakili dan mengatasnamakan Yayasan, untuk menguntungkan Yayasan, oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain, dan dalam lingkungan Yayasan baik secara sendiri maupun bersama-sama. Dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian, tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Berkarya Dalam Pujian, sedangkan dalam kasus Ketua Yayasan Cakradonya, tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Cakradonya karena tidak dilakukan untuk menguntungkan Yayasan Cakradonya. ...... Today, criminal offenses can be committed by the Foundation. Foundations that are basically aimed at social, religious, and humanitarian fields, are used as instruments for committing criminal acts. However, in the searches that the Author did, there was no foundation charged with liability for the offenses he committed. Two criminal cases involving the Foundation in committing a crime are the case of the Chairman of Berkarya Dalam Puji Foundation and Cakradonya Foundation. This thesis tries to answer questions about the concept of criminal responsibility of the Foundation and its application in the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation and the Chairman of Cakradonya Foundation. Based on theories of corporate criminal liability and foundation, this thesis will analyze the criminal liability in the case of criminal acts committed by a Foundation. From the results of the analysis, it is known that the Foundation is included in the definition of corporations in several special criminal laws of Indonesia, such as the Law on the Eradication of Criminal Trafficking in Persons and the Corruption Eradication Act. The foundation may be liable in the event of a criminal act committed by a person authorized to represent and on behalf of the Foundation, to benefit the Foundation, by a person who has a working relationship or other relationship, and within the Foundation environment either individually or collectively. In the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation, the trafficking of persons trafficked can be attributed as the act of Berkarya Dalam Pujian Foundation, while in the case of the Chairman of Cakradonya Foundation, the criminal act of corruption committed cannot be attributed to Cakradonya Foundation because it is not commited to benefit the Cakradonya Foundation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Majory
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini menganalisis bagaimana peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup di Indonesia dan di negara lain mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi. Di Indonesia, ketentuan dalam peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan masih kerap gagal dalam membedakan pertanggungjawaban pidana untuk korporasi dan pengurus korporasi. Dalam praktiknya, pengurus korporasi dapat dipidana atas tindakan korporasi tanpa dibuktikan adanya kesalahan dan bahkan tanpa dijadikan terdakwa terlebih dahulu. Padahal, terdapat teori yang berbeda untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan pengurus korporasi. Mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan putusan Australia dan Inggris serta teori-teori pertanggungjawaban pidana, tulisan ini mengkritik peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan Indonesia terutama dalam lingkup pencemaran dan perusakan lingkungan. Seharusnya pengurus korporasi hanya dapat dipidana apabila terlibat dalam pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, dan bukan semata-mata karena jabatannya sebagai direktur dalam korporasi. Tulisan ini menyarankan diperjelasnya ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi terutama terkait dengan lingkungan hidup.
ABSTRACT
This thesis analyses how environmental regulations in Indonesia and other States respectively regulate corporate criminal liability and director 39 s criminal liability. Indonesian regulations and courts often fail to distinguish between corporate criminal liability and director 39 s criminal liability. In practice, director 39 s may be held guilty without being at fault or even without being made a defendant for a corporate crime. Based on Australian and English regulations and courts decisions as well as theories on criminal liability, this writing criticizes Indonesian regulation and court decisions especially with regards to environmental pollution. A director should only be convicted if the director is involved in the environmental pollution done by the corporation, and not merely because of his or her position as the director of the corporation. This writing provides a recommendation in light of the uncertainty surrounding corporate criminal liability and director 39 s criminal liability especially in the context of environmental law in the hope to provide clarity on the matter.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>