Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bisset, Alison
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2014
345 BIS t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Abdussalam
Jakarta: PTIK, 2003
345 ABD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma. Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC) yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan (co-perpetration).
ABSTRACT
This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration.
2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sefriani
Abstrak :
ATCA restricts its jurisdiction by imposing some doctrines such as minimum contact, forum non-convenience political question, international commity and act of state doctrine. Besides that, it also ignores the international criminal law principles such as presunption of innocence, expeditious trial, equity of arms and the atendance of the suspect in the court. The existence of par im parem in habet imperium principles recognized in international law causes the decision of American Court is meaningless.
Universitas Islam Indonesia, 2006
345 JHUII 13:2 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Almer Reyhan Irsali
Abstrak :
Ketentuan mengenai kejahatan genosida yang terdapat dalam Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional dan Elements of Crimes mensyaratkan elemen baru yang disebut sebagai elemen kontekstual. Ketentuan mengenai elemen kontekstual dari kejahatan genosida mensyaratkan tindakan yang dilakukan atas pola tindakan yang sama atau dapat sendirinya menyebabkan kemusnahan kelompok yang menjadi sasaran. Keberadaan elemen kontekstual ini mengubah ruang lingkup dari kejahatan genosida yang sudah bertahan selama 50 tahun. Skripsi ini menganalisis perkembangan elemen kontekstual dari kejahatan genosida beserta dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap ruang lingkup kejahatan genosida yang ada dalam ketentuan Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional. ......Provision regarding the crime of genocide under the Rome Statute of International Criminal Court and its Elements of Crimes presuppose a new element under the name of contextual element. Provision concerning contextual element of the crime of genocide requires that the conduct took place in a pattern of similar conduct or was conduct that could itself effect such destruction. The existence of this contextual element transform the scope of the crime of genocide which had lasted for 50 years. This thesis analyzes the development of the contextual element of the crime of genocide and the impact it has over the scope of the crime of genocide under the provision of the Rome Statute of International Criminal Court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66688
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hamzah
Jakarta: Rajawali, 2012
345.023 23 AND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Angelo Putra
Abstrak :
Konsep Joint Criminal Enterprise pertama kali diperkenalkan oleh Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas wilayah Yugoslavia di dalam kasus Tadic pada tahun 1999. Setelah kasus Tadic, konsep Joint Criminal Enterprise diterapkan di berbagai pengadilan pidana internasional dan pengadilan hybrid supranasional untuk kasus kejahatan internasional. Di Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana memuat konsep penyertaan, sebuah konsep yang menyerupai Joint Criminal Enterprise. Tulisan ini membahas pengertian dan perkembangan konsep Joint Criminal Enterprise, penerapan Joint Criminal Enterprise di dalam pengadilan pidana internasional dan pengadilan hybrid supranasional, serta analisis kesamaan konsep Joint Criminal Enterprise dengan konsep penyertaan menurut hukum Indonesia dan apakah konsep Joint Criminal Enterprise dapat diterapkan di dalam Pengadilan HAM di Indonesia. ......The concept of Joint Criminal Enterprise was first introduced by the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia in the 1999 Tadic case. The concept was then applied in various international criminal tribunals and hybrid criminal courts for cases of international crimes. In Indonesia, the criminal code prescribes the concept of joint perpetration, a concept that is similar to the concept of Joint Criminal Enterprise. This thesis discuses the definition and development of the concept of Joint Criminal Enterprise, the application of Joint Criminal Enterprise in various international criminal tribunals and hybrid criminal courts, as well as the concept of Joint Criminal Enterprise and its association with the concept of joint perpetration under Indonesian law. Finally, this thesis discusses whether Joint Criminal Enterprise can be applied in the Human Rights Court in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1190
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sutan Remy Sjahdeini
Abstrak :
Menyajikan Pembahasan yang sistematis tentang hukum publik internasional, yang menyangkut aspek hukum pidana internasional dan hukum administrasi internasional. di dalam buku ini dipaparkan tentang sejarah dan perkembangan, sumber dan asas dan yuridiksi hukum internasional. selain itu juga dijelaskan mengenai perjanjian/traktat, konvensi dan isu-isu pelanggaran dalam konteks hukum internasional serta penyelesaian sengketa di level internasional.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2024
341 SUT i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Atika Idrus
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang tindakan perekrutan tentara anak menjadi satu suatu bentuk kejahatan perang yang ditinjau berdasarkan hukum internasional. Kasus yang digunakan dalam tulisan ini adalah kasus perekrutan tentara anak dilakukan oleh Thomas Lubanga Dyilo sebagai Presiden Persatuan Patriot Kongo (UPC) dan Komandan Pasukan patriotiques pour la libération du Congo (FPLC) di konflik di Ituri, Kongo. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami latar belakang larangan perekrutan tentara anak dalam konflik bersenjata, mengetahui ketentuan hukum internasional dan keputusan peradilan berkenaan dengan perekrutan tentara anak-anak, dan untuk mengetahui caranya aksi rekrutmen tentara anak dilakukan oleh Thomas Lubanga Dyilo di Konflik Ituri, Kongo memenuhi unsur pidana dalam Pasal 8 (2) (e) (vii) Statuta Roma. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan memeriksa perjanjian internasional yang terkait dengan larangan perekrutan tentara anak dan pendekatan yang digunakan dan preseden yang ditetapkan oleh peradilan internasional dalam mengadili dan memutuskan kasus perekrutan tentara anak. ......This thesis discusses the act of recruiting child soldiers into a form of war crime which is reviewed based on international law. The case used in this paper is the case of the recruitment of child soldiers by Thomas Lubanga Dyilo as President of the Congolese Patriots Union (UPC) and the Commander of the Patriotiques pour la libération du Congo (FPLC) in the conflict in Ituri, Congo. The purpose of writing this thesis is to understand the background of the prohibition on the recruitment of child soldiers in armed conflict, to know the provisions of international law and judicial decisions regarding the recruitment of child soldiers, and to find out how. The recruitment of child soldiers was carried out by Thomas Lubanga Dyilo at The Ituri conflict, Congo fulfilled the criminal element in Article 8 (2) (e) (vii) of the Rome Statute. The research method used in the writing of this thesis is normative juridical by examining international treaties related to the prohibition of the recruitment of child soldiers and the approaches used and the precedents set by the international judiciary in adjudicating and deciding cases of the recruitment of child soldiers.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Nadianti Kasih
Abstrak :
Perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan belum diatur dalam Statuta Roma. Dalam praktiknya, Mahkamah Pidana Internasional telah memutus perkawinan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa other inhumane acts dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menuntut perkawinan paksa sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil yurisprudensi di berbagai pengadilan internasional yang telah menangani terkait perkawinan paksa, penuntutan atas tindakan perkawinan paksa telah dilakukan dengan menerapkan ketentuan terkait tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbeda. Beberapa hasil putusan beranggapan bahwa perkawinan paksa lebih tepat untuk dituntut sebagai perbudakan seksual. Namun, dalam perkembangan terkini terkait penuntutan perkawinan paksa dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa perkawinan paksa dapat dituntut secara tersendiri di bawah Pasal 7(1)(k) terkait other inhumane acts. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perlindungan hukum yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menghukum tindakan perkawinan paksa dan meneliti terkait alasan hukum yang mendasari penentuan elements of crime dari perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu bagaimana kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen dapat menuntut perkawinan paksa secara tersendiri sebagai other inhumane acts. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan perkawinan paksa dan perbudakan seksual seringkali bersinggungan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh majelis hakim dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, perkawinan paksa pada umumnya terjadi dalam situasi yang juga mencakup perbudakan seksual. Namun, ketika pemaksaan status perkawinan mengakibatkan penderitaan yang melebihi dan berbeda dari perbudakan seksual, maka perkawinan paksa patut untuk dituntut secara tersendiri agar dapat mencakup keseluruhan tindakan, dampak yang diakibatkan, serta kepentingan yang dilindungi dari tindakan kejahatan yang dilakukan. ......Forced marriage as a crime against humanity has not been regulated in the Rome Statute. In practice, the Court has prosecuted forced marriage as the crime against humanity of an other inhumane act and adopted the existing provisions to prosecute forced marriage as a crime against humanity. The jurisprudence from various international courts dealing with forced marriage has adopted different provisions regarding the crime against humanity to prosecute forced marriage. Some considers that forced marriage is more adequately prosecuted as sexual slavery, but recent developments regarding forced marriage in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen shows that the Court views forced marriage as a crime that needs to be charged separately under Article 7(1)(k) of the Rome Statute as an other inhumane act. Therefore, this study aims to determine the legal protections under the Rome Statute to protect victims from forced marriage and examine the judicial reasonings in determining the elements of crime of forced marriage as a crime against humanity, particularly in prosecuting forced marriage as a separate crime against humanity in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen. The results of this study found that the act of forced marriage and sexual slavery often intersect and are not mutually exclusive. As stated by the Trial Chamber in the case of Prosecutor v. Dominic Ongwen, forced marriages generally occur in situations in which women are sexually enslaved. However, when the imposition of marital status results in suffering that goes beyond sexual slavery, forced marriage should be prosecuted separately to warrant full responsibility of the perpetrator and to adequately represent the conduct, ensuing harm, and protected interests from the crime committed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>