Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djopari, Johannes Rudolf Gerzon
"Pembangunan yang diselenggarakan di Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya sejak daerah itu dikembalikan ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tangga1 1 Mei 1963, dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Hal yang demikian menyebabkan rakyat di wilayah Propinsi itu tidak cepat berubah dan berkembang mengikuti kemajuan sama dengan saudara-saudara mereka di daerah Indonesia lainnya.
Proses integrasi politik di Irian Jaya menghadapi suatu tantangan yang utama dan berat yaitu pemberontakan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tahun 1965 tepatnya pada tangal 26 Juli di Manokwari yang dipimpin oleh Permenas Ferry Awom, bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwilinger Corps) buatan Belanda. Pemberontakan OPM yang terus berlangsung hingga saat ini dan secara sporadisadis itu merupakan hambatan terhadap penyelenggaraan pembangunan pada umumnya baik pemaangunan fisik maupun pembangunan non fisik.
Sebagai gerakan separatis, maka pemberontakan OPM merupakan hadangan terhadap proses integrasi di Irian Jaya yang lebih banyak diwarnai oleh dimensi yang horizontal, yaitu suatu tujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.
Di Irian Jaya, bentuk pemberontakan OPM dapat digolongkan ke dalam beberapa tindakan sebagai berikut Pertama; aksi perlawanan fisik bersenjata atau aksi militer yang dilakukan secara sporadis; Kedua; aksi penyanderaan; Ketiga; aksi demonstrasi massa; Keempat; aksi pengibaran bendera Papua Barat; Kelima; aksi penempelan dan pengebaran pamflet/selebaran; Keenam; aksi rapat-rapat politik dan pembentukan organisasi perjuangan lokal; Ketujuh; aksi pelintasan perbatasan ke Papua New Guinea; Kedelapan; aksi pengrusakan/pembongkaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa OPM itu lahir di Irian Jaya dari dua faksi utama pimpinan Terianus Aronggear, SE dan Aser Demotekay pada tahun 1964 dan tahun 1963. Sebagai organisasi OPN kegiatannya terbagi dua yaitu kegiatan politik dan kegiatan militer. Kegiatan politik kemudian terus dilanjutkan di lu ar negeri sedangkan kegiatan militer dilakukan di Irian Jaya. Secara keseluruhan kegiatan politik di luar negeri kurang efektif sebab terjadi perpecahan antara para pemimpin politik OPM dari segi orientasinya ada yang pro-Barat dan ada yang berorientasi ke neo-Marxis/Sosialis. Perpecahan ini jelas mempengaruni faksi militer di Irian Jaya sehingga kegiatan mereka lemah dan mudah dipatahkan oleh Pemerintah atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Justru orientasi ke neoMarxis/Sosialis itu merupakan hambatan utama bagi dukungan politik maupun dukungan dana dari negara-negara Barat terhadap OPM.
Berdasarkan telaahan teori dan pendapat para sarjana dapat diungkap bahwa pemberontakan itu terjadi karena ketidakpuasan dan kekecewaan yang dialami oleh manusia dalam suatu sistem politik atau negara.
Di Irian Jaya saat ini masih saja ada aktivitas pemberontakan dari OPM secara sporadis, walaupun setiap kegiatan dengan mudah dapat dipatahkan dan tidak ada dukungan politik secara internasional. Kondisi yang demikian ini menimbulkan pertanyaan sebagai berikut :
Pertama; apakah benar bahwa pemberontakan OPM itu terjadi karena integrasi politik di Irian Jaya kurang mantap ? Kedua; apakah benar bahwa pemberontakan OPM itu merupakan bom waktu yang dibuat oleh Belanda, atau pemberontakan OPM itu terjadi karena tumbuh kesadaran nasionalisme Papua ? Ketiga; apakah benar dan mengapa masih saja ada orang-orang Irian Jaya yang berideologi serta mendukukung pemberontakan OPM ? Keempat; kalau memang demikian, bagaimana sebaiknya pendekatan pembangunan politik di Irian Jaya itu dilakukan, agar dapat mewujudkan integrasi politik yang mantap ?
Berangkat dari ke-4 pertanyaan tersebut di atas, yang menjadi pokok permasalah dalam tulisan ini adalah sampai sejauh mana pengaruh pemberontakan OPM terhadap pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya.
Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa pada hakekatnya pemberontakan OPM masih mempengaruhi pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya, hal mana dapat dilihat dari sikap dan dukungan yang diberikan oleh rakyat Irian Jaya terhadap OPM sehingga timbul berbagai aksi pemberontakan secara sporadis dalam kurun waktu 20 tahun dan OPM lebih mampu mensosialisasikan nilai-nilai "nasionalis Papua" sebagai ideologi OPM kepada rakyat Irian Jaya.
Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi politik yang mantap di Irian disarankan agar terlebih dulu menghilangkan ideologi OPM serta melakukan pendekatan "cinta-kasih" dalam pergaulan atas dasar persamaan dan persaudaraan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Sri Raharjo
"Penelitian ini membahas mengenai kepemimpinan pasangan Walikota Joko Widodo dan Wakil Walikota FX. Hadi Rudyatmo di Kota Surakarta, yang harmonis dan langgeng hingga dua periode. Latar belakang seorang Joko Widodo sebagai seorang pengusaha dikombinasi latar belakang FX. Hadi Rudyatmo sebagai politisi murni, mampu membawakan gaya kepemimpinan yang visoner, egaliter, santun, bersih, tegas dan merakyat. Di dalam penelitian ini juga akan digali apa saja faktor yang membuat pasangan ini bisa cocok dan selaras satu sama lain dan pengaruhnya pada pembangunan demokrasi lokal di Surakarta serta dampaknya pada stabilitas penyelenggaraan pemerintahan di Surakarta.
Landasan teoritis penelitian ini menggunakan teori konflik dan integrasi dari Peter M. Blau, Richard L. Poe dan Georg Simmel. Di samping itu juga menggunakan teori kepemimpinan dari Bernard & Ruth Bass dan Bruce J. Avolio, Kurt Lewin, James M. Burns dan Herbert Feith. Pendekatan mengenai Demokrasi dan Pemerintahan Lokal menggunakan teori John Steward dan Demokrasi Deliberatif dari Iris Marion Young. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh melalui wawancara. Sementara sumber sekunder diperoleh dari media massa dan kajian pustaka.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa Walikota Joko Widodo dan Wakil Walikota FX. Hadi Rudyatmo menerapkan gaya kepemimpinan demokratis transformasional dikombinasi dengan implementasi demokrasi deliberasi atau partisipatoris konsultatif. Selain itu penulis juga menemukan hal-hal lainnya yang ikut mempengaruhi gaya kepemimpinan, tindakan, dan kebijakan yang diambil oleh pasangan kepala daerah Kota Surakarta ini, yaitu latar belakang kehidupan keluarga, pengalaman hidup, kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan karakter personal yang mampu menyatukan keduanya sehingga menjadi pasangan yang cerdas mengelola konflik sehingga terjalin soliditas dan satu kesatuan pribadi yang saling mengisi. Berbekal seluruh nilai-nilai idealitas kepemimpinan yang diimplementasikan keduanya, Joko Widodo dan FX. Hadi Rudyatmo mampu melanggengkan hubungan harmonis mereka melebihi batas struktur, waktu dan ruang politik

This research analyzes the leadership of Mayor Joko Widodo and Deputy Mayor FX. Hadi Rudyatmo in Surakarta that has been harmonious and lasted for two periods. Joko Widodo’s background as an entrepreneur combined with FX. Hadi Rudyatmo’s background as a dedicated politician has resulted a visionary, egalitarian, courteous, clean, resolute and populist. This research will also scrutinize whatever factors that make this pair compatible with each other and the effect it has on the local democracy development in Surakarta and on the stability of government implementation in Surakarta.
The theoritical foundation of this research is the theory of conflict and integration from Peter M. Blau, Richard L. Poe and Georg Simmel. In conjunction with the leadership theory from Bernard & Ruth Bass and Bruce J. Avolio, Kurt Lewin, James M. Burns and Herbert Feith. The approach on democracy and local government applies John Steward’s theory, deliberative democracy from Iris Marion Young. This research utilizes qualitative method with primary and secondary data. Primary sources were gathered through direct interviews while secondary sources were assembled from mass media and literature review.
This research reveals that Mayor Joko Widodo and Deputy Mayor FX. Hadi Rudyatmo implemented transformational democratic leadership style combined with deliberative democracy or consultative participatory. This research also reveals other factors that have affected leadership style, actions, and policies taken by the pair of these Surakarta leaders: family background, life experiences, sensibility to their surroundings and personal characters. Those factors have a major role in uniting the two persons and have molded them into a pair of leaders who excel in conflict management so their cooperation was a solid and effective one. With all those virtues of leadership they implemented, both of Joko Widodo and FX. Hadi Rudyatmo preserve their harmonious political and social relationship beyond the boundaries of political structure, time and space.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library