Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Joko Sumariyanto
Abstrak :
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 sebagai kebijakan publik hendaknya dilaksanakan dengan memperhatian landasan idiil-nya yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya (had the public in mind). Kekurangan dan kelebihan UU No.5/99 beserta implementasinya harus dipandang secara aktual. Kondisi undang-undang tersebut-harus selalu dicermati agar kehadirannya dapat memenuhi tuntutan stakeholder dan mampu memenuhi tuntutan lingkungan usaha yang bergerak dinamis serta untuk mengkaji efektifitas pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia. Graham dan Richardson (1997), menyimpulkan bahwa yang menjadi perhatian utama hukum persaingan adalah praktek bisnis yang restriktif dan penyalagunaan kekuatan pasar. Oleh karena itu menurut Graham dan Richardson (1997), kebijakan persaingan seharusnya berorientasi pada upaya pencegahan berbagai tindakan balk yang berasal dari perilaku perusahaan maupun kebijakan publik yang dapat merusak proses persaingan. Hukum persaingan hendaknya juga tidak ditujukan untuk mencegah perusahaan menjadi besar, tetapi lebih berorientasi pada pengawasan terhadap perilaku antikompetitif setiap perusahaan untuk mencapai tujuan usahanya, baik untuk meningkatkan atau mempertahankan pangsa pasar yang telah dimilikinya. Perkel (1998) dan Turner (1969) juga menyarankan implementasi kebijakan persaingan hendaknya lebih sebagai alat dengan batasan persaingan yang tidak kaku, karena keberadaan monopoli tidak selamanya berdampak negatif terhadap ekonomi dan keadilan. Artinya analisa anti persaingan tidak terbatas pada ukuran perusahaan absolute atau relative atau pada posisi pasar, tetapi juga analisa terhadap perilaku pelaku usaha dan dampaknya terhadap persaingan. Perusahaan dominan akan berperilaku kompetitif jika pasarnya contestable dengan hambatan masuk yang rendah. Demzet (1994), menambahkan bahwa perusahaan dengan tingkat efesiensi yang baik secara umum akan melakukan ekspansi pasar. Meningkatnya konsentrasi da!ani pasar yang terbuka, dapat merupakan hasil dari persaingan yang efesien. Menurut penulis, advokasi UU No.5/99 terhadap persaingan usaha di Indonesia masih didominasi oleh pemikiran yang didasari pendekatan struktur, dimana konsentrasi pasar dianggap memiliki korelasi positif dengan perilaku aritikompetisi para pelaku usaha dalam rangka meningkatkan market power dan pangsa pasarnya. dengan demikian, untuk mencegah atau menghindari perilaku antikompetisi pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar oleh setiap pelaku usaha harus dibatasi agar pasar tidak terkonsentrasi hanya pada sedikit pelaku usaha dengan penguasaan pangsa pasar yang dominan. Orientasi UU No.5/99 sebagai implementasi kebijakan persaingan lebih sebagai instrumen untuk menciptakan dekonsentrasi pasar. Hal tersebut tampak jelas pada "tujuan kebijakan persaingan" yang terdapat dalam undang-undang tersebut, yaitu mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Hal ini tentunya bertujuan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan posisi dominan melalui pemanfaatan kekuatan pasar yang dapat saja dilakukan oleh sebuah perusahaan dominan dalam suatu pasar relevan bersangkutan. Pendekatan struktur dalam UU No.5/99 yang berorientasi pada konsentrasi pasar sebagai indikator ada tidaknya pemusatan kekuatan ekonomi tentunya akan menjadi dasar identifikasi KPPU terhadap suatu kasus yang dinilai atau dilaporkan sebagai perilaku anti persaingan. Dalam hal ini, model pendekatan yang berorientasi pada dekonsentrasi pasar jugalah yang akan menjadi dasar analisa KPPU dalam menyimpulkan dan memutuskan berbagai kasus anti persaingan yang ditanganinya. Selain itu, menurut penulis, di dalam UU No.5/99 juga terdapat beberapa pasal tentang perilaku perusahaan dominan yang tidak ditetapkan dengan pendekatan perilaku yang tepat. Beberapa pasal tersebut antara lain 1. Pasal 6 (enam) UU. No.5/99 tentang Diskriminasi Harga, 2. Pasal 7 (tujuh) UI) No.5/99 tentang Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar, 3. Pasal 15 (lima betas) ayat 2 (dua) tentang Tying, dan 4. Pasal 25 (dua puluh lima) UU No.5/99 tentang-Posisi Dominan. Sebagai suatu yang relatif baru di Indonesia dan dalam rangka menformulasikan suatu format dan implementasi kebijakan persaingan yang tepat, maka perlu dikaji apakah pendekatan struktur daiam UU No.5/99 yang dijadikan sebagai dasar analisa dan penanganan berbagai kasus yang dianggap menghambat persaingan masih relevan. Perkernbangan ekonomi, politik dan sosial yang dinamis perlu dipahami untuk dapat pada suatu saat dituangkan sebagai perubahan UU No. 5/99. Penulis berpendapat, pendekatan struktur semata tidak mampu mencakupi seluruh aspek persaingan usaha di industri modern seperti sekarang ini. Pada suatu industri tertentu di pasar oligopoli, dimana barang atau jasa yang diproduksi bersifat sensitif terhadap skala produksi, dibutuhkan modal yang sangat besar untuk menghasilkan biaya satuan (marginal cost) yang rendah. Perusahaan dominan pada jenis industri seperti ini seharusnya tidak dipermasalahkan, apalagi hanya didasari analisa pendekatan struktur. Hal terpenting yang perlu diadvokasi UU No.5/99 melalui KPPU adalah menjaga pasar dari perilaku bisnis perusahaan yang bersifat restriktif dan membatasi persaingan, serta meminirnalisasi hambatan masuk dalam suatu industri tanpa harus memecah konsentrasi pasar menjadi struktur yang lebih atomistic. Selain itu, pengaturan perilaku perusahaan dominan dalam UU No.5/99 hendaknya dilakukan dengan pendekatan perilaku yang tepat. Pengaturan perilaku perusahaan dominan dengan pendekatan yang kurang tepat justru dapat menjadi disincentives bagi perusahaan-perusahaan tersebut daiam mengembangkan usahanya. Perusahaan akan membatasi total output, inovasi, aan pengemhangan teknologinya, karena khawatir akan timbulnya penguasaan pasar yang besar yang berarti melanggar hukum persaingan. Hal tersebut tentunya akan mengakibatken inefesiensi dalam industri bersangkutan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan perilaku berbasis teori ekonomi mikro dan orgarisasi industri sebaiknya digunakan bersama-sama dengan pendekatan struktur dalam mengidentifikasi dan menganalisa berbagai kasus anti persaingan yang terkait dengan perilaku perusahaan dominan. Analisa dengan menyertakan pendekatan perilaku yang tepat diharapkan mampu menghasilkan suatu kesimpulan dan keputusan yang lebih komprehensif dan lebih tepat dalam penanganan berbagai kasus anti kompetisi yang terkait perilaku perusahaan dominan. Dengan demikian tujuan utama hukum persaingan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui efesiensi pasar dapat tercapai.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devindra Hananbayu Tarunokusumo
Abstrak :
Perkembangan artificial intelligence serta implementasi komersialnya yang cepat telah menghasilkan banyak manfaat dan nilai ekonomi bagi produsen dan konsumen di seluruh dunia. Salah satu manfaat tersebut adalah kemampuan bagi perusahaan untuk terlibat dalam penetapan harga yang dipersonalisasi, atau personalized pricing, yang merupakan bentuk strategi first-degree price discrimination yang sangat akurat, di mana perusahaan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap pelanggan individu berdasarkan data pribadi mereka dan ditentukan oleh algoritme yang kompleks. Meskipun hal ini juga menghasilkan banyak manfaat yang meningkatkan efisiensi pasar, seperti membebankan harga yang lebih rendah untuk konsumen yang tidak mampu membeli produk tertentu, hal ini juga dapat membebankan harga yang terlalu tinggi kepada konsumen yang oleh algoritme dianggap sesuai untuk mereka. Dengan demikian, penetapan harga yang dipersonalisasi menimbulkan masalah antimonopoli yang serius, karena berpotensi membahayakan consumer welfare. Melalui tinjauan pustaka yang sistematis, makalah penelitian ini bertujuan untuk menguji kelayakan penggunaan Pasal 102 TFEU sebagai alat utama untuk mengatasi potensi dampak merugikan dari penetapan harga yang dipersonalisasi dengan menganggapnya sebagai penyalahgunaan dominasi yang eksploitatif jika dilakukan oleh perusahaan dengan dominasi yang dominan. posisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal ini dapat dicapai dengan dua cara, pertama dengan secara eksplisit menangani pembebanan harga yang berlebihan sebagai pengenaan “harga yang tidak wajar”, ​​dan kedua, jika pembebanan harga yang berlebihan dibarengi dengan adanya biaya pencarian dan switching yang tinggi. biaya, maka dapat dianggap sebagai pengenaan "kondisi perdagangan yang tidak adil" oleh perusahaan dominan, jika pendekatan pertama tidak cukup untuk campur tangan otoritas persaingan nasional (NCA). Selain itu, makalah penelitian menyarankan alternatif hukum lain untuk Pasal 102 TFEU untuk mengatasi dampak buruk dari personalized pricing. ......The recent acceleration in the development of artificial intelligence and its rapid commercial implementation has yielded a great number of benefits for producers and consumers around the world. One such benefits is the ability for firms to engage in personalized pricing, which is a form of highly accurate first-degree price discrimination strategy, whereby firms charge different prices for each individual customer based on their personal data and determined by complex algorithms. While this, too, yields many benefits in regard to market efficiency, such as charging lower prices for consumers who are otherwise unable to afford certain products, it can also charge excessively high prices to consumers that the algorithms deem to be appropriate for them. Thus, personalized pricing raises serious antitrust concerns, as it may potentially harm consumer welfare. Through a systematic literature review, this research paper aims to examine the feasibility of using Article 102 TFEU as a key tool for addressing the potential adverse effects of personalized pricing by deeming it an exploitative abuse of dominance if it is conducted by a firm with a dominant position. The results show that this can be achieved in two ways, first by explicitly addressing the charging of excessive prices as an imposition of “unfair prices”, and second, if the charging of excessive prices is coupled with the presence of high search costs and switching costs, then it can be deemed as an imposition of “unfair trading conditions” by the dominant firms, should the first approach not suffice for national competition authorities (NCAs) to intervene. Moreover, the research paper suggests other legal alternatives to Article 102 TFEU to address the adverse effects of personalized pricing.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library