Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fetri Charya Munarsih
"ABSTRAK
Pendahuluan. Saat ini pneumonia komunitas menjadi salah satu infeksi dengan angka tertinggi yang dapat dijumpai di rumah sakit. Terapi antibiotik empirik pada pneumonia komunitas dilakukan dengan mengamati berbagai parameter. Parameter yang dapat diukur sebagai outcome terapi pasien dengan pneumonia komunitas selain angka mortalitas adalah lama tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari pemberian antibiotik empiris terhadap lama tinggal pada pasien pneumonia komunitas yang diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotik American Thoracic Society Infectious Disease Society of America (ATS/IDSA) 2007 dengan yang tidak diterapi berdasarkan panduan di ruang rawat inap salah satu rumah sakit di Jakarta dari Januari 2014 sampai dengan Agustus 2015.
Metode. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan dianalisis berdasarkan uji analisis bivariat serta uji analisis multivariat untuk mereduksi pengaruh variabel perancu. Sampel uji pada penelitian dihitung menggunakan rumus perbedaan dua proporsi. Sampel diambil di ruang rawat inap di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Hasil. Setelah mengontrol variabel perancu, pemberian antibiotik empiris berdasarkan panduan penggunaan antibiotik ATS 2007 pada pasien pneumonia komunitas dengan keterbatasan aktivitas gerak (imobilisasi) sebagai variabel perancu yang bermakna dalam memengaruhi LOS, memiliki kecenderungan 10,25 kali untuk mengalami normal stay di rumah sakit dibandingkan dengan pasien CAP yang menerima antibiotika empiris tidak berdasarkan panduan penggunaan antibiotik ATS 2007 dengan nilai p <0,001.
Simpulan. Secara statistik terdapat pengaruh dari pemberian antibiotika empiris terhadap lama tinggal pada pasien pneumonia komunitas yang diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotika ATS 2007 dengan yang tidak diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotika ATS 2007."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas Kristanta Sandjaja
"Latar Belakang. Pneumonia komunitas merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan petanda inflamasi yang sederhana, cepat dan murah serta dapat dilakukan di fasilitas terbatas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa RNL saat awal perawatan dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas, lama rawat inap dan kemungkinan kejadian sepsis, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Tujuan. Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM dari periode 1 November 2017-31 Desember 2018. Data neutrofil, limfosit dan leukosit serta RNL pada awal perawatan diambil dari rekam medis. Kriteria kesembuhan dalam 7 hari berupa perbaikan keluhan, pemeriksaan fisik, tanda vital yang stabil sesuai panduan IDSA/ATS dan atau perbaikan rontgent toraks. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Analisis variabel perancu dilakukan dengan regresi logistik.
Hasil. Terdapat 195 subjek penelitian yang dianalisis. Median usia sampel 65 tahun (21-90), dengan penyakit komorbid terbanyak adalah diabetes melitus (49,7%), terdapat 1 pasien yang mendapatkan antibiotik sebelum perawatan, dan 72,1% pasien dengan skor CURB-65 ≥ 2. Dari kurva ROC didapatkan nilai AUC 0,554 (IK95%: 0,473-0,635) dengan p>0,05. Analisa regresi logistik dan analisis subgrup menunjukkan CURB-65 skor 2 merupakan effect modifier.
Kesimpulan. Rasio neutrofil-limfosit pada awal perawatan tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dewasa pneumonia komunitas yang dirawat

Background. Community acquired pneumonia is a global health problem and has a high morbidity and mortality. The neutrophil to lymphocyte ratio is a simple, rapid, inexpensive marker of systemic inflammation and can be done in a limited facility. Other studies had shown that neutrophil to lymphocyte ratio can be used to predict mortality, length of stay and sepsis, but there are no studies that investigate its role in predicting cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Aim. To investigate neutrophil to lumphocyte ratio as a predictor of cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Method. A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for community acquired pneumonia patients who were admitted from the period 1st November 2017-31st December 2018. Neutrophil, lymphocytes and neutrophil to lymphocyte ratio was obtained upon admittance. Criteria for cure within 7 days include improvement of clinical symptoms, physical examination, stable vital signs according to IDSA / ATS guidelines and or improvement of chest X-ray. Neutrophil to lymphocyte cut off was determined using the ROC curve. Confounding factors was analysed using logistic regression.
Results. There were 195 subjects. Median age was 65 years (21-90). Diabetes mellitus (49.7%) was the most frequent comorbid. There were one patients treated with antibiotics prior to admission and 72.1 % of patients with a CURB-65 score ≥ 2. ROC curve showed that AUC 0.554 (95%CI: 0.473-0.635 ) with p>0.05. Logistic regression analysis and subgroup analysis showed that CURB-65 2 was an effect modifier.
Conclusion. Neutrophil to lymphocyte ratio upon admittance cannot be used as a predictor of cure within 7 days in adult patients with community acquired pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin Kurnia Mulyadi
"Latar Belakang: Pneumonia komunitas berat (severe community acquired pneumonia atau SCAP) merupakan salah satu bentuk penyakit kritis yang sering dijumpai dengan angka mortalitas jangka pendek yang tinggi. Pelbagai model prediksi klinis general telah banyak dievaluasi memiliki performa yang baik dalam memprediksi luaran klinis untuk penyakit kritis, namun evaluasi performa SAPS 3 sebagai salah satu sistem skor yang luas digunakan dalam perawatan intensif terhadap SCAP hingga saat ini belum memadai untuk memandu klinisi dalam menangani kasus tersebut.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi mortalitas SCAP serta mengevaluasi performa kalibrasi dan diskriminasi dari SAPS 3 terhadap mortalitas rawat inap.
MetodeL Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dan mengambil data rekam medis dari pasien dengan SCAP yang masuk rawat di instalasi gawat darurat, ruang perawatan high care maupun intensive care di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama 3 tahun (Maret 2019-Maret 2021). Dilakukan penilaian mortalitas rawat inap selama 30 hari perawatan. Data terkumpul dianalisis dengan uji Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit untuk mengetahui performa kalibrasi dan pembuatan kurva Receiver Operating Curve (ROC) untuk mengetahui performa diskriminasi skor SAPS 3 terhadap luaran mortalitas rawat inap.
Hasil: Diperoleh 484 subjek SCAP dengan proporsi mortalitas 49,2%. Sebanyak 73,8% adalah infeksi viral (COVID-19) dan sisanya bakterial (25,6%) dan campuran fungal-bakterial (0,6%). Performa kalibrasi adalah baik (p=0,519, koefisien korelasi r=0,993). Performa diskriminasi tampak sangat baik untuk skor total SAPS 3 dengan nilai AUC 0,921 (IK95% 0,898-0,944).
Kesimpulan: Performa kalibrasi dan diskriminasi SAPS 3 dalam memprediksi mortalitas rawat inap SCAP adalah baik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Lestari Negari
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan salah satu pelayanan farmasi klinik yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Pneumonia komunitas kondisi dimana terjadi peradangan akut pada parenkim paru yang didapat di masyarakat, menjadi penyebab kematian nomor delapan dan penyebab kematian pertama di antara penyebab kematian akibat infeksi. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kasus TB di Indonesia sendiri berada pada posisi ke-2 dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia. Drugs Related Problems (DRP) adalah masalah pada efektivitas pengobatan dan keamanan pengobatan. Metode PTO ini dilakukan secara prospektif selama 1 minggu pada kasus pasien yang dipilihkan oleh apoteker. Pengumpulan data pasien dengan cara pengkajian awal melalui rekam medik, profil pengobatan dan catatan penggunaan obat melalui kardeks, Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) serta hasil pemeriksaan penunjang. Selanjutnya, melakukan identifikasi DRP. Kemudian melakukan diskusi dengan apoteker lahan tentang DRP yang ditemukan dan memberikan rekomendasi pengobatan kepada apoteker lahan yang kemudian disampaikan kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) dan melakukan pemantauan terhadap rekomendasi pengobatan. Hasil PTO yang dilakukan selama 1 minggu, Pasien Tn. FL masih dirawat di ruang PSK lantai 2, Kondisi Pasien yaitu kesadaran compos mentis, NGT, Dower Catheter, nasal kanul. Ditemukan Masalah Terkait Obat (MTO) yaitu adanya interaksi obat, Waktu pemberian obat atau interval dosis tidak tepat, Gejala atau indikasi yang tidak diobati, Duplikasi bahan aktif, dan Durasi pengobatan yang terlalu lama. Rekomendasi dan intervensi diajukan kepada apoteker lahan, serta terdapat rekomendasi yang diimplementasikan sepenuhnya dan diimplementasikan sebagian.

Therapy Drug Monitoring (TDM) is one of the clinical pharmacy services that includes activities to ensure safe, effective and rational drug therapy for patients. Community-acquired pneumonia is a condition in which there is acute inflammation of the lung parenchyma in the community. It is the eighth leading cause of death and the first leading cause of death among infectious causes of death. Tuberculosis is a direct infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. TB cases in Indonesia alone are in the 2nd position with the highest number of TB patients in the world. Drugs Related Problems (DRP) are problems with treatment effectiveness and treatment safety. This TDM method was conducted prospectively for 1 week on patient cases selected by the pharmacist. Collecting patient data by means of initial assessment through medical records, treatment profiles and drug use records through cardeks, Integrated Patient Progress Notes and supporting examination results. Next, identify DRP. Then conduct a discussion with the land pharmacist about the DRP found and provide treatment recommendations to the land pharmacist which are then submitted to the Doctor in Charge of the Patient and monitor the treatment recommendations. The results of TDM carried out for 1 week, Mr. FL is still being treated in the PSK room on the 2nd floor, the patient's condition is compos mentis consciousness, NGT, Dower Catheter, nasal cannula. Drug Related Problems (DRP) were found, namely drug interactions, improper drug administration time or dosage interval, untreated symptoms or indications, duplication of active ingredients, and too long treatment duration. Recommendations and interventions were submitted to the land pharmacist, and there were recommendations that were fully implemented and partially implemented.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adhyaksanti
"Pneumonia komunitas adalah penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sistem skor PSI dan CURB-65 telah digunakan dalam menentukan keparahan penyakit dan keputusan tempat rawat berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem skor modifikasi PSI dan modifikasi CURB-65 pada pasien CAP sebagai prediktor mortalitas 30 hari di RS Persahabatan. Penelitian ini adalah kohort prospektif yang dilakukan pada pasien CAP yang dirawat di RS Persahabatan sejak bulan Oktober 2012-Maret 2013. Gejala klinis nilai laboratorium, foto toraks, penyakit penyerta skor PSI dan CURB-65 serta hasil akhir berupa kematian dicatat untuk dianalisis. Selama 30 hari subjek penelitian diikuti. Sebanyak 167 pasien CAP mengikuti penelitian ini didapatkan angka kematian sebesar 18,6%. Sensitivitas PSI sama dengan CURB-65 yaitu sebesar 77,4%. Spesifisitas PSI sedikit lebih tinggi dari pada CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Risiko relatif mortalitas berdasarkan PSI pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,64 kali dibandingkan kelompok risiko rendah, sedangkan risiko relatif mortalitas berdasarkan CURB-65 pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,15 kali dibandingkan kelompok risiko rendah. Skor CURB-65 dapat dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien CAP yang di rawat inap.

Community Acquired Pneumonia (CAP) is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patient in Indonesia. Pneumonia severity assessment systems such as the pneumonia severity index (PSI) and CURB-65 were designed to predict severity of illness and site of care base on 30-d mortality. The purpose of this study is to comparing the PSI with CURB-65 in patient admitted with CAP as predictor 30 days mortality in Persahabatan Hospital, Jakarta. This is a prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients in Persahabatan Hospital since October 2012- Maret 2013. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray , comorbidities, score of PSI and CURB-65, 30 days mortality were recorded for analysis. Thirty days mortality outcome were recorded to analysis which score system as the best to predict 30 days mortality. One hundred and sixtty seven patients CAP were studied with an overall 30-d mortality of 18,6%. Sensitivity of PSI were simillar with CURB-65 for predicting patients who died within 30 d (77,4% ; p < 0.001). Specificity of PSI was slighty higher than CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Score PSI have risk mortality 3,64 times in high risk group CAP than low risk group CAP. Score CURB-65 have risk mortality 3,15 times in high risk group CAP than low risk CAP. CURB-65 modification was considerable to predict mortality in CAP patients hospitalized.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Nur Fa'izah
"Pneumonia komunitas merupakan peradangan akut pada parenkim paru yang bersumber dari masyarakat dengan tingkat mortalitas, morbiditas, dan beban biaya yang tinggi terutama pada pasien rawat inap. Rata-rata biaya yang dibutuhkan bagi pasien pneumonia komunitas di Indonesia dalam satu periode rawat inap kurang-lebih mencapai Rp11.877.120. Pemilihan antibiotik empiris yang tepat penting dalam mengendalikan infeksi dan mengurangi beban total biaya pengobatan. Studi farmakoekonomi digunakan untuk mengetahui intervensi antibiotik yang paling unggul dari aspek efektivitas-biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas-biaya levofloksasin monoterapi dibandingkan dengan kombinasi seftriakson-azitromisin pada pasien pneumonia komunitas rawat inap non-ICU di RSUD Tangerang Selatan. Desain studi yang digunakan merupakan cross-sectional dengan metode pengumpulan data secara retrospektif terhadap data rekam medis, data penggunaan obat, dan data billing. Efektivitas terapi dinilai sebagai proporsi pasien yang mencapai kestabilan klinis setelah 72 jam penggunaan antibiotik. Data biaya yang digunakan berupa data biaya medis langsung berdasarkan perspektif rumah sakit. Sampel pada penelitian ini berjumlah 86 pasien yang merupakan 43 pasien dari masing-masing kelompok terapi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara efektivitas kelompok levofloksasin dan kombinasi seftriakson-azitromisin (p < 0,05). Berdasarkan perhitungan REB (rasio efektivitas-biaya), kelompok levofloksasin memiliki nilai sebesar Rp78.028,22/% efektivitas dan kelompok kombinasi seftriakson-azitromisin Rp107.666,91/% efektivitas.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the lung parenchyma that originates from the community and carries a high mortality, morbidity, and cost burden, particularly in hospitalized patients. The average cost of treating CAP patients in Indonesia during a single hospitalization period is Rp11,877,120. Selecting the appropriate empiric antibiotic is crucial in controlling the infection and reducing the overall treatment costs. Pharmacoeconomic studies are conducted to determine the most effective and cost-efficient antibiotic intervention. This study aims to analyze the cost-effectiveness of levofloxacin monotherapy compared to the combination of ceftriaxone-azithromycin in non-ICU inpatient CAP cases at RSUD Tangerang Selatan. The study design was cross-sectional, utilizing a retrospective data collection method that involved medical records, drug usage data, and billing information. The therapy's effectiveness was assessed by the proportion of patients who achieved clinical stability after 72 hours of antibiotic use. The cost data utilized represents direct medical costs from the hospital's perspective. The study sample consisted of 86 patients, with 43 patients in each treatment group. The results indicated a significant difference in the effectiveness of the levofloxacin group compared to the ceftriaxone-azithromycin combination (p < 0.05). Calculation of the Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) revealed that the levofloxacin group had a value of Rp78,028.22 per % effectiveness, while the ceftriaxone-azithromycin combination group had a value of Rp107,666.91 per % effectiveness. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Indirawati Kusuma
"Latar belakang: Pneumonia komunitas adalah suatu infeksi parenkim paru yang didapat dari luar rumah sakit dan berhubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mortalitas pada pneumonia komunitas antara lain karakteristik klinis, temuan radiologi, dan biomarker serum. Identifikasi pasien pneumonia komunitas sedang-berat dengan risiko mortalitas dengan menggunakan kombinasi variabel yang digunakan diharapkan menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan menggunakan karakteristik klinis (jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh, riwayat merokok, lama tunggu sebelum pemberian antibiotik), temuan radiologi (skor Brixia), dan biomarker serum (prokalsitonin, C-Reactive Protein, leukosit, asam laktat, d-dimer, albumin) terhadap risiko mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat.
Metode: Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek pneumonia komunitas sedang-berat yang dirawat di RSPUN Dr. Ciptomangunkusumo. Data diambil dari rekam medis pasien pneumonia komunitas sedang-berat selama bulan Januari 2022 – Desember 2023. Variabel-variabel predikor tingkat mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat didapatkan dari hasil analisis multivariat dengan regresi Cox.
Hasil: Total subjek penelitian ini yaitu 277 subjek dengan subjek yang meninggal sebanyak 124 (44,77%) dan subjek yang hidup sebanyak 153 (55,23%). Variabel prediktor yang secara konsisten mempengaruhi risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat adalah IMT rendah dengan HR 1,789 (IK 95% 1,172 – 2,731), prokalsitonin dengan HR 1,913 (IK 95% 1,301 – 2,813), dan asam laktat dengan HR 1,692 (IK 95% 1,173 – 2,442). Performa determinan dengan analisis kurva ROC menunjukkan kemampuan prediksi moderat (AUC = 0,641). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lameshow menunjukkan validasi baik (p = 0,082).
Simpulan: Terdapat hubungan antara IMT, prokalsitonin, dan asam laktat dengan risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat serta terdapat model skoring risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitaa sedang-berat.

Background: Community Acquired Pneumonia (CAP) is a lung parenchyma infection acquired outside of the hospital and is significantly associated with morbidity and mortality rates. Several factors that can influence mortality in CAP include clinical characteristics, radiological findings, and serum biomarkers. Identifying patients with moderate-severe CAP at high risk of mortality through a combination of these variables is expected to serve as a basis for prompt and appropriate intervention, ultimately improving clinical outcomes for CAP patients.
Objective: This study aims to develop a scoring system using clinical characteristics (gender, age, body mask index, smoking status, time to first antibiotic administration), radiological findings (Brixia score), and serum biomarkers (procalcitonin, C-Reactive protein, leukocyte, lactate acid, d-dimer, albumin) to assess the mortality risk in patients with moderate-severe CAP.
Method: This study was a retrospective cohort study using data from patients with moderate-severe CAP at Cipto Mangunkusumo Hospital from the period January 2022 to December 2023. Predictor variables for mortality risk were obtained through multivariate analysis using cox regression.
Results: The study included 277 subjects with 124 (44.77%) deaths and 153 (55.23%) survivors. Predictor variables consistently influencing mortality risk in moderate-severe CAP patients were low BMI (HR 1.789, 95% CI 1.172–2.731), procalcitonin (HR 1.913, 95% CI 1.301–2.813), and lactate levels (HR 1.692, 95% CI 1.173–2.442). The prediction model’s performance based on the ROC curve analysis showed moderate predictive ability (AUC = 0.641) with good validation and calibration performance which has been assessed by the Hosmer-Lemeshow test (p = 0.082).
Conclusion: There is an association between body mass index, procalcitonin, and lactate acid level with the mortality risk in moderate-severe CAP patients. A mortality risk scoring model for moderate-to-severe CAP patients has been established.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Petry
"Latar Belakang : Pasien usia lanjut seringkali memerlukan rawat inap karena infeksi pneumonia yang disertai dengan penurunan status fungsional. Hubungan antara penurunan status fungsional pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap dengan kesintasan belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi mengenai perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut dengan berbagai derajat ketergantungan. Metodologi : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan terhadap pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di ruang rawat akut geriatri RSCM periode Januari 2010-Desember 2013. Dilakukan ekstraksi data dari rekam medik mengenai status fungsional, kondisi klinis dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitasnya dalam 30 hari. Status fungsional awal perawatan dinilai dengan indeks ADL Barthel, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mandiri-ketergantungan ringan, ketergantungan sedang-berat dan ketergantungan total. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok diuji dengan Log-rank test, dengan batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 392 subjek, sebanyak 79 subjek (20,2%) meninggal dunia dalam waktu 30 hari. Rerata kesintasan seluruh subjek 25 hari (IK95% 24,66-26,49), kelompok mandiri-ketergantungan ringan 28 hari (IK95% 27,38-29,46), ketergantungan sedang-berat 25 hari (IK95% 23,71-27,25), ketergantungan total 23 hari (IK95% 21,46-24,86). Kesintasan 30-hari pada kelompok mandiri- ketergantungan ringan 92,1% (SE 0,029), ketergantungan sedang-berat 80,2% (SE 0,046), ketergantungan total 68,0% (SE 0,041). Crude HR pada ketergantungan sedang-berat 2,68 (p=0,008; IK95% 1,29-5,57), ketergantungan total 4,32 (p<0,001; IK95% 2,24-8,31) dibandingkan dengan mandiri-ketergantungan ringan. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok ketergantungan total 3,82 (IK95% 1,95-7,51), ketergantungan sedang-berat 2,36 (IK 95% 1,13-4,93).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut pada berbagai derajat ketergantungan; semakin berat derajat ketergantungan, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : Elderly patients often require hospitalization because of pneumonia accompanied by decreased functional status. The relationship between the declines in functional status in elderly patients with community acquired pneumonia who are hospitalized with survival rate has not been widely studied. Objective : To determine the difference of 30-days survival in elderly patients with community-acquired pneumonia in various degree of dependency during admission.
Method : A retrospective cohort study based on survival analysis of the elderly patients with community-acquired pneumonia in acute geriatric ward RSCM from January 2010 to December 2013. Extraction of data from medical records regarding functional status, clinical conditions and confounding factors, then followed up the 30-day mortality. Functional status at the start of hospitalization was assessed by the ADL Barthel index, then grouped into three, which are independent-mild dependence, moderate-severe dependence and total dependence. The difference of survival rate among the three groups is shown in the Kaplan- Meier curves. The difference in survival rate among the three groups were tested with the log-rank test, with a significance limit of <0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% confidence interval) with correction for confounding variables.
Results : Of the 392 subjects, a total of 79 subjects (20.2%) died within 30 days. The mean survival rate of all subjects was 25 days (95%CI 24.66-26.49), independent-mild dependence group was 28 days (95%CI 27.38-29.46), moderate-severe dependence group was 25 days (95%CI 23,71-27.25), the total dependence group was of 23 days (95%CI 21.46-24.86). The 30-day survival of independent-mild dependence group was 92.1% (SE 0.029), moderate-severe dependence group was 80.2% (SE 0.046), total dependence group was 68.0% (SE 0.041). Crude HR of moderate-severe dependence group was 2.68 (p=0.008; 95%CI 1.29-5.57), the total dependence group was 4.32 (p<0.001; 95%CI 2.24- 8.31) compared with independent-mild dependence group. After adjustment for confounding variables, obtained the fully adjusted HR was 3,82 (95%CI 1,95- 7,51) in total dependence group, and 2,36 (95%CI 1,13-4,93) in moderate-severe dependence group.
Conclusion : There are differences in 30-day survival rate of elderly patients with community-acquired pneumonia in various degrees of dependence; the more severe the degree of dependence, the worse its 30-day survival rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadrian
"Latar Belakang: Dalam beberapa tahun terakhir, permasalahan yang sering muncul pada pneumonia komunitas adalah terkait timbulnya patogen penyebab yang bersifat resisten obat. Skor DRIP merupakan suatu model prediksi terhadap Patogen Resisten Obat (PRO) pada pneumonia komunitas. Skor DRIP memiliki akurasi prediksi patogen PRO yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa alternatif skor lain termasuk kriteria HCAP. Belum adanya studi validasi terhadap penggunaan skor DRIP di Indonesia sehingga belum diketahui tingkat akurasi prediksi skor ini pada populasi, karakteristik pasien dan pola kuman di Indonesia terutama di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui performa skor DRIP sebagai instrumen dalam memprediksi infeksi akibat patogen PRO pada pneumonia komunitas di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Suatu penelitian dengan menggunakan desain potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Juni 2020. Penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap. Didefinisikan sebagai PRO apabila dari hasil kultur sputum didapatkan resisten terhadap antibiotik golongan β-laktam non pseudomonas (ceftriaxone, cefotaxime, ampicilin sulbaktam), Makrolid (azitromisin) dan fluorokuinolon respirasi (levofloxacin, moxifloxacin). Performa skor dianalisis dengan menentukan nilai kalibrasi dan diskriminasi menggunakan uji Hosmer-Lemeshow dan AUROC.
Hasil: Sebanyak 254 subyek yang memenuhi kriteria pemilihan diikutkan dalam penelitian. Terbagi menjadi kelompok PRO 103 pasien (40,6%) dan non PRO 151 pasien (59,4%). Hasil analisis kalibrasi skor DRIP dengan uji Hosmer-Lemeshow didapatkan nilai p=0,001 (p<0,05). Sementara untuk analisis diskriminasi skor DRIP dari kurva ROC didapatkan nilai AUC 0,759 (IK95%;0,702-0,810). Pada skor ≥ 4, skor DRIP memiliki nilai sensitivitas 70,9%, spesifisitas 92,7%, nilai prediksi positif 86,9%, dan nilai prediksi negatif 82,3%.
Simpulan: Skor DRIP memiliki performa yang baik untuk memprediksi infeksi akibat patogen PRO pada pneumonia komunitas.

Background: In recent years, problems that often arise in community-acquired pneumonia are related to drug-resistant pathogens. The DRIP score is a predictive score model for Drug-Resistant Pathogens (DRP) in community-acquired pneumonia. It also has a better DRP pathogen prediction accuracy compared to other alternative scores including HCAP. There is no validation study on the use of the DRIP score in Indonesia, so the accuracy of this score prediction in the population, patient characteristics and germ patterns in Indonesia is not known, especially in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Objective: This study aims to determine the performance of the DRIP score as an instrument in predicting infection due to DRP pathogens in community-acquired pneumonia at Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia.
Methods: A study with cross-sectional design, on community-acquired pneumonia patients who were treated at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2019 to June 2020. Furthermore, this was conducted by reviewing medical records of inpatients. It is defined as DRP if the sputum culture results show resistance to non pseudomonas β-lactam antibiotics (ceftriaxone, cefotaxime, ampicillin-sulbactam), macrolides (azithromycin) and respiratory fluoroquinolones (levofloxacin, moxifloxacin). Score performance analyzed by determining the calibration and discrimination values using the Hosmer-Lemeshow and AUROC tests.
Results: 254 subjects who met the selection criteria were included in the study. It was divided into a PRO group of 103 patients (40.6%) and a non-PRO of 151 patients (59.4%). The results of the calibration analysis of the DRIP score with the Hosmer- Lemeshow test obtained a value of p=0.001 (p<0.05). Discrimination analysis from ROC curve got an AUC value of 0.759 (CI95%; 0.702-0.810). At a threshold ≥ 4 points, DRIP score demonstrated a sensitivity of 70,9%, a specificity of 92,7%, a positive predictive value of 86,9%, a negative predictive value of 82,3%.
Conclusions: The DRIP score have good performance to predict infections due to DRP pathogens in community-acquired pneumonia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Purnama Hidayat
"Latar belakang: Kematian akibat pneumonia komunitas dilaporkan paling sering pada kelompok lanjut usia. Tingginya kegagalan terapi pada kelompok ini yang berkaitan dengan keterlambatan diagnosis, keparahan penyakit, infeksi bakteri atipikal, multipatogen, multiresisten, dan kondisi multikomorbiditas. Dengan memprediksi kegagalan terapi pada kelompok ini, klinisi dapat menyusun strategi yang lebih agresif untuk mencapai keberhasilan terapi. Namun mengingat respon klinis lanjut usia yang lebih lambat, parameter pencapaian stabilitas klinis dini (<3 hari) tidak dapat digunakan pada kelompok usia ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan klinis yang dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort prospektif menggunakan data primer pada subjek pneumonia komunitas lanjut usia yang menjalani perawatan inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pemeriksaan status klinis awal sebagai nilai dasar, dilanjutkan dengan pemantauan klinis hari pertama (24 jam setelah mendapatkan antibiotik) dan pemantauan klinis hari ke-tiga (72 jam setelah mendapat antibiotik). Hasil keluaran kegagalan terapi dinilai bila terdapat eskalasi antibiotik dan kematian dalam 14 hari pemantauan.
Hasil: Sebanyak 231 subjek dimasukan dalam penelitian, 21 subjek mengalami drop out. Dari 210 subjek, kegagalan terapi dijumpai pada 111 subjek (52,9%). Setelah dilakukan analisis bivariat dan multivariat ditemukan perubahan klinis yang berhubungan dengan kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia adalah perubahan ADL pada hari pertama dengan RO 2,213 (95% IK: 1,269-3,861, p<0,01), perubahan ADL pada hari ke- tiga dengan RO 2,966 (95% IK: 1,603-5,489, p=0,001) dan perubahan tekanan darah sistolik pada hari ke-tiga dengan RO 1,021 (95%IK 1,005-1,036, p<0,01).
Kesimpulan: Perubahan klinis dapat dijadikan parameter prognosis kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia.  Perburukan atau tidak perbaikan status fungsional pada hari pertama dan hari ke-tiga pasca mendapatkan terapi antibiotik berhubungan dengan kegagalan terapi. Perubahan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi juga berhubungan dengan kegagalan terapi dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan.

Background: The elderly with community-acquired pneumonia (CAP) had worse outcomes due to a high rate of treatment failure (TF). A more thorough clinical assessment is needed to evaluate treatment response in this population. Early detection of TF enables more aggressive management of CAP in the elderly, but the evidence is scarce.
Aim: To determine any clinical status changes that can be used to predict TF in the elderly with CAP.
Method: A cohort-prospective study with consecutive sampling methods was conducted. Included patients with CAP ≥60 years old. Clinical status, including blood pressure, pulse rate, respiratory rate, body temperature, peripheral oxygen saturation, functional status with Barthel Index, and mental status (delirium status and GCS), were recorded upon admission, 24 hours and 72 hours following the first antibiotic(s) administration. Treatment failure was determined in subjects required antibiotic escalation or died within 14 days of observation.
Results: The clinical status changes related to TF were: the change of functional status and mental status 24 hours following antibiotic(s) administration; and the changes of systolic blood pressure, pulse rate, functional status, and mental status 72 hours following antibiotic(s) administration. Multivariate analysis revealed.
Conclusion: Comprehensive clinical evaluation is required to predict TF in the elderly with CAP. Changes in functional status and mental status were recognized earlier than vital signs to predict TF in the elderly with CAP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>